Senin, 09 Mei 2011

*Liku-Liku Percaloan dan Mafia Peradilan di Indonesia

Bahari-Illian D.A. Sari - Jakarta

SIANG itu suasana lobi ruang tamu MA (Mahkamah Agung) tidak begitu ramai.
Dari puluhan deret kursi yang tersedia, hanya sebagian diduduki tamu. Salah
satunya seorang pria muda tampil necis. Dia mengenakan hem lengan panjang
warna telur asin, celana hitam, dan kacamata minus. Umurnya sekitar 40
tahun. Sepintas tidak ada bedanya dengan tamu yang lain.

Saat itu Jawa Pos membuka jaringan Sistem Informasi MA (SIMARI) di lobi MA,
tempat pengunjung bisa tahu perkara yang sudah masuk MA, siapa hakim yang
menangani, dan seterusnya. Pria tadi langsung mendekati wartawan koran ini.
"Sedang mengurus perkara, ya," sapa pria yang mengaku dari LBH 'P' yang
beralamat di Jalan Petojo, Jakarta Pusat. "Kalau mau membuka perkara yang
sudah didaftar, harus tahu nomor registrasinya lebih dulu," tambah pria
tadi.

Dia pun menulis nomor registrasi ke layar monitor. Keluarlah data perkara.
Tapi, belakangan Jawa Pos baru tahu bahwa SIMARI tadi macet sejak tiga tahun
lalu. Data yang bisa diakses pengunjung saat ini sudah kedaluwarsa. "Saya
bisa bantu kalau perkara Anda ingin cepat ditangani MA. Terserah Anda, lewat
jalur tol atau jalur lambat. Kalau jalur tol, sebulan perkara sudah bisa
ditangani. Kalau jalur lambat, bisa setahun," aku pria tadi. Jawa Pos sadar
bahwa saat itu sedang berhadapan dengan seorang calo perkara.

"Saran saya, lebih baik lewat jalur tol meski ongkosnya sedikit mahal. Tapi,
dijamin cepat kelar. Kalau jalur lambat dan tak mengerti celahnya, uang yang
habis justru lebih banyak. Sebab, semua bagian minta jatah," ingatnya. Pria
tadi sedikit pun tidak canggung atau gugup meski beberapa petugas keamanan
dalam (kamdal) hanya berdiri puluhan meter dari Jawa Pos. Tatapan mata
mereka terus mengawasi kami. "Mereka (kamdal) juga minta bagian. Besarnya Rp
100 ribu. Ya, sekadar uang rokoklah. Makanya, kami sudah saling tahu,"
tambahnya meyakinkan.

"Berapa fee-nya kalau lewat jalur tol?" tanya Jawa Pos. Pria tadi
mengatakan, umumnya 10 persen dari nilai objek yang disengketakan. Kalau
objek perkara yang disengketakan Rp 100 miliar, biaya yang harus dibayar
sekitar Rp 10 miliar. Tapi, selama mengurus kan ada biayanya. Makanya, harus
ada uang panjar lebih dulu.

Berapa besarnya uang panjar? "Ya, antara 8 sampai 10 persen dari fee dibayar
di muka," ungkapnya. "Selain untuk jaga-jaga, kami juga pernah ditipu klien.
Setelah urusan beres, mereka langsung menghilang. Makanya, kami tidak mau
ditipu lagi," tambahnya.

Pembayaran berikutnya bergantung kelancaran perkara itu sendiri. Sebab,
perkara yang masuk tidak langsung ditangani majelis hakim. Tapi,
berputar-putar lebih dulu, dari satu meja ke meja lain, sebelum akhirnya ke
majelis hakim. "Semua itu ada biayanya. Makanya, saya sarankan lewat jalur
tol. Tembak ke atasan. Kalau ada surat pengantar, dijamin urusan bakal cepat
kelar," tambahnya. "Kalau lewat prosedur normal, lebih lama lagi. Bisa-bisa
perkara Anda tak tertangani. Dianggap sampah, lalu dibuang," ujarnya sambil
memeragakan dengan tangannya membuang berkas.

Apakah Anda tidak grogi? Kan baru saja lima staf MA dipecat gara-gara
menerima suap dalam perkara kasasi Probosutedjo? "Itu karena gobloknya
mereka saja. Bagi-bagi uang kok di kantor (MA). Ya, ketahuan," ungkapnya.

Pria yang mengaku punya banyak kenalan pejabat MA tadi mengatakan kerjanya
sangat rapi. Bahkan, mencari klien pun pilih-pilih. Dia tidak sembarangan
menerima klien. Mendekati hakim agung atau stafnya juga tidak di kantor.
Mereka bisa janjian di kafe, hotel, atau mendatangi rumahnya. "Di sanalah
kami melakukan transaksi. Bukan di kantor ini (baca MA). Jadi, kami tidak
khawatir," akunya.

"Mereka (baca: oknum hakim agung), staf, dan satpam juga mau membantu.
Bahkan sangat agresif. Yang penting ada fulusnya," tuturnya.

Rupanya pria tadi tidak beroperasi sendirian. Ada dua rekannya. Pria dan
wanita yang berumur sekitar 55 tahun menghampirinya. "Rekan kami ini baru
saja mengurus sebuah kasus," katanya sambil mengenalkan kedua orang yang
mendekatinya itu.

Rekannya yang wanita mengenakan rok. Sedangkan laki-lakinya mengenakan
setelan safari warna gelap. Rekannya tadi menyodorkan dua berkas yang sudah
dilaminating. "Ini contoh hasil kerja kami soal penangguhan eksekusi," ujar
pria tadi sambil menunjukkan berkasnya. Dari berkas itu Jawa Pos melihat
nama kantor (sebuah LBH swasta) serta alamatnya. Satu berkas lagi berisi
'penangguhan dan minta perlindungan hukum kliennya'.

Berapa biaya untuk minta penangguhan eksekusi? "Ya, sekitar Rp 100 juta.
Harga itu kecil kalau dibandingkan dengan nilai objek yang akan dieksekusi
senilai Rp 10 miliar. Kalau dieksekusi, nilainya akan nol," tutur pria tadi
meyakinkan. "Nomor perkara Anda berapa? Kalau dari Surabaya tidak masalah?"
tanyanya tiba-tiba kepada Jawa Pos.

Setelah itu, pria tadi menghampiri dua rekannya. Mereka sempat ngobrol
dengan seorang kamdal. Tak lama kemudian, dia keluar ruangan dan pergi entah
ke mana? Sebelumnya Jawa Pos sempat ngobrol dengan petugas kamdal tadi.
Mungkin calo tadi diberi tahu bahwa yang diajak ngomong seorang wartawan.
Para calo yang bergerak di MA tak hanya pria tadi. Jawa Pos juga melihat
beberapa orang yang sekilas berprofesi sama. Duduk lama-lama menanti mangsa.
Pakaiannya pun necis-necis.

MA memang sangat terbuka dan sangat longgar bagi orang luar. Orang bisa
leluasa masuk tanpa harus melapor ke satpam. Bahkan, mereka bisa menemui
hakim agung di ruang kerjanya. Apalagi, ada beberapa pintu masuk MA. Tak
heran para calo perkara leluasa bergerak di lingkungan MA tanpa mendapat
kesulitan. "Sebenarnya setiap tamu wajib lapor. Tapi, banyak yang
nyelonong," ujar Taufan, salah satu petugas kamdal MA.

Memang, gerak-gerik calo perkara di MA sudah kasat mata. Dua bulan lalu,
Jawa Pos dan beberapa wartawan lain melihat seseorang membawa uang sekoper
penuh. Orang itu baru turun dari mobil. Lalu, seorang laki-laki yang diduga
calo perkara menghampirinya. Mereka mengambil koper berisi uang di bagasi
mobil.

Keduanya lantas masuk gedung MA yang disambut seorang pria berseragam hijau.
Seragam karyawan MA. Sayangnya, saat dikejar, orang itu sudah masuk gedung
MA dan tidak jelas masuk ke ruangan siapa. Bangunan MA yang mempunyai banyak
lorong mempermudah gerakan para calo perkara menjalankan aksinya.

Mereka bisa masuk ruangan-ruangan yang ada tanpa diketahui banyak orang.
Namun, bila orang baru pertama masuk gedung MA, sangat mungkin malah
tersesat.

Menurut Hakim Agung Artidjo Alkotsar, seharusnya MA membuat aturan tegas
melarang hakim agung menerima tamu yang berhubungan dengan perkara yang
ditangani. Dia juga setuju bila di setiap sudut dan ruang kerja hakim agung
dipasang kamera pengawas (CCTV). Tujuannya memantau aktivitas hakim agung
dan mengetahui para tamu yang datang. "Ini untuk mencegah praktik suap,"
ungkap Artidjo.

Kamera pengawas yang saat ini terpasang di pintu masuk maupun sudut-sudut
ruangan sudah tidak berfungsi. "Rencananya, Desember mendatang diperbaiki,"
ujar Budi, staf Humas MA.

Erna Ratnaningsih, wakil direktur LBH Jakarta, mengatakan, ada
ketidakkonsistenan MA dalam menerapkan aturan tidak menerima tamu
berhubungan dengan perkara. Yang penting justru MA harus transparan terhadap
semua perkara yang ditangani.

"Sebab, bisa saja orang yang datang ke MA karena benar-benar ingin mencari
keadilan. Mereka ingin mencari tahu sampai mana proses kasusnya? Apakah
sudah diputus atau belum? Jadi, MA harus transparan," katanya.

Memang, di lobi ruang tamu MA sudah disediakan SIMARI. Tapi, data yang
disajikan empat komputer itu tidak up to date. Sudah bertahun-tahun SIMARI
macet. Padahal, setiap tahun selalu saja ada anggaran untuk SIMARI.
Bagaimana ini bisa terjadi? Ketua Muda Pembinaan Ahmad Kamil yang
bertanggung jawab atas SIMARI menolak ditemui Jawa Pos di ruangannya untuk
konfirmasi masalah ini.

Direktur ICM (Indonesian Court Monitoring) Denny Indrayana juga mengatakan,
praktik mafia peradilan terjadi karena MA tidak transparan. "Semakin tidak
transparan suatu lembaga, makin korup di tempat itu. Termasuk MA yang sangat
tertutup. Selama ini, untuk menanyakan putusan saja susahnya minta ampun.
Dan, itu sering dimanfaatkan orang dalam," katanya. (*)

Tidak ada komentar: