Minggu, 14 November 2010

Monitoring Terhadap Badan Peradilan Merupakan Salah Satu Upaya Sosial Control




Di era dekade terakhir ini selalu terjadi desakan yang sangat kuat dari masyarakat untuk mewujudkan sistem peradilan yang bersih dari mafia peradilan (judicial corruption). Desakan tersebut tidak lain dikarenakan oleh kekecewaan masyarakat dan menurunya tingkat kepercayaan terhadap lembaga peradilan. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kasus yang ada seperti halnya kasus korupsi, sengketa tanah, buruh, tani, dan lain-lain. Tantangan besar terus membayangi perkembangan peradilan di Indonesia dalam upaya menempatkan fungsinya yang tepat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Dalam hal tersebut masyarakat akan memberikan legitimasi berupa kepercayaan publik dan negara akan memastikan terjaminya kepastian hukum pada masyarakat dalam menyelenggarakan sistem peradilan.
Aparat Peradilan dalam menjalankan peranan yang sangat besar ini yang menjalankan amanah dari negara, semakin hari dapat kita lihat mendapatkan tekanan yang dapat menjerumuskan pada kemerosotan moral yang mementingkan kepentingan ekonomi, kelompok dan sebagainya. Kita menyadari bahwa kemerosotan dunia hukum kita ikut pula dalam proses penghancuran kehidupan bernegara dimana hal ini sudah menjadi kenyataan yang pahit. Banyaknya produk-produk hukum yang dikeluarkan sangat melenceng dari nilai-nilai keadilan, misalnya saja hegemoni kekuasaan yang mengedepankan pendekatan formalistik yang sangat kaku dan kooperatif ketimbang kemauan dalam menggali substansi nilai-nilai keadilan.
Lembaga peradilan sebagai instrumen yang utama dalam penegakan hukum telah lama dikotori oleh praktik-praktik yang korup dan berdalih keadilan. Nilai-nilai keadilan bercampur aduk dengan berbagai intervensi kekuasaan maupun intervensi lain berupa komersial. Keadilan dengan mudah didapatkan dengan kekuatan uang dan setiap ada sengketa telah dapat diketahui mana yang akan menang dan mana yang akan kalah. Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan mau tidak mau akan berimbas pada semua kalangan hukum dan dapat dianggap bahwa kalangan hukum tersebut tidak mampu untuk berbuat dalam upaya membersihkan wibawa hukum. Jika kita semua konsisten dalam memperjuangkan rule of law, maka kondisinya tidak akan begitu parah seperti sekarang ini yang tidak berwibawa lagi, contohnya saja adanya demonstrasi yang dilakukan oleh para pencari keadilan di beberapa pengadilan di beberapa daerah di wilayah RI. Hal ini dikarenakan banyaknya keputusan hakim yang membuat masyarakat menjadi kecewa, sehingga wajar saja kalau kita melihat masyarakat main hakim sendiri dan beringas terhadap segala bentuk-bentuk kejahatan.
Untuk memberantas Judicial Corruption dibutuhkan pengawasan yang ekstra dari internal lembaga peradilan dan pengawasan eksternal dari masyarakat luas seperti akademisi, LSM, praktisi hukum, dan sebagainya. Mafia peradilan sudah menjadi budaya di tanah air ini dan mempunyai kelompok atau badan sendiri, sehingga independensi lembaga peradilan dikikis oleh mereka-mereka yang tidak bertanggung jawab.
Dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD RI tahun 1945, menjelaskan:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama dan oleh sebuah Mahkamah Agung.
Kita sama-sama mengetahui bahwa memang benar kekuasaan kehakiman itu independen atau mandiri dalam memutus sebuah perkara, namun kesemuanya itu tidak menjamin bahwa kualitas putusannya tidak terhindar dari judicial crime. Dan dalam pola penyelesaian ini penuh dengan permainan, ketidak adilan serta ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum. Oleh karenanya wajah peradilan yang semakin suram ini harus diserahkan dengan melakukan mekanisme pengawasan yang lebih efektif. Ada beberapa bentuk “ sosial control ” yang dapat dilakukan terhadap kinerja pengadilan antara lain :
1. Membangun keberadaan pusat informasi dan pengaduan hukum (Complain centre) yang antara lain tugasnya untuk memperbaiki sistem informasi administrasi dengan memberikan pemahaman tentang mekanisme informasi yang tepat di lembaga peradilan dan proses administrasinya.
Dengan adanya complain centre tersebut diharapkan dapat memperjelas mekanisme administrasi peradilan yang dapat diawasi atau dikawal, sehingga tidak ditemukan penyimpangan administrasi melalui pungutan yang tidak resmi, hal ini sebagai cermin ketiadaan pelayanan informasi tentang proses peradilan bagi masyarakat pencari keadilan. Untuk itu pelayanan informasi merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka penciptaan sistem peradilan yang baik. Oleh karena itu dalam rangka pengawasan, mekanisme pengaduan perlu diserap bisa saja masuk dalam struktur pengadilan manapun dimana perlu untuk lebih mengefektifkan wakil ketua bidang pengawasan yang diberengi dengan adanya complain center. Mengenai kewajiban untuk melakukan pemeriksaan atas laporan masyarakat terhadap kejanggalan dalam proses peradilan tersebut, maka Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No. 6 Tahun 2001 tentang pengaduan pelapor. Dengan dikeluarkannya SEMA tersebut, selain adanya mekanisme pengawasan internal, mekanisme pengawasan eksternal, juga perlu terus dikembangkan dan semakin jelas bahwa keberadaan kontrol masyarakat semakin mendapat tempat dalam rangka pembenahan sistem peradilan di Indonesia. Mekanisme pengawasan eksternal merupakan penyeimbang dari pengawasan internal, dengan adanya efektifitas pengawasan eksternal tersebut maka dapat dilakukan kerjasama dengan pengawas internal. Kerjasama tersebut dapat dioptimalkan sehingga dapat menjadi pressure bagi aparat penegak hukum untuk bersikap adil dan bertindak sebaik mungkin.
2. Melakukan eksaminasi publik terhadap suatu putusan yang dianggap kontraversi.
Dalam melakukan eksaminasi publik tersebut, merupakan hal yang pada hakekatnya menilai suatu putusan hakim yang telah diucapkan terbuka untuk umum dan merupakan bagian dari publik dan menjadi milik publik, oleh karenanya eksaminasi tersebut sedapat mungkin dilakukan secara maksimal, rutin dan terpadu oleh semua komponen masyarakat yang peduli dengan penegakan hukum, sehingga dapat menghindari dan menepis semua permainan yang mengotori lembaga peradilan.
Pada Tahun 1967 saat Ketua Mahkamah Agung dijabat oleh Soejadi, telah dikeluarkan SEMA No. 1 Tahun 1967 tentang eksaminasi dimana setiap pengadilan negeri mengeksaminasi tiga kasus pidana dan tiga kasus perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kebijakan tersebut tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh lembaga pengadilan seingga kebijakan tersebut menjadi mandeg, hal inilah yang menjadi awal kebobrokan pengadilan, dimana putusan yang kontraversi dapat dipetieskan. Sekarang dimasa reformasi ini haruslah dibangkitkan lagi semangat eksaminsi tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam memperbaiki citra badan peradilan, terlalu banyak kasus yang melibatkan orang-orang yang mempunyai duit banyak, mempunyai kekuatan struktural dan sebagainya. Sehingga istilah judicial corruption ataupun istilah wite collar crime tidak ditemukan lagi.
Sebagai bentuk komitmen di negara kita dalam memperbaiki sistem yang telah hancur tersebut, maka beberapa kelompok masyarakat berupaya untuk mewujdukan semangat reformasi di Indonesia dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dimana program tersebut dengan jelas dan tegas memberikan penekanan bahwa untuk menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa haruslah ditunjang dengan profesionalisme, integritas dan moral yang baik, sehingga keberadaan aparat peradilan seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim di mata masyarakat menjadi sangat dihormati, telah dijelaskan pula tentang peningkatan pengawasan masyarakat dalam proses peradilan secara taransparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu. Dan masyarakat tetap menanti adanya perubahan secara cepat dan substansial tersebut.
Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa dengan dikembangkannya perogram informasi teknologi ( IT ) dengan membuka website di badan-badan peradilan dewasa ini akan memberikan dampak positif ke arah terwujudnya suatu badan peradilan yang bersih, berwibawa dan memenuhi tuntutan masyarakatm, oleh karena dengan kehadiran informasi terknologi ( IT) tersebut akan mewujudkan suatu taransparansi terhadap kinerja para aparat penegak hukum, khusunya di dunia peradilan. ( Wallahu a’lam bitsawab ).

Oleh : H. Muhyiddin Rauf ( Ketua PA. Palopo )

Tidak ada komentar: