Minggu, 14 November 2010
KOMPILASI HUKUM ISLAM VZ UU PERLINDUNGAN ANAK
Oleh : Amirullah Arsyad, S.HI (Hakim PA. Bitung)
Seorang lelaki (sebut saja P) duduk termenung di ruang tunggu sebuah pengadilan. Raut wajahnya menggambarkan bahwa dirinya tengah dilanda rasa bingun, putus asa, penuh tanda tanya dan mungkin pengharapan. Dia baru saja mengikuti jalannya persidangan dirinya yang cukup menyita waktu dan pikiran. Sesekali pandangannya tertuju pada beberapa pengunjung dan juga pegawai yang sesekali melintas di depannya, seakan ingin meminta suatu penjelasan yang sangat serius. Di sebelahnya duduk pula seorang perempuan (sebut saja T) dengan raut wajah yang tidak kurang sama dengan lelaki itu.
Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu datang menghadap di Pengadilan Agama tersebut, dengan berbekal surat persetujuan untuk berpoligami dari istri pertama, dia mengajukan permohonan izin untuk berpoligami kepada pengadilan agama dengan seorang wanita (yang belakangan diketahui adalah merupakan istrinya). Setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan persidangan, lahirlah putusan yang intinya tidak menerima (NO) permohonan lelaki tersebut.
Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dalam proses tanya jawab dan pemeriksaan saksi terungkap fakta yang juga diakui oleh lelaki P bahwa ia telah menikah secara siri dengan perempuan ‘yang akan dinikahinya’ jika permohonannya dikabulkan. Majelis hakim memberikan putusan NO dengan beberapa pertimbangan antara lain bahwa lelaki P telah nyata terbukti telah menikah dengan T sehingga tidak perlu lagi diberikan izin berpoligami. Pertimbangan majelis hakim tersebut tentu sangat beralasan, karena bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk menikah dengan istri sendiri, bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk berpoligami dengan istrinya sendiri. Bukankah yang harusnya diizinkan untuk menikah adalah mereka yang memang belum menikah. Dan jika sudah menikah lalu buat apa minta izin untuk ‘menikah ulang’? Sementara lelaki P telah terbukti telah menikah dengan perempuan T beberapa tahun yang lalu, meskipun itu dilakukan secara siri. Apalagi dia sudah memiliki keturunan dari hasil perkawinannya dengan orang yang “akan dinikahinya”.
Kepala KUA yang turut mendampingi orang tersebut berdalih bahwa dasar pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah karena perkawinan pemohonan P dan T tidak sah secara hukum karena perkawinannya tidak terdaftar di PPN KUA setempat alias menikah di bawah tangan, sehingga dianggap belum menikah. Akan tetapi meskipun perkawinan secara hukum (undang-undang) dianggap tidak sah namun izin poligami tetap bukan solusi yang tepat, karena perkawinan yang secara hukum atau menurut undang-undang perkawinan yang tidak sah, seharusnya di Isbatkan (disahkan), bukan dengan jalan poligami. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar hukum Islam sebagaimana yang termuat dalam Kitab Tuhfah Juz IV halaman 133 yang artinya :
Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang baliq dan berakal bahwa dia telah dinikahi oleh seseorang.
Di sisi lain, perkawinan P dengan T juga tidak bisa diistbatkan (sekiranya perkara poligami dialihkan ke Isbat Nikah) karena dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa isbat nikah yang dapat diajukan di Pengadilan Agama adalah yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian atau perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan sebagainya.
Pengesahan Pengakuan Nikah dan Ketentuan dalam KHI
Pengesahan nikah biasanya diperlukan bagi mereka yang sudah lama melangsungkan pernikahannya, yang membutuhkan keterangan dengan akta yang sah, seperti untuk mendapatkan pensiunan janda, pensiunan veteran, dan sebagainya. Untuk mensahkan pengakuan itu diperlukan persyaratan, yaitu :
Dalam pengakuan nikah seseorang perempuan, harus dikemukakan sahnya pernikahan dan syarat-syaratnya, yaitu seperti : Wali, dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil. (dikutip dari kitab I’anatut Thalibin, juz IV, sebagaimana dikutip oleh H. Moch. Anwar dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, hal. 43)
Orang yang hanya menyatakan diri telah menikah, menurut pendapat yang paling shahih secara mutlak tidak dianggap cukup. Melainkan ia harus menerangkan :
Saya menikahi dia dengan wali orang yang baik (benar) serta dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan atas ridlanya (mempelai wanita), kalau keridlaan itu memang disayaratkan. (dikutip dari kitab Qulyubi wa Umairah, juz IV, sebagaimana dikutip oleh H. Moch. Anwar dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, hal. 44 ).
Dalam hal ini, seseorang yang mengaku telah menikah namun pernikahannya tidak terdaftar pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) Kecamatan setempat, untuk dapat disahkannya secara hukum (undang-undang), maka dia dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama dalam wilayah yang meliputi domisili pemohon yang bersangkutan (dalam hukum acara diistilahkan kompetensi relatif).
Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sekilas telah disinggung dimuka, disebutkan bahwa isbat nikah yang hendak dimohonkan ke Pengadilan Agama hanyalah perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, lebih lengkapnya berikut kami kutip ketentuan pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam tersebut :
3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian ;
(b) Hilangnya Akta Nikah ;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan ;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan ;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ;
(baca pasal 7 s/d pasal 12 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Pasal 7 ayat 3) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas terutama huruf (a) dengan sangat jelas menyebutkan bahwa permohonan isbat nikah yang diterima di pengadilan agama adalah Isbat Nikah dalam rangka perceraian, sedangkan lelaki P dengan perempuan T hanya ingin perkawinan mereka dinyatakan sah secara hukum dan bukan dimaksudkan untuk perceraian. Selain itu, perkawinan lelaki P dan perempuan T juga terjadi setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dilematis memang permasalahan yang dihadapi lelaki P. Jikalaupun P mengisbatkan nikahnya dengan alasan perkawinan secara hukum tidak sah, juga belum bisa diterima karena terbentur dengan pasal 7 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah disebutkan dimuka. Karena salah satu syarat untuk dikabulkan/diisbatkannya nikah adalah istbat nikah dalam rangka perceraian.
Permasalahan yang sesungguhnya adalah jika P dan T tidak didapatkan solusi atau jalan keluar dari masalahnya atau dibiarkan saja dengan kondisinya saat itu, maka yang merasakan dampaknya adalah anak dari hasil perkawinan siri P dan T karena menyangkut masa depan si anak terutama untuk pendidikannya.
Bisa saja kita beranggapan bahwa itu adalah adalah resiko atas perbuatan orang tua yang menikah dan berpoligami tanpa izin pengadilan, ataukah biarlah itu menjadi pelajaran bagi orang tuanya dan juga orang lain untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, namun dalam hal ini bukan orang tuanya semata yang harus dihakimi, tetapi lebih dari itu hak dan kepentingan si anak jangan sampai dilupakan apalagi diabaikan.
Perlu kami tambahkan sedikit kaitannya dengan apa yang kami paparkan diawal tulisan ini bahwa tujuan lelaki P memohon ‘izin poligami’ agar anak/keturunannya bisa memiliki hak dan jaminan masa depan yang sama dengan anak P yang lain dari istri pertamanya dengan maksud memasukkan anak dan ‘istri keduanya’ dalam tanggungan lelaki P yang notabene adalah PNS. Jaminan yang dimaksud adalah jaminan nafkah, untuk warisan kelak, dan yang terpenting dan sifatnya mendesak adalah pendidikan si anak. Jaminan nafkah hidup bagi anak bisa saja terpenuhi untuk saat ini dan mungkin juga untuk kedepannya karena si anak bisa mendapat bagian dari harta orang tuanya melalui wasiat, hibah dan sebagainya. Namun untuk saat ini yang paling penting dan sifatnya mendesak adalah jaminan dan kelangsungan pendidikan si anak.
Seperti yang diketahui bahwa kebijakan pemerintah dibidang pendidikan sekarang ini, salah satu syarat untuk mendaftar atau masuk ke sekolah SD, adalah dengan melampirkan Akta Kelahiran yang bersangkutan. Sementara pengurusan untuk penerbitan akta kelahiran sendiri memerlukan Buku Nikah atau Akta Nikah orang tua si anak.
Hak Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan hak anak yang merupakan hak asasi manusia, berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, termasuk di dalamnya adalah hak anak terhadap pendidikan.
Berikut kami kutip beberapa ketentuan pasal dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
Pasal 1 (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
(12) Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahteran.
Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Pasal 20 Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal yang kami kutip di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara dan pemerintah termasuk masyarakat ataupun keluarga, wajib menjamin hak anak yang merupakan bagian hak asasi manusia, termasuk hak anak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk pengembangan pribadi anak, dan sebagainya. Pendidikan disini bukan hanya pendidikan anak dalam keluarga, tetapi juga pendidikan formal di sekolah.
Jika negara dan pemerintah berkewajiban memenuhi hak anak khususnya hak pendidikan, maka jalan apa yang seharusnya ditempuh agar hak anak tersebut dapat terpenuhi haknya dan tidak berbenturan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam sekiranya perkawinan orang tua si anak secara hukum tidak sah karena menikah dibawah tangan?
Haruskah orang tuanya ‘mengelabui hukum’ dengan ‘berpura-pura bercerai’ untuk memenuhi pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam agar isbat nikahnya bisa digunakan dalam penerbitan akte kelahiran anak demi kepentingan pendidikan anak ? Rasanya tidak mungkin bisa diterima. Bukan saja karena mempermainkan hukum, lebih dari itu juga mengolok-olok ajaran syaria’at Islam. Bukankah perkawinan adalah suatu yang sakral? Dan bukankah talaq meskipun halal tapi dibenci tuhan? Apalagi mempermainkan perkara talaq? yang sama saja dengan mengolok-olok Tuhan, naudzu billahi min dzalik.
Ataukah ketentuan pasal itu dikesampingkan saja demi kemaslahatan anak? Ataukah perlu dibuatkan ketentuan tertentu untuk kasus tertentu seperti diatas? Lalu bagaimana hubungannya dengan kepastian hukum? Ataukah hukum disini tetap harus difungsunsikan sebagai a tool of social engineering?
Kiranya permasalahan ini tetap perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah terutama bagi pakar-pakar hukum untuk terus menggali permasalahan dan hukum yang tumbuh dalam masyarakat untuk dicarikan solusi. Dan yang terpenting sekali adalah perlunya sosialisasi pemahaman hukum yang lebih giat dan aktif lagi serta berkesinambungan bagi masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui aturan hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena meskipun ada irah-irah dalam dalam dunia hukum, bahwa Masyarakat Dianggap Mengerti Hukum, namun faktanya masih banyak masyarakat masih buta dengan aturan hukum yang berlaku dalam negara kita. “Sangat salah jika selalu dikatakan masyarakat dianggap tahu hukum, namun sosialisasi undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak maksimal dan nyatanya masih banyak masyarakat yang tidak tahu ataupun belum mengerti hukum dan kemudian mereka dikena sanksi atas perbuatan mereka yang melanggar hukum yang mereka tidak tahu perbuatan itu adalah sebuah pelanggaran” (mengutip pernyataan Prof. Dr. Muin Fahmal, SH., MH. Guru Besar Universitas Muslim Indonesia Makassar dalam kuliah tentang politik hukum tanggal.23 Januari 2010). Pernyataan fakar hukum tersebut mengindikasikan betapa pentingnya sosialisasi aturan hukum terus digalakkan Dengan demikian hukum lebih tepat guna dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyakat.
Seorang lelaki (sebut saja P) duduk termenung di ruang tunggu sebuah pengadilan. Raut wajahnya menggambarkan bahwa dirinya tengah dilanda rasa bingun, putus asa, penuh tanda tanya dan mungkin pengharapan. Dia baru saja mengikuti jalannya persidangan dirinya yang cukup menyita waktu dan pikiran. Sesekali pandangannya tertuju pada beberapa pengunjung dan juga pegawai yang sesekali melintas di depannya, seakan ingin meminta suatu penjelasan yang sangat serius. Di sebelahnya duduk pula seorang perempuan (sebut saja T) dengan raut wajah yang tidak kurang sama dengan lelaki itu.
Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu datang menghadap di Pengadilan Agama tersebut, dengan berbekal surat persetujuan untuk berpoligami dari istri pertama, dia mengajukan permohonan izin untuk berpoligami kepada pengadilan agama dengan seorang wanita (yang belakangan diketahui adalah merupakan istrinya). Setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan persidangan, lahirlah putusan yang intinya tidak menerima (NO) permohonan lelaki tersebut.
Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dalam proses tanya jawab dan pemeriksaan saksi terungkap fakta yang juga diakui oleh lelaki P bahwa ia telah menikah secara siri dengan perempuan ‘yang akan dinikahinya’ jika permohonannya dikabulkan. Majelis hakim memberikan putusan NO dengan beberapa pertimbangan antara lain bahwa lelaki P telah nyata terbukti telah menikah dengan T sehingga tidak perlu lagi diberikan izin berpoligami. Pertimbangan majelis hakim tersebut tentu sangat beralasan, karena bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk menikah dengan istri sendiri, bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk berpoligami dengan istrinya sendiri. Bukankah yang harusnya diizinkan untuk menikah adalah mereka yang memang belum menikah. Dan jika sudah menikah lalu buat apa minta izin untuk ‘menikah ulang’? Sementara lelaki P telah terbukti telah menikah dengan perempuan T beberapa tahun yang lalu, meskipun itu dilakukan secara siri. Apalagi dia sudah memiliki keturunan dari hasil perkawinannya dengan orang yang “akan dinikahinya”.
Kepala KUA yang turut mendampingi orang tersebut berdalih bahwa dasar pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah karena perkawinan pemohonan P dan T tidak sah secara hukum karena perkawinannya tidak terdaftar di PPN KUA setempat alias menikah di bawah tangan, sehingga dianggap belum menikah. Akan tetapi meskipun perkawinan secara hukum (undang-undang) dianggap tidak sah namun izin poligami tetap bukan solusi yang tepat, karena perkawinan yang secara hukum atau menurut undang-undang perkawinan yang tidak sah, seharusnya di Isbatkan (disahkan), bukan dengan jalan poligami. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar hukum Islam sebagaimana yang termuat dalam Kitab Tuhfah Juz IV halaman 133 yang artinya :
Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang baliq dan berakal bahwa dia telah dinikahi oleh seseorang.
Di sisi lain, perkawinan P dengan T juga tidak bisa diistbatkan (sekiranya perkara poligami dialihkan ke Isbat Nikah) karena dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa isbat nikah yang dapat diajukan di Pengadilan Agama adalah yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian atau perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan sebagainya.
Pengesahan Pengakuan Nikah dan Ketentuan dalam KHI
Pengesahan nikah biasanya diperlukan bagi mereka yang sudah lama melangsungkan pernikahannya, yang membutuhkan keterangan dengan akta yang sah, seperti untuk mendapatkan pensiunan janda, pensiunan veteran, dan sebagainya. Untuk mensahkan pengakuan itu diperlukan persyaratan, yaitu :
Dalam pengakuan nikah seseorang perempuan, harus dikemukakan sahnya pernikahan dan syarat-syaratnya, yaitu seperti : Wali, dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil. (dikutip dari kitab I’anatut Thalibin, juz IV, sebagaimana dikutip oleh H. Moch. Anwar dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, hal. 43)
Orang yang hanya menyatakan diri telah menikah, menurut pendapat yang paling shahih secara mutlak tidak dianggap cukup. Melainkan ia harus menerangkan :
Saya menikahi dia dengan wali orang yang baik (benar) serta dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan atas ridlanya (mempelai wanita), kalau keridlaan itu memang disayaratkan. (dikutip dari kitab Qulyubi wa Umairah, juz IV, sebagaimana dikutip oleh H. Moch. Anwar dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, hal. 44 ).
Dalam hal ini, seseorang yang mengaku telah menikah namun pernikahannya tidak terdaftar pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) Kecamatan setempat, untuk dapat disahkannya secara hukum (undang-undang), maka dia dapat mengajukan permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama dalam wilayah yang meliputi domisili pemohon yang bersangkutan (dalam hukum acara diistilahkan kompetensi relatif).
Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sekilas telah disinggung dimuka, disebutkan bahwa isbat nikah yang hendak dimohonkan ke Pengadilan Agama hanyalah perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, lebih lengkapnya berikut kami kutip ketentuan pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam tersebut :
3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian ;
(b) Hilangnya Akta Nikah ;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan ;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan ;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ;
(baca pasal 7 s/d pasal 12 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Pasal 7 ayat 3) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas terutama huruf (a) dengan sangat jelas menyebutkan bahwa permohonan isbat nikah yang diterima di pengadilan agama adalah Isbat Nikah dalam rangka perceraian, sedangkan lelaki P dengan perempuan T hanya ingin perkawinan mereka dinyatakan sah secara hukum dan bukan dimaksudkan untuk perceraian. Selain itu, perkawinan lelaki P dan perempuan T juga terjadi setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dilematis memang permasalahan yang dihadapi lelaki P. Jikalaupun P mengisbatkan nikahnya dengan alasan perkawinan secara hukum tidak sah, juga belum bisa diterima karena terbentur dengan pasal 7 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah disebutkan dimuka. Karena salah satu syarat untuk dikabulkan/diisbatkannya nikah adalah istbat nikah dalam rangka perceraian.
Permasalahan yang sesungguhnya adalah jika P dan T tidak didapatkan solusi atau jalan keluar dari masalahnya atau dibiarkan saja dengan kondisinya saat itu, maka yang merasakan dampaknya adalah anak dari hasil perkawinan siri P dan T karena menyangkut masa depan si anak terutama untuk pendidikannya.
Bisa saja kita beranggapan bahwa itu adalah adalah resiko atas perbuatan orang tua yang menikah dan berpoligami tanpa izin pengadilan, ataukah biarlah itu menjadi pelajaran bagi orang tuanya dan juga orang lain untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, namun dalam hal ini bukan orang tuanya semata yang harus dihakimi, tetapi lebih dari itu hak dan kepentingan si anak jangan sampai dilupakan apalagi diabaikan.
Perlu kami tambahkan sedikit kaitannya dengan apa yang kami paparkan diawal tulisan ini bahwa tujuan lelaki P memohon ‘izin poligami’ agar anak/keturunannya bisa memiliki hak dan jaminan masa depan yang sama dengan anak P yang lain dari istri pertamanya dengan maksud memasukkan anak dan ‘istri keduanya’ dalam tanggungan lelaki P yang notabene adalah PNS. Jaminan yang dimaksud adalah jaminan nafkah, untuk warisan kelak, dan yang terpenting dan sifatnya mendesak adalah pendidikan si anak. Jaminan nafkah hidup bagi anak bisa saja terpenuhi untuk saat ini dan mungkin juga untuk kedepannya karena si anak bisa mendapat bagian dari harta orang tuanya melalui wasiat, hibah dan sebagainya. Namun untuk saat ini yang paling penting dan sifatnya mendesak adalah jaminan dan kelangsungan pendidikan si anak.
Seperti yang diketahui bahwa kebijakan pemerintah dibidang pendidikan sekarang ini, salah satu syarat untuk mendaftar atau masuk ke sekolah SD, adalah dengan melampirkan Akta Kelahiran yang bersangkutan. Sementara pengurusan untuk penerbitan akta kelahiran sendiri memerlukan Buku Nikah atau Akta Nikah orang tua si anak.
Hak Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan hak anak yang merupakan hak asasi manusia, berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, termasuk di dalamnya adalah hak anak terhadap pendidikan.
Berikut kami kutip beberapa ketentuan pasal dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
Pasal 1 (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
(12) Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahteran.
Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Pasal 20 Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal yang kami kutip di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara dan pemerintah termasuk masyarakat ataupun keluarga, wajib menjamin hak anak yang merupakan bagian hak asasi manusia, termasuk hak anak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk pengembangan pribadi anak, dan sebagainya. Pendidikan disini bukan hanya pendidikan anak dalam keluarga, tetapi juga pendidikan formal di sekolah.
Jika negara dan pemerintah berkewajiban memenuhi hak anak khususnya hak pendidikan, maka jalan apa yang seharusnya ditempuh agar hak anak tersebut dapat terpenuhi haknya dan tidak berbenturan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam sekiranya perkawinan orang tua si anak secara hukum tidak sah karena menikah dibawah tangan?
Haruskah orang tuanya ‘mengelabui hukum’ dengan ‘berpura-pura bercerai’ untuk memenuhi pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam agar isbat nikahnya bisa digunakan dalam penerbitan akte kelahiran anak demi kepentingan pendidikan anak ? Rasanya tidak mungkin bisa diterima. Bukan saja karena mempermainkan hukum, lebih dari itu juga mengolok-olok ajaran syaria’at Islam. Bukankah perkawinan adalah suatu yang sakral? Dan bukankah talaq meskipun halal tapi dibenci tuhan? Apalagi mempermainkan perkara talaq? yang sama saja dengan mengolok-olok Tuhan, naudzu billahi min dzalik.
Ataukah ketentuan pasal itu dikesampingkan saja demi kemaslahatan anak? Ataukah perlu dibuatkan ketentuan tertentu untuk kasus tertentu seperti diatas? Lalu bagaimana hubungannya dengan kepastian hukum? Ataukah hukum disini tetap harus difungsunsikan sebagai a tool of social engineering?
Kiranya permasalahan ini tetap perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah terutama bagi pakar-pakar hukum untuk terus menggali permasalahan dan hukum yang tumbuh dalam masyarakat untuk dicarikan solusi. Dan yang terpenting sekali adalah perlunya sosialisasi pemahaman hukum yang lebih giat dan aktif lagi serta berkesinambungan bagi masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui aturan hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena meskipun ada irah-irah dalam dalam dunia hukum, bahwa Masyarakat Dianggap Mengerti Hukum, namun faktanya masih banyak masyarakat masih buta dengan aturan hukum yang berlaku dalam negara kita. “Sangat salah jika selalu dikatakan masyarakat dianggap tahu hukum, namun sosialisasi undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak maksimal dan nyatanya masih banyak masyarakat yang tidak tahu ataupun belum mengerti hukum dan kemudian mereka dikena sanksi atas perbuatan mereka yang melanggar hukum yang mereka tidak tahu perbuatan itu adalah sebuah pelanggaran” (mengutip pernyataan Prof. Dr. Muin Fahmal, SH., MH. Guru Besar Universitas Muslim Indonesia Makassar dalam kuliah tentang politik hukum tanggal.23 Januari 2010). Pernyataan fakar hukum tersebut mengindikasikan betapa pentingnya sosialisasi aturan hukum terus digalakkan Dengan demikian hukum lebih tepat guna dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar