Jumat, 08 Juli 2011

GUGATAN WARISAN DI PENGADILAN NEGERI SEMARANG

FIRMA HUKUM
TAUFIQ NUGROHO, SH & REKAN
ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM
Alamat : Jl. Singosari Raya No. 33 Semarang, Jawa Tengah. www.taufiqnugroho.blogspot.com Telephon. 085229469003 - 081548300783


Kepada yang terhormat,
Bapak Ketua Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Semarang

Di
SEMARANG


Hal : Gugatan Warisan



Dengan hormat,
Untuk dan atas nama pihak para Pengggat, maka yang bertanda tangan di bawah ini, kami TAUFIQ NUGROHO SH. dan SRI JAYADI, SH. Keduanya advokat/ Pengacara yang berkantor di Jl. Singosari Raya No. 33 Semarang, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 Oktober 2009, dalam hal ini bertindak selaku kuasa hokum dari dan untuk :

1. SOEMARMIN, Umur 64 tahun, pekerjaan purnawirawan, bertempat tinggal di Dk/Ds. Kejapan RT.01, RW06, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………PENGGUGAT-I

2. B. SATINEM, umur 57 tahun, pekerjaan tani, bertempat tinggal di Dk. Wotan RT.01, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………PENGGUGAT-II

3. NGATIYEM, umur 37 tahun, pekerjaan tani, bertempat tinggal di Dk. Wotan, RT.01, desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………PENGGUGAT-III

4. B. SUMIYEM, umur 50 tahun, pekerjan tani, bertempat tinggal di Dk. Bandung Sogo, Desa Bandung, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………PENGGUGAT-IV

Dengan ini mengajukan gugatan terhadap orang-orang bernama:
1. LASMI, bertempat tinggal di Dk. Wotan RT.01, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-I

2. SUMARSI, bertempat tinggal di Dk. Murong, Desa Kebonromo, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-II

3. SUMARNI, bertempat tinggal di Dk. Bugel, Desa Kebonromo, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Semarang.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………TERGUGAT-III


4. SUMARNI, bertempat tinggal di Dk. Bugel, Desa Kebonromo, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………TERGUGAT-III

5. SUPARNI, bertempat tinggal di Kp. Ngrandu, Kelurahan Nglorog, Kecamatan Sragen Kota, Kabupaten Sragen.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-IV

6. DALIYEM alias SUMINI, bertempat tinggal di Dk. Ngampunan, desa Kebonromo, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-V

7. SARWI, bertempat tinggal di Dk. Wtan RT.01, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-VI

8. SRIYONO alias KARNO, bertempat tinggal di Dk. Wotan RT.02, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten sragen.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………TERGUGAT-VII

9. SRI PURWANTI, bertempat tinggal di Dk. Wotan RT.01, Desa Bener, Kecamatan Ngampal, Kabupaten Sragen.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………TERGUGAT-VIII

10. SUWARNO, dahulu bertempat tingggal di Dk. Wotan, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen dan sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di wilayah Republk Indonesia.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-IX

11. EKA MURNI, bertempat tinggal di Perum Priok Damai jalan Mutiara Fluit Blok A No. 54 Tangerang Banten.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-X

12. HANDOKO, bertempat tinggal di Perum Priok Damai jalan Mutiara Fluit Blok A No. 54 Tangerang Banten.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………………………TERGUGAT-XI

13. MULYANI, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama anaknya yang masih di bawah umur bernama UCI LESTARI, bertempat tinggal di Perum Priok Damai jalan Mutiara Fluit Blok A No. 54 Tangerang Banten.
Selanjutnya mohon disebut pihak…………………………TERGUGAT-XII

14. SANEM binti KARTO PAWIRO, bertempat tinggal di jalan Suadaya Prikanan I No. 548, RT.07, RW.02, Kel. Talang Aman, Kec. Kemuning, Palembang.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………...……TURUT TERGUGAT-I

15. NGADINAH, dahulu bertempat tinggal di Dk. Waton, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. Sragen dan sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di wilayah Republik Indonesia.
Selanjutnya mohon disebut pihak……………..……TURUT TERGUGAT-II




Adapun duduk persoalannya adalah sebagai berikut:

1. Bahwa dahulu di Dukuh wotan, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen, telah meninggal dunia seorang laki-laki yang bernama : almarhum KARTOPAWIRO alias SAMIYO, pada tahun 1969.

2. Bahwa semasa hidupnya almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo, pernah menikah sebanyak 3 (tiga) kali dengan perempuan antara lain:
1. Istri pertama bernama; Mbok GEMBROT, pisah cerai dan mempunyai 3 (tiga) orang anak masing-masing bernama:
1.1. KASIMAN, telah meninggal dunia dan meninggalkan 4 (empat) orang anak masing-masing bernama:
1.1.1. SATINEM (Penggugat II)
1.1.2. NGATIYEM (Penggugat III)
1.1.3. SUMIYEM (Penggugat IV)
1.1.4. NGADINAH (Turut Tergugat II)

1.2. WIRYOSEMITO alias DIRO, telah meninggal dunia dan mempunyai 10 (sepuluh) orang anak masing-masing bernama:
1.2.1. LASMI (Tergugat I)
1.2.2. SUMARSI (Tergugat II)
1.2.3. SUMARNI (Tergugat III)
1.2.4. SUPARNI (Tergugat IV)
1.2.5. DALIYEM alias SUMINI (Tergugat V)
1.2.6. SARWI (Tergugat VI)
1.2.7. SRIYONO alias KARNO (Tergugat VII)
1.2.8. SRI PURWANTI (Tergugat VIII)
1.2.9. SUWARNO (Tergugat IX)
1.2.10. TARTO, telah meninggal dunia pada tahun 2010 dan meninggalkan seorang janda bernama MULYANI dan memiliki 3 (tiga) orang anak masing-masing bernama:
1.2.10.1. EKA MURNI (Tergugat X)
1.2.10.2. HANDOKO (Tergugat XI)
1.2.10.3. UCI LESTARI, umur 13 tahun dalam hal ini diwakili oleh MULYANI (Tergugat XII)

1.3. SANEM binti KARTO PAWIRO (Turut Tergugat I)

2. Istri kedua bernama Mbok NGADINEM, pisah cerai dan mempunyai seorang anak laki-laki bernama SOEMARMIN (Penggugat I)
3. Istri ketiga bernama Mbok BINJAL, telah meninggal dunia dan tidak memiliki anak.

3. Bahwa almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo, disamping memiliki anak dan para cucu tersebut di atas, juga mempunyai harta/ barang warisan yang berupa 1 hektar tanah sawah terdiri dari 3 patok dan sebidang tanah pekarangan yang terletak di wilayah Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen, terdaftar dalam buku leter C Desa Bener No.169 atas nama ; Karto pawiro alias samiyo, antara lain :
A. Sepatok tanah sawah terletak di Kebun Pengkol, Desa Bener, Kec. Ngrampal, Kab. Sragen, terdaftar dalam buku leter C No.169, persil 145a, klas III, luas 3510 M2, dengan batas-batas :
Sebelah Utara : sawah Didik Sumarsono,
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Jalan
Sebelah Selatan : Sawah Sugiyatno
B. Sepatok tanah sawah terletak di Deling Tengah, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. Sragen, terdaftar dalam buku leter C No. 169, persil 144a, klas III, luas 3590 M2, dengan batas-batas:
Sebelah Utara : sawah Didik Sumarsono,
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Jalan
Sebelah Selatan : Sawah Marimin.

C. Sepatok tanah sawah terletak di Blok Blakutuk, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. sragen, terdaftar dalam buku leter C No. 169, persil 25a, klas II, luas 3535 2, dengan batas-batas :
Sebelah Utara : sawah B. Sutanto.
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Jalan
Sebelah Selatan : Sawah Endang Sumarwati.

D. Sebidang tanah pekarangan yang terletak di Dk. waton, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. sragen, terdaftar dalam buku leter C No. 169, persil 153a-283, klas V, luas 1625 M2, dengan batas-batas:
Sebelah Utara : Pekarangan Kromosagiman/ Setu
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Saluran
Sebelah Selatan : Saluran
selanjutnya tanah sawah dan tanah pekarangan disebut tanah sengketa.

4. Bahwa semenjak almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo meninggal dunia, tanah sengketa dikuasai dan dikerjakan oleh salah satu anaknya yang bernama WIRYOSEMITO alias DIRO, karena dahulu serumah dengan almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo.

5. Bahwa tanpa sepengetahuan dan seijin para pengugat, tanah sengketa pada tanggal 18-9-1973 telah berubah/ beralih nama yang asal mulanya dari C No. 169 atas nama Kartopawiro alias Samiyo menjadi atas nama wiyosemito alias Diro, terbukti tanah sawah sengketa sudah bersertifikat Hak Milik No. 472, No. 473, No. 474 dan tanah pekarangan HM. No. 475, sehingga perbuatan perubahan staat / nama tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.

6. Bahwa sekitar tahun 2005 Pak Wirosemito alias Diro, telah meninggal dunia dan sejak itu pula tanah sengketa dikuasai dan dikerjakan oleh para tergugat, sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.

7. Bahwa para penggugat dan para turut tergugat adalah merupakan ahli waris anak dan sebagai ahli waris cucu dari almarhum pak Kartopawiro alias Samiyo berhak untuk mewaris masing-masing ¼ bagian dari tanah sengketa berupa tanah sawah dan tanah pekarangan barang warisan peninggalan almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo.

8. Bahwa para penggugat sudah berulang kali meminta secara baik-baik kepada para tergugat, agar tanah sengketa diserahkan untuk dibagi waris, tetapi para tergugat tidak mau.

9. Bahwa para penggugat merasa kuwatir kalau tanah sengketa dipindah tangankan kepada pihak lain, maka para penggugat mohon kepada Bapak ketua Pengadilan Negeri sragen, kiranya berkenan untuk meletakkan Penyitaan terlebih dahulu (Conservatoir Beslaag) terhadap tanah sengketa tersebut.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka para penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Sragen, kiranya berkenan memanggil kedua belah pihak, selanjutnya memriksa dan mengadili sebagai berikut:

PRIMAIR :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan sah dan berharga penyitaan terlebih dahulu (Conservatoir Beslaag) terhadap tanah sawah dan tanah pekarangan tersebut.

3. Menyatakan bahwa Penggugat I (Soemarmin) dan Turut Tergugat I (Sanem binti Kartopawiro) adalah ahli waris anak dari almarhum pak Kartopawiro alias Samiyo, sedangkan Penggugat II (B. Satinem), Penggugat III (Ngatiyem), penggugat IV (B. Sumiyem), dan Turut Tergugat II (Ngadinah) adalah ahli waris anak dari almarhum Pak Kasiman dan sebagai ahli waris cucu dari almarhum pak Kartopawiro alias Samiyo.

4. Menyatakan bahwa Tergugat I sampai dengan Tergugat IX adalah ahli waris anak dari almarhum Pak Wiryosemito alias Diro, dan sekaligus sebagai ahli waris cucu dari almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo, sedangkan Tergugat X sampai dengan Tergugat XII adalah ahli waris anak dari almarhum Pak Tarto dan sekaligus sebagai ahli waris cicit dari almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo.

5. Menetapkan bahwa barang/ harta sengketa berupa :
A. Sepatok tanah sawah terletak di Kebun Pengkol, Desa Bener, Kec. Ngrampal, Kab. Sragen, terdaftar dalam buku leter C No.169, persil 145a, klas III, luas 3510 M2, dengan batas-batas :
Sebelah Utara : sawah Didik Sumarsono,
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Jalan
Sebelah Selatan : Sawah Sugiyatno

B. Sepatok tanah sawah terletak di Deling Tengah, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. Sragen, terdaftar dalam buku leter C No. 169, persil 144a, klas III, luas 3590 M2, dengan batas-batas:
Sebelah Utara : sawah Didik Sumarsono,
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Jalan
Sebelah Selatan : Sawah Marimin.

C. Sepatok tanah sawah terletak di Blok Blakutuk, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. sragen, terdaftar dalam buku leter C No. 169, persil 25a, klas II, luas 3535 2, dengan batas-batas :
Sebelah Utara : sawah B. Sutanto.
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Jalan
Sebelah Selatan : Sawah Endang Sumarwati.

D. Sebidang tanah pekarangan yang terletak di Dk. waton, Ds. Bener, Kec. Ngrampal, Kab. sragen, terdaftar dalam buku leter C No. 169, persil 153a-283, klas V, luas 1625 M2, dengan batas-batas:
Sebelah Utara : Pekarangan Kromosagiman/ Setu
Sebelah Timur : Jalan
Sebelah Barat : Saluran
Sebelah Selatan : Saluran
Adalah merupakan harta / barang warisan peninggalan dari almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo yang belum pernah dibagi waris.

6. Menyatakan bahwa penguasaan dan penggarapan atas tanah sengketa oleh para tergugat, adalah merupakan perbuatan melawan hukum.

7. Menyatakan bahwa perubahan peralihan hak atas tanah sengketa yang asal mulanya dari C No.169 atas nama Kartopawiro alias Samiyo, berubah menjadi nama Wiryosemito alias Diro sertifikat HM No. 472, 473, 474 dan Sertifikat HM No. 475, adalah tidak sah menurut hukum dan batal demi hukum, Sehingga sertifikat Hak Milik tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

8. Menyatakan bahwa bagian masing-masing ahli waris anak dari almarhum Pak Kartopawiro alias Samiyo, adalah ¼ bagian atas tanah sawah dan tanah pekarangan sengketa.

9. Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak darinya atas tanah sengketa untuk menyerahkan kepada para penggugat beserta sertifikat hak miliknya, selanjutnya untuk dibagi waris dan bila mana perlu dengan bantuan alat Negara/ Polisi.

10. Menghukum para tergugat untuk membayar biaya perkara.

SUBSIDAIR :
Memberikan putusan yang seadil-adilnya.




Semarang, 26 Agustus 2010
Hormat kami,
Kuasa Para Penggugat



1. Taufiq Nugroho SH.



2. Sri Jayadi, SH

GUGATAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG

FIRMA HUKUM
TAUFIQ NUGROHO, SH & REKAN
ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM
Alamat : Jl. Singosari Raya No. 33 Semarang, Jawa Tengah. www.taufiqnugroho.blogspot.com Telephon. 085229469003 - 081548300783




Kepada Yth.
Bapak Ketua Pengadilan Agama Semarang
di –
SEMARANG.



Perihal : Gugatan Perceraian



Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang tersebut dibawah ini : …………………….…………………………………………………

--------------------------------------- SUTARNI binti DARULI -------------------------------------------

umur ± 36 tahun, agama islam, pekerjaan wiraswasta, alamat di Tirto Mulyo RT.07, Desa Bendo, Kec. Sukodono, Kab. Semarang; --------------------------------------------------------------------------------

Dalam hal ini memilih tempat kedudukan (domicilie) hukum dikantor kuasanya, dengan ini memberi kuasa kepada TAUFIQ NUGROHO, SH, Advokat yang berkantor di Firma Hukum “LUTFI SUNGKAR & ASSOCIATES“ alamat di Jl. Jatitengah-Sukodono, Ngaringrejo, RT.2/1 Newung, Sukodono, Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 Maret 2011 (terlampir), selanjutnya disebut sebagai …………….………….….…….. PENGGUGAT.

Dengan ini penggugat hendak menyampaikan gugatan perceraian melalui Pengadilan Agama Semarang terhadap suaminya bernama : …………………….………………………….…………..

----------------------------------- SUPARDI Bin WIRYO SUMARTO ----------------------------------

Umur ± 42 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Tani, alamat di Harjosari, Ds. Majenang, Kec. Sukodono, Kab. Semarang, selanjutnya disebut sebagai …………..…………….... TERGUGAT.

Adapun gugatan ini diajukan berdasarkan hal-hal dan alasan-alasan sebagai berikut:…………………………………………………..………………………………………..

1. Bahwa antara penggugat dan tergugat telah melangsungkan pernikahan secara sah pada tanggal 08 Maret 1990 yang tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, Kabupaten Semarang, sebagaimana Duplikat Kutipan Akta Nikah No. Kk.11.14.17/Pw.01/11/2011, tertanggal 13 Januari 2011, vide bukti P.2; --------------------

2. Bahwa pada saat pernikahan penggugat berstatus Perawan dan tergugat berstatus jejaka dan sampai sekarang belum pernah bercerai; -----------------------------------------------------

3. Bahwa sesaat setelah akad nikah tergugat mengucapkan sighat taklik talak; -----------------

4. Bahwa setelah pernikahan antara penggugat dan tergugat telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri (ba’da dhukul), dan tinggal bersama di rumah orang tua penggugat selama 17 tahun, kemudian setelah itu antara penggugat dan tergugat telah pisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri sampai sekarang selama lebih dari 4 tahun lamanya; ----


5. Bahwa pernikahan antara penggugat dan tergugat sampai saat ini sudah dikaruniai 3 orang anak, yaitu :
4. EVI SURYA NINGSIH, umur 20 tahun, tinggal bersama Penggugat;
5. FAJAR DWI NUGROHO, umur 16 Tahun, tinggal bersama Penggugat;
6. GILANG DWI PRASETYO, umur 8 tahun, tinggal bersama Penggugat.

6. Bahwa selama pisah tersebut, Tergugat sudah tidak memberikan nafkah wajib pada penggugat sampai sekarang; -------------------------------------------------------------------------

7. Bahwa berdasarkan hal–hal tersebut, maka dalil–dalil gugatan penggugat telah berdasarkan hukum dan telah beralasan hukum karena telah sesuai dengan pasal 19 huruf (b) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam; ------------------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan hal-hal dan alasan-alasan tersebut diatas, penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Semarang untuk berkenan memutus sebagai berikut : ………………………...……………..

PRIMAIR
1. Mengabulkan gugatan penggugat; -----------------------------------------------------------------------
2. Menyatakan sebagai hukum jatuh talak satu khul’i dari tergugat terhadap penggugat dengan iwadh Rp.1000,00 (seribu rupiah);-----------------------------------------------------------------------
3. Membebankan beaya perkara menurut hukum; -------------------------------------------------------

SUBSIDAIR
Apabila Pengadilan Agama Semarang berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono); ------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Demikian gugatan ini kami sampaikan, atas perkenannya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Semarang, 05 April 2011
Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat




TAUFIQ NUGROHO, SH.

Permohonan Perubahan Nama dan Tanggal Lahir

FIRMA HUKUM
TAUFIQ NUGROHO, SH & REKAN
ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM
Alamat : Jl. Singosari Raya No. 33 Semarang, Jawa Tengah. www.taufiqnugroho.blogspot.com Telephon. 085229469003 - 081548300783




Kepada Yth.
Bapak Ketua Pengadilan Agama Semarang
di –
SEMARANG.


Perihal : Permohonan Perubahan Nama dan Tanggal Lahir




Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang tersebut dibawah ini : …………………….…………………………………………………

---------------------------------------- SUTARNI binti DARULI ------------------------------------------

umur ± 36 tahun, agama islam, pekerjaan wiraswasta, alamat di Tirto Mulyo RT.07, Desa Bendo, Kec. Sukodono, Kab. Semarang; --------------------------------------------------------------------------------

Dalam hal ini memilih tempat kedudukan (domicilie) hukum dikantor kuasanya, dengan ini memberi kuasa kepada TAUFIQ NUGROHO, SH, Advokat yang berkantor di Firma Hukum “LUTFI SUNGKAR & ASSOCIATES“ alamat di Jl. Jatitengah-Sukodono, Ngaringrejo, RT.2/1 Newung, Sukodono, Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 14 Januari 2011 (terlampir), selanjutnya disebut sebagai …………………..….…….. PEMOHON.

Dengan ini pemohon hendak menyampaikan Permohonan Perubahan Nama dan Tanggal Lahir melalui Pengadilan Agama Semarang berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan sebagai berikut:……………………………………………………………………………………………..

1. Bahwa pemohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 08 Maret 1990 dengan seorang pria yang bernama : SUPARDI Bin WIRYO SUMARTO, umur ± 42 tahun, agama Islam, pekerjaan Tani, alamat di Tirto Mulyo RT.07, Desa Bendo, Kec. Sukodono, Kab. Semarang, secara sah menurut Agama Islam yang tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, Kabupaten Semarang; --------------------------------------------------------

2. Bahwa setelah pernikahan antara pemohon dan suami pemohon hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan tinggal bersama di rumah orang tua pemohon selama 10 tahun; -

3. Bahwa pernikahan antara pemohon dan suami pemohon sampai saat ini sudah dikaruniai 3 orang anak, yaitu :
1. EVI SURYA NINGSIH, umur 20 tahun;
2. FAJAR DWI NUGROHO, umur 16 Tahun;
3. GILANG DWI PRASETYO, umur 8 tahun.

4. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dan suami Pemohon telah menerima Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, Kabupaten Semarang, dan karena Akta Nikahnya rusak telah dimintakan Duplikat Kutipan Akta Nikah tanggal 13 Januari 2011, dan ternyata terdapat kesalahan penulisan nama SRI LESTARI Binti DARULI dan tanggal lahir 06 Februari 1971 yang tercatat dalam Duplikat Kutipan Akta Nikah No. Kk.11.14.17/Pw.01/11/2011 adalah salah, dan yang sebenarnya adalah SUTARNI Binti DARULI dan tanggal lahir 08 Oktober 1974 ;------------------------------------------
5. Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan tersebut, maka Pemohon sangat membutuhkan Penetapan dari Pengadilan Agama Semarang untuk dijadikan dasar hukum dalam mengurus Pembuatan Akta Kelahiran ketiga anak Pemohon; --------------------------

Berdasarkan hal-hal dan alasan-alasan tersebut di atas, pemohon mohon kepada Pengadilan Agama Semarang untuk berkenan menjatuhkan Penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut;..

PRIMAIR
1. Mengabulkan permohonan pemohon; ------------------------------------------------------------------
2. Menetapkan nama SRI LESTARI Binti DARULI dan tanggal lahir 06 Februari 1971 yang tercatat dalam Duplikat Kutipan Akta Nikah No. Kk.11.14.17/Pw.01/11/2011 adalah salah, dan yang sebenarnya adalah SUTARNI Binti DARULI dan tanggal lahir 08 Oktober 1974 ;--
3. Membebankan beaya perkara menurut hukum; -------------------------------------------------------

SUBSIDAIR
Apabila Pengadilan Agama Semarang berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono); ------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perkenannya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.





Semarang, 24 Januari 2011
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon




TAUFIQ NUGROHO, SH.

Permohonan Poligami

FIRMA HUKUM
TAUFIQ NUGROHO, SH & REKAN
ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM
Alamat : Jl. Singosari Raya No. 33 Semarang, Jawa Tengah. www.taufiqnugroho.blogspot.com Telephon. 085229469003 - 081548300783



Perihal : Permohonan Poligami



Kepada Yth.
Bapak Ketua Pengadilan Agama Semarang
di –
SEMARANG.




Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang tersebut dibawah ini : ………………………………………………………..……................

--------------------------------------------- EDI SUSANTO Bin MUSTOFA ---------------------------------------------

umur ± 44 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat di Kleco Wetan, RT.09, Desa Sidoharjo, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Semarang; ----------------------------------------------------

Dalam hal ini memilih tempat kedudukan (domicilie) hukum dikantor kuasanya dan telah memberi kuasa kepada TAUFIQ NUGROHO, SH, Advokat beralamat Jl. Singosari Raya No. 33 Semarang, Jawa Tengah. berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 01 April 2011 (terlampir), selanjutnya disebut sebagai ……...………… PEMOHON.

Dengan ini pemohon hendak mengajukan permohonan poligami melalui Pengadilan Agama Semarang terhadap istrinya bernama : …………………………………………………………….….

--------------------------------------- NURIYAH Binti SUHARNO ---------------------------------------

umur ± 37 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat di Kleco Wetan, RT.09, Desa Sidoharjo, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut sebagai……………………………………………………………………………. TERMOHON.

Adapun permohonan poligami ini diajukan berdasarkan hal-hal dan alasan-alasan sebagai berikut: ………………………………………………..………………………………………..…..

1. Bahwa pemohon dan termohon telah melangsungkan pernikahan secara sah pada tanggal 21 Februari 1998 yang tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Semarang, sebagaimana kutipan akta nikah No. 470/38/II/1998, tertanggal 23 Februari 1998; ---

2. Bahwa pada saat pernikahan pemohon berstatus jejaka dan termohon berstatus janda; --------

3. Bahwa pernikahan antara pemohon dan termohon sampai saat ini belum dikaruniai anak, dan sekarang termohon juga dalam keadaan tidak hamil; -------------------------------------------

5. Bahwa harta bersama yang dimiliki pemohon dan termohon selama pernikahan adalah sebidang tanah sawah yang terletak di Dk. Ngeblak, Ds. Sidoharjo, Kec. Sidoharjo, Kab. Semarang, HM. No.424 atas nama IIN Suami PARYATI, seluas 3.920 m², dengan batas-batas sebagai berikut:
a. Barat : Sungai (saluran air)
b. Timur : Sawah bapak Basiran
c. Selatan : Jalan
d. Utara : Sungai (saluran air)

6. Bahwa SITI ROKHAYAH Binti TONY HARTONO sebagai calon istri kedua pemohon menyatakan tidak akan mengganggu ggat harta bersama (gono-gini) yang sudah ada selama ini, dan tetap utuh sebagai harta bersama (gono-gini) antara pemohon dan termohon;----------

Berdasarkan hal-hal dan alasan-alasan tersebut diatas, pemohon mohon kepada Pengadilan Agama Semarang untuk memutus sebagai berikut : ………………………………………………….


PRIMAIR
1. Menerima dan mengabulkan permohonan ijin poligami pemohon; --------------------------------
2. Menetapkan memberi ijin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan perempuan yang bernama SITI ROKHAYAH Binti TONY HARTONO; -------------------------------------------
3. Menetapkan harta bersama (gono-gini) yang berupa sebidang tanah sawah yang terletak di Dk. Ngeblak, Ds. Sidoharjo, Kec. Sidoharjo, Kab. Semarang, HM. No.424 atas nama IIN Suami PARYATI, seluas 3.920 m², dengan batas-batas sebagai berikut:
a. Barat : Sungai (saluran air)
b. Timur : Sawah bapak Basiran
c. Selatan : Jalan
d. Utara : Sungai (saluran air)
Merupakan harta bersama (gono-gini) antara pemohon dan termohon;---------------------------
4. Membebankan biaya perkara menurut hukum; -------------------------------------------------------


SUBSIDAIR
Apabila Pengadilan Agama Semarang berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).


Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perkenannya kami mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.



Semarang, 19 April 2011
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon




TAUFIQ NUGROHO, SH.

Senin, 09 Mei 2011

PEMBERONTAKAN TERHADAP KORUPSI PERLU TERUS DIKOBARKAN

(Oleh : A. Umar Said)
Bagi sebagian pembaca, mungkin tulisan kali ini terasa agak “lain” dari pada biasanya. Sebab, isi tulisan ini bisa saja dianggap sebagai manifestasi kedengkian, atau kecemburuan, atau iri-hati, atau serba-curiga, atau entah apa lagi lainnya. Yang jelas, adalah bahwa tulisan ini memang sarat dengan rasa kemarahan dan kental dengan emosi atau “rasa-berontak” . Masalahnya, adalah, bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi sangat keterlaluan! Korupsi sudah betul-betul merusak akhlak banyak orang, terutama di kalangan “tokoh-tokoh”, baik sipil maupun militer, atau baik di kalangan resmi/pemerintahan maupun di kalangan “swasta”. Kalimat yang berikut ini mungkin kedengaran terlalu keras: Sudah terlalu banyak “tokoh-tokoh masyarakat” ( tidak semua) yang menjadi maling-maling besar, dan sudah terlalu banyak pula PEJABAT yang menjadi PENJAHAT (juga, tidak semua!).
Ketika mau memulai tulisan ini, penulis bertanya-tanya dalam fikiran, dari titik-berangkat yang mana persoalan ini bisa diangkat terlebih dulu? Dengan maksud untuk mencoba melihat betapa besarnya dan betapa luasnya masalah korupsi di Indonesia ini yang pernah dipermasalahkan selama ini, maka penulis buka Internet. Lewat mesin-pencari (search engine) GOOGLE, maka ternyata banyak sekali yang bisa diketahui tentang berbagai soal yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Untuk sekadar gambaran kasar bagi pembaca (yang kebetulan belum sempat membukanya) maka berikut adalah sejumlah informasi.
Kalau kita buka Internet, dan kemudian menggunakan search engine GOOGLE (yang bahasa Inggris) dengan kata-kunci “corruption Indonesia”, maka segera (dalam beberapa detik saja) tercantum lebih dari 90 000 artikel, berita, dokumen, interview, atau segala macam bahan lainnya, yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Karena begitu banyaknya bahan yang tercantum di situ, maka pastilah diperlukan berbulan-bulan, untuk bisa membacanya dengan teliti. Karena itu, maka orang bisa mudah menjadi bingung, untuk memilih bahan yang mana yang perlu dibaca lebih dahulu, dan mana yang tidak. Sebab, sudah tentu, ada bahan yang bisa dianggap serius, akurat atau terpercaya, dan juga yang tidak. Karena, sumbernya juga macam-macam., baik yang berasal dari Indonesia sendiri, maupun yang dari luarnegeri. Bahan-bahan ini ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, atau bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa Inggris.
Kalau menggunakan search engine GOOGLE yang bahasa Indonesia, dan memilih kata kunci “korupsi” maka dalam beberapa detik saja akan terpapar lebih dari 19 000 bahan dalam bahasa Indonesia. Untuk membaca judul atau kepala artikel dan bahan-bahan itu saja sudah memerlukan waktu yang berjam-jam. Apalagi kalau ingin membaca isinya, entah berapa hari akan diperlukan untuknya! Tetapi, dengan melayangkan pandangan mata (sepintas lalu) kepada itu semuanya, maka kita akan mendapat gambaran bahwa masalah korupsi di Indonesia ini sudah lama dipersoalkan oleh banyak fihak, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri.
KERUSAKAN MORAL YANG DISEBABKAN OLEH KORUPSI
Ketika membaca bahan-bahan yang bisa dicari lewat GOOGLE (bahasa Indonesia), maka kita bisa melihat bahwa salah satu di antara berbagai kerusakan parah dan besar-besaran yang harus ditangani oleh bangsa dewasa ini adalah masalah pembrantasan korupsi, secara sungguh-sungguh dan secara tuntas! Namun, berdasarkan pengalaman selama ini, maka jelaslah bahwa pemberantasan korupsi secara tuntas tidak bisa (atau tidak mungkin!) dilaksanakan tanpa adanya pemberesan di bidang hukum. Pemberesan bidang hukum tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan bidang politik. Pemberesan bidang politik tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan di bidang moral yang sudah bobrok di kalangan “atas”. Pemberesan akhlak di kalangan “atas” tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan sistem pemerintahan dan sistem ekonomi. Jadi, semua sambung-menyambung dan saling berkaitan. Tetapi, dari semua gejala itu, yang merupakan segi yang menonjol adalah kerusakan akhlak, yang disebabkan oleh mentalitas korup, yang sudah menjamur secara merajalela di semua lini sejak zaman pemerintahan Orde Baru. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri).
Dengan membaca bahan-bahan dari GOOGLE kita bisa melihat berbagai aspek tentang masalah korupsi di Indonesia. Umpamanya, tentang masalah jaring-jaringan korupsi keluarga Cendana, tentang korupsi di Telkom, tentang kegiatan MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) di bidang perlawanan terhadap korupsi, tentang Forum Indonesia Anti Korupsi, tentang Indonesia Corruption Watch, tentang persiapan pembentukan Komisi Pembrantasan Korupsi dst dst. Banyak artikel-artikel tentang korupsi yang menarik, umpamanya penilaian Transparancy International bahwa Indonesia menduduki tempat yang ke-empat dalam daftar negara-negara yang paling korup di dunia. Atau artikel tentang korupsi yang berkaitan dengan APBN, kolusi kontrak bagi hasil pertambangan, korupsi di tubuh BUMN.
Kita bisa baca di situ berbagai dokumen resmi, umpamanya UU RI nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang ditandatangani oleh Presiden Habibi tanggal 19 Mei 1999. Juga TAP MPR nomor 11 tahun 1998 “tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme”, yang ditandatangani oleh ketuanya Haji Harmoko, serta wakil-wakilnya. Dalam dua dokumen negara ini telah secara jelas dinyatakan bahwa KKN adalah tindakan yang harus ditindak dengan tegas, dan tanpa pandang bulu. Jadi, sebenarnya, masalah korupsi ini sudah sering sekali dibicarakan di DPR, di MPR, di kabinet, di berbagai rapat jawatan atau dinas-dinas pemerintahan, dan juga di banyak seminar, di kalangan partai-partai politik.

KORUPTOR ADALAH PENGKHIANAT RAKYAT
Ketika membaca bahan-bahan yang begitu banyak soal korupsi di Indonesia selama ini, maka orang bisa bertanya-tanya : mengapa korupsi di negeri ini begitu sulit dibrantas? Inilah yang patut dijadikan bahan studi yng serius bagi para pakar, dan, juga, bahan renungan bagi siapa saja yang merasa prihatin dengan penyakit parah yang sudah membikin kerusakan begitu besar dalam kehidupan bangsa kita ini. Apakah hanya karena sistem politik dan sistem pemerintahan saja? Atau, apakah karena faktor-faktor manusianya? Ataukah ada sebab-sebab lainnya?
Sebab, kalau kita baca kembali bahan-bahan yang sudah pernah tersiar selama ini, maka jelaslah bahwa korupsi besar-besaran telah dilakukan oleh orang-orang yang pada umumnya sudah mempunyai pendapatan yang layak untuk menghidupi keluarga mereka secara baik pula. Bahkan, banyak di antara para koruptor kakap itu yang sudah kaya-raya sebelum melakukan korupsi. Jadi, teori bahwa korupsi dilakukan oleh karena gaji (pendapatan) tidak mencukupi kebutuhan, adalah tidak selalu benar. Mungkin, ini bisa dimengerti, kalau terjadi di kalangan “bawahan” (pegawai rendahan, baik negeri maupun swasta), atau mereka yang berpendapatan rendah sekali. Tetapi, kalau korupsi besar-besaran itu dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi (baik sipil maupun militer), maka persoalannya memang bisa menjadi lain lagi.
Korupsi kecil-kecilan yang dilakukan untuk sekedar mencukupi - secara selayaknya - kebutuhan kehidupan rumahtangga masihlah kiranya bisa dimengerti (dan sampai batas tertentu bisa juga dima’afkan). Tetapi, kalau korupsi itu sudah dilakukan secara besar-besaran dengan tujuan untuk menumpuk kekayaan secara tidak sah dan untuk hidup dalam kemewahan yang haram dan “kemegahan” yang berbau kejahatan, maka inilah yang harus dikutuk secara beramai-ramai. Sebab, koruptor-koruptor kakap yang telah mencuri harta publik semacam itu, pada hakekatnya adalah penjahat besar dan juga pengkhianat terhadap rakyat. Penjahat-penjahat ini tanpa rasa segan sedikit pun telah merampas hasil keringat banyak orang. Dan, seperti yang sudah kita baca atau kita dengar selama ini (atau yang kita saksikan di sekeliling kita selama ini, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah), maka nyatalah bahwa gejala semacam itu memang sudah banyak muncul selama puluhan tahun.
Selama ini kita sudah saksikan berapa banyak pejabat-pejabat tinggi atau tokoh-tokoh (“resmi” maupun swasta) yang sering sekali bicara lantang tentang pengabdian kepada rakyat dan negara, tetapi di balik itu melakukan korupsi. Orang-orang yang sudah melakukan korupsi – apalagi besar-besaran – sudah tidak patut lagi, dan tidak berhak, untuk bicara tentang masalah kepentingan rakyat dan negara. Mereka itu harus terus-menerus, dengan berbagai cara dan jalan dicurigai, diawasi, dan selalu diblejeti untuk kemudian dimintai pertanggungan jawab, baik di depan pengadilan ataupun di depan opini publik. Tidak peduli apakah ia menteri, gubernur, bupati, atau pejabat-pejabat tinggi dan menengah lainnya. Juga tidak peduli apakah ia tokoh partai politik, tokoh masyarakat, anggota DPR dan DPRD, atau pimpinan berbagai lembaga.

KERUSAKAN AKHLAK DI KALANGAN ATAS
Jadi, sebenarnya, masalah korupsi ini sudah lama menjadi persoalan yang diperdebatkan oleh umum. Bahkan sudah pernah ada undang-undang untuk memeranginya. Tetapi, karena kalangan “atas” tidak menunjukkan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, maka segala undang-undang atau segala pernyataan yang bagus-bagus tentang pemberantasan korupsi itu semua akhirnya tetap menjadi omong-kosong saja. Kalangan “atas” , baik yang di eksekutif, legislatif, judikatif, maupun yang di “swasta”, tidak menunjukkan tekad mereka yang sungguh-sungguh, untuk mentrapkan undang-undang yang sudah ada, dan juga tidak mau menciptakan peraturan-peraturan yang lebih ketat lagi atau hukuman-hukuman yang lebih tegas.
Korupsi adalah penyebab dan sekaligus juga produk dari mental yang korup. Hubungan antara korupsi dan kerusakan akhlak adalah erat sekali, atau bahkan senyawa. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kerusakan akhlak itu (yang merupakan sumber korupsi) sudah menghinggapi banyak “tokoh” di berbagai bidang, di beraneka-ragam kalangan agama, dan dari berbagai suku atau asal keturunan. Pengalaman selama ini juga menunjukkan bahwa kerusakan akhlak inilah yang telah memungkinkan begitu banyak “tokoh” menyalah-gunakan kekuasaan, dan menggunakan pengaruh atau melakukan tindakan-tindakan selingkuh lainnya, untuk memperkaya diri dengan mencuri kekayaan publik dengan berbagai cara dan beraneka-ragam dalih.
Kalau kita perhatikan nama-nama yang tersangkut dugaan tindakan korupsi kelas kakap, maka kita lihat bahwa di antara mereka itu banyak yang bertitel SH, atau Doctor dalam bidang ilmu tertentu, atau bahkan Profesor Doctor (dan banyak juga yang memakai sebutan Haji di depan nama mereka!). Ternyata, untuk kesekian kalinya kita bisa melihat dengan nyata bahwa gelar atau sebutan-sebutan yang macam-macam itu bukanlah satu jaminan bahwa mereka itu mempunyai hati nurani yang bersih, dan bukan pula ukuran bahwa iman mereka teguh atau bahwa akhlak mereka itu terpuji. Mereka telah mencuri kekayaan publik dengan menggunakan kedok titel kesarjanaan (atau gelar agama), dan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dalam masyarakat.
Kesan serupa ini bisa kita peroleh ketika membaca berbagai nama “tokoh” yang pernah disebutkan dalam media pers Indonesia (atau luarnegeri) karena tersangkut dengan berbagai peristiwa, sejak persoalan Pertamina, Bulog, BLBI, BPPN, PLN, IPTN, Garuda, Yayasan Kostrad, atau banyak BUMN lainnya. Banyak berita tentang kasus-kasus dugaan korupsi yang kemudian tidak ketahuan lagi buntutnya. Bahkan, banyak kasus yang sudah dijadikan penyelidikan oleh polisi dan kejaksaan (bahkan Kejaksaan Agung) yang kemudian di “peti-es”-kan. Entah, berapa pula kasus-kasus korupsi yang kemudian dibebaskan oleh pengadilan (termasuk oleh Mahkamah Agung). Banyak sekali kejadian yang menunjukkan gejala bahwa hukum telah dibikin permainan kotor atau “diperjual-belikan” antara pengacara, polisi, jaksa dan hakim. Mereka ini menyalahgunakan hukum sebagai alat kejahatan. Yang keterlaluan lagi adalah bahwa ada di antara mereka yang membungkus kejahatan mereka itu dengan ayat-ayat kitab suci. Entah, berapa banyak koruptor yang sembahyang (di mesjid atau gereja dan kuil) untuk memanjatkan doa supaya diselamatkan Tuhan dari pengejaran polisi (dan jaksa) atau putusan hakim.
Karena praktek korupsi sudah merajalela di kalangan “atas” sejak lama, maka wajarlah bahwa berbagai macam aksi telah dilancarkan oleh gerakan mahasiswa/pemuda, atau oleh berbagai Ornop (LSM dll), untuk menuntut kepada pemerintah dan DPR supaya diadakan langkah-langkah lebih kongkrit dan lebih tegas dalam membrantas korupsi. Tetapi, seperti yang sudah sama-sama kita saksikan, baik selama pemerintahan Suharto, Habibi, maupun pemerintahan Gus Dur-Megawati yang lalu, korupsi masih terus belum bisa dibabat. Sekarang ini (di bawah pemerintahan Megawati-Hamzah Haz), sudah mulai terdengar suara-suara yang menggambarkan pesimisme -yang makin lebih besar lagi! – tentang bisanya korupsi dibrantas. Lalu, kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan?

KOBARKAN PEMBRONTAKAN TERHADAP KORUPSI
Memang, berkat adanya desakan-desakan yang gencar dan terus-menerus dari banyak fihak dalam masyarakat, akhir-akhir ini pemerintah mengusulkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) kepada DPR untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, supervisi, dan koordinasi dengan instansi terkait, serta mencegah tindak pidana korupsi.
"Wewenang komisi akan diatur secara luas termasuk melakukan berbagai tindakan yang selama ini merupakan kewenangan pihak kepolisian dan kejaksaan, antara lain melakukan penyadapan dan perekaman atau merekam pembicaraan," kata Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dalam rapat paripurna di Gedung Nusantara V DPR/MPR Senayan Jakarta, tanggal 30 Agustus 2001.
Usul pemerintah tersebut di atas patut ditanggapi dengan kritis, dan dengan waspada oleh semua fihak. Sebab, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, pernyataan semacam itu bisa saja akhirnya hanya menjadi janji kosong belaka. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau seluruh kekuatan pro-reformasi tetap terus menggelorakan aksi-aksi - dalam berbagai bentuk dan cara – untuk menyerukan diperanginya korupsi secara besar-besaran. Seluruh kekuatan pro-reformasi perlu tetap menjadikan masalah korupsi sebagai salah satu tugas perjuangan. Sebab, perjuangan melawan korupsi merupakan aspirasi sebagian terbesar rakyat kita. Perjuangan melawan korupsi adalah juga perjuangan politik dan moral. Sebab, seperti yang sudah terbukti selama ini, korupsi kelas besar biasanya dilakukan oleh tokoh-tokoh yang “dekat” dengan Orde Baru.
Dengan makin dekatnya Pemilu tahun 2004, maka banyak partai politik atau golongan sudah mulai menyiapkan langkah-langkah untuk mencari dana gelap guna pembiayaan pemilu, di samping adanya beraneka-ragam tokoh yang menggunakan kesempatan itu untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak sah bagi kepentingan pribadi. Pengalaman penggunaan dana gelap oleh PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll dalam pemilu yang lalu pastilah akan terulang lagi, kalau tidak ada tindakan-tindakan pencegahan. Apa yang dilakukan oleh A. Baramuli, Rahadi Ramelan, Arifin Panigoro, Jusril Mahendra dan banyak tokoh lainnya, bisa akan terulang lagi, dalam bentuk dan cara lain, dan juga oleh orang-orang lain.
Agaknya, seluruh kekuatan pro-reformasi perlu membuang ilusi bahwa kalangan “atas” dewasa ini akan dengan dengan sungguh-sungguh bisa, mau, dan juga berani, berjuang sungguh-sungguh melawan korupsi. Sebab, justru banyak kalangan “atas” di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif itu sendirilah yang melakukan berbagai macam korupsi. Koruptor-koruptor kelas kakap di kalangan “atas” inilah yang telah membikin banyak kerusakan parah di bidang hukum dan peradilan. Perjuangan ekstra-parlementer (yang kuat) melawan korupsi adalah pendorong adanya perobahan-perobahan di kalangan pemerintahan.
Dari sudut yang lain, bisalah dikatakan bahwa perjuangan melawan korupsi adalah juga usaha pendidikan politik, hukum dan moral bagi banyak orang. Lewat perjuangan melawan korupsi ini seluruh kekuatan pro-reformasi bisa terus mengingatkan – dan memperingatkan !!! – supaya para tokoh kalangan “atas” memperhatikan kepentingan publik, dan supaya menghentikan praktek-praktek mereka yang menyakitkan hati rakyat banyak. Dengan melancarkan perjuangan melawan korupsi ini, maka bisa ditanamkan rasa benci terhadap kebathilan dan keharaman yang sudah merusak akhlak begitu banyak “tokoh”. Kebencian, kemarahan, pembrontakan dan kedendaman terhadap korupsi adalah sesuatu yang baik, yang sah, yang benar, dan luhur. Dikobarkannya pembrontakan – dalam berbagai cara dan bentuk - terhadap korupsi adalah sumbangan penting bagi pendidikan politik dan akhlak.
Oleh karena itu, perlulah kiranya bagi seluruh kekuatan pro-reformasi untuk bekerjasama dengan semua gerakan ekstra-parlementer (ornop atau civil society yang beraneka-ragam) dalam menggalakkan aksi-aksi menentang korupsi. Apa yang telah dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, Gerak, Gempita dan lain-lain (ma’af bagi organisasi yang tidak disebutkan di sini), perlu diperbanyak lagi oleh berdirinya lain-lain organisasi serupa dan searah. Mengingat pentingnya masalah korupsi bagi perbaikan kehidupan moral bangsa, maka sudah sepantasnyalah bahwa banyak universitas, lembaga-lembaga riset, pesantren dan lain-lainnya, juga mengadakan langkah-langkah dalam mengobarkan perjuangan melawan korupsi ini.
Memang, banyak bidang penting dan mendesak yang secara urgen harus dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini sebagai akibat krisis multi-dimensional yang diwariskan Orde Baru. Dan, salah satu di antara bidang yang urgen itu adalah masalah pembrantasan korupsi. Sebab, korupsi adalah penyakit kangker ganas, yang selama ini sudah menyerang otak dan hati bangsa kita. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri).

Paris, menjelang musim gugur, 2 September 2001

Pemberantasan Korupsi Bergantung pada Presiden

Oleh Prof. Dr. ROMLI ATMASASMITA
Pengantar Redaksi:
Kamis (7/10) lalu Pikiran Rakyat berkerjasama dengan Humas Universitas Padjajaran menggelar diskusi terbatas mengenai figur dan kemampuan presiden terpilih dalam menghadapi tantangan ke depan. Diskusi mengurai tiga sudut pandang yakni mengenai hukum, pertahanan dan keamanan serta ekonomi. Berikut salah satu makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas itu. Semoga bermanfaat.
PERJUANGAN dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sudah mencapai lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan republik ini diproklamasikan oleh para tokoh pendiri bangsa, Soekarno dan Hatta. Perjuangan dalam memberantas korupsi tidaklah mengenal orde, dimulai sejak tahun 1950-an dan sudah melalui empat kali perubahan peraturan perundang-undangan yang dibentuk khusus untuk pemberantasan korupsi.
Analisis ahli hukum dan ahli ekonomi di satu sisi serta ahli sosiologi dan budaya, di sisi lain berbeda pandangan tentang korupsi. Perbedaan ini bersifat mendasar sehingga tidak mudah me-nentukan langkah awal yang diakui efektif dalam pemberantasan korupsi. Perubahan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum penegakan hukum terbukti tidak dapat dijadikan tolok ukur keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pola pandang yang berbeda antara pembentuk UU dan aparatur penegak hukum dan pemerintah memberikan dampak yang tidak kecil pada pemberantasan korupsi. Pembentuk UU memandang korupsi merupakan masalah serius dan luar biasa (extraordinary) serta memerlukan cara penanganan yang bersifat luar biasa (masalah).
Sedangkan aparatur penegak hukum dan sebagian elite politik dan pemerintah memandang korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sebagai satu kasus (kasuistik). Cara pandang kasuistik terhadap pemberantasan korupsi dan bersifat sempit inilah justru merupakan kendala serius dan bukan merupakan solusi efektif dalam pemberantasan korupsi.
Perbedaan cara pandang itu bukan tidak memiliki implikasi yang luas karena kebijakan politik pemerintah dalam pemberantasan korupsi pascareformasi justru lebih mengutamakan pola solusi yang bersifat ”win-win” dari pada solusi yang bersifat ”win-lose”. Hal ini memperlihatkan inkonsistensi dalam praktik penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut tampak nyata dalam menyelesaikan kasus-kasus BLBI, dan beberapa kasus korupsi lainnya.
Pola win-win solution tersebut semakin menguat dan memiliki nuansa negatif setelah dalam penanganan kasus korupsi sering berjalan sangat lamban dalam kaitan hubungan kerja penyidik kepolisian dan pihak kejaksaan (lihat kasus Adrian Waworuntu) yang memakan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan, dan terkadang sering diakhiri dengan dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Keadaan ini bertambah parah ketika perkara korupsi sampai pada pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung RI di mana hakim majelis yang memeriksa kurang menguasai seluk beluk hukum pidana dan kurang berpengalaman menangani perkara korupsi sehingga sering terjadi putusan MA membebaskan tersangka korupsi dari hukuman.
Dari berbagai peristiwa penanganan kasus korupsi selama hampir kurang lebih 30 tahun— sekalipun secara kuantitatif Kejaksaan Agung telah berhasil menyelesaikan kasus-kasus korupsi kasus korupsi besar dan menarik perhatian masyarakat sering terjadi proses penanganan yang mencerminkan belum adanya persamaan di muka hukum dan keadilan di antara para pencari keadilan. Apalagi kasus korupsi tersebut sudah dicampuri oleh politikus dan dinuansakan mengandung aspek politik.
Di sinilah keteguhan seorang presiden sangat menentukan dalam mendukung kinerja Jaksa Agung untuk benar dan serius menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan menarik perhatian masyarakat luas. Banyak contoh penanganan kasus korupsi besar terhenti atau tersendat-sendat setelah memperoleh petunjuk presiden.
Keraguan pemerintah dalam menghadapi kasus korupsi dengan pola solusi di atas, terbukti secara politis telah melemahkan posisi pemerintah di hadapan publiknya termasuk luar negeri. Keadaan tersebut tidak terlepas dari perkembangan kebijakan pemerintah secara menyeluruh di bidang makro ekonomi sejak pembukaan masuknya modal asing ke Indonesia (1967) sampai dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998 yang lampau.
Pandangan neoliberalisme yang bertujuan mereduksi sejauh mungkin peranan pemerintah/negara dalam perkembangan kehidupan ekonomi nasional dan menguasai pemikir-pemikir ekonomi nasional sampai saat ini justru secara tidak langsung berdampak kontraproduktif terhadap upaya pengawasan pengelolaan harta kekayaan negara, dan pencegahan serta pemberantasan korupsi. Kebijakan pemberantasan korupsi dalam kerangka kebijakan makro ekonomi nasional yang berpaham neoliberalisme telah melahirkan konstraksi-konstraksi negatif bagi perjuangan memberantas korupsi di Indonesia.
Peranan Jaksa Agung sangat menentukan dan bersifat strategis. Peranan tersebut hanya dapat berfungsi optimal dalam mengembalikan kerugian keuangan negara jika dilepaskan dari pengaruh pemerintah (eksekutif) yang justru menjadi pembuat kebijakan ekonomi makro nasional.
Tiga pilar pembaruan ekonomi dan perdagangan nasional yang tengah dijalankan pemerintah Indonesia, yaitu liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi, dalam pemulihan ekonomi nasional memerlukan dukungan disiplin penyelenggara negara, yang diperkuat oleh penegakan hukum yang konsisten dan jelas sebagai pagar pengaman yang (seharusnya) dapat diandalkan.
Disiplin, dimaksudkan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah harus dilandaskan secara ketat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ekonomi dan keuangan. Selain itu bisa mengurangi munculnya kebijakan-kebijakan (freies ermessen) yang bersifat kontraproduktif dari para menteri yang bertanggung jawab di bidang ekonomi dan keuangan. Penegakan hukum dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat dalam negeri dan investor asing dalam memeriksa dan mengadili pelanggaran hukum ketika melaksanakan ketiga kebijakan tersebut di atas.
Keputusan-keputusan pemerintah yang bersifat sesaat dalam manajemen pengelolaan harta kekayaan negara tanpa memedulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan konstitusi 1945 harus dihentikan. Hal ini merupakan ”bom waktu” untuk pemerintahan yang akan datang, serta menyisakan masalah yang belum dapat diselesaikan tepat waktu dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Pergantian rezim pemerintahan dari Megawati kepada SBY jika tidak diikuti kebijakan penegakan hukum yang direncanakan dengan hati-hati dan berjangka panjang akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintahan SBY. Bahkan akan mengganggu upaya pemulihan dan stabilitasi baik di bidang keamanan, ekonomi, sosial dan politik, termasuk kebijakan penegakan hukum di bidang HAM yang masih terus dipantau oleh masyarakat internasional.
Kebijakan penegakan hukum selama dua masa pemerintahan pascareformasi sering bergantung kepada manajemen perintah (management by order)—khususnya dalam pemberantasan korupsi dan lebih banyak didasarkan atas kebijakan sesaat. Hal ini terkesan seperti ”pemadam kebakaran” sehingga tidak tampak arah kebijakan yang hendak dicapai dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Dalam kaitan ini, sudah saatnya digunakan manajemen sistem (management by system) dengan mengurangi tolok ukur kuantitatif sebagai ukuran keberhasilan penegakan hukum, khususnya terhadap korupsi. Selanjutnya secara bertahap digantikan dengan tolok ukur kualitatif yang lebih menekankan kepada kualitas dan efisiensi penegakan hukum daripada efektivitas.
Tolok ukur efisiensi lebih mengandung harapan akan proses penegakan hukum yang objektif dan sarat dengan keseimbangan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dan korban kejahatan (perseorangan atau negara). Tuntutan masyarakat selama ini jauh dari memelihara keseimbangan kepentingan perlindungan hukum dan sering berdampak buruk terhadap prinsip due process of law karena sesungguhnya UUD 1945 tetap memberikan perlindungan hukum dan perlakuan yang sama terhadap siapa pun sekalipun dalam status tersangka atau terdakwa.
Dalam kaitan ini masalah politisasi kasus-kasus korupsi yang sering terjadi patut dihentikan bahkan tidak dapat dibenarkan, baik secara moral maupun hukum. Cara seperti itu justru tidak memberikan pendidikan politik dan pendidikan hukum yang benar kepada masyarakat dalam hal mencari dan memperoleh kepastian hukum dan keadilan. Oleh karena itu, ”kesantunan” dalam proses penegakan hukum sesungguhnya adalah budaya hukum Indonesia yang telah lama kita abaikan. Kesantunan bukan berarti kelemahan atau pengampunan, melainkan semua itu harus dijalankan sesuai dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, bukan sekadar menjadi ”alat pemuas” dahaga masyarakat semata-mata.
Strategi besar penegakan hukum dalam menghadapi pemberantasan korupsi, terorisme, dan pelanggaran hak asasi manusia merupakan tiga masalah krusial lima tahun ke depan. Ini harus dilakukan 䳥cara komprehensif, konsisten dan berkesinambungan dengan landasan visi dan misi yang jelas, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Strategi besar penegakan hukum pertama harus dititikberatkan kepada aspek koordinasi penegakan hukum yang dipantau secara intensif (bukan diintervensi) oleh presiden selaku kepala pemerintahan karena selama lima masa pemerintahan. Aspek ini merupakan titik kelemahan yang sangat serius dan ikut menjadi faktor ketidakberhasilan penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu, aspek pemahaman atas ketentuan perundang-undangan antara aparatur penegak hukum masih sering menjadi kendala serius dalam koordinasi dan penyelesaian ketiga masalah krusial itu. Aspek ketiga adalah penegakan disiplin aparatur penegak hukum, yang hanya dapat dijalankan jika perilaku atasan masing-masing penegak hukum dapat dijadikan contoh dan teladan bawahannya. Kontrol atasan tidak boleh lengah sedikit pun terhadap kinerja bawahannya.
Aspek keempat, proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus tersebut harus dijalankan secara serius, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dengan juga meningkatkan dan memberdayakan peranan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang sangat powerfull dalam sistem peradilan di Indonesia saat ini.
Dengan memegang teguh asas-asas tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum harus mencerminkan demokratisasi dengan mempertimbangkan pembatasan-pembatasan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah letak pentingnya memelihara keseimbangan hak dan kewajiban setiap penyelenggara negara, termasuk aparatur penegak hukum di satu sisi, dan masyarakat sebagai stakeholder di sisi lain.
Dalam hubungan internasional, strategi penegakan hukum selain meningkatkan kerja sama teknis dengan negara lain, juga harus mendayagunakan hukum nasional untuk dapat menjangkau tersangka/terdakwa yang buron ke luar negeri. Dalam kaitan inilah kiranya koordinasi Kejaksaan Agung, Polri, dan Departemen Luar Negeri serta Departemen Kehakiman sangat menentukan keberhasilan penerapan yurisdiksi hukum pidana yang bersifat ekstrateritorial.
Aspek penegakan hukum ke luar batas teritorial kini menjadi sangat penting dan relevan, terutama setelah pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi Transnasional Terorganisasi 2000 dan Konvensi Menentang Korupsi 2003. Fokus kerja sama internasional itu khusus dalam kasus korupsi, pencucian uang, perdagangan orang khusus wanita dan anak-anak, penyelundupan migran dan penyelundupan senjata api.
Begitu pula kerja sama internasional dalam penanganan kasus-kasus terorisme. Dalam kaitan ini, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan perluasan perjanjian bilateral dengan negara lain baik dalam mutual assistance in criminal matters, ekstradisi, transfer of sentenced persons, dan joint investigation.
Strategi besar penegakan hukum lima tahun ke depan seharusnya meliputi aspek nasional (dalam negeri) dan aspek internasional. Dengan demikian, ke mana pun buron tindak pidana melarikan diri dan ke mana pun aset hasil kejahatan dibawa tetap masih dapat terdeteksi dan diatasi secara komprehensif.
Kelemahan penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi, perbankan dan perpajakan yang telah dilaksanakan selama ini adalah keterlambatan mengantisipasi berbagai kemungkinan modus operandi tersangka/terdakwa yang melarikan diri ke luar negeri dan menyembunyikan aset-set hasil kejahatannya.
Dengan kata lain, aparatur penegak hukum sering terlambat melaksanakan perintah undang-undang untuk melaksanakan pencekalan, disusul dengan pemblokiran rekening tersangka/terdakwa, dan diikuti dengan perintah penyitaan oleh pengadilan, sehingga mengakibatkan baik pelakunyamaupun asetnya sulit dapat dijangkau dengan hukum nasional.
Strategi penegakan hukum yang bersifat ekstrateritorial harus mengedepankan tiga pendekatan (three pronged approach), yaitu pencekalan, pemblokiran dan penyitaan, ditambah dengan memperkuat kerja sama hukum bilateral atau multilateral dengan negara lain. Di sinilah peranan kerja sama dan koordinasi keempat instansi (kepolisian, kejaksaan, departemen kehakiman, dan departemen luar negeri) sangat penting dan menentukan keberhasilan kedua aspek strategi penegakan hukum. Namun ada satu syarat yakni hilangkan arogansi sektoral di antara keempat instansi terkait.
Akhirnya, keberhasilan maksimal dari seluruh strategi besar penegakan hukum di Indonesia terletak kepada komitmen kuat dan kemauan politik Presiden RI selaku kepala pemerintahan yang membawahi Jaksa Agung dan Kapolri dalam pemberantasan korupsi. Dukungan seluruh jajaran Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI untuk menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab beserta hak-hak dan wewenang yang dimilikinya untuk melaksanakan kebijakan politik yang benar dalam penegakan hukum. Pemahaman yang sama antara ketiga peranan tersebut merupakan kunci keberhasilan penegakan hukum di Indonesia yang sudah sekian lama tidak pernah tercapai secara maksimal.***
Penulis Ketua Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004).

Artikel-Makalah : Gerakan Antikorupsi, Sebuah Perang Sunyi di Belantara Curiga Perang melawan korupsi selalu vis a vis dengan fitnah, kecurigaan, dan serangan balik.

Ibarat dua sisi mata uang, aksi pemberantasan korupsi kadang berada pada sisi atas, namun bisa saja fitnah, tebaran curiga, dan aneka modus serangan balik yang berada di sisi atas mata uang itu.
Serangan balik dilancarkan bila upaya pemberantasan korupsi mulai mengusik kepentingannya, orang-orangnya, dan/atau kelompoknya.
Serangan balik tak cuma mengarah ke lembaga KPK, tetapi juga menyerang personal secara irasional.
Rumor dan fitnah kerap ditebar untuk membangun tembok kecurigaan publik.
Bahkan, kecurigaan bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan pesanan politik pemerintahan terhadap lawan-lawan politiknya, kerap dikembangkan dalam wacana-wacana publik.
Modus serangan balik pun dibungkus rapi dengan penilaian akan adanya pelanggaran prosedur hukum dan pelemahan sistematis yang perlahan terhadap institusi pemberantas korupsi.
Pengalaman itu rasanya telah banyak dialami selama hampir dua tahun berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pun waktu-waktu sebelumnya saat berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memimpikan Indonesia yang bersih, dan waktu pula telah mengajarkan bahwa hanya segelintir orang saja yang bermimpi Indonesia bebas korupsi.
Aksi-aksi penindakan yang dilakukan KPK seharusnya hanya menjadi cambuk atau pelecut untuk perbaikan sistem birokrasi di Indonesia. Namun faktanya, semua hanya menjadi penonton adegan demi adegan pemberantasan korupsi semua itu apakah Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tetap diam terpaku, meski satu per satu fakta dipertontonkan.
Tidak ada satu pihak pun yang mencoba memanfaatkan momentum untuk perbaikan sistem.
Akibatnya, aksi-aksi pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun masih berkutat pada masalah yang sama.
Semua mungkin masih ingat apa yang dilakukan Sugiarto, Ketua Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967.
Ketika itu tim pemberantasan korupsi sudah menangkap seorang pejabat Polri, mengobrak-abrik Dolog, Pertamina, maupun Departemen Agama. Namun 37 tahun kemudian, pemandangan tetap sama. Kasus menjadi salah satu bukti bahwa minyak, gula, dan beras masih menjadi komoditi yang dikorupsi.
Lembaga-lembaga negara dan BUMN masih jadi ladang korupsi.
Artinya, 37 tahun kemudian, Indonesia masih tetap berjalan di tempat, karena aksi penindakan yang bisa saja radikal ternyata tak membawa perubahan.
Kuncinya satu, momentum penindakan tak segera diikuti dengan perbaikan sistem yang bisa mencegah praktik-praktik korup.
Berbagai usulan untuk perbaikan sistem masih ditanggapi dengan dingin, baik oleh Eksekutif maupun Legislatif, dan Yudikatif
Pemetaan gerakan antikorupsi belum juga kunjung dirampungkan, begitu pula dengan satuan tugas yang bertugas mereformasi birokrasi tetap hanya sebuah janji yang tak ditindaklanjuti.
Fakta-fakta ini menjadi bukti kecil bahwa tak banyak orang sadar Indonesia dalam kondisi darurat korupsi.
Tak banyak orang mau mengakui Indonesia sedang sakit. Aneka terobosan untuk mengobati Indonesia kerapkali dicibir sebagai upaya mengada-ada belaka.
Pengalaman dua tahun ini telah memberi pelajaran banyak bagi gerakan antikorupsi, salah satu di anataranya ternyata masih sedikit orang yang ingin melihat Indonesia bersih.
Kesunyian dan kesendirian masih menemani niat baik melawan korupsi.
Tak banyak teman, tak banyak kapital, dan tak banyak dukungan yang menemani gerakan melawan soliditas kekuatan para koruptor ini. Serangan-serangan balik mengajarkan bahwa gerakan antikorupsi masih belum masif.
Kelompok-kelompok antikorupsi masih merupakan kelompok kecil yang berjalan sendirian.
Kesunyian "perang" masih menemani upaya melawan gegap gempitanya lawan yang punya segudang kapital, segunung dukungan politik dan kekuatan, serta segerombolan kawan.
Soliditas kekuatan koruptor jauh lebih rekat dan besar dibandingkan soliditas antikorupsi yang sungguh sangat rentan diobrak-abrik.
Fakta-fakta di atas adalah realitas yang harus diterima sebagai konsekuensi logis sebuah pilihan.
Realitas bahwa pemberantasan korupsi masih setengah hati, masih sebatas setengah niat adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri.
Semua bersorak saat koruptor yang ditangkap adalah lawan politiknya, orang lain yang tak dikenal dekat, namun sikap ambigu muncul saat teman, sahabat, saudara, atau anggota separtai dikatakan koruptor. Ramai-ramai teriakan menghujat dilancarkan untuk menyerang aksi pemberantasan korupsi.
Teriakan antikorupsi ternyata masih sebatas slogan-slogan yang beterbangan di ruang-ruang kosong.
Lontaran sporadis para pejabat negara menjadi bukti belum adanya kesadaran yang sama akan kondisi Indonesia yang sakit.
Teriakan bahwa korupsi telah memiskinkan rakyat memang menggema kencang di satu sisi, namun saat aksi pemberantasan korupsi mengobrak-abrik lembaga mereka, menyeret teman atau sahabat mereka, teriakan menghujat jauh lebih riuh menggema.
Di samping itu semua, kerumitan praktik korupsi menjadi problem tersendiri.
Kerumitan tersebut menjadi sebuah komplikasi yang nyata karena upaya pengungkapan praktik korupsi belum didukung oleh tiga UU yang dipersyaratkan seharusnya ada, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kebebasan Mmperoleh Informasi Publik, dan UU Pembuktian Terbalik.
Padahal dengan adanya ketiga UU itu ditambah cara berpikir progresif dengan strategi aktif menjemput bola, maka upaya-upaya mencari alat bukti untuk mengungkap praktik korupsi bisa lebih cepat dan lengkap. Negara dalam darurat korupsi haruslah menjadi pemahaman bersama sehingga terobosan-terobosan agresif tidak membuat masing-masing kita terkejut-kejut dan berteriak menghujat.
Belum lagi, soal lain, sekelompok orang yang sebenarnya memiliki niat yang sama atas dasar integritas individual yang baik, namun karena masing-masing berada di lembaga berbeda, muncullah semacam kecemburuan kelembagaan, atau lebih celaka lagi merasa ’saya paling bersih’, dan ’mereka memiliki masa lalu yang suram’.
Tidak ada satu pun manusia yang bersih, termasuk kita. Sungguh sebuah kesia-siaan yang mengganggu akal sehat.
"Perang" melawan korupsi memang tak cuma butuh niat baik belaka yang dikemas dalam slogan-slogan kosong di ruang-ruang hampa udara.
Perlu agresivitas luar biasa dan keberanian besar untuk mewujudkannya dalam aksi-aksi nyata memberantas korupsi.
Dan catatan yang perlu selalu diingat, korupsi bukanlah budaya, korupsi bisa terjadi karena sistem yang dibangun tidak benar dan sikap permisif yang masif terhadap praktik-praktik korupsi yang terakumulasi selama bertahun-tahun.

Refleksi Subyektif dari Erry Riyana Hardjapamekas
(Yang Disepahami oleh Pimpinan KPK)

Wajah pemberantasan korupsi di Indonesia

Korupsi adalah salah satu musibah nasional yang melanda bangsa Indonesia selama puluhan tahun sehinga pemberantasannya tidak bisa seperti membalik telapak tangan. Korupsi juga tidak bisa ditangani oleh pemerintah dan KPK sendiri, tetapi harus dalam bentuk kerja bakti di antara eksekutif, legislatif, yudikatif, pers, perguruan tinggi, NGO, LSM dan individu anggota masyarakat

Wajah Korupsi di Indonesia

Ada yang merasa heran, mengapa korupsi sukar diberantas di Indonesia. Ada pula yang heran, mengapa orang berteriak-teriak memberantas korupsi, tetapi ketika orang itu menjadi pejabat, lebih agresif dalam mengkorup. Orang lebih heran lagi ketika menyaksikan, lembaga yang ditugaskan untuk menyelamatkan keuangan negara dari salah urus, malah mereka sendiri yang memakan uang negara tersebut.


Salah satu sebab dari semua penomena tersebut adalah hampir semua orang tidak mengetahui secara menyeluruh, bagaimana wajah korupsi di Indonesia. Disebabkan ketidak-tahuan itulah, segala program pemberantasan korupsi seperti berjalan di tempat


Bagaimana buruknya wajah korupsi di Indonesia, dapat dilihat dari keterlibatan seluruh institusi kenegaraan dan kemasyarakatan dalam korupsi. Mulai dari lurah sampai dengan presiden, dari sopir kantor sampai dengan boss kantor. Mulai dari rakyat biasa sampai dengan ulama yang mungkin mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan, terkategori sebagai korupsi. Beberapa contoh berikut dapat menggambarkan wajah korupsi di Indonesia:


a. Wakil Presiden Yusuf Kalla melakukan kunjungan kerja ke daerah diikuti dengan pertemuan dengan pengurus Golkar setempat. Ini juga adalah salah satu bentuk korupsi karena penyalah-gunaan jabatan dan kekuasaan

b. Salah seorang pejabat di Dirjen Pajak memaksa anak buahnya untuk membebaskan salah seorang wajib pajak karena telah terbiasa menerima uang sogok dari wajib pajak [1]

c. ”Berapa anda bisa mengurus fiskal,” tanya seorang calon penumpang di bandara Soekarno Hatta. ”Rp.800.000,” jawab yang ditanya. ”Akh, bulan lalu saya cuma bayar Rp. 700.000,” tawar perempuan bermata sipit tersebut. ”Tunggu sebentar,” jawab sang calo sambil masuk ke dalam salah satu rungan petugas imigrasi

d. Salah satu SD di daerah Kemanggisan, Slipi setiap liburan atau kenaikan kelas selalu ramai. Ramai karena para guru akan mendapat pelbagai ”hadiah” dari orang tua murid agar nilai raport anak-anaknya bagus

e. Untuk menjadi KUA di Jakarta Selatan, seorang calon harus menyetor sejumlah uang tertentu kepada atasan karena penduduk Jakarta Selatan pada umumnya orang-orang kaya. Apa hubungannya.? Amplop yang diterima KUA waktu menikahkan orang selalu tebal-tebal dibanding dengan di daerah-daerah lain di ibu kota

f. Polisi patroli jalan raya di Pekanbaru selalu berusaha mendapat tugas mengawasi jalur Pekanbaru Medan karena route itu terkenal basah

g. JPU yang menuntut Farid Faqih (Pimpinan GOWA), sehari sebelum pembacaan tuntutan, meminta uang Rp. 75 juta jika saudara Farid ingin tuntutannya ringan. Untung saja saudara Farid menolak permintaan tersebut

h. Sopir perusahaan, kalau ke bandara untuk menjemput boss atau tamu perusahaan, tidak melalui jalur tol. Sewaktu menunggu di bandara, mereka mengumpulkan tiket tol dari supir taxi dengan imbalan Rp. 500,- per satu tiket untuk kemudian diklaim dari perusahaannya

i. Seorang mahasiswa di Surabaya, ketika mengambil nilai ujian di rumah dosennya, menyerahkan amplop dengan sejumlah uang. Semula dosen tersebut menolak, tapi akhirnya menerima juga uang tanda terima kasih itu


Dari 9 contoh di atas, dapat kita fahami bagaimana buruknya wajah masyarakat Indonesia, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, tenaga pengajar, murid sekolah, mahasiswa, sopir perusahaan maupun ulama. Bagaimana cara memberantas korupsi yang sudah menyatu dengan prilaku masyarakat tersebut.?


Mengenali Jenis-Jenis Korupsi


Salah satu sebab mengapa korupsi sukar diberantas karena baik pemerintah maupun anggota masyarakat kurang memahami dan mengenali secara baik, jenis-jenis korupsi dan kiat dari para pelakunya. Berikut ini beberapa jenis korupsi yang sering terjadi dalam masyarakat dan birokrasi:


a. Suap

b. Hadiah

c. Pemerasan

d. Pungli

e. Mark Up

f. Transaksi rahasia

g. Hibah (yang tidak sesuai dengan syar’i)

h. Penggelapan

i. Menghianati amanah

j. Melanggar sumpah jabatan

k. Kolusi

l. Nepotisme

m. Penyalah-gunaan jabatan dan fasilitas negara


Motif Korupsi dan Pemberantasannya


Dilihat dari motif terjadinya, korupsi dapat dibagi kepada:


a. Korupsi karena kebutuhan

b. Korupsi karena ada peluang

c. Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri

d. Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah

e. Korupsi karena ingin menguasai suatu negara


Setelah memandang wajah korupsi di Indonesia dan mengetahui jenis dan motiv terjadinya, maka bagaimana seharusnya program, metode dan kiat dalam memberatas korupsi tersebut.? Berikut ini disampaikan secara garis besar beberapa upaya pemberantasan korupsi:


1. Pencegahan Korupsi


Pencegahan adalah proses yang selain melahirkan tingkat kesadaran setiap individu untuk tidak melakukan perbuatan tercela, dalam hal ini perbuatan tipikor, juga pada waktu yang sama, menyelamatkan uang dan aset negara dalam rangka mencapai tujuan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, berikut ini disebutkan beberapa pola pencegahan korupsi:


1.1 Sistem yang mencegah terjadinya korupsi:

1.1.1 Birokrasi yang tidak birokratis

1.1.2 Management otomasi

1.1.3 Reward and punishmen

1.1.4 Kesejahteraan pegawai yang cukup

1.1.5 SDM dan integritas pribadi yang unggul


1.2 Keteladan Pemimpin

1.2.1 Pemimpin yang bersih dari segala bentuk KKN

1.2.2 Pemimpin yang memiliki sense of crisis
1.2.3 Pemimpin yang komunikatif


1.3 Peran serta masyarakat yang pro aktif

1.3.1 Mengsosialisasikan usaha pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk ceramah, seminar, diskusi, penulisan oleh LSM, NGO, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, media massa maupun individu anggota masyarakat

1.3.2 Melaporkan setiap pejabat yang diduga KKN kepada instansi penegak hukum, khususnya KPK

1.3.3 Memboikot dengan cara tidak mengkonsumsi produk dari perusahaan yang diketahui sebagai agen koruptor atau suka menyuap pejabat

1.3.4 Tidak memilih anggota legislatif, gubernur, bupati dan walikota yang tidak bersih dari unsur KKN

1.3.5 Melakukan proses aleanasi terhadap koruptor, baik di bidang ekonomi maupun sosial budaya


2. Penindakan Korupsi


Sebaik apa pun konsep dan undang-undang jika tidak ada proses penindakan sebagai upaya supremasi hukum, maka sia-sialah semua konsep dan undang-undang yang bagus tersebut. Oleh karena itu, setiap proses penindakan khususnya di bidang korupsi harus dengan strategi yang jitu, antara lain:


2.1 Hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor harus mengandung:

2.1.1 Unsur jera

2.1.2 Unsur tarbiyah

2.2 Proses penindakan harus bisa mengembalikan uang negara yang dikorup

2.3 Proses penindakan harus menggunakan skala prioritas, yaitu dimulai dengan instansi penegak hukum, lembaga pelayanan publik, pejabat tinggi negara dan elit politik

2.4 Semua pihak yang terlibat dalam proses penindakan (penyidik, JPU dan hakim) haruslah terbebas dari segala bentuk campur tangan pihak manapun

2.5 Penyidik dan penuntut harus memiliki komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi serta dilengkapi dengan peralatan canggih dalam proses penyelidikan dan penyidikan

2.6 Anggota masyarakat harus mendukung proses supremasi hukum di mana mereka tidak boleh kebakaran jenggot jika ada anggota keluarga, orang sekampung, separtai, sealmamater atau sahabat karib yang dijatuhi hukuman


Peluang dan kendala KPK


Peluang untuk memberantas korupsi belakangan ini cukup menggembirakan, antara lain:


1. Semangat reformasi melahirkan kesadaran anggota masyarakat, lebih-lebih media masa, LSM dan NGO dalam melakukan kritik dan pemantaun secara terbuka atas kinerja penyelenggaraan negara, baik kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Semangat ini setidaknya mempengaruhi keserakahan pejabat yang ingin bebas korupsi sesuka hati

2. Lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan akibat gerakan yang bersifat trigger dari KPK sudah mulai ”berani” menindak pejabat tinggi dan elit politik

3. Adanya Timtas Tipikor yang berperan sebagai mediator dalam menyatukan penyidik dan penuntut di bawah satu atas sehingga membantu percepatan penyelesaian kasus korupsi yang selama ini terkendala karena proses ”bolak balik” berkas perkara di antara polisi dan jaksa

4. KPK sebagai ”super body” pemberantas korupsi diharapkan bisa mendorong laju pemberantasan korupsi di Indonesia dengan catatan, kendala-kendala yang ada bisa diatasi secara bersama oleh semua pihak. Kendala-kendala yang dihadapi KPK, khususnya di bidang hukum antara lain:


4.1 KPK dibenarkan untuk memeriksa rekening bank seseorang jika orang tersebut telah berstatus ”tersangka” Berarti sebelum membuka rekening bank orang tersebut, penyidik sudah harus mempunyai alat bukti yang kuat, sementara salah satu sumber yang strategis untuk bisa dilacak, apakah seseorang ada potensi melakukan korupsi atau tidak, justru melalui rekening banknya. Padahal dalam undang-undang No.30/2002, KPK tidak dibenarkan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) sehingga jika seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik harus yakin 99 % bahwa tersangka tersebut akan dijatuhi hukuman oleh majelis hakim

4.2 Koruptor dewasa ini sangat canggih sehingga kalau mereka merasa sudah dicurigai oleh instansi penegak hukum, secepat kilat mereka akan menghilangkan jejak. Dalam konteks ini, KPK dibenarkan untuk menyita dokumen atau asset tersangka yang terkait dengan dugaan korupsi, tetapi proses penggeledahan harus seijin Pengadilan Negeri. Jika ijin dari PN dikeluarkan lewat dari sehari saja, pasti tersangka koruptor sudah menghilangkan berkas atau bukti-bukti dokumen yang akan menjerat dirinya

4.3 KPK diperintahkan oleh undang-undang untuk memberi perlindungan hukum kepada saksi pelapor, tetapi sampai saat ini belum ada undang-undang perlindungan saksi sehingga dengan alasan pencemaran nama baik, seorang saksi dapat disomasi atau ditahan oleh pejabat terkait. Atas permintaan KPK, Kapolri telah mengeluarkan surat edaran kepada para Kapolda agar tuduhan atau somasi terhadap saksi pelapor kasus korupsi tidak diproses sampai masalah pokok diselesaikan. Namun, tetap saja para pelapor di tingkat kabupaten mengalami intimidasi dan perlakuan tidak menyenangkan dari aparat atau konco-konco koruptor di daerah terkait. Keadaan ini tentu mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat yang mau terlibat secara langsung dalam pelaporan kasus dugaan korupsi

4.4 Sebagai lembaga pemberantas korupsi, sesuai dengan namanya, maka pegawai KPK yang terlibat langsung dalam proses ini adalah penyidik. Namun, sesuai dengan KUHAP, penyidik harus berasal dari kepolisian atau kejaksaan, sehingga dengan sendirinya KPK mengalami kendala dalam memperoleh penyidik, yang selain masalah jumlah juga harus berkualitas sesuai dengan kriteria KPK sendiri. Tentunya KPK bisa secara leluasa melakukan rekrutmen sendiri untuk mendapatkan penyidik sesuai dengan yang diperlukan jika ketentuan KUHAP tersebut sudah dirubah. Atau majelis hakim tipikor berani mengambil resiko dengan mentolerir terobosan yang dilakukan oleh KPK dalam hal rekrutmen penyidik


ITB dan Pemberantasan Korupsi


Selain sebagai salah satu perguruan tinggi tersohor di Indonesia, ITB juga merupakan salah satu ”markas perang” gerakan mahasiswa Indonesia, khususnya dalam mengoreksi jalannya roda pemerintahan orde baru. Oleh karena itu, Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB perlu segera turun gunung untuk bersama dengan elemen masyarakat lainnya dalam menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kehancurannya karena penyakit korupsi yang sudah sangat kronis. Beberapa langkah bisa ditempuh, antaranya:


1. Memberi advokasi kepada masyarakat umum tentang hak dan kewajiban mereka sebagai seorang warga negara, khususnya di bidang hukum dan hak-hak sipil sehingga mereka bisa mengatakan ”tidak” kepada pejabat publik yang memeras mereka

2. Membantu KPK dengan cara mengsosialisasikan fungsi dan peran KPK dari pendekatan edukatif sehingga masyarakat tidak cenderung frustrasi menyaksikan pelbagai pelanggaran hukum di sekitarnya yang tidak berbanding lurus dengan usaha penegakkan hukum itu sendiri

3. Mengontrol pemerintah daerah dan DPRD agar tidak lahir Perda, yang selain bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, juga lebih berfungsi melahirkan korupsi legal yang pada gilirannya menyengsarakan rakyat kecil

4. Melahirkan cendekiawan yang lebih berorientasi kepada rakyat kecil, bukan berorientasi kepada ”tarif” yang ditawarkan seorang klien. Dalam konteks ini, mahasiswa harus memulai dari diri sendiri, antara lain dengan cara:

4.1 Jangan menyogok atau memberi ”hadiah” kepada dosen untuk lulus atau mendapat nilai yang baik

4.2 Jangan berkonspirasi dengan mahasiswa dan dosen yang ”bermasalah” dalam melakukan suatu gerakan

4.3 Senantiasa mengawasi penyelenggaraan kehidupan kampus yang dikelola oleh civitas akademika dengan cara berpartisipati secara korektif

4.4 Selalu mempertanyakan darimana sumber uang atau barang, baik yang diberikan oleh kawan maupun oleh orang tua dan saudara

BURUH DI INDONESIA: DILEMAHKAN DAN DITINDAS

Membicarakan perlindungan terhadap buruh haruslah bermula dari pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara buruh-majikan. Dalam hubungan buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan kesejatian akibat tidak seimbangnya kekuasaan ekonomi (yang pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan politik) yang melekat pada buruh dan pada majikan. “Sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.”[1] Atau yang dalam hubungan-hubungan pribadi disebut sebagai kelemahan struktural.[2] Secara sederhana ketidakseimbangan hubungan buruh-majikan ini dapat diilustrasikan dengan pengalaman setiap orang saat melamar pekerjaan. Orang yang melamar pekerjaan pasti membutuhkan pekerjaan karenanya tidak berani dan tidak dapat menentukan syarat-syarat kerja. Apabila ada yang berani menentukan syarat-syarat kerja semisal gaji, maka resiko tidak diterima apabila pengusaha tidak setuju dengan penawaran dari pelamar kerja tersebut, harus ditanggung oleh si pelamar tersebut. Dengan demikian sebenarnya tidak pernah ada kekebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja.

A. Peran Negara Dalam Hubungan Perburuhan
Konsekuensi dari hubungan subordinatif tersebut adalah diperlukannya suatu faktor untuk menyeimbangkannya. Walaupun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Bila dianalogikan dengan kebutuhan baju, maka tidak adil bila orang gemuk dan kurus diberikan bahan baju yang sama banyaknya. Yang gemuk tentu membutuhkan lebih banyak bahan dibandingkan dengan seorang yang kurus. Demikian pula halnya dengan buruh dan pengusaha, karena buruh lebih lemah secara ekonomi yang otomatis mengakibatkan lemahnya posisi tawar dalam bidang kehidupan lainnya, maka justru tidak adil bila terdapat kesamaan perlindungan bagi buruh dan pengusaha. Yang lemah haruslah dilindungi lebih. Dan tugas tersebut tentunya terletak pada tangan Negara. Commons dan Andrews mengatakan “where the parties are unequal (and public purpose is shown) then the state which refuses to redress the unequality is actually denying to the weaker party the equal protection of the laws.”[3]

Perlindungan terhadap yang lemah ini ternyata menjiwai UUD 1945 dalam wujud keadilan sosial yang berdasar kekeluargaan. DR. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua BPUPKI dalam sidang pembentukan Undang-Undang Dasar mengatakan “Saya kira, saya boleh mengatakan bahwa semua anggota-anggota telah memufakati dasar yang dibicarakan di dalam sidang pertama daripada Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yaitu dasar kekeluargaan atau dasar yang saya namakan dasar gotong-royong”.[4] Muhammad Hatta pun yang dengan gigih meminta dimasukkannya hak asasi manusia dalam UUD, yang dikatakan oleh anggota yang lain berasal dari paham liberalisme, juga mengatakan “Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama.”[5] Akibatnya paham kapitalisme dan liberalisme ditolak. Hal ini tergambar dalam sidang kedua BPUPKI, saat Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD diminta oleh ketua BPUPKI untuk menerangkan tentang UUD:

Kita semuanya mengetahui bahwa faham atau dasar falsafah individualisme telah menjadi sumber ekonomisch liberalisme Adam Smith dengan bukunya yang terkenal yagn sebenarnya tidak lain tidak bukan menjalankan teori-teori ekonomi di atas dasar-dasar falsafah yang individualistis. Tetapi kita mengenal apakah hasil ekonomi individualisme, dengan adanya persaingan merdeka. Dengan adanya ekonomisch liberalisme, yang bersemboyan : “laissez faire, laissez passer” dengan persaingan merdeka, timbullah kapitalisme yang sehebat-hebatnya di negeri-negeri yang merdeka. Timbullah itu oleh karena ekonomisch liberalisme itu sistem yang memberi hak sepenuh-penuhnya kepada beberapa orang manusia saja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama yang lain. (Hal. 255)

Kita menghendaki keadilan sosial. … . Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. … . Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. (Hal. 259-260)

Dengan kata lain “UUD 1945 itu sebenarnya juga menjadi hukum dasar bagi kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia[6].” Konsekuensi dari pengaturan ekonomi dalam UUD 1945 tersebut adalah

… tidaklah rasional untuk membatasi cakupan makna kedaulatan rakyat sebagai konsep kekuasaan tertinggi, hanya dalam bidang politik saja. Karena, baik aspek politik maupun aspek ekonomi, secara potensial, dapat saja menjadi objek kekuasaan. … . Orang yang memiliki benda milik tertentu, memiliki kekuasaan (ekonomi) atas benda itu, seperti halnya orang yang memiliki budak, mempunyai kekuasaan (politik) atas budak yang dimilikinya. Begitu juga hubungan atasan-bawahan dalam pengertian otoriter, meskipun derajat hubungannya lebih lunak dibandingkan antara tuan dan budak, tetapi atasan dalam pengertian tradisional mempunyai kekuasaan dan kewenangan tertentu terhadap bawahannya. Karena itu, dalam hubungan dengan gagasan kedaulatan rakyat, dapat dikatakan bahwa bidang ekonomi maupun politik sama-sama merupakan kategori dari objek kekuasaan yang dimiliki rakyat.[7]

Lebih lanjut, sikap Negara terhadap hubungan buruh-majikan serta tanggung jawab yang harus diembannya dapat dilihat dari sikap pembentuk Negara (founding fathers-mothers). Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, panitia kecil yang ditunjuk Ketua PPKI, Soekarno, yang tugasnya membuat rancangan departemen-departemen, mengusulkan 13 Kementerian, salah satunya adalah Kementerian Kesejahteraan yang terbagi atas :
a. Perburuhan
b. Perawatan fakir-miskin dan anak yatim piatu
c. Zakat fitrah[8]

Kementerian Kesejahteraan ini kemudian diputuskan menjadi Departemen Sosial dengan tugas “mengurus hal-hal perburuhan, fakir miskin dan lain-lain.”[9] Konteks pengaturan departemen ini sangat jelas yaitu melihat buruh sebagai pihak yang lemah dan karenanya harus dilindungi.

B. Politik Hukum Perburuhan Indonesia, Orde Lama VS Orde Baru
Tujuan dari para pendiri Negara seperti yang tergambar dalam pemaparan sebelumnya, dalam kehidupan bernegara selanjutnya sayangnya tidak bertahan lama. Pada masa Orde Lama, memang UU yang menyangkut perburuhan mengatur lebih lanjut perlindungan yang dimaksud oleh UUD 1945. Tercatat sejumlah UU yang amat pro buruh yaitu UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, UU 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama, UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

NO. UNDANG-UNDANG KONSEP PERLINDUNGAN
1. UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja • Larangan mempekerjakan anak
• Pembatasan waktu kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu
• Waktu istirahat bagi buruh
• Larangan mempekerjakan buruh pada hari libur
• Hak cuti haid
• Hak cuti melahirkan/keguguran
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
2. UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja • Jaminan atas kecelakaan kerja
• Hak pegawai pengawas untuk menjamin pelaksanaan jaminan kecelakaan
kerja
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
3. UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan • Kewajiban Negara untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan peraturan perburuhan
• Hak pegawai pengawas memasuki dan memeriksa tempat usaha
• Kewajiban majikan untuk memberikan keterangan lisan dan tertulis kepada pegawai pengawas
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
4. UU 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan • Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh kehilangan
anggotanya
• Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh bubar
• Aturan tentang perjanjian perburuhan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan perjanjian kerja antara seorang buruh dengan majikan
• Pembatasan untuk majikan tidak boleh membuat perjanjian perburuhan
dengan serikat buruh lain yang lebih rendah syarat kerjanya dengan perjanjian
perburuhan yang sudah pernah dibuatnya
5. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama Perlindungan hak berserikat
(1) larangan diskriminasi karena menjadi anggota serikat buruh dan melakukan aktivitas sebagai anggota serikat buruh
(2) larangan mendominasi atau melakukan kontrol terhadap serikat buruh

6. UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan • Definisi mogok yang cukup luas :
(1) tindakan kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya pekerjaan
(2) akibat perselisihan perburuhan
(3) maksud untuk menekan majikan atau membantu golongan buruh lain menekan majikan
(4) agar menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan
• Pembentukan P4D/P yang terdiri dari 3 pihak secara berimbang jumlahnya :
pemerintah, wakil buruh dan wakil pengusaha
• Ketentuan putusan P4D/P bersifat mengikat dan dapat dimintakan eksekusi ke
pengadilan negeri
• Arbitrase secara voluntary
• Sanksi untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
7. UU 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing • Pengaturan dan pembatasan mempekerjakan tenaga kerja asing yang berarti
perlindungan terhadap jaminan pekerjaan bagi warga Negara
8. UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta • Ketentuan pengusaha harus mengusahakan tidak terjadi PHK
• Larangan PHK karena sakit selama tidak melebihi 12 bulan secara terus menerus
dan karena menjalankan kewajiban negaradan ibadah agama
• Kewajiban pengusaha merundingkan maksud PHK kepada serikat buruh/buruh
• PHK hanya dengan izin P4D/P
• PHK tanpa izin batal karena hukum
• Selama belum ada izin pengusaha dan buruh harus menjalankan kewajibannya

Kondisi ini berubah sejak pemerintah Orde baru mengeluarkan sejumlah peraturan dan kebijakannya. UU yang dikeluarkan pada awal Orde baru berkuasa yaitu UU 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja memang memuat jaminan hak berserikat serta membuat perjanjian perburuhan. Tetapi apabila dicermati, mulai terjadi pergeseran paradigma. Kata “buruh” diganti dengan “tenaga kerja” diikuti dengan pasal-pasal yang memuat tidak lagi hanya perlindungan dalam konteks hubungan perburuhan tetapi juga pasal-pasal seputar hubungan industrial. Misalnya peran pemerintah untuk mengatur penyebaran dan penggunaan tenaga kerja dengan tekanan pada produktifitas dan pencapaian manfaat yang sebesar-besarnya.

Peraturan dan kebijakan pemerintah tentang perburuhan selanjutnya secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 2 besaran, yang menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Walaupun pembagian ini sebetulnya bias, karena soal-soal kesejahteraan bagi buruh tidak berarti persoalan ekonomi semata karena bila secara politik buruh lemah/dilemahkan maka otomatis hak ekonominya akan lemah pula, tetapi pembagian ini selain untuk memudahkan pengelompokkan justru untuk menunjukkan hubungan tak terpisahkan antara hak ekonomi dan hak politik buruh.

I. Menyangkut Hak Politik Buruh
Secara sederhana dalam, hak politik buruh berarti peraturan-peraturan yang menyangkut kegiatan berserikat. Seperti hak berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan (pembuatan kesepakatan kerja bersama) dan hak mogok. Tercatat beberapa Peraturan Menteri Tenaga Kerja yaitu :

NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN
1. Permenaker 1/MEN/1975 Pembatasan serikat buruh yang dapat didaftar di Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi yaitu gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus daerah min. di 20 daerah Tk. I dan beranggota 15 SB
2. Permenaker 1/MEN/1977 • iuran serikat buruh dipungut melalui pengusaha
• serikat buruh wajib mempertanggungjawabkan keuangan organisasi tingkat basis pabrik kepada Menteri Tenaga kerja, Transmigrasi dan Koperasi[10]

3. Permenaker 5/MEN/1984 Iuran buruh dipungut secara kolektif oleh perusahaan
4. Permenaker 1/MEN/1985 • Penyeragaman pola KKB
• Syarat yang membatasi SB dapat membuat KKB yaitu memiliiki anggota sekurang-kurangnya 50% dari jumlah buruh di perusahaan
5. Permenaker 5/MEN/1987 Persyaratan organisasi yang dapat didaftarkan ke Depnaker
6. Kepmenaker 15A/MEN/1994 • Pengakuan tunggal Negara hanya pada FSPSI untuk
perundingan perselisihan perburuhan
7. Permenaker 5/MEN/1998 • Pendaftaran SP yang sebenarnya merupakan bentuk
perizinan
• Penyeragaman asas organisasi

Selain itu masih ada “13 surat keputusan menteri …, 8 di antaranya bersifat campur tangan untuk menghegemoni buruh, dan selebihnya (5) yang secara lebih tegas membatasi, melarang dan menekan buruh.”[11] Dari delapan yang bersifat campur tangan tersebut di antaranya adalah Kepmen No. 645/Men/1985 tentang pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila. HIP yang berasal dari Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP) hakekatnya adalah melemahkan gerakan buruh maupun serikat buruh. Dengan “… menentang konflik, dalam praktek juga menolak hak untuk melakukan aksi mogok karena dianggap tidak selaras dengan prinsip kekeluargaan yang melandasi Pancasila.”[12] Sedangkan ketentuan yang tegas membatasi antara lain Kepmen 4/Men/1986 yang menekan hak mogok dan kebebasan membentuk serikat buruh, kepmen 342/Men/1986 yang menentukan aparat keamanan (Korem, kodim, Kores) boleh ikut campur menangani perselisihan perburuhan.[13]

Dengan aturan-aturan di atas, kedudukan buruh dipastikan akan lemah. Rupanya Pemerintah Orde Baru amat paham bila kekuatan buruh terletak pada persatuannya yang terwujud pada serikat buruh. Secara garis besar yang dilakukan aturan-aturan menyangkut hak politik buruh tersebut adalah secara sistematis menghambat pembentukan serikat buruh dan membuat kebijakan hanya memungkinkan adanya satu serikat buruh yang diakui oleh pemerintah. Kemudian satu serikat buruh, yang menjadi mudah dikontrol ini, dipreteli pula hak asasinya yaitu hak mogoknya. Padahal “… hak mogok adalah salah satu sarana prinsip dimana para pekerja dan serikat buruh mereka dapat mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka secara sah (ILO, 1996d, ayat 473 - 475).”[14]

II. Menyangkut Hak Ekonomi Buruh
Hak ekonomi buruh secara sederhana diartikan sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi buruh. Beberapa di antaranya adalah

NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN
1. PP 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah • Perlindungan pembayaran upah
• Asas no work no pay
• Daluwarsa tuntutan yang berkaitan dengan hubungan kerja selama 2 tahun
2. Permenaker 6/Men/1985 Aturan tentang pekerja harian lepas
3. Permenaker 5/MEN/1986, diganti dengan Permenaker 2/MEN/1993 Aturan mengenai kesepakatan kerja waktu tertentu (pekerja kontrak)
4. Permenaker 4/MEN/1986, diganti Permenaker 3/MEN/1996 akhirnya menjadi Kepmenaker 150/MEN/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta • Ketentuan tentang mangkir bagi buruh
• Mereduksi kewajiban untuk menjalankan hak dan kewajiban buruh-majikan selama proses PHK dalam UU dengan adanya skorsing terhadap buruh
• Aturan PHK karena kesalahan berat (tidak mendapat pesangon)
• Aturan pemberian SP (surat peringatan) bagi buruh
Ketentuan tentang besarnya pesangon
5. Permenaker 5/Men/1989 diganti Permenaker 1/MEN/1996 akhirnya menjadi Permenaker 3/MEN/1997 Aturan tentang Upah minimum

Secara sekilas peraturan-peraturan tersebut memang berisi perlindungan terhadap buruh. Tetapi bila ditelaah lebih dalam, berbagai peraturan tersebut justru mengurangi hak-hak buruh. Aturan tentang pekerja harian lepas misalnya, tidak hanya melegitimasi jenis hubungan kerja harian lepas tetapi perlindungan yang ada dalam permenaker tersebut yaitu ketentuan jumlah bulan dan hari dalam sebulan untuk pekerja harian lepas (tidak boleh melebihi 3 bulan berturut-turut dan 20 hari kerja dalam setiap bulannya) membuka peluang untuk mengeksploitasi buruh dan membuatnya tetap pada status buruh harian lepas. Dalam sebuah kasus yang ditangani oleh Serikat Buruh Jabotabek Perjuangan (SBJ P), pengusaha mempekerjakan buruh selama bertahun-tahun pada tempat dan jenis pekerjaan yang sama, tetapi tidak pernah selama 3 bulan berturut-turut. Akibatnya buruh tersebut tetap berstatus harian lepas yang tentu saja hak-haknya lebih buruk dari buruh tetap. Kasus menuntut status ini, dalam putusan P4P mengalahkan buruh dengan alasan formalitas mengacu pada ketentuan Permenaker 6/Men/1985.

Hal serupa mengenai aturan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT) yang telah meluaskan praktek kerja kontrak. Pelanggaran tidak hanya untuk ketentuan waktu kontrak (yang tidak boleh melebihi 2 tahun dan perpanjangan 1 kali dengan total keseluruhan masa kontrak tidak boleh melebihi 3 tahun) tetapi juga untuk jenis pekerjaan yang boleh dikontrak.

“Dari data lapangan dapat dilihat bahwa ternyata pemberlakuan KKWT sudah merupakan kondisi umum dari hubungan industrial. Hal ini bukan saja terjadi di perusahaan swasta, namum juga terjadi pada Badan Usaha Milik Negara. … data lapangan menunjukkan bahwa sistem kerja kontrak inipun hampir terjadi di semua jenis pekerjaan. Dari bagian kebersihan, keamanan sampai ke bagian pembukuan/accounting, marketing, perencanaan serta penjualan. Dari segi jabatan pun dapat dilihat, bahwa sistem kerja kontrak juga terjadi dari posisi yang paling rendah seperti office boy, satpam sampai ke supervisor bahkan manager.”[15]

Kondisi yang sedikit berbeda pada Kepmenaker 150/Men/2000 adalah apabila dua peraturan menteri tentang pekerja harian lepas dan kontrak membuka peluang penyelundupan hukum, maka pengaturan tentang pesangon ini dalam ketentuannya memang sudah melemahkan dan mengurangi perlindungan terhadap buruh yang ada dalam undang-undang. Selain sering dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah (karena pengusaha diberi hak melakukan skorsing tanpa melalui mekanisme seperti permintaan izin PHK), aturan ini juga mengenalkan kesalahan berat sebagai alasan PHK (dengan konsekuensi tidak mendapat pesangon) tanpa penyebutan mekanisme pembuktian yang jelas. Akibatnya, P4D/P merasa diberi kewenangan untuk memutus hal-hal yang sebetulnya merupakan lingkup tindak pidana yang seharusnya hanya menjadi kewenangan peradilan.

Hal serupa pada aturan tentang upah minimum yang pada kenyataannya justru menjadi ‘aturan upah maksimum.’ Selain mendasarkan pada kebutuhan fisik minimum/KFM padahal lebih layak dengan kebutuhan hidup minimum/KHM (ditambah lagi pada prakteknya sering tidak sesuai dengan perhitungan KFM), ketidakjelasan aturan ini menyebabkan buruh dengan masa kerja bertahun-tahun juga mendapat upah sebesar upah minimum, sama dengan buruh yang baru masuk bekerja. Tidak heran masalah “upah sundulan” kerap menjadi sumber perselisihan antara buruh dengan pengusaha. Belum lagi masalah tidak pernah diperhitungkannya kebutuhan buruh perempuan yang karena organ reproduksinya membutuhkan lebih banyak kebutuhan serta. Begitu pula dengan kebutuhan buruh yang telah berkeluarga yang tidak masuk dalam perhitungan upah minimum.

Dari paparan di atas, walau undang-undang perburuhan banyak memberikan perlindungan, dalam praktek perlindungan tersebut hilang akibat aturan-aturan di bawahnya

“… kelonggaran yang diberikan kepada buruh oleh undang-undang justru dijegal oleh peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya. … . Selain itu banyaknya peraturan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya yang dihasilkan pada masa ini juga menunjukkan usaha pemerintah yang semakin intensif untuk memanfaatkan ‘lubang-lubang’ kelemahan undang-undang perburuhan, karena pemerintah merasa berkepentingan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, … .”[16]

Pelemahan serikat buruh ternyata membuat buruh harus kehilangan kesejahteraannya. Selain tidak mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Negara (misal yang menyangkut kesejahteraan), buruh juga tidak mampu memaksa pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan aturan yang ada (misal ketentuan tentang pengawasan perburuhan yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran UU perburuhan).

C. Keadaan Saat ini
Sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud sebagai pengganti serta kompilasi seluruh aturan perburuhan, gagal untuk diberlakukan dan harus ditunda setelah gelombang demonstrasi besar-besaran penolakannya. Pemerintah merubah strategi dengan “ menawarkan turunan dari UU tersebut ke dalam paket 3 RUU Perburuhan, … UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, RUU Perlindungan Pembinaan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU PPHI … .” [17]

Bila kebijakan perburuhan Orde Baru yang membatasi buruh berideologi pembangunanisme[18], maka dengan UU 25 Tahun 1997 dan tiga undang-undang turunannya tersebut, kebijakan ini dilanggengkan dengan tambahan motivasi dari tekanan lembaga keuangan internasional untuk kepentingan pasar. Sebagai prasyarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF itu, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan sejumlah agenda ekonomi neoliberal melalui penandatangan Letter of Intent (LOI).[19] Agenda ekonomi neoliberal ini memiliki prasyarat untuk keberlakuannya. Arahnya adalah peran aktif pemerintah diganti dengan peran yang minimalis serta non intervensionis.[20] Hal ini tentu berlaku untuk semua bidang kehidupan, perburuhan tidak luput daripadanya. Kebijakan tersebut tentu perlu infrastruktur dan undang-undang alat yang paling tepat untuk melegitimasinya. Karenanya tidak heran bila filosofi dasar tiga undang-undang perburuhan tersebut memiliki kesamaan yaitu mengurangi bahkan melepaskan peran Negara dalam hubungan buruh-majikan. Dengan asumsi liberalisasi pasar maka intervensi pemerintah dalam bentuk perlindungan terhadap buruh akan menjadi hambatan. Karenanya nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar atau dengan kata lain buruh yang bisa dianalogikan sebagai semut harus bertarung dengan gajah dengan senjata yang harus sama.

Nuansa kental kepentingan agenda neoliberal pada pembentukan UU perburuhan ini secara gamblang diungkapkan oleh Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) Sofyan Wanandi saat mengomentari RUU Ketenagakerjaan “Kesepakatan yang telah diparaf bersama tersebut hendaknya tidak diubah sepihak oleh Menakertrans secara mendadak. Apalagi kesepakatan tripartit telah mengadopsi kepentingan pasar global, karena masalah ketenagakerjaan menjadi pertimbangan investasi, baik pengusaha nasional maupun asing.”[21] Lihat pula komentar Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan 11 Desember 2003 saat menjawab argumentasi pemohon bila pembuatan undang-undang tersebut bukan dilatari kepentingan rakyat melainkan kepentingan IMF: “dalam Letter of Intent disepakati tanggal tanggal berapa saja undang-undang apa harus sudah disepakati. Hal ini karena pemerintah meminjam uang atau berhutang.”[22]

UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Secara formalitas undang-undang ini memang mengakui serta menjamin kebebasan buruh untuk berserikat. Tetapi jaminan tersebut direduksi oleh pasal-pasal berikutnya. Pencatatan yang seharusnya berfungsi administratif pada prakteknya menjadi legalisasi sah tidaknya suatu serikat buruh. Hal ini karena pencantuman hak-hak serikat buruh selalu diembel-embeli dengan “serikat buruh yang telah mencatatkan serta mempunyai nomor bukti berhak … .” Hal ini jelas merupakan pembatasan bagi serikat buruh yang tidak mencatatkan diri. Lebih buruk lagi dalam praktek, nomor bukti pencatatan ini selalu ditanyakan baik oleh pihak Departemen Tenaga Kerja maupun lembaga penyelesaian perslisihan perburuhan (P4D/P). Sehingga stigma serikat buruh illegal sebelum adanya UU 21 tahun 2000 ini belum bisa lepas dari serikat buruh yang memilih untuk tidak mencatatkan diri. Dalam hal ini kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD jelas telah dilanggar.

Kesan undang-undang ini hanyalah lip service Negara diperkuat dengan tidak dapat diimplementasikannya aturan-aturan perlindungan terhadap kebebasan berserikat. Walaupun memuat ancaman hukuman penjara selama 1 – 5 tahun dan/atau denda sebesar 100 – 500 juta, pada kenyataannya tidak ada satupun pelaku pelanggaran berserikat yang dikenai hukuman bahkan tidak ada satupun kasus pelanggaran berserikat yang sampai ke meja hijau untuk diadili. Kasus-kasus di bawah ini hanya bersumber dari kasus-kasus yang masuk ke LBH Jakarta, sehingga bisa dipastikan ada lebih banyak kasus pelanggaran berserikat yang dilaporkan dan tidak ditindaklanjuti.

NO NAMA KASUS TEMPAT PELAPORAN WAKTU PELAPORAN STATUS PELAPORAN KETERANGAN
1. Serikat Pekerja Mandiri PHK massal terhadap 799 orang dan gugatan perdata terhadap 7 orang pengurus SB Polda Metro Jaya Januari 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Telah ada rekomendasi ILO bulan Juni 2002 yang menyatakan bahwa terjadi pelanggaran Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat
2. Serikat Pekerja Bank Panin PHK beruntun dan massal terhadap pengurus dan aktivis SB Polda Metro jaya Awal 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Setelah ada pengaduan, justru terjadi kriminalisasi terhadap Ketua Umum SPBP, Imam Sutrisno dan Sekretaris, Tata Zoelkarnaen
3. Serikat Buruh Nusantara PHK beruntun dan skorsing menuju PHK terhadap belasan pengurus dan aktivis SB, termasuk kriminalisasi ketua SBN, Sofyan Bedot dan Kabid Advokasi, Sujito Polres Tangerang Desember 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak ada juklak teknis penanganan kasus semacam ini. Polisi sempat bertanya tentang tindak pidana yang dilaporkan dan mengaku tahu serta tidak memiliki UU 21 Tahun 2000. Akhirnya 1 kopi UU 21 Tahun 2000 ditinggalkan untuk Polres Tangerang.
4. SPTP PT. Koinus Jaya Garment Skorsing menuju PHK terhadap 9 orang pengurus SB yang memimpin aksi menuntut pelaksanaan UMP 2002, pemberian cuti haid dan cuti melahirkan Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS) Kandepnakertrans Tangerang Desember 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Pihak pengusaha akhirnya mencabut skorsing terhadap 9 orang pengurus SB tersebut setelah ada pelaporan ke Kandepnakertrans Tangerang.
5. SP PT. Setia Kawan Menara Motor Skorsing menuju PHK terhadap ketua SB Ahmad Syahbana Polres Cilegon Pertengahan 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Pengusaha berkeras mengajukan PHK terhadap Ahmad Syahbana
6. PUK SPSI FARKES RS Pondok Indah Skorsing menuju PHK terhadap Aktivis SB, Muchsin Rasjid dan Ketua SB, Edi Waluyo Polda metro jaya Mei 2002 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Justru terjadi kriminalisasi terhadap Edi Waluyo dengan alasan menganiaya atasan. Setelah diputus bersalah di PN Jakarta Selatan saat ini sedang menunggu putusan banding.
*) Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2002 LBH Jakarta

UU Ketenagakerjaan
Setelah bertahun-tahun melewati proses pembahasan serta beberapa kali mengalami pengunduran pengesahan akibat penolakan buruh, akhirnya undang-undang ini disahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 Februari 2003. Melengkapi substansi undang-undang ini yang bermasalah, proses pembahasan bahkan pengesahan serta pengundangannya juga bermasalah.

Setelah beberapa kali penolakan besar-besaran oleh buruh terhadap rencana pengesahan RUU Ketenagakerjaan (saat itu masih bernama RUU PPK) antara lain akhir Juli 2002 dan 23 September 2002[23], untuk melegitimasi bila undang-undang ini disetujui oleh buruh, maka DPR melibatkan serikat buruh secara intensif dan akhirnya membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa orang anggota serikat buruh. Tugasnya adalah membahas substansi undang-undang. Persetujuan mereka yang tergabung dalam tim kecil terhadap RUU Ketenagakerjaan ini kemudian dilegitimasi sebagai persetujuan seluruh buruh. Selain masalah pendanaan tim kecil yang tidak jelas asal usulnya, pembentukan tim kecil yang manipulatif, tidak partisipatif serta transparan, menyebabkan keanggotaan orang-orang dalam tim kecil ini akhirnya ditolak serikat buruh di mana mereka menjadi anggota. Bahkan serikat buruh mereka ikut menjadi pemohon dalam judicial review UU Ketenagakerjaan.

Pasca pengundangan, yang terjadi secara otomatis karena 30 hari telah lewat dari disahkannya tanpa penandatanganan presiden, terungkap bila terjadi perubahan dari naskah yang disahkan DPR dengan naskah yang diundangkan oleh sekretariat Negara. Tercatat ada 4 pasal yang mengalami perubahan yaitu pasal 159, pasal 170, pasal 171, dan pasal 172. Pasal 159 diubah dari 4 ayat menjadi 1 ayat saja. Sedangkan pasal lainnya mengalami perubahan redaksional. “Misalkan, pasal 172 RUU Ketenagakerjaan versi DPR antara lain menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 159 ayat (2).”[24] Naskah ini salah karena ketentuan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur dalam pasal 159 ayat (2) melainkan dalam pasal 156 ayat (2). “Kesalahan tersebut kemudian dikoreksi, sehingga pasal 172 tidak lagi mengacu kepada pasal 159 melainkan pada pasal 156 UU No.13/2003.”[25]

Diluar masalah prosedural, substansi pasal-pasal undang-undang ini sangat jelas menggambarkan upaya sistematis untuk melepaskan tanggung jawab Negara akan kewajiban melindungi buruh. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengurangi atau menghilangkan perlindungan yang telah ada dalam undang-undang sebelumnya. DIbawah ini akan dibandingkan beberapa aturan yang ada dalam UU 13/2003 dengan aturan yang lama untuk menggambarkan hal tersebut

No. Masalah Ketentuan UU 13/2003 Ketentuan Peraturan Lama
1. Hubungan Kerja a. Definisi buruh terdiri dari 2 unsur : bekerja dan menerima upah/imbalan dalam bentuk lain (ps. 1 ayat 3)
b. Membedakan pemberi kerja (pasal 4) dan pengusaha (pasal 5)
c. Outsorcing/subkontrak diperbolehkan (pasal 64)
d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu a. Definisi buruh terdiri dari 3 unsur : bekerja, pada majikan dan menerima upah (UU 22/1957)
Tidak ada pembedaan, pembedaan ini berkaitan dengan aturan outsorcing
Tidak ada aturan eksplisit tentang outsorcing/subkontrak akibatnya outsorcing illegal
d. Hal ini tidak ada. Penambahan ini malah membingungkan karena tidak konsisten dengan pasal berikutnya ang membatasi perjanjian kerja waktu tertentu hanya untuk pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. (Permenaker 2 Tahun 1993)
2. Mogok a. Definisi mogok dibatasi sebagai akibat gagalnya perundingan (pasal 137)
b. Harus dilakukan sah, tertib dan damai (pasal 137)
c. Pembakuan isi pemberitahuan mogok : waktu dimulai dan diakhiri, tempat mogok, alasan mogok tanda tangan ketua dan sekretaris SB sebagai PJ (pasal 140 ayat 2)
d. Mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur :
(1) Perusahaan dapat mengambil tindakan sementara : melarang buruh yang mogok berada di lokasi kegiatan proses produksi atau di lokasi perusahaan
(2) Akibat hukum diatur dalam Keputusan Menteri a. Definisi mogok lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, bisa untuk menekan majikan lain, agar majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Tidak ada ketentuan sah, tertib dan damai
c. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
d. Tidak ada ketentuan eksplisit mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
3. Lock Out a. Definisi lock out dibatasi hanya sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 ayat 1)
b. Pembakuan isi pemberitahuan lock out: waktu dimulai dan diakhiri, alasan lock out, tanda tangan pengusaha/pimpinan perusahaan (pasal 140 ayat 2)
c. Tidak ada akibat hukum bagi lock out yang tidak sesuai prosedur (berbeda dengan mogok yang dilakukan buruh)
d. Lock out boleh tidak sesuai prosedur :
(1) buruh mogok tidak sesuai prosedur
(2) buruh melanggar ketentuan normatif
Pasal 149 ayat (6) a dan b
(berbeda dengan ketentuan mgok buruh yang harus sesuai prosedur tanpa adanya dispensasi karena suatu alasan)
a. Definisi lock out lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, dapat untuk membantu majikan lain, agar buruh menerima hubungan kerja, syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
c. Lock out tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
(Hukuman ini sama dengan pelanggaran prosedur mogok)
d. Tidak ada ketentuan diskriminatif lock out boleh tidak sesuai prosedur karena sesuatu alas an
4. PHK a. Keharusan menjalankan hak dan kewajiban selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, disimpangi dengan ketentuan skorsing (pasal 155 ayat 2 dan 3).
Aturan skorsing ini melegitimasi ‘kesesatan’ aturan skorsing sebelum UU 13 Tahun 2003.
b. PHK boleh tanpa izin bila buruh melakukan kesalahan berat (pasal 158 jo. pasal 171)
c. Kesalahan berat cukup dibuktikan dengan
(1) tertangkap tangan atau
(2) pengakuan buruh yang bersangkutan atau
(3) laporan kejadian yang dibuat pihak berwenang di perusahaan dan didukung min.2 saksi
Pasal 158 ayat (2)
Aturan ini pelanggaran dari asas praduga tak bersalah yang ada dalam UUD 1945 dan UU 14/1970 a. Selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, buruh dan pengusaha harus menjalankan hak dan kewajibannya tanpa kecuali (UU 12 Tahun 1964 pasal 11).
Skorsing pada aturan lalu ada pada keputusan menteri tenaga kerja yang sebetulnya aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya karena UU tidak membolehkanya.
b. Ketentuan ini tidak ada (alasan kesalahan berat bagi PHK buruh tetap harus melalui proses izin)
c. Ketentuan ini tidak ada.

UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagian terakhir dari tiga paket UU perburuhan yang merupakan turunan dari UU 25 Tahun 1997 adalah UU penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-undang ini dapat disebut sebagai hukum acara dari aturan materil yang ada dalam 2 undang-undang sebelumnya.
Perubahan besar yang akan terjadi dengan diberlakukannya UU PPHI adalah menghilangkan corak perselisihan perburuhan yang istimewa berbeda dari perselisihan lainnya. Sesuai hakekat hubungan perburuhan yaitu tidak seimbangnya posisi buruh-majikan, perselisihan perburuhan selama ini dibuat bersifat kolektif (tidak individual) dan semi peradilan yaitu tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan yudikatif tapi mempunyai kekuatan hukum tetap (yang karenanya dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri).

Demi keperluan cepat, tepat, adil dan murah, perselisihan perburuhan yang selama ini diselesaikan di Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) akan di bawa ke pengadilan negeri. Alasan yang jelas menimbulkan pertanyaan karena sistem perselisihan selama ini tidak membutuhkan biaya apapun bagi buruh. Lain persoalan bila biaya yang dimaksud dalam sistem perselisihan perburuhan selama ini adalah biaya-biaya siluman seperti suap kepada petugas. Demikian pula dengan keluhan lamanya perselisihan perburuhan saat ini yang sebetulnya bukan disebabkan oleh UU 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tapi karena UU 5/1986 tentang PTUN memasukkan dalam penjelasannya P4P sebagai banding administrasi karenanya putusannya dapat dijadikan obyek gugatan. Karenanya UU PPHI tidak menjawab masalah yang ada dan hanya akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana dengan mafia peradilan yang belum juga tuntas hingga saat ini. Demikian pula dengan tumpukan perkara di Mahkamah Agung yang masih menjadi keluhan para Hakim Agung hingga saat ini. Optimisme berlebihan akan sistem baru ini benar-benar mengabaikan realitas saat ini, lihat misalnya peradilan kepailitan yang tidak mampu memenuhi ketentuan limitasi waktu dalam prosesnya. Lagi-lagi pemerintah mengulangi kesalahannya dengan tidak menyelesaikan akar masalah tapi melarikan pada persoalan lain. Atau memang menghilangkan korupsi menjadi sesuatu yang dihindari oleh pemerintah?

Diluar masalah tersebut, UU PPHI mempunyai agenda tersembunyi melemahkan gerakan serikat buruh. Lihat saja lingkup kewenangannya yang salah satunya adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Modus operandi membentuk serikat buruh tandingan yang seringkali dilakukan pengusaha untuk membendung gerakan serikat buruh mensejahterakan anggotanya, diberikan tajinya dengan masuknya perselisihan antar serikat buruh dalam salah satu kewenangan pengadilan hubungan industrial. Serikat buruh akan kelelahan serta habis energinya untuk berselisih satu sama lain. Akibatnya, tujuan semula mengurus kesejahteraan anggota akan tersisihkan.

Dari paparan kondisi terkini, dapat dilihat bila dulu pelemahan dan penindasan buruh dilakukan melalui peraturan di bawah undang-undang, “yang memberikan indikasi bahwa rezim eksekutif semakin leluasa dan tidak terkontrol”[26], maka saat ini pelemahan dan penindasan tersebut justru dilakukan melalui undang-undang yang berarti terjadi peningkatan serta perluasan instrumen negara yang melakukan pelemahan serta penindasan tersebut, karena undang-undang adalah produk legislatif dan eksekutif. Dalam situasi seperti ini harapan mungkin hanya dapat digantungkan pada mahakamah konstitusi atau rakyat diharuskan menentukan sejarahnya sendiri.


________________________________________

[1]Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 8.

[2]Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Editor A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. (Jakarta, 1990, Sinar Harapan), hal. 69.

[3]Soepomo, Op. Cit hal. 12

[4]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1995), hal.255

[5]ibid, hal. 259-260

[6]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Politik dan Konstitusi Ekonomi dalam Studi Hukum Tata Negara (Jakarta: Kapita Selekta Teori Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar, 2000), hal. 148.

[7]Ibid., hal. 160.

[8]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1995), hal. 478.

[9]Ibid., hal. 511.

[10]Billah, Strategi Pengendalian Negara Atas Buruh: Studi Awal Masalah Perburuhan di Indonesia Pasca 1965 dari Perspektif Althusserian dan Gramscian, (Tesis Bidang Studi Sosiologi Program Pasca Sarjana, 1995), hal. 88.
[11]Billah, Op. Cit., hal. 119

[12]Vedi R. Hadiz, Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru (Prisma: 7 Juli 1996), hal. 7.

[13]Billah, Op. Cit., hal. 120

[14]Bernard Gernigon, Alberto Odero dan Horacio Guido, Prinsip-Prinsip ILO tentang Hak Mogok. Kantor Perburuhan Internasional (Jakarta: Kantor Perburuhan International, 2002), hal. 11.

[15]Adi Haryadi dan Timboel Siregar, Penelitian Pekerja Kontrak di 5 Kota Besar di Indonesia : Quo Vadis Pekerja Kontrak. Kerja sama AIRC (ASPEK Indonesia Research Centre) dan ACILs (American Centre for International Labor Solidarity).

[16]Billah, Op. Cit., hal. 189.

[17]Release Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB). KAPB beranggotakan puluhan serikat buruh (dari tingkat federasi hingga tingkat perusahaan) dan LSM perburuhan dengan sekretariat di LBH Jakarta.

[18]Lihat Billah dan Vedi R. Hadiz

[19]Revrisond Baswir, Makalah Bahaya Globalisasi Neoliberal Bagi Negara-negara Miskin. Hal. 6.

[20]Stiglitz, Washington Consensus Arah Menuju Jurang Kemiskinan (INFID : 2002), hal. 33.

[21]Kompas Cyber Media : 22 Februari 2003.

[22]Kutipan bebas penulis dari pernyataan Menteri Kehakiman dan HAM pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi, 11 Desember 2003.

Penulis:
A. S. Finawati
pemantauperadilan.com