Senin, 09 Mei 2011

PEMBERONTAKAN TERHADAP KORUPSI PERLU TERUS DIKOBARKAN

(Oleh : A. Umar Said)
Bagi sebagian pembaca, mungkin tulisan kali ini terasa agak “lain” dari pada biasanya. Sebab, isi tulisan ini bisa saja dianggap sebagai manifestasi kedengkian, atau kecemburuan, atau iri-hati, atau serba-curiga, atau entah apa lagi lainnya. Yang jelas, adalah bahwa tulisan ini memang sarat dengan rasa kemarahan dan kental dengan emosi atau “rasa-berontak” . Masalahnya, adalah, bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi sangat keterlaluan! Korupsi sudah betul-betul merusak akhlak banyak orang, terutama di kalangan “tokoh-tokoh”, baik sipil maupun militer, atau baik di kalangan resmi/pemerintahan maupun di kalangan “swasta”. Kalimat yang berikut ini mungkin kedengaran terlalu keras: Sudah terlalu banyak “tokoh-tokoh masyarakat” ( tidak semua) yang menjadi maling-maling besar, dan sudah terlalu banyak pula PEJABAT yang menjadi PENJAHAT (juga, tidak semua!).
Ketika mau memulai tulisan ini, penulis bertanya-tanya dalam fikiran, dari titik-berangkat yang mana persoalan ini bisa diangkat terlebih dulu? Dengan maksud untuk mencoba melihat betapa besarnya dan betapa luasnya masalah korupsi di Indonesia ini yang pernah dipermasalahkan selama ini, maka penulis buka Internet. Lewat mesin-pencari (search engine) GOOGLE, maka ternyata banyak sekali yang bisa diketahui tentang berbagai soal yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Untuk sekadar gambaran kasar bagi pembaca (yang kebetulan belum sempat membukanya) maka berikut adalah sejumlah informasi.
Kalau kita buka Internet, dan kemudian menggunakan search engine GOOGLE (yang bahasa Inggris) dengan kata-kunci “corruption Indonesia”, maka segera (dalam beberapa detik saja) tercantum lebih dari 90 000 artikel, berita, dokumen, interview, atau segala macam bahan lainnya, yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Karena begitu banyaknya bahan yang tercantum di situ, maka pastilah diperlukan berbulan-bulan, untuk bisa membacanya dengan teliti. Karena itu, maka orang bisa mudah menjadi bingung, untuk memilih bahan yang mana yang perlu dibaca lebih dahulu, dan mana yang tidak. Sebab, sudah tentu, ada bahan yang bisa dianggap serius, akurat atau terpercaya, dan juga yang tidak. Karena, sumbernya juga macam-macam., baik yang berasal dari Indonesia sendiri, maupun yang dari luarnegeri. Bahan-bahan ini ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, atau bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa Inggris.
Kalau menggunakan search engine GOOGLE yang bahasa Indonesia, dan memilih kata kunci “korupsi” maka dalam beberapa detik saja akan terpapar lebih dari 19 000 bahan dalam bahasa Indonesia. Untuk membaca judul atau kepala artikel dan bahan-bahan itu saja sudah memerlukan waktu yang berjam-jam. Apalagi kalau ingin membaca isinya, entah berapa hari akan diperlukan untuknya! Tetapi, dengan melayangkan pandangan mata (sepintas lalu) kepada itu semuanya, maka kita akan mendapat gambaran bahwa masalah korupsi di Indonesia ini sudah lama dipersoalkan oleh banyak fihak, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri.
KERUSAKAN MORAL YANG DISEBABKAN OLEH KORUPSI
Ketika membaca bahan-bahan yang bisa dicari lewat GOOGLE (bahasa Indonesia), maka kita bisa melihat bahwa salah satu di antara berbagai kerusakan parah dan besar-besaran yang harus ditangani oleh bangsa dewasa ini adalah masalah pembrantasan korupsi, secara sungguh-sungguh dan secara tuntas! Namun, berdasarkan pengalaman selama ini, maka jelaslah bahwa pemberantasan korupsi secara tuntas tidak bisa (atau tidak mungkin!) dilaksanakan tanpa adanya pemberesan di bidang hukum. Pemberesan bidang hukum tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan bidang politik. Pemberesan bidang politik tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan di bidang moral yang sudah bobrok di kalangan “atas”. Pemberesan akhlak di kalangan “atas” tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan sistem pemerintahan dan sistem ekonomi. Jadi, semua sambung-menyambung dan saling berkaitan. Tetapi, dari semua gejala itu, yang merupakan segi yang menonjol adalah kerusakan akhlak, yang disebabkan oleh mentalitas korup, yang sudah menjamur secara merajalela di semua lini sejak zaman pemerintahan Orde Baru. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri).
Dengan membaca bahan-bahan dari GOOGLE kita bisa melihat berbagai aspek tentang masalah korupsi di Indonesia. Umpamanya, tentang masalah jaring-jaringan korupsi keluarga Cendana, tentang korupsi di Telkom, tentang kegiatan MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) di bidang perlawanan terhadap korupsi, tentang Forum Indonesia Anti Korupsi, tentang Indonesia Corruption Watch, tentang persiapan pembentukan Komisi Pembrantasan Korupsi dst dst. Banyak artikel-artikel tentang korupsi yang menarik, umpamanya penilaian Transparancy International bahwa Indonesia menduduki tempat yang ke-empat dalam daftar negara-negara yang paling korup di dunia. Atau artikel tentang korupsi yang berkaitan dengan APBN, kolusi kontrak bagi hasil pertambangan, korupsi di tubuh BUMN.
Kita bisa baca di situ berbagai dokumen resmi, umpamanya UU RI nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang ditandatangani oleh Presiden Habibi tanggal 19 Mei 1999. Juga TAP MPR nomor 11 tahun 1998 “tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme”, yang ditandatangani oleh ketuanya Haji Harmoko, serta wakil-wakilnya. Dalam dua dokumen negara ini telah secara jelas dinyatakan bahwa KKN adalah tindakan yang harus ditindak dengan tegas, dan tanpa pandang bulu. Jadi, sebenarnya, masalah korupsi ini sudah sering sekali dibicarakan di DPR, di MPR, di kabinet, di berbagai rapat jawatan atau dinas-dinas pemerintahan, dan juga di banyak seminar, di kalangan partai-partai politik.

KORUPTOR ADALAH PENGKHIANAT RAKYAT
Ketika membaca bahan-bahan yang begitu banyak soal korupsi di Indonesia selama ini, maka orang bisa bertanya-tanya : mengapa korupsi di negeri ini begitu sulit dibrantas? Inilah yang patut dijadikan bahan studi yng serius bagi para pakar, dan, juga, bahan renungan bagi siapa saja yang merasa prihatin dengan penyakit parah yang sudah membikin kerusakan begitu besar dalam kehidupan bangsa kita ini. Apakah hanya karena sistem politik dan sistem pemerintahan saja? Atau, apakah karena faktor-faktor manusianya? Ataukah ada sebab-sebab lainnya?
Sebab, kalau kita baca kembali bahan-bahan yang sudah pernah tersiar selama ini, maka jelaslah bahwa korupsi besar-besaran telah dilakukan oleh orang-orang yang pada umumnya sudah mempunyai pendapatan yang layak untuk menghidupi keluarga mereka secara baik pula. Bahkan, banyak di antara para koruptor kakap itu yang sudah kaya-raya sebelum melakukan korupsi. Jadi, teori bahwa korupsi dilakukan oleh karena gaji (pendapatan) tidak mencukupi kebutuhan, adalah tidak selalu benar. Mungkin, ini bisa dimengerti, kalau terjadi di kalangan “bawahan” (pegawai rendahan, baik negeri maupun swasta), atau mereka yang berpendapatan rendah sekali. Tetapi, kalau korupsi besar-besaran itu dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi (baik sipil maupun militer), maka persoalannya memang bisa menjadi lain lagi.
Korupsi kecil-kecilan yang dilakukan untuk sekedar mencukupi - secara selayaknya - kebutuhan kehidupan rumahtangga masihlah kiranya bisa dimengerti (dan sampai batas tertentu bisa juga dima’afkan). Tetapi, kalau korupsi itu sudah dilakukan secara besar-besaran dengan tujuan untuk menumpuk kekayaan secara tidak sah dan untuk hidup dalam kemewahan yang haram dan “kemegahan” yang berbau kejahatan, maka inilah yang harus dikutuk secara beramai-ramai. Sebab, koruptor-koruptor kakap yang telah mencuri harta publik semacam itu, pada hakekatnya adalah penjahat besar dan juga pengkhianat terhadap rakyat. Penjahat-penjahat ini tanpa rasa segan sedikit pun telah merampas hasil keringat banyak orang. Dan, seperti yang sudah kita baca atau kita dengar selama ini (atau yang kita saksikan di sekeliling kita selama ini, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah), maka nyatalah bahwa gejala semacam itu memang sudah banyak muncul selama puluhan tahun.
Selama ini kita sudah saksikan berapa banyak pejabat-pejabat tinggi atau tokoh-tokoh (“resmi” maupun swasta) yang sering sekali bicara lantang tentang pengabdian kepada rakyat dan negara, tetapi di balik itu melakukan korupsi. Orang-orang yang sudah melakukan korupsi – apalagi besar-besaran – sudah tidak patut lagi, dan tidak berhak, untuk bicara tentang masalah kepentingan rakyat dan negara. Mereka itu harus terus-menerus, dengan berbagai cara dan jalan dicurigai, diawasi, dan selalu diblejeti untuk kemudian dimintai pertanggungan jawab, baik di depan pengadilan ataupun di depan opini publik. Tidak peduli apakah ia menteri, gubernur, bupati, atau pejabat-pejabat tinggi dan menengah lainnya. Juga tidak peduli apakah ia tokoh partai politik, tokoh masyarakat, anggota DPR dan DPRD, atau pimpinan berbagai lembaga.

KERUSAKAN AKHLAK DI KALANGAN ATAS
Jadi, sebenarnya, masalah korupsi ini sudah lama menjadi persoalan yang diperdebatkan oleh umum. Bahkan sudah pernah ada undang-undang untuk memeranginya. Tetapi, karena kalangan “atas” tidak menunjukkan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, maka segala undang-undang atau segala pernyataan yang bagus-bagus tentang pemberantasan korupsi itu semua akhirnya tetap menjadi omong-kosong saja. Kalangan “atas” , baik yang di eksekutif, legislatif, judikatif, maupun yang di “swasta”, tidak menunjukkan tekad mereka yang sungguh-sungguh, untuk mentrapkan undang-undang yang sudah ada, dan juga tidak mau menciptakan peraturan-peraturan yang lebih ketat lagi atau hukuman-hukuman yang lebih tegas.
Korupsi adalah penyebab dan sekaligus juga produk dari mental yang korup. Hubungan antara korupsi dan kerusakan akhlak adalah erat sekali, atau bahkan senyawa. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kerusakan akhlak itu (yang merupakan sumber korupsi) sudah menghinggapi banyak “tokoh” di berbagai bidang, di beraneka-ragam kalangan agama, dan dari berbagai suku atau asal keturunan. Pengalaman selama ini juga menunjukkan bahwa kerusakan akhlak inilah yang telah memungkinkan begitu banyak “tokoh” menyalah-gunakan kekuasaan, dan menggunakan pengaruh atau melakukan tindakan-tindakan selingkuh lainnya, untuk memperkaya diri dengan mencuri kekayaan publik dengan berbagai cara dan beraneka-ragam dalih.
Kalau kita perhatikan nama-nama yang tersangkut dugaan tindakan korupsi kelas kakap, maka kita lihat bahwa di antara mereka itu banyak yang bertitel SH, atau Doctor dalam bidang ilmu tertentu, atau bahkan Profesor Doctor (dan banyak juga yang memakai sebutan Haji di depan nama mereka!). Ternyata, untuk kesekian kalinya kita bisa melihat dengan nyata bahwa gelar atau sebutan-sebutan yang macam-macam itu bukanlah satu jaminan bahwa mereka itu mempunyai hati nurani yang bersih, dan bukan pula ukuran bahwa iman mereka teguh atau bahwa akhlak mereka itu terpuji. Mereka telah mencuri kekayaan publik dengan menggunakan kedok titel kesarjanaan (atau gelar agama), dan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dalam masyarakat.
Kesan serupa ini bisa kita peroleh ketika membaca berbagai nama “tokoh” yang pernah disebutkan dalam media pers Indonesia (atau luarnegeri) karena tersangkut dengan berbagai peristiwa, sejak persoalan Pertamina, Bulog, BLBI, BPPN, PLN, IPTN, Garuda, Yayasan Kostrad, atau banyak BUMN lainnya. Banyak berita tentang kasus-kasus dugaan korupsi yang kemudian tidak ketahuan lagi buntutnya. Bahkan, banyak kasus yang sudah dijadikan penyelidikan oleh polisi dan kejaksaan (bahkan Kejaksaan Agung) yang kemudian di “peti-es”-kan. Entah, berapa pula kasus-kasus korupsi yang kemudian dibebaskan oleh pengadilan (termasuk oleh Mahkamah Agung). Banyak sekali kejadian yang menunjukkan gejala bahwa hukum telah dibikin permainan kotor atau “diperjual-belikan” antara pengacara, polisi, jaksa dan hakim. Mereka ini menyalahgunakan hukum sebagai alat kejahatan. Yang keterlaluan lagi adalah bahwa ada di antara mereka yang membungkus kejahatan mereka itu dengan ayat-ayat kitab suci. Entah, berapa banyak koruptor yang sembahyang (di mesjid atau gereja dan kuil) untuk memanjatkan doa supaya diselamatkan Tuhan dari pengejaran polisi (dan jaksa) atau putusan hakim.
Karena praktek korupsi sudah merajalela di kalangan “atas” sejak lama, maka wajarlah bahwa berbagai macam aksi telah dilancarkan oleh gerakan mahasiswa/pemuda, atau oleh berbagai Ornop (LSM dll), untuk menuntut kepada pemerintah dan DPR supaya diadakan langkah-langkah lebih kongkrit dan lebih tegas dalam membrantas korupsi. Tetapi, seperti yang sudah sama-sama kita saksikan, baik selama pemerintahan Suharto, Habibi, maupun pemerintahan Gus Dur-Megawati yang lalu, korupsi masih terus belum bisa dibabat. Sekarang ini (di bawah pemerintahan Megawati-Hamzah Haz), sudah mulai terdengar suara-suara yang menggambarkan pesimisme -yang makin lebih besar lagi! – tentang bisanya korupsi dibrantas. Lalu, kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan?

KOBARKAN PEMBRONTAKAN TERHADAP KORUPSI
Memang, berkat adanya desakan-desakan yang gencar dan terus-menerus dari banyak fihak dalam masyarakat, akhir-akhir ini pemerintah mengusulkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) kepada DPR untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, supervisi, dan koordinasi dengan instansi terkait, serta mencegah tindak pidana korupsi.
"Wewenang komisi akan diatur secara luas termasuk melakukan berbagai tindakan yang selama ini merupakan kewenangan pihak kepolisian dan kejaksaan, antara lain melakukan penyadapan dan perekaman atau merekam pembicaraan," kata Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dalam rapat paripurna di Gedung Nusantara V DPR/MPR Senayan Jakarta, tanggal 30 Agustus 2001.
Usul pemerintah tersebut di atas patut ditanggapi dengan kritis, dan dengan waspada oleh semua fihak. Sebab, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, pernyataan semacam itu bisa saja akhirnya hanya menjadi janji kosong belaka. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau seluruh kekuatan pro-reformasi tetap terus menggelorakan aksi-aksi - dalam berbagai bentuk dan cara – untuk menyerukan diperanginya korupsi secara besar-besaran. Seluruh kekuatan pro-reformasi perlu tetap menjadikan masalah korupsi sebagai salah satu tugas perjuangan. Sebab, perjuangan melawan korupsi merupakan aspirasi sebagian terbesar rakyat kita. Perjuangan melawan korupsi adalah juga perjuangan politik dan moral. Sebab, seperti yang sudah terbukti selama ini, korupsi kelas besar biasanya dilakukan oleh tokoh-tokoh yang “dekat” dengan Orde Baru.
Dengan makin dekatnya Pemilu tahun 2004, maka banyak partai politik atau golongan sudah mulai menyiapkan langkah-langkah untuk mencari dana gelap guna pembiayaan pemilu, di samping adanya beraneka-ragam tokoh yang menggunakan kesempatan itu untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak sah bagi kepentingan pribadi. Pengalaman penggunaan dana gelap oleh PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll dalam pemilu yang lalu pastilah akan terulang lagi, kalau tidak ada tindakan-tindakan pencegahan. Apa yang dilakukan oleh A. Baramuli, Rahadi Ramelan, Arifin Panigoro, Jusril Mahendra dan banyak tokoh lainnya, bisa akan terulang lagi, dalam bentuk dan cara lain, dan juga oleh orang-orang lain.
Agaknya, seluruh kekuatan pro-reformasi perlu membuang ilusi bahwa kalangan “atas” dewasa ini akan dengan dengan sungguh-sungguh bisa, mau, dan juga berani, berjuang sungguh-sungguh melawan korupsi. Sebab, justru banyak kalangan “atas” di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif itu sendirilah yang melakukan berbagai macam korupsi. Koruptor-koruptor kelas kakap di kalangan “atas” inilah yang telah membikin banyak kerusakan parah di bidang hukum dan peradilan. Perjuangan ekstra-parlementer (yang kuat) melawan korupsi adalah pendorong adanya perobahan-perobahan di kalangan pemerintahan.
Dari sudut yang lain, bisalah dikatakan bahwa perjuangan melawan korupsi adalah juga usaha pendidikan politik, hukum dan moral bagi banyak orang. Lewat perjuangan melawan korupsi ini seluruh kekuatan pro-reformasi bisa terus mengingatkan – dan memperingatkan !!! – supaya para tokoh kalangan “atas” memperhatikan kepentingan publik, dan supaya menghentikan praktek-praktek mereka yang menyakitkan hati rakyat banyak. Dengan melancarkan perjuangan melawan korupsi ini, maka bisa ditanamkan rasa benci terhadap kebathilan dan keharaman yang sudah merusak akhlak begitu banyak “tokoh”. Kebencian, kemarahan, pembrontakan dan kedendaman terhadap korupsi adalah sesuatu yang baik, yang sah, yang benar, dan luhur. Dikobarkannya pembrontakan – dalam berbagai cara dan bentuk - terhadap korupsi adalah sumbangan penting bagi pendidikan politik dan akhlak.
Oleh karena itu, perlulah kiranya bagi seluruh kekuatan pro-reformasi untuk bekerjasama dengan semua gerakan ekstra-parlementer (ornop atau civil society yang beraneka-ragam) dalam menggalakkan aksi-aksi menentang korupsi. Apa yang telah dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, Gerak, Gempita dan lain-lain (ma’af bagi organisasi yang tidak disebutkan di sini), perlu diperbanyak lagi oleh berdirinya lain-lain organisasi serupa dan searah. Mengingat pentingnya masalah korupsi bagi perbaikan kehidupan moral bangsa, maka sudah sepantasnyalah bahwa banyak universitas, lembaga-lembaga riset, pesantren dan lain-lainnya, juga mengadakan langkah-langkah dalam mengobarkan perjuangan melawan korupsi ini.
Memang, banyak bidang penting dan mendesak yang secara urgen harus dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini sebagai akibat krisis multi-dimensional yang diwariskan Orde Baru. Dan, salah satu di antara bidang yang urgen itu adalah masalah pembrantasan korupsi. Sebab, korupsi adalah penyakit kangker ganas, yang selama ini sudah menyerang otak dan hati bangsa kita. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri).

Paris, menjelang musim gugur, 2 September 2001

Tidak ada komentar: