Senin, 09 Mei 2011
BURUH DI INDONESIA: DILEMAHKAN DAN DITINDAS
Membicarakan perlindungan terhadap buruh haruslah bermula dari pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara buruh-majikan. Dalam hubungan buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan kesejatian akibat tidak seimbangnya kekuasaan ekonomi (yang pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan politik) yang melekat pada buruh dan pada majikan. “Sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.”[1] Atau yang dalam hubungan-hubungan pribadi disebut sebagai kelemahan struktural.[2] Secara sederhana ketidakseimbangan hubungan buruh-majikan ini dapat diilustrasikan dengan pengalaman setiap orang saat melamar pekerjaan. Orang yang melamar pekerjaan pasti membutuhkan pekerjaan karenanya tidak berani dan tidak dapat menentukan syarat-syarat kerja. Apabila ada yang berani menentukan syarat-syarat kerja semisal gaji, maka resiko tidak diterima apabila pengusaha tidak setuju dengan penawaran dari pelamar kerja tersebut, harus ditanggung oleh si pelamar tersebut. Dengan demikian sebenarnya tidak pernah ada kekebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja.
A. Peran Negara Dalam Hubungan Perburuhan
Konsekuensi dari hubungan subordinatif tersebut adalah diperlukannya suatu faktor untuk menyeimbangkannya. Walaupun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Bila dianalogikan dengan kebutuhan baju, maka tidak adil bila orang gemuk dan kurus diberikan bahan baju yang sama banyaknya. Yang gemuk tentu membutuhkan lebih banyak bahan dibandingkan dengan seorang yang kurus. Demikian pula halnya dengan buruh dan pengusaha, karena buruh lebih lemah secara ekonomi yang otomatis mengakibatkan lemahnya posisi tawar dalam bidang kehidupan lainnya, maka justru tidak adil bila terdapat kesamaan perlindungan bagi buruh dan pengusaha. Yang lemah haruslah dilindungi lebih. Dan tugas tersebut tentunya terletak pada tangan Negara. Commons dan Andrews mengatakan “where the parties are unequal (and public purpose is shown) then the state which refuses to redress the unequality is actually denying to the weaker party the equal protection of the laws.”[3]
Perlindungan terhadap yang lemah ini ternyata menjiwai UUD 1945 dalam wujud keadilan sosial yang berdasar kekeluargaan. DR. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua BPUPKI dalam sidang pembentukan Undang-Undang Dasar mengatakan “Saya kira, saya boleh mengatakan bahwa semua anggota-anggota telah memufakati dasar yang dibicarakan di dalam sidang pertama daripada Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yaitu dasar kekeluargaan atau dasar yang saya namakan dasar gotong-royong”.[4] Muhammad Hatta pun yang dengan gigih meminta dimasukkannya hak asasi manusia dalam UUD, yang dikatakan oleh anggota yang lain berasal dari paham liberalisme, juga mengatakan “Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama.”[5] Akibatnya paham kapitalisme dan liberalisme ditolak. Hal ini tergambar dalam sidang kedua BPUPKI, saat Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD diminta oleh ketua BPUPKI untuk menerangkan tentang UUD:
Kita semuanya mengetahui bahwa faham atau dasar falsafah individualisme telah menjadi sumber ekonomisch liberalisme Adam Smith dengan bukunya yang terkenal yagn sebenarnya tidak lain tidak bukan menjalankan teori-teori ekonomi di atas dasar-dasar falsafah yang individualistis. Tetapi kita mengenal apakah hasil ekonomi individualisme, dengan adanya persaingan merdeka. Dengan adanya ekonomisch liberalisme, yang bersemboyan : “laissez faire, laissez passer” dengan persaingan merdeka, timbullah kapitalisme yang sehebat-hebatnya di negeri-negeri yang merdeka. Timbullah itu oleh karena ekonomisch liberalisme itu sistem yang memberi hak sepenuh-penuhnya kepada beberapa orang manusia saja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama yang lain. (Hal. 255)
Kita menghendaki keadilan sosial. … . Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. … . Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. (Hal. 259-260)
Dengan kata lain “UUD 1945 itu sebenarnya juga menjadi hukum dasar bagi kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia[6].” Konsekuensi dari pengaturan ekonomi dalam UUD 1945 tersebut adalah
… tidaklah rasional untuk membatasi cakupan makna kedaulatan rakyat sebagai konsep kekuasaan tertinggi, hanya dalam bidang politik saja. Karena, baik aspek politik maupun aspek ekonomi, secara potensial, dapat saja menjadi objek kekuasaan. … . Orang yang memiliki benda milik tertentu, memiliki kekuasaan (ekonomi) atas benda itu, seperti halnya orang yang memiliki budak, mempunyai kekuasaan (politik) atas budak yang dimilikinya. Begitu juga hubungan atasan-bawahan dalam pengertian otoriter, meskipun derajat hubungannya lebih lunak dibandingkan antara tuan dan budak, tetapi atasan dalam pengertian tradisional mempunyai kekuasaan dan kewenangan tertentu terhadap bawahannya. Karena itu, dalam hubungan dengan gagasan kedaulatan rakyat, dapat dikatakan bahwa bidang ekonomi maupun politik sama-sama merupakan kategori dari objek kekuasaan yang dimiliki rakyat.[7]
Lebih lanjut, sikap Negara terhadap hubungan buruh-majikan serta tanggung jawab yang harus diembannya dapat dilihat dari sikap pembentuk Negara (founding fathers-mothers). Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, panitia kecil yang ditunjuk Ketua PPKI, Soekarno, yang tugasnya membuat rancangan departemen-departemen, mengusulkan 13 Kementerian, salah satunya adalah Kementerian Kesejahteraan yang terbagi atas :
a. Perburuhan
b. Perawatan fakir-miskin dan anak yatim piatu
c. Zakat fitrah[8]
Kementerian Kesejahteraan ini kemudian diputuskan menjadi Departemen Sosial dengan tugas “mengurus hal-hal perburuhan, fakir miskin dan lain-lain.”[9] Konteks pengaturan departemen ini sangat jelas yaitu melihat buruh sebagai pihak yang lemah dan karenanya harus dilindungi.
B. Politik Hukum Perburuhan Indonesia, Orde Lama VS Orde Baru
Tujuan dari para pendiri Negara seperti yang tergambar dalam pemaparan sebelumnya, dalam kehidupan bernegara selanjutnya sayangnya tidak bertahan lama. Pada masa Orde Lama, memang UU yang menyangkut perburuhan mengatur lebih lanjut perlindungan yang dimaksud oleh UUD 1945. Tercatat sejumlah UU yang amat pro buruh yaitu UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, UU 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama, UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
NO. UNDANG-UNDANG KONSEP PERLINDUNGAN
1. UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja • Larangan mempekerjakan anak
• Pembatasan waktu kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu
• Waktu istirahat bagi buruh
• Larangan mempekerjakan buruh pada hari libur
• Hak cuti haid
• Hak cuti melahirkan/keguguran
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
2. UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja • Jaminan atas kecelakaan kerja
• Hak pegawai pengawas untuk menjamin pelaksanaan jaminan kecelakaan
kerja
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
3. UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan • Kewajiban Negara untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan peraturan perburuhan
• Hak pegawai pengawas memasuki dan memeriksa tempat usaha
• Kewajiban majikan untuk memberikan keterangan lisan dan tertulis kepada pegawai pengawas
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
4. UU 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan • Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh kehilangan
anggotanya
• Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh bubar
• Aturan tentang perjanjian perburuhan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan perjanjian kerja antara seorang buruh dengan majikan
• Pembatasan untuk majikan tidak boleh membuat perjanjian perburuhan
dengan serikat buruh lain yang lebih rendah syarat kerjanya dengan perjanjian
perburuhan yang sudah pernah dibuatnya
5. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama Perlindungan hak berserikat
(1) larangan diskriminasi karena menjadi anggota serikat buruh dan melakukan aktivitas sebagai anggota serikat buruh
(2) larangan mendominasi atau melakukan kontrol terhadap serikat buruh
6. UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan • Definisi mogok yang cukup luas :
(1) tindakan kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya pekerjaan
(2) akibat perselisihan perburuhan
(3) maksud untuk menekan majikan atau membantu golongan buruh lain menekan majikan
(4) agar menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan
• Pembentukan P4D/P yang terdiri dari 3 pihak secara berimbang jumlahnya :
pemerintah, wakil buruh dan wakil pengusaha
• Ketentuan putusan P4D/P bersifat mengikat dan dapat dimintakan eksekusi ke
pengadilan negeri
• Arbitrase secara voluntary
• Sanksi untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
7. UU 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing • Pengaturan dan pembatasan mempekerjakan tenaga kerja asing yang berarti
perlindungan terhadap jaminan pekerjaan bagi warga Negara
8. UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta • Ketentuan pengusaha harus mengusahakan tidak terjadi PHK
• Larangan PHK karena sakit selama tidak melebihi 12 bulan secara terus menerus
dan karena menjalankan kewajiban negaradan ibadah agama
• Kewajiban pengusaha merundingkan maksud PHK kepada serikat buruh/buruh
• PHK hanya dengan izin P4D/P
• PHK tanpa izin batal karena hukum
• Selama belum ada izin pengusaha dan buruh harus menjalankan kewajibannya
Kondisi ini berubah sejak pemerintah Orde baru mengeluarkan sejumlah peraturan dan kebijakannya. UU yang dikeluarkan pada awal Orde baru berkuasa yaitu UU 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja memang memuat jaminan hak berserikat serta membuat perjanjian perburuhan. Tetapi apabila dicermati, mulai terjadi pergeseran paradigma. Kata “buruh” diganti dengan “tenaga kerja” diikuti dengan pasal-pasal yang memuat tidak lagi hanya perlindungan dalam konteks hubungan perburuhan tetapi juga pasal-pasal seputar hubungan industrial. Misalnya peran pemerintah untuk mengatur penyebaran dan penggunaan tenaga kerja dengan tekanan pada produktifitas dan pencapaian manfaat yang sebesar-besarnya.
Peraturan dan kebijakan pemerintah tentang perburuhan selanjutnya secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 2 besaran, yang menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Walaupun pembagian ini sebetulnya bias, karena soal-soal kesejahteraan bagi buruh tidak berarti persoalan ekonomi semata karena bila secara politik buruh lemah/dilemahkan maka otomatis hak ekonominya akan lemah pula, tetapi pembagian ini selain untuk memudahkan pengelompokkan justru untuk menunjukkan hubungan tak terpisahkan antara hak ekonomi dan hak politik buruh.
I. Menyangkut Hak Politik Buruh
Secara sederhana dalam, hak politik buruh berarti peraturan-peraturan yang menyangkut kegiatan berserikat. Seperti hak berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan (pembuatan kesepakatan kerja bersama) dan hak mogok. Tercatat beberapa Peraturan Menteri Tenaga Kerja yaitu :
NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN
1. Permenaker 1/MEN/1975 Pembatasan serikat buruh yang dapat didaftar di Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi yaitu gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus daerah min. di 20 daerah Tk. I dan beranggota 15 SB
2. Permenaker 1/MEN/1977 • iuran serikat buruh dipungut melalui pengusaha
• serikat buruh wajib mempertanggungjawabkan keuangan organisasi tingkat basis pabrik kepada Menteri Tenaga kerja, Transmigrasi dan Koperasi[10]
3. Permenaker 5/MEN/1984 Iuran buruh dipungut secara kolektif oleh perusahaan
4. Permenaker 1/MEN/1985 • Penyeragaman pola KKB
• Syarat yang membatasi SB dapat membuat KKB yaitu memiliiki anggota sekurang-kurangnya 50% dari jumlah buruh di perusahaan
5. Permenaker 5/MEN/1987 Persyaratan organisasi yang dapat didaftarkan ke Depnaker
6. Kepmenaker 15A/MEN/1994 • Pengakuan tunggal Negara hanya pada FSPSI untuk
perundingan perselisihan perburuhan
7. Permenaker 5/MEN/1998 • Pendaftaran SP yang sebenarnya merupakan bentuk
perizinan
• Penyeragaman asas organisasi
Selain itu masih ada “13 surat keputusan menteri …, 8 di antaranya bersifat campur tangan untuk menghegemoni buruh, dan selebihnya (5) yang secara lebih tegas membatasi, melarang dan menekan buruh.”[11] Dari delapan yang bersifat campur tangan tersebut di antaranya adalah Kepmen No. 645/Men/1985 tentang pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila. HIP yang berasal dari Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP) hakekatnya adalah melemahkan gerakan buruh maupun serikat buruh. Dengan “… menentang konflik, dalam praktek juga menolak hak untuk melakukan aksi mogok karena dianggap tidak selaras dengan prinsip kekeluargaan yang melandasi Pancasila.”[12] Sedangkan ketentuan yang tegas membatasi antara lain Kepmen 4/Men/1986 yang menekan hak mogok dan kebebasan membentuk serikat buruh, kepmen 342/Men/1986 yang menentukan aparat keamanan (Korem, kodim, Kores) boleh ikut campur menangani perselisihan perburuhan.[13]
Dengan aturan-aturan di atas, kedudukan buruh dipastikan akan lemah. Rupanya Pemerintah Orde Baru amat paham bila kekuatan buruh terletak pada persatuannya yang terwujud pada serikat buruh. Secara garis besar yang dilakukan aturan-aturan menyangkut hak politik buruh tersebut adalah secara sistematis menghambat pembentukan serikat buruh dan membuat kebijakan hanya memungkinkan adanya satu serikat buruh yang diakui oleh pemerintah. Kemudian satu serikat buruh, yang menjadi mudah dikontrol ini, dipreteli pula hak asasinya yaitu hak mogoknya. Padahal “… hak mogok adalah salah satu sarana prinsip dimana para pekerja dan serikat buruh mereka dapat mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka secara sah (ILO, 1996d, ayat 473 - 475).”[14]
II. Menyangkut Hak Ekonomi Buruh
Hak ekonomi buruh secara sederhana diartikan sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi buruh. Beberapa di antaranya adalah
NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN
1. PP 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah • Perlindungan pembayaran upah
• Asas no work no pay
• Daluwarsa tuntutan yang berkaitan dengan hubungan kerja selama 2 tahun
2. Permenaker 6/Men/1985 Aturan tentang pekerja harian lepas
3. Permenaker 5/MEN/1986, diganti dengan Permenaker 2/MEN/1993 Aturan mengenai kesepakatan kerja waktu tertentu (pekerja kontrak)
4. Permenaker 4/MEN/1986, diganti Permenaker 3/MEN/1996 akhirnya menjadi Kepmenaker 150/MEN/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta • Ketentuan tentang mangkir bagi buruh
• Mereduksi kewajiban untuk menjalankan hak dan kewajiban buruh-majikan selama proses PHK dalam UU dengan adanya skorsing terhadap buruh
• Aturan PHK karena kesalahan berat (tidak mendapat pesangon)
• Aturan pemberian SP (surat peringatan) bagi buruh
Ketentuan tentang besarnya pesangon
5. Permenaker 5/Men/1989 diganti Permenaker 1/MEN/1996 akhirnya menjadi Permenaker 3/MEN/1997 Aturan tentang Upah minimum
Secara sekilas peraturan-peraturan tersebut memang berisi perlindungan terhadap buruh. Tetapi bila ditelaah lebih dalam, berbagai peraturan tersebut justru mengurangi hak-hak buruh. Aturan tentang pekerja harian lepas misalnya, tidak hanya melegitimasi jenis hubungan kerja harian lepas tetapi perlindungan yang ada dalam permenaker tersebut yaitu ketentuan jumlah bulan dan hari dalam sebulan untuk pekerja harian lepas (tidak boleh melebihi 3 bulan berturut-turut dan 20 hari kerja dalam setiap bulannya) membuka peluang untuk mengeksploitasi buruh dan membuatnya tetap pada status buruh harian lepas. Dalam sebuah kasus yang ditangani oleh Serikat Buruh Jabotabek Perjuangan (SBJ P), pengusaha mempekerjakan buruh selama bertahun-tahun pada tempat dan jenis pekerjaan yang sama, tetapi tidak pernah selama 3 bulan berturut-turut. Akibatnya buruh tersebut tetap berstatus harian lepas yang tentu saja hak-haknya lebih buruk dari buruh tetap. Kasus menuntut status ini, dalam putusan P4P mengalahkan buruh dengan alasan formalitas mengacu pada ketentuan Permenaker 6/Men/1985.
Hal serupa mengenai aturan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT) yang telah meluaskan praktek kerja kontrak. Pelanggaran tidak hanya untuk ketentuan waktu kontrak (yang tidak boleh melebihi 2 tahun dan perpanjangan 1 kali dengan total keseluruhan masa kontrak tidak boleh melebihi 3 tahun) tetapi juga untuk jenis pekerjaan yang boleh dikontrak.
“Dari data lapangan dapat dilihat bahwa ternyata pemberlakuan KKWT sudah merupakan kondisi umum dari hubungan industrial. Hal ini bukan saja terjadi di perusahaan swasta, namum juga terjadi pada Badan Usaha Milik Negara. … data lapangan menunjukkan bahwa sistem kerja kontrak inipun hampir terjadi di semua jenis pekerjaan. Dari bagian kebersihan, keamanan sampai ke bagian pembukuan/accounting, marketing, perencanaan serta penjualan. Dari segi jabatan pun dapat dilihat, bahwa sistem kerja kontrak juga terjadi dari posisi yang paling rendah seperti office boy, satpam sampai ke supervisor bahkan manager.”[15]
Kondisi yang sedikit berbeda pada Kepmenaker 150/Men/2000 adalah apabila dua peraturan menteri tentang pekerja harian lepas dan kontrak membuka peluang penyelundupan hukum, maka pengaturan tentang pesangon ini dalam ketentuannya memang sudah melemahkan dan mengurangi perlindungan terhadap buruh yang ada dalam undang-undang. Selain sering dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah (karena pengusaha diberi hak melakukan skorsing tanpa melalui mekanisme seperti permintaan izin PHK), aturan ini juga mengenalkan kesalahan berat sebagai alasan PHK (dengan konsekuensi tidak mendapat pesangon) tanpa penyebutan mekanisme pembuktian yang jelas. Akibatnya, P4D/P merasa diberi kewenangan untuk memutus hal-hal yang sebetulnya merupakan lingkup tindak pidana yang seharusnya hanya menjadi kewenangan peradilan.
Hal serupa pada aturan tentang upah minimum yang pada kenyataannya justru menjadi ‘aturan upah maksimum.’ Selain mendasarkan pada kebutuhan fisik minimum/KFM padahal lebih layak dengan kebutuhan hidup minimum/KHM (ditambah lagi pada prakteknya sering tidak sesuai dengan perhitungan KFM), ketidakjelasan aturan ini menyebabkan buruh dengan masa kerja bertahun-tahun juga mendapat upah sebesar upah minimum, sama dengan buruh yang baru masuk bekerja. Tidak heran masalah “upah sundulan” kerap menjadi sumber perselisihan antara buruh dengan pengusaha. Belum lagi masalah tidak pernah diperhitungkannya kebutuhan buruh perempuan yang karena organ reproduksinya membutuhkan lebih banyak kebutuhan serta. Begitu pula dengan kebutuhan buruh yang telah berkeluarga yang tidak masuk dalam perhitungan upah minimum.
Dari paparan di atas, walau undang-undang perburuhan banyak memberikan perlindungan, dalam praktek perlindungan tersebut hilang akibat aturan-aturan di bawahnya
“… kelonggaran yang diberikan kepada buruh oleh undang-undang justru dijegal oleh peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya. … . Selain itu banyaknya peraturan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya yang dihasilkan pada masa ini juga menunjukkan usaha pemerintah yang semakin intensif untuk memanfaatkan ‘lubang-lubang’ kelemahan undang-undang perburuhan, karena pemerintah merasa berkepentingan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, … .”[16]
Pelemahan serikat buruh ternyata membuat buruh harus kehilangan kesejahteraannya. Selain tidak mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Negara (misal yang menyangkut kesejahteraan), buruh juga tidak mampu memaksa pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan aturan yang ada (misal ketentuan tentang pengawasan perburuhan yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran UU perburuhan).
C. Keadaan Saat ini
Sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud sebagai pengganti serta kompilasi seluruh aturan perburuhan, gagal untuk diberlakukan dan harus ditunda setelah gelombang demonstrasi besar-besaran penolakannya. Pemerintah merubah strategi dengan “ menawarkan turunan dari UU tersebut ke dalam paket 3 RUU Perburuhan, … UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, RUU Perlindungan Pembinaan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU PPHI … .” [17]
Bila kebijakan perburuhan Orde Baru yang membatasi buruh berideologi pembangunanisme[18], maka dengan UU 25 Tahun 1997 dan tiga undang-undang turunannya tersebut, kebijakan ini dilanggengkan dengan tambahan motivasi dari tekanan lembaga keuangan internasional untuk kepentingan pasar. Sebagai prasyarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF itu, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan sejumlah agenda ekonomi neoliberal melalui penandatangan Letter of Intent (LOI).[19] Agenda ekonomi neoliberal ini memiliki prasyarat untuk keberlakuannya. Arahnya adalah peran aktif pemerintah diganti dengan peran yang minimalis serta non intervensionis.[20] Hal ini tentu berlaku untuk semua bidang kehidupan, perburuhan tidak luput daripadanya. Kebijakan tersebut tentu perlu infrastruktur dan undang-undang alat yang paling tepat untuk melegitimasinya. Karenanya tidak heran bila filosofi dasar tiga undang-undang perburuhan tersebut memiliki kesamaan yaitu mengurangi bahkan melepaskan peran Negara dalam hubungan buruh-majikan. Dengan asumsi liberalisasi pasar maka intervensi pemerintah dalam bentuk perlindungan terhadap buruh akan menjadi hambatan. Karenanya nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar atau dengan kata lain buruh yang bisa dianalogikan sebagai semut harus bertarung dengan gajah dengan senjata yang harus sama.
Nuansa kental kepentingan agenda neoliberal pada pembentukan UU perburuhan ini secara gamblang diungkapkan oleh Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) Sofyan Wanandi saat mengomentari RUU Ketenagakerjaan “Kesepakatan yang telah diparaf bersama tersebut hendaknya tidak diubah sepihak oleh Menakertrans secara mendadak. Apalagi kesepakatan tripartit telah mengadopsi kepentingan pasar global, karena masalah ketenagakerjaan menjadi pertimbangan investasi, baik pengusaha nasional maupun asing.”[21] Lihat pula komentar Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan 11 Desember 2003 saat menjawab argumentasi pemohon bila pembuatan undang-undang tersebut bukan dilatari kepentingan rakyat melainkan kepentingan IMF: “dalam Letter of Intent disepakati tanggal tanggal berapa saja undang-undang apa harus sudah disepakati. Hal ini karena pemerintah meminjam uang atau berhutang.”[22]
UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Secara formalitas undang-undang ini memang mengakui serta menjamin kebebasan buruh untuk berserikat. Tetapi jaminan tersebut direduksi oleh pasal-pasal berikutnya. Pencatatan yang seharusnya berfungsi administratif pada prakteknya menjadi legalisasi sah tidaknya suatu serikat buruh. Hal ini karena pencantuman hak-hak serikat buruh selalu diembel-embeli dengan “serikat buruh yang telah mencatatkan serta mempunyai nomor bukti berhak … .” Hal ini jelas merupakan pembatasan bagi serikat buruh yang tidak mencatatkan diri. Lebih buruk lagi dalam praktek, nomor bukti pencatatan ini selalu ditanyakan baik oleh pihak Departemen Tenaga Kerja maupun lembaga penyelesaian perslisihan perburuhan (P4D/P). Sehingga stigma serikat buruh illegal sebelum adanya UU 21 tahun 2000 ini belum bisa lepas dari serikat buruh yang memilih untuk tidak mencatatkan diri. Dalam hal ini kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD jelas telah dilanggar.
Kesan undang-undang ini hanyalah lip service Negara diperkuat dengan tidak dapat diimplementasikannya aturan-aturan perlindungan terhadap kebebasan berserikat. Walaupun memuat ancaman hukuman penjara selama 1 – 5 tahun dan/atau denda sebesar 100 – 500 juta, pada kenyataannya tidak ada satupun pelaku pelanggaran berserikat yang dikenai hukuman bahkan tidak ada satupun kasus pelanggaran berserikat yang sampai ke meja hijau untuk diadili. Kasus-kasus di bawah ini hanya bersumber dari kasus-kasus yang masuk ke LBH Jakarta, sehingga bisa dipastikan ada lebih banyak kasus pelanggaran berserikat yang dilaporkan dan tidak ditindaklanjuti.
NO NAMA KASUS TEMPAT PELAPORAN WAKTU PELAPORAN STATUS PELAPORAN KETERANGAN
1. Serikat Pekerja Mandiri PHK massal terhadap 799 orang dan gugatan perdata terhadap 7 orang pengurus SB Polda Metro Jaya Januari 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Telah ada rekomendasi ILO bulan Juni 2002 yang menyatakan bahwa terjadi pelanggaran Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat
2. Serikat Pekerja Bank Panin PHK beruntun dan massal terhadap pengurus dan aktivis SB Polda Metro jaya Awal 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Setelah ada pengaduan, justru terjadi kriminalisasi terhadap Ketua Umum SPBP, Imam Sutrisno dan Sekretaris, Tata Zoelkarnaen
3. Serikat Buruh Nusantara PHK beruntun dan skorsing menuju PHK terhadap belasan pengurus dan aktivis SB, termasuk kriminalisasi ketua SBN, Sofyan Bedot dan Kabid Advokasi, Sujito Polres Tangerang Desember 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak ada juklak teknis penanganan kasus semacam ini. Polisi sempat bertanya tentang tindak pidana yang dilaporkan dan mengaku tahu serta tidak memiliki UU 21 Tahun 2000. Akhirnya 1 kopi UU 21 Tahun 2000 ditinggalkan untuk Polres Tangerang.
4. SPTP PT. Koinus Jaya Garment Skorsing menuju PHK terhadap 9 orang pengurus SB yang memimpin aksi menuntut pelaksanaan UMP 2002, pemberian cuti haid dan cuti melahirkan Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS) Kandepnakertrans Tangerang Desember 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Pihak pengusaha akhirnya mencabut skorsing terhadap 9 orang pengurus SB tersebut setelah ada pelaporan ke Kandepnakertrans Tangerang.
5. SP PT. Setia Kawan Menara Motor Skorsing menuju PHK terhadap ketua SB Ahmad Syahbana Polres Cilegon Pertengahan 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Pengusaha berkeras mengajukan PHK terhadap Ahmad Syahbana
6. PUK SPSI FARKES RS Pondok Indah Skorsing menuju PHK terhadap Aktivis SB, Muchsin Rasjid dan Ketua SB, Edi Waluyo Polda metro jaya Mei 2002 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Justru terjadi kriminalisasi terhadap Edi Waluyo dengan alasan menganiaya atasan. Setelah diputus bersalah di PN Jakarta Selatan saat ini sedang menunggu putusan banding.
*) Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2002 LBH Jakarta
UU Ketenagakerjaan
Setelah bertahun-tahun melewati proses pembahasan serta beberapa kali mengalami pengunduran pengesahan akibat penolakan buruh, akhirnya undang-undang ini disahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 Februari 2003. Melengkapi substansi undang-undang ini yang bermasalah, proses pembahasan bahkan pengesahan serta pengundangannya juga bermasalah.
Setelah beberapa kali penolakan besar-besaran oleh buruh terhadap rencana pengesahan RUU Ketenagakerjaan (saat itu masih bernama RUU PPK) antara lain akhir Juli 2002 dan 23 September 2002[23], untuk melegitimasi bila undang-undang ini disetujui oleh buruh, maka DPR melibatkan serikat buruh secara intensif dan akhirnya membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa orang anggota serikat buruh. Tugasnya adalah membahas substansi undang-undang. Persetujuan mereka yang tergabung dalam tim kecil terhadap RUU Ketenagakerjaan ini kemudian dilegitimasi sebagai persetujuan seluruh buruh. Selain masalah pendanaan tim kecil yang tidak jelas asal usulnya, pembentukan tim kecil yang manipulatif, tidak partisipatif serta transparan, menyebabkan keanggotaan orang-orang dalam tim kecil ini akhirnya ditolak serikat buruh di mana mereka menjadi anggota. Bahkan serikat buruh mereka ikut menjadi pemohon dalam judicial review UU Ketenagakerjaan.
Pasca pengundangan, yang terjadi secara otomatis karena 30 hari telah lewat dari disahkannya tanpa penandatanganan presiden, terungkap bila terjadi perubahan dari naskah yang disahkan DPR dengan naskah yang diundangkan oleh sekretariat Negara. Tercatat ada 4 pasal yang mengalami perubahan yaitu pasal 159, pasal 170, pasal 171, dan pasal 172. Pasal 159 diubah dari 4 ayat menjadi 1 ayat saja. Sedangkan pasal lainnya mengalami perubahan redaksional. “Misalkan, pasal 172 RUU Ketenagakerjaan versi DPR antara lain menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 159 ayat (2).”[24] Naskah ini salah karena ketentuan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur dalam pasal 159 ayat (2) melainkan dalam pasal 156 ayat (2). “Kesalahan tersebut kemudian dikoreksi, sehingga pasal 172 tidak lagi mengacu kepada pasal 159 melainkan pada pasal 156 UU No.13/2003.”[25]
Diluar masalah prosedural, substansi pasal-pasal undang-undang ini sangat jelas menggambarkan upaya sistematis untuk melepaskan tanggung jawab Negara akan kewajiban melindungi buruh. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengurangi atau menghilangkan perlindungan yang telah ada dalam undang-undang sebelumnya. DIbawah ini akan dibandingkan beberapa aturan yang ada dalam UU 13/2003 dengan aturan yang lama untuk menggambarkan hal tersebut
No. Masalah Ketentuan UU 13/2003 Ketentuan Peraturan Lama
1. Hubungan Kerja a. Definisi buruh terdiri dari 2 unsur : bekerja dan menerima upah/imbalan dalam bentuk lain (ps. 1 ayat 3)
b. Membedakan pemberi kerja (pasal 4) dan pengusaha (pasal 5)
c. Outsorcing/subkontrak diperbolehkan (pasal 64)
d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu a. Definisi buruh terdiri dari 3 unsur : bekerja, pada majikan dan menerima upah (UU 22/1957)
Tidak ada pembedaan, pembedaan ini berkaitan dengan aturan outsorcing
Tidak ada aturan eksplisit tentang outsorcing/subkontrak akibatnya outsorcing illegal
d. Hal ini tidak ada. Penambahan ini malah membingungkan karena tidak konsisten dengan pasal berikutnya ang membatasi perjanjian kerja waktu tertentu hanya untuk pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. (Permenaker 2 Tahun 1993)
2. Mogok a. Definisi mogok dibatasi sebagai akibat gagalnya perundingan (pasal 137)
b. Harus dilakukan sah, tertib dan damai (pasal 137)
c. Pembakuan isi pemberitahuan mogok : waktu dimulai dan diakhiri, tempat mogok, alasan mogok tanda tangan ketua dan sekretaris SB sebagai PJ (pasal 140 ayat 2)
d. Mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur :
(1) Perusahaan dapat mengambil tindakan sementara : melarang buruh yang mogok berada di lokasi kegiatan proses produksi atau di lokasi perusahaan
(2) Akibat hukum diatur dalam Keputusan Menteri a. Definisi mogok lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, bisa untuk menekan majikan lain, agar majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Tidak ada ketentuan sah, tertib dan damai
c. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
d. Tidak ada ketentuan eksplisit mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
3. Lock Out a. Definisi lock out dibatasi hanya sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 ayat 1)
b. Pembakuan isi pemberitahuan lock out: waktu dimulai dan diakhiri, alasan lock out, tanda tangan pengusaha/pimpinan perusahaan (pasal 140 ayat 2)
c. Tidak ada akibat hukum bagi lock out yang tidak sesuai prosedur (berbeda dengan mogok yang dilakukan buruh)
d. Lock out boleh tidak sesuai prosedur :
(1) buruh mogok tidak sesuai prosedur
(2) buruh melanggar ketentuan normatif
Pasal 149 ayat (6) a dan b
(berbeda dengan ketentuan mgok buruh yang harus sesuai prosedur tanpa adanya dispensasi karena suatu alasan)
a. Definisi lock out lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, dapat untuk membantu majikan lain, agar buruh menerima hubungan kerja, syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
c. Lock out tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
(Hukuman ini sama dengan pelanggaran prosedur mogok)
d. Tidak ada ketentuan diskriminatif lock out boleh tidak sesuai prosedur karena sesuatu alas an
4. PHK a. Keharusan menjalankan hak dan kewajiban selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, disimpangi dengan ketentuan skorsing (pasal 155 ayat 2 dan 3).
Aturan skorsing ini melegitimasi ‘kesesatan’ aturan skorsing sebelum UU 13 Tahun 2003.
b. PHK boleh tanpa izin bila buruh melakukan kesalahan berat (pasal 158 jo. pasal 171)
c. Kesalahan berat cukup dibuktikan dengan
(1) tertangkap tangan atau
(2) pengakuan buruh yang bersangkutan atau
(3) laporan kejadian yang dibuat pihak berwenang di perusahaan dan didukung min.2 saksi
Pasal 158 ayat (2)
Aturan ini pelanggaran dari asas praduga tak bersalah yang ada dalam UUD 1945 dan UU 14/1970 a. Selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, buruh dan pengusaha harus menjalankan hak dan kewajibannya tanpa kecuali (UU 12 Tahun 1964 pasal 11).
Skorsing pada aturan lalu ada pada keputusan menteri tenaga kerja yang sebetulnya aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya karena UU tidak membolehkanya.
b. Ketentuan ini tidak ada (alasan kesalahan berat bagi PHK buruh tetap harus melalui proses izin)
c. Ketentuan ini tidak ada.
UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagian terakhir dari tiga paket UU perburuhan yang merupakan turunan dari UU 25 Tahun 1997 adalah UU penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-undang ini dapat disebut sebagai hukum acara dari aturan materil yang ada dalam 2 undang-undang sebelumnya.
Perubahan besar yang akan terjadi dengan diberlakukannya UU PPHI adalah menghilangkan corak perselisihan perburuhan yang istimewa berbeda dari perselisihan lainnya. Sesuai hakekat hubungan perburuhan yaitu tidak seimbangnya posisi buruh-majikan, perselisihan perburuhan selama ini dibuat bersifat kolektif (tidak individual) dan semi peradilan yaitu tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan yudikatif tapi mempunyai kekuatan hukum tetap (yang karenanya dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri).
Demi keperluan cepat, tepat, adil dan murah, perselisihan perburuhan yang selama ini diselesaikan di Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) akan di bawa ke pengadilan negeri. Alasan yang jelas menimbulkan pertanyaan karena sistem perselisihan selama ini tidak membutuhkan biaya apapun bagi buruh. Lain persoalan bila biaya yang dimaksud dalam sistem perselisihan perburuhan selama ini adalah biaya-biaya siluman seperti suap kepada petugas. Demikian pula dengan keluhan lamanya perselisihan perburuhan saat ini yang sebetulnya bukan disebabkan oleh UU 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tapi karena UU 5/1986 tentang PTUN memasukkan dalam penjelasannya P4P sebagai banding administrasi karenanya putusannya dapat dijadikan obyek gugatan. Karenanya UU PPHI tidak menjawab masalah yang ada dan hanya akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana dengan mafia peradilan yang belum juga tuntas hingga saat ini. Demikian pula dengan tumpukan perkara di Mahkamah Agung yang masih menjadi keluhan para Hakim Agung hingga saat ini. Optimisme berlebihan akan sistem baru ini benar-benar mengabaikan realitas saat ini, lihat misalnya peradilan kepailitan yang tidak mampu memenuhi ketentuan limitasi waktu dalam prosesnya. Lagi-lagi pemerintah mengulangi kesalahannya dengan tidak menyelesaikan akar masalah tapi melarikan pada persoalan lain. Atau memang menghilangkan korupsi menjadi sesuatu yang dihindari oleh pemerintah?
Diluar masalah tersebut, UU PPHI mempunyai agenda tersembunyi melemahkan gerakan serikat buruh. Lihat saja lingkup kewenangannya yang salah satunya adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Modus operandi membentuk serikat buruh tandingan yang seringkali dilakukan pengusaha untuk membendung gerakan serikat buruh mensejahterakan anggotanya, diberikan tajinya dengan masuknya perselisihan antar serikat buruh dalam salah satu kewenangan pengadilan hubungan industrial. Serikat buruh akan kelelahan serta habis energinya untuk berselisih satu sama lain. Akibatnya, tujuan semula mengurus kesejahteraan anggota akan tersisihkan.
Dari paparan kondisi terkini, dapat dilihat bila dulu pelemahan dan penindasan buruh dilakukan melalui peraturan di bawah undang-undang, “yang memberikan indikasi bahwa rezim eksekutif semakin leluasa dan tidak terkontrol”[26], maka saat ini pelemahan dan penindasan tersebut justru dilakukan melalui undang-undang yang berarti terjadi peningkatan serta perluasan instrumen negara yang melakukan pelemahan serta penindasan tersebut, karena undang-undang adalah produk legislatif dan eksekutif. Dalam situasi seperti ini harapan mungkin hanya dapat digantungkan pada mahakamah konstitusi atau rakyat diharuskan menentukan sejarahnya sendiri.
________________________________________
[1]Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 8.
[2]Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Editor A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. (Jakarta, 1990, Sinar Harapan), hal. 69.
[3]Soepomo, Op. Cit hal. 12
[4]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1995), hal.255
[5]ibid, hal. 259-260
[6]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Politik dan Konstitusi Ekonomi dalam Studi Hukum Tata Negara (Jakarta: Kapita Selekta Teori Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar, 2000), hal. 148.
[7]Ibid., hal. 160.
[8]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1995), hal. 478.
[9]Ibid., hal. 511.
[10]Billah, Strategi Pengendalian Negara Atas Buruh: Studi Awal Masalah Perburuhan di Indonesia Pasca 1965 dari Perspektif Althusserian dan Gramscian, (Tesis Bidang Studi Sosiologi Program Pasca Sarjana, 1995), hal. 88.
[11]Billah, Op. Cit., hal. 119
[12]Vedi R. Hadiz, Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru (Prisma: 7 Juli 1996), hal. 7.
[13]Billah, Op. Cit., hal. 120
[14]Bernard Gernigon, Alberto Odero dan Horacio Guido, Prinsip-Prinsip ILO tentang Hak Mogok. Kantor Perburuhan Internasional (Jakarta: Kantor Perburuhan International, 2002), hal. 11.
[15]Adi Haryadi dan Timboel Siregar, Penelitian Pekerja Kontrak di 5 Kota Besar di Indonesia : Quo Vadis Pekerja Kontrak. Kerja sama AIRC (ASPEK Indonesia Research Centre) dan ACILs (American Centre for International Labor Solidarity).
[16]Billah, Op. Cit., hal. 189.
[17]Release Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB). KAPB beranggotakan puluhan serikat buruh (dari tingkat federasi hingga tingkat perusahaan) dan LSM perburuhan dengan sekretariat di LBH Jakarta.
[18]Lihat Billah dan Vedi R. Hadiz
[19]Revrisond Baswir, Makalah Bahaya Globalisasi Neoliberal Bagi Negara-negara Miskin. Hal. 6.
[20]Stiglitz, Washington Consensus Arah Menuju Jurang Kemiskinan (INFID : 2002), hal. 33.
[21]Kompas Cyber Media : 22 Februari 2003.
[22]Kutipan bebas penulis dari pernyataan Menteri Kehakiman dan HAM pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi, 11 Desember 2003.
Penulis:
A. S. Finawati
pemantauperadilan.com
A. Peran Negara Dalam Hubungan Perburuhan
Konsekuensi dari hubungan subordinatif tersebut adalah diperlukannya suatu faktor untuk menyeimbangkannya. Walaupun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Bila dianalogikan dengan kebutuhan baju, maka tidak adil bila orang gemuk dan kurus diberikan bahan baju yang sama banyaknya. Yang gemuk tentu membutuhkan lebih banyak bahan dibandingkan dengan seorang yang kurus. Demikian pula halnya dengan buruh dan pengusaha, karena buruh lebih lemah secara ekonomi yang otomatis mengakibatkan lemahnya posisi tawar dalam bidang kehidupan lainnya, maka justru tidak adil bila terdapat kesamaan perlindungan bagi buruh dan pengusaha. Yang lemah haruslah dilindungi lebih. Dan tugas tersebut tentunya terletak pada tangan Negara. Commons dan Andrews mengatakan “where the parties are unequal (and public purpose is shown) then the state which refuses to redress the unequality is actually denying to the weaker party the equal protection of the laws.”[3]
Perlindungan terhadap yang lemah ini ternyata menjiwai UUD 1945 dalam wujud keadilan sosial yang berdasar kekeluargaan. DR. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua BPUPKI dalam sidang pembentukan Undang-Undang Dasar mengatakan “Saya kira, saya boleh mengatakan bahwa semua anggota-anggota telah memufakati dasar yang dibicarakan di dalam sidang pertama daripada Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yaitu dasar kekeluargaan atau dasar yang saya namakan dasar gotong-royong”.[4] Muhammad Hatta pun yang dengan gigih meminta dimasukkannya hak asasi manusia dalam UUD, yang dikatakan oleh anggota yang lain berasal dari paham liberalisme, juga mengatakan “Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama.”[5] Akibatnya paham kapitalisme dan liberalisme ditolak. Hal ini tergambar dalam sidang kedua BPUPKI, saat Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD diminta oleh ketua BPUPKI untuk menerangkan tentang UUD:
Kita semuanya mengetahui bahwa faham atau dasar falsafah individualisme telah menjadi sumber ekonomisch liberalisme Adam Smith dengan bukunya yang terkenal yagn sebenarnya tidak lain tidak bukan menjalankan teori-teori ekonomi di atas dasar-dasar falsafah yang individualistis. Tetapi kita mengenal apakah hasil ekonomi individualisme, dengan adanya persaingan merdeka. Dengan adanya ekonomisch liberalisme, yang bersemboyan : “laissez faire, laissez passer” dengan persaingan merdeka, timbullah kapitalisme yang sehebat-hebatnya di negeri-negeri yang merdeka. Timbullah itu oleh karena ekonomisch liberalisme itu sistem yang memberi hak sepenuh-penuhnya kepada beberapa orang manusia saja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama yang lain. (Hal. 255)
Kita menghendaki keadilan sosial. … . Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. … . Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. (Hal. 259-260)
Dengan kata lain “UUD 1945 itu sebenarnya juga menjadi hukum dasar bagi kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia[6].” Konsekuensi dari pengaturan ekonomi dalam UUD 1945 tersebut adalah
… tidaklah rasional untuk membatasi cakupan makna kedaulatan rakyat sebagai konsep kekuasaan tertinggi, hanya dalam bidang politik saja. Karena, baik aspek politik maupun aspek ekonomi, secara potensial, dapat saja menjadi objek kekuasaan. … . Orang yang memiliki benda milik tertentu, memiliki kekuasaan (ekonomi) atas benda itu, seperti halnya orang yang memiliki budak, mempunyai kekuasaan (politik) atas budak yang dimilikinya. Begitu juga hubungan atasan-bawahan dalam pengertian otoriter, meskipun derajat hubungannya lebih lunak dibandingkan antara tuan dan budak, tetapi atasan dalam pengertian tradisional mempunyai kekuasaan dan kewenangan tertentu terhadap bawahannya. Karena itu, dalam hubungan dengan gagasan kedaulatan rakyat, dapat dikatakan bahwa bidang ekonomi maupun politik sama-sama merupakan kategori dari objek kekuasaan yang dimiliki rakyat.[7]
Lebih lanjut, sikap Negara terhadap hubungan buruh-majikan serta tanggung jawab yang harus diembannya dapat dilihat dari sikap pembentuk Negara (founding fathers-mothers). Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, panitia kecil yang ditunjuk Ketua PPKI, Soekarno, yang tugasnya membuat rancangan departemen-departemen, mengusulkan 13 Kementerian, salah satunya adalah Kementerian Kesejahteraan yang terbagi atas :
a. Perburuhan
b. Perawatan fakir-miskin dan anak yatim piatu
c. Zakat fitrah[8]
Kementerian Kesejahteraan ini kemudian diputuskan menjadi Departemen Sosial dengan tugas “mengurus hal-hal perburuhan, fakir miskin dan lain-lain.”[9] Konteks pengaturan departemen ini sangat jelas yaitu melihat buruh sebagai pihak yang lemah dan karenanya harus dilindungi.
B. Politik Hukum Perburuhan Indonesia, Orde Lama VS Orde Baru
Tujuan dari para pendiri Negara seperti yang tergambar dalam pemaparan sebelumnya, dalam kehidupan bernegara selanjutnya sayangnya tidak bertahan lama. Pada masa Orde Lama, memang UU yang menyangkut perburuhan mengatur lebih lanjut perlindungan yang dimaksud oleh UUD 1945. Tercatat sejumlah UU yang amat pro buruh yaitu UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, UU 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama, UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
NO. UNDANG-UNDANG KONSEP PERLINDUNGAN
1. UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja • Larangan mempekerjakan anak
• Pembatasan waktu kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu
• Waktu istirahat bagi buruh
• Larangan mempekerjakan buruh pada hari libur
• Hak cuti haid
• Hak cuti melahirkan/keguguran
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
2. UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja • Jaminan atas kecelakaan kerja
• Hak pegawai pengawas untuk menjamin pelaksanaan jaminan kecelakaan
kerja
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
3. UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan • Kewajiban Negara untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan peraturan perburuhan
• Hak pegawai pengawas memasuki dan memeriksa tempat usaha
• Kewajiban majikan untuk memberikan keterangan lisan dan tertulis kepada pegawai pengawas
• Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
4. UU 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan • Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh kehilangan
anggotanya
• Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh bubar
• Aturan tentang perjanjian perburuhan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan perjanjian kerja antara seorang buruh dengan majikan
• Pembatasan untuk majikan tidak boleh membuat perjanjian perburuhan
dengan serikat buruh lain yang lebih rendah syarat kerjanya dengan perjanjian
perburuhan yang sudah pernah dibuatnya
5. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama Perlindungan hak berserikat
(1) larangan diskriminasi karena menjadi anggota serikat buruh dan melakukan aktivitas sebagai anggota serikat buruh
(2) larangan mendominasi atau melakukan kontrol terhadap serikat buruh
6. UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan • Definisi mogok yang cukup luas :
(1) tindakan kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya pekerjaan
(2) akibat perselisihan perburuhan
(3) maksud untuk menekan majikan atau membantu golongan buruh lain menekan majikan
(4) agar menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan
• Pembentukan P4D/P yang terdiri dari 3 pihak secara berimbang jumlahnya :
pemerintah, wakil buruh dan wakil pengusaha
• Ketentuan putusan P4D/P bersifat mengikat dan dapat dimintakan eksekusi ke
pengadilan negeri
• Arbitrase secara voluntary
• Sanksi untuk pelanggaran ketentuan dalam UU ini
7. UU 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing • Pengaturan dan pembatasan mempekerjakan tenaga kerja asing yang berarti
perlindungan terhadap jaminan pekerjaan bagi warga Negara
8. UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta • Ketentuan pengusaha harus mengusahakan tidak terjadi PHK
• Larangan PHK karena sakit selama tidak melebihi 12 bulan secara terus menerus
dan karena menjalankan kewajiban negaradan ibadah agama
• Kewajiban pengusaha merundingkan maksud PHK kepada serikat buruh/buruh
• PHK hanya dengan izin P4D/P
• PHK tanpa izin batal karena hukum
• Selama belum ada izin pengusaha dan buruh harus menjalankan kewajibannya
Kondisi ini berubah sejak pemerintah Orde baru mengeluarkan sejumlah peraturan dan kebijakannya. UU yang dikeluarkan pada awal Orde baru berkuasa yaitu UU 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja memang memuat jaminan hak berserikat serta membuat perjanjian perburuhan. Tetapi apabila dicermati, mulai terjadi pergeseran paradigma. Kata “buruh” diganti dengan “tenaga kerja” diikuti dengan pasal-pasal yang memuat tidak lagi hanya perlindungan dalam konteks hubungan perburuhan tetapi juga pasal-pasal seputar hubungan industrial. Misalnya peran pemerintah untuk mengatur penyebaran dan penggunaan tenaga kerja dengan tekanan pada produktifitas dan pencapaian manfaat yang sebesar-besarnya.
Peraturan dan kebijakan pemerintah tentang perburuhan selanjutnya secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 2 besaran, yang menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Walaupun pembagian ini sebetulnya bias, karena soal-soal kesejahteraan bagi buruh tidak berarti persoalan ekonomi semata karena bila secara politik buruh lemah/dilemahkan maka otomatis hak ekonominya akan lemah pula, tetapi pembagian ini selain untuk memudahkan pengelompokkan justru untuk menunjukkan hubungan tak terpisahkan antara hak ekonomi dan hak politik buruh.
I. Menyangkut Hak Politik Buruh
Secara sederhana dalam, hak politik buruh berarti peraturan-peraturan yang menyangkut kegiatan berserikat. Seperti hak berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan (pembuatan kesepakatan kerja bersama) dan hak mogok. Tercatat beberapa Peraturan Menteri Tenaga Kerja yaitu :
NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN
1. Permenaker 1/MEN/1975 Pembatasan serikat buruh yang dapat didaftar di Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi yaitu gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus daerah min. di 20 daerah Tk. I dan beranggota 15 SB
2. Permenaker 1/MEN/1977 • iuran serikat buruh dipungut melalui pengusaha
• serikat buruh wajib mempertanggungjawabkan keuangan organisasi tingkat basis pabrik kepada Menteri Tenaga kerja, Transmigrasi dan Koperasi[10]
3. Permenaker 5/MEN/1984 Iuran buruh dipungut secara kolektif oleh perusahaan
4. Permenaker 1/MEN/1985 • Penyeragaman pola KKB
• Syarat yang membatasi SB dapat membuat KKB yaitu memiliiki anggota sekurang-kurangnya 50% dari jumlah buruh di perusahaan
5. Permenaker 5/MEN/1987 Persyaratan organisasi yang dapat didaftarkan ke Depnaker
6. Kepmenaker 15A/MEN/1994 • Pengakuan tunggal Negara hanya pada FSPSI untuk
perundingan perselisihan perburuhan
7. Permenaker 5/MEN/1998 • Pendaftaran SP yang sebenarnya merupakan bentuk
perizinan
• Penyeragaman asas organisasi
Selain itu masih ada “13 surat keputusan menteri …, 8 di antaranya bersifat campur tangan untuk menghegemoni buruh, dan selebihnya (5) yang secara lebih tegas membatasi, melarang dan menekan buruh.”[11] Dari delapan yang bersifat campur tangan tersebut di antaranya adalah Kepmen No. 645/Men/1985 tentang pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila. HIP yang berasal dari Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP) hakekatnya adalah melemahkan gerakan buruh maupun serikat buruh. Dengan “… menentang konflik, dalam praktek juga menolak hak untuk melakukan aksi mogok karena dianggap tidak selaras dengan prinsip kekeluargaan yang melandasi Pancasila.”[12] Sedangkan ketentuan yang tegas membatasi antara lain Kepmen 4/Men/1986 yang menekan hak mogok dan kebebasan membentuk serikat buruh, kepmen 342/Men/1986 yang menentukan aparat keamanan (Korem, kodim, Kores) boleh ikut campur menangani perselisihan perburuhan.[13]
Dengan aturan-aturan di atas, kedudukan buruh dipastikan akan lemah. Rupanya Pemerintah Orde Baru amat paham bila kekuatan buruh terletak pada persatuannya yang terwujud pada serikat buruh. Secara garis besar yang dilakukan aturan-aturan menyangkut hak politik buruh tersebut adalah secara sistematis menghambat pembentukan serikat buruh dan membuat kebijakan hanya memungkinkan adanya satu serikat buruh yang diakui oleh pemerintah. Kemudian satu serikat buruh, yang menjadi mudah dikontrol ini, dipreteli pula hak asasinya yaitu hak mogoknya. Padahal “… hak mogok adalah salah satu sarana prinsip dimana para pekerja dan serikat buruh mereka dapat mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka secara sah (ILO, 1996d, ayat 473 - 475).”[14]
II. Menyangkut Hak Ekonomi Buruh
Hak ekonomi buruh secara sederhana diartikan sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi buruh. Beberapa di antaranya adalah
NO. PERATURAN/KEBIJAKAN ISI KETENTUAN
1. PP 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah • Perlindungan pembayaran upah
• Asas no work no pay
• Daluwarsa tuntutan yang berkaitan dengan hubungan kerja selama 2 tahun
2. Permenaker 6/Men/1985 Aturan tentang pekerja harian lepas
3. Permenaker 5/MEN/1986, diganti dengan Permenaker 2/MEN/1993 Aturan mengenai kesepakatan kerja waktu tertentu (pekerja kontrak)
4. Permenaker 4/MEN/1986, diganti Permenaker 3/MEN/1996 akhirnya menjadi Kepmenaker 150/MEN/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta • Ketentuan tentang mangkir bagi buruh
• Mereduksi kewajiban untuk menjalankan hak dan kewajiban buruh-majikan selama proses PHK dalam UU dengan adanya skorsing terhadap buruh
• Aturan PHK karena kesalahan berat (tidak mendapat pesangon)
• Aturan pemberian SP (surat peringatan) bagi buruh
Ketentuan tentang besarnya pesangon
5. Permenaker 5/Men/1989 diganti Permenaker 1/MEN/1996 akhirnya menjadi Permenaker 3/MEN/1997 Aturan tentang Upah minimum
Secara sekilas peraturan-peraturan tersebut memang berisi perlindungan terhadap buruh. Tetapi bila ditelaah lebih dalam, berbagai peraturan tersebut justru mengurangi hak-hak buruh. Aturan tentang pekerja harian lepas misalnya, tidak hanya melegitimasi jenis hubungan kerja harian lepas tetapi perlindungan yang ada dalam permenaker tersebut yaitu ketentuan jumlah bulan dan hari dalam sebulan untuk pekerja harian lepas (tidak boleh melebihi 3 bulan berturut-turut dan 20 hari kerja dalam setiap bulannya) membuka peluang untuk mengeksploitasi buruh dan membuatnya tetap pada status buruh harian lepas. Dalam sebuah kasus yang ditangani oleh Serikat Buruh Jabotabek Perjuangan (SBJ P), pengusaha mempekerjakan buruh selama bertahun-tahun pada tempat dan jenis pekerjaan yang sama, tetapi tidak pernah selama 3 bulan berturut-turut. Akibatnya buruh tersebut tetap berstatus harian lepas yang tentu saja hak-haknya lebih buruk dari buruh tetap. Kasus menuntut status ini, dalam putusan P4P mengalahkan buruh dengan alasan formalitas mengacu pada ketentuan Permenaker 6/Men/1985.
Hal serupa mengenai aturan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT) yang telah meluaskan praktek kerja kontrak. Pelanggaran tidak hanya untuk ketentuan waktu kontrak (yang tidak boleh melebihi 2 tahun dan perpanjangan 1 kali dengan total keseluruhan masa kontrak tidak boleh melebihi 3 tahun) tetapi juga untuk jenis pekerjaan yang boleh dikontrak.
“Dari data lapangan dapat dilihat bahwa ternyata pemberlakuan KKWT sudah merupakan kondisi umum dari hubungan industrial. Hal ini bukan saja terjadi di perusahaan swasta, namum juga terjadi pada Badan Usaha Milik Negara. … data lapangan menunjukkan bahwa sistem kerja kontrak inipun hampir terjadi di semua jenis pekerjaan. Dari bagian kebersihan, keamanan sampai ke bagian pembukuan/accounting, marketing, perencanaan serta penjualan. Dari segi jabatan pun dapat dilihat, bahwa sistem kerja kontrak juga terjadi dari posisi yang paling rendah seperti office boy, satpam sampai ke supervisor bahkan manager.”[15]
Kondisi yang sedikit berbeda pada Kepmenaker 150/Men/2000 adalah apabila dua peraturan menteri tentang pekerja harian lepas dan kontrak membuka peluang penyelundupan hukum, maka pengaturan tentang pesangon ini dalam ketentuannya memang sudah melemahkan dan mengurangi perlindungan terhadap buruh yang ada dalam undang-undang. Selain sering dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah (karena pengusaha diberi hak melakukan skorsing tanpa melalui mekanisme seperti permintaan izin PHK), aturan ini juga mengenalkan kesalahan berat sebagai alasan PHK (dengan konsekuensi tidak mendapat pesangon) tanpa penyebutan mekanisme pembuktian yang jelas. Akibatnya, P4D/P merasa diberi kewenangan untuk memutus hal-hal yang sebetulnya merupakan lingkup tindak pidana yang seharusnya hanya menjadi kewenangan peradilan.
Hal serupa pada aturan tentang upah minimum yang pada kenyataannya justru menjadi ‘aturan upah maksimum.’ Selain mendasarkan pada kebutuhan fisik minimum/KFM padahal lebih layak dengan kebutuhan hidup minimum/KHM (ditambah lagi pada prakteknya sering tidak sesuai dengan perhitungan KFM), ketidakjelasan aturan ini menyebabkan buruh dengan masa kerja bertahun-tahun juga mendapat upah sebesar upah minimum, sama dengan buruh yang baru masuk bekerja. Tidak heran masalah “upah sundulan” kerap menjadi sumber perselisihan antara buruh dengan pengusaha. Belum lagi masalah tidak pernah diperhitungkannya kebutuhan buruh perempuan yang karena organ reproduksinya membutuhkan lebih banyak kebutuhan serta. Begitu pula dengan kebutuhan buruh yang telah berkeluarga yang tidak masuk dalam perhitungan upah minimum.
Dari paparan di atas, walau undang-undang perburuhan banyak memberikan perlindungan, dalam praktek perlindungan tersebut hilang akibat aturan-aturan di bawahnya
“… kelonggaran yang diberikan kepada buruh oleh undang-undang justru dijegal oleh peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya. … . Selain itu banyaknya peraturan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya yang dihasilkan pada masa ini juga menunjukkan usaha pemerintah yang semakin intensif untuk memanfaatkan ‘lubang-lubang’ kelemahan undang-undang perburuhan, karena pemerintah merasa berkepentingan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, … .”[16]
Pelemahan serikat buruh ternyata membuat buruh harus kehilangan kesejahteraannya. Selain tidak mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Negara (misal yang menyangkut kesejahteraan), buruh juga tidak mampu memaksa pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan aturan yang ada (misal ketentuan tentang pengawasan perburuhan yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran UU perburuhan).
C. Keadaan Saat ini
Sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud sebagai pengganti serta kompilasi seluruh aturan perburuhan, gagal untuk diberlakukan dan harus ditunda setelah gelombang demonstrasi besar-besaran penolakannya. Pemerintah merubah strategi dengan “ menawarkan turunan dari UU tersebut ke dalam paket 3 RUU Perburuhan, … UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, RUU Perlindungan Pembinaan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU PPHI … .” [17]
Bila kebijakan perburuhan Orde Baru yang membatasi buruh berideologi pembangunanisme[18], maka dengan UU 25 Tahun 1997 dan tiga undang-undang turunannya tersebut, kebijakan ini dilanggengkan dengan tambahan motivasi dari tekanan lembaga keuangan internasional untuk kepentingan pasar. Sebagai prasyarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF itu, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan sejumlah agenda ekonomi neoliberal melalui penandatangan Letter of Intent (LOI).[19] Agenda ekonomi neoliberal ini memiliki prasyarat untuk keberlakuannya. Arahnya adalah peran aktif pemerintah diganti dengan peran yang minimalis serta non intervensionis.[20] Hal ini tentu berlaku untuk semua bidang kehidupan, perburuhan tidak luput daripadanya. Kebijakan tersebut tentu perlu infrastruktur dan undang-undang alat yang paling tepat untuk melegitimasinya. Karenanya tidak heran bila filosofi dasar tiga undang-undang perburuhan tersebut memiliki kesamaan yaitu mengurangi bahkan melepaskan peran Negara dalam hubungan buruh-majikan. Dengan asumsi liberalisasi pasar maka intervensi pemerintah dalam bentuk perlindungan terhadap buruh akan menjadi hambatan. Karenanya nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar atau dengan kata lain buruh yang bisa dianalogikan sebagai semut harus bertarung dengan gajah dengan senjata yang harus sama.
Nuansa kental kepentingan agenda neoliberal pada pembentukan UU perburuhan ini secara gamblang diungkapkan oleh Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) Sofyan Wanandi saat mengomentari RUU Ketenagakerjaan “Kesepakatan yang telah diparaf bersama tersebut hendaknya tidak diubah sepihak oleh Menakertrans secara mendadak. Apalagi kesepakatan tripartit telah mengadopsi kepentingan pasar global, karena masalah ketenagakerjaan menjadi pertimbangan investasi, baik pengusaha nasional maupun asing.”[21] Lihat pula komentar Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan 11 Desember 2003 saat menjawab argumentasi pemohon bila pembuatan undang-undang tersebut bukan dilatari kepentingan rakyat melainkan kepentingan IMF: “dalam Letter of Intent disepakati tanggal tanggal berapa saja undang-undang apa harus sudah disepakati. Hal ini karena pemerintah meminjam uang atau berhutang.”[22]
UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Secara formalitas undang-undang ini memang mengakui serta menjamin kebebasan buruh untuk berserikat. Tetapi jaminan tersebut direduksi oleh pasal-pasal berikutnya. Pencatatan yang seharusnya berfungsi administratif pada prakteknya menjadi legalisasi sah tidaknya suatu serikat buruh. Hal ini karena pencantuman hak-hak serikat buruh selalu diembel-embeli dengan “serikat buruh yang telah mencatatkan serta mempunyai nomor bukti berhak … .” Hal ini jelas merupakan pembatasan bagi serikat buruh yang tidak mencatatkan diri. Lebih buruk lagi dalam praktek, nomor bukti pencatatan ini selalu ditanyakan baik oleh pihak Departemen Tenaga Kerja maupun lembaga penyelesaian perslisihan perburuhan (P4D/P). Sehingga stigma serikat buruh illegal sebelum adanya UU 21 tahun 2000 ini belum bisa lepas dari serikat buruh yang memilih untuk tidak mencatatkan diri. Dalam hal ini kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD jelas telah dilanggar.
Kesan undang-undang ini hanyalah lip service Negara diperkuat dengan tidak dapat diimplementasikannya aturan-aturan perlindungan terhadap kebebasan berserikat. Walaupun memuat ancaman hukuman penjara selama 1 – 5 tahun dan/atau denda sebesar 100 – 500 juta, pada kenyataannya tidak ada satupun pelaku pelanggaran berserikat yang dikenai hukuman bahkan tidak ada satupun kasus pelanggaran berserikat yang sampai ke meja hijau untuk diadili. Kasus-kasus di bawah ini hanya bersumber dari kasus-kasus yang masuk ke LBH Jakarta, sehingga bisa dipastikan ada lebih banyak kasus pelanggaran berserikat yang dilaporkan dan tidak ditindaklanjuti.
NO NAMA KASUS TEMPAT PELAPORAN WAKTU PELAPORAN STATUS PELAPORAN KETERANGAN
1. Serikat Pekerja Mandiri PHK massal terhadap 799 orang dan gugatan perdata terhadap 7 orang pengurus SB Polda Metro Jaya Januari 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Telah ada rekomendasi ILO bulan Juni 2002 yang menyatakan bahwa terjadi pelanggaran Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat
2. Serikat Pekerja Bank Panin PHK beruntun dan massal terhadap pengurus dan aktivis SB Polda Metro jaya Awal 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Setelah ada pengaduan, justru terjadi kriminalisasi terhadap Ketua Umum SPBP, Imam Sutrisno dan Sekretaris, Tata Zoelkarnaen
3. Serikat Buruh Nusantara PHK beruntun dan skorsing menuju PHK terhadap belasan pengurus dan aktivis SB, termasuk kriminalisasi ketua SBN, Sofyan Bedot dan Kabid Advokasi, Sujito Polres Tangerang Desember 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak ada juklak teknis penanganan kasus semacam ini. Polisi sempat bertanya tentang tindak pidana yang dilaporkan dan mengaku tahu serta tidak memiliki UU 21 Tahun 2000. Akhirnya 1 kopi UU 21 Tahun 2000 ditinggalkan untuk Polres Tangerang.
4. SPTP PT. Koinus Jaya Garment Skorsing menuju PHK terhadap 9 orang pengurus SB yang memimpin aksi menuntut pelaksanaan UMP 2002, pemberian cuti haid dan cuti melahirkan Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS) Kandepnakertrans Tangerang Desember 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Pihak pengusaha akhirnya mencabut skorsing terhadap 9 orang pengurus SB tersebut setelah ada pelaporan ke Kandepnakertrans Tangerang.
5. SP PT. Setia Kawan Menara Motor Skorsing menuju PHK terhadap ketua SB Ahmad Syahbana Polres Cilegon Pertengahan 2001 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Pengusaha berkeras mengajukan PHK terhadap Ahmad Syahbana
6. PUK SPSI FARKES RS Pondok Indah Skorsing menuju PHK terhadap Aktivis SB, Muchsin Rasjid dan Ketua SB, Edi Waluyo Polda metro jaya Mei 2002 Tidak ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas. Justru terjadi kriminalisasi terhadap Edi Waluyo dengan alasan menganiaya atasan. Setelah diputus bersalah di PN Jakarta Selatan saat ini sedang menunggu putusan banding.
*) Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2002 LBH Jakarta
UU Ketenagakerjaan
Setelah bertahun-tahun melewati proses pembahasan serta beberapa kali mengalami pengunduran pengesahan akibat penolakan buruh, akhirnya undang-undang ini disahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 Februari 2003. Melengkapi substansi undang-undang ini yang bermasalah, proses pembahasan bahkan pengesahan serta pengundangannya juga bermasalah.
Setelah beberapa kali penolakan besar-besaran oleh buruh terhadap rencana pengesahan RUU Ketenagakerjaan (saat itu masih bernama RUU PPK) antara lain akhir Juli 2002 dan 23 September 2002[23], untuk melegitimasi bila undang-undang ini disetujui oleh buruh, maka DPR melibatkan serikat buruh secara intensif dan akhirnya membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa orang anggota serikat buruh. Tugasnya adalah membahas substansi undang-undang. Persetujuan mereka yang tergabung dalam tim kecil terhadap RUU Ketenagakerjaan ini kemudian dilegitimasi sebagai persetujuan seluruh buruh. Selain masalah pendanaan tim kecil yang tidak jelas asal usulnya, pembentukan tim kecil yang manipulatif, tidak partisipatif serta transparan, menyebabkan keanggotaan orang-orang dalam tim kecil ini akhirnya ditolak serikat buruh di mana mereka menjadi anggota. Bahkan serikat buruh mereka ikut menjadi pemohon dalam judicial review UU Ketenagakerjaan.
Pasca pengundangan, yang terjadi secara otomatis karena 30 hari telah lewat dari disahkannya tanpa penandatanganan presiden, terungkap bila terjadi perubahan dari naskah yang disahkan DPR dengan naskah yang diundangkan oleh sekretariat Negara. Tercatat ada 4 pasal yang mengalami perubahan yaitu pasal 159, pasal 170, pasal 171, dan pasal 172. Pasal 159 diubah dari 4 ayat menjadi 1 ayat saja. Sedangkan pasal lainnya mengalami perubahan redaksional. “Misalkan, pasal 172 RUU Ketenagakerjaan versi DPR antara lain menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 159 ayat (2).”[24] Naskah ini salah karena ketentuan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur dalam pasal 159 ayat (2) melainkan dalam pasal 156 ayat (2). “Kesalahan tersebut kemudian dikoreksi, sehingga pasal 172 tidak lagi mengacu kepada pasal 159 melainkan pada pasal 156 UU No.13/2003.”[25]
Diluar masalah prosedural, substansi pasal-pasal undang-undang ini sangat jelas menggambarkan upaya sistematis untuk melepaskan tanggung jawab Negara akan kewajiban melindungi buruh. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengurangi atau menghilangkan perlindungan yang telah ada dalam undang-undang sebelumnya. DIbawah ini akan dibandingkan beberapa aturan yang ada dalam UU 13/2003 dengan aturan yang lama untuk menggambarkan hal tersebut
No. Masalah Ketentuan UU 13/2003 Ketentuan Peraturan Lama
1. Hubungan Kerja a. Definisi buruh terdiri dari 2 unsur : bekerja dan menerima upah/imbalan dalam bentuk lain (ps. 1 ayat 3)
b. Membedakan pemberi kerja (pasal 4) dan pengusaha (pasal 5)
c. Outsorcing/subkontrak diperbolehkan (pasal 64)
d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu a. Definisi buruh terdiri dari 3 unsur : bekerja, pada majikan dan menerima upah (UU 22/1957)
Tidak ada pembedaan, pembedaan ini berkaitan dengan aturan outsorcing
Tidak ada aturan eksplisit tentang outsorcing/subkontrak akibatnya outsorcing illegal
d. Hal ini tidak ada. Penambahan ini malah membingungkan karena tidak konsisten dengan pasal berikutnya ang membatasi perjanjian kerja waktu tertentu hanya untuk pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. (Permenaker 2 Tahun 1993)
2. Mogok a. Definisi mogok dibatasi sebagai akibat gagalnya perundingan (pasal 137)
b. Harus dilakukan sah, tertib dan damai (pasal 137)
c. Pembakuan isi pemberitahuan mogok : waktu dimulai dan diakhiri, tempat mogok, alasan mogok tanda tangan ketua dan sekretaris SB sebagai PJ (pasal 140 ayat 2)
d. Mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur :
(1) Perusahaan dapat mengambil tindakan sementara : melarang buruh yang mogok berada di lokasi kegiatan proses produksi atau di lokasi perusahaan
(2) Akibat hukum diatur dalam Keputusan Menteri a. Definisi mogok lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, bisa untuk menekan majikan lain, agar majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Tidak ada ketentuan sah, tertib dan damai
c. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
d. Tidak ada ketentuan eksplisit mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
3. Lock Out a. Definisi lock out dibatasi hanya sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 ayat 1)
b. Pembakuan isi pemberitahuan lock out: waktu dimulai dan diakhiri, alasan lock out, tanda tangan pengusaha/pimpinan perusahaan (pasal 140 ayat 2)
c. Tidak ada akibat hukum bagi lock out yang tidak sesuai prosedur (berbeda dengan mogok yang dilakukan buruh)
d. Lock out boleh tidak sesuai prosedur :
(1) buruh mogok tidak sesuai prosedur
(2) buruh melanggar ketentuan normatif
Pasal 149 ayat (6) a dan b
(berbeda dengan ketentuan mgok buruh yang harus sesuai prosedur tanpa adanya dispensasi karena suatu alasan)
a. Definisi lock out lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, dapat untuk membantu majikan lain, agar buruh menerima hubungan kerja, syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
c. Lock out tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
(Hukuman ini sama dengan pelanggaran prosedur mogok)
d. Tidak ada ketentuan diskriminatif lock out boleh tidak sesuai prosedur karena sesuatu alas an
4. PHK a. Keharusan menjalankan hak dan kewajiban selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, disimpangi dengan ketentuan skorsing (pasal 155 ayat 2 dan 3).
Aturan skorsing ini melegitimasi ‘kesesatan’ aturan skorsing sebelum UU 13 Tahun 2003.
b. PHK boleh tanpa izin bila buruh melakukan kesalahan berat (pasal 158 jo. pasal 171)
c. Kesalahan berat cukup dibuktikan dengan
(1) tertangkap tangan atau
(2) pengakuan buruh yang bersangkutan atau
(3) laporan kejadian yang dibuat pihak berwenang di perusahaan dan didukung min.2 saksi
Pasal 158 ayat (2)
Aturan ini pelanggaran dari asas praduga tak bersalah yang ada dalam UUD 1945 dan UU 14/1970 a. Selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, buruh dan pengusaha harus menjalankan hak dan kewajibannya tanpa kecuali (UU 12 Tahun 1964 pasal 11).
Skorsing pada aturan lalu ada pada keputusan menteri tenaga kerja yang sebetulnya aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya karena UU tidak membolehkanya.
b. Ketentuan ini tidak ada (alasan kesalahan berat bagi PHK buruh tetap harus melalui proses izin)
c. Ketentuan ini tidak ada.
UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagian terakhir dari tiga paket UU perburuhan yang merupakan turunan dari UU 25 Tahun 1997 adalah UU penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-undang ini dapat disebut sebagai hukum acara dari aturan materil yang ada dalam 2 undang-undang sebelumnya.
Perubahan besar yang akan terjadi dengan diberlakukannya UU PPHI adalah menghilangkan corak perselisihan perburuhan yang istimewa berbeda dari perselisihan lainnya. Sesuai hakekat hubungan perburuhan yaitu tidak seimbangnya posisi buruh-majikan, perselisihan perburuhan selama ini dibuat bersifat kolektif (tidak individual) dan semi peradilan yaitu tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan yudikatif tapi mempunyai kekuatan hukum tetap (yang karenanya dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri).
Demi keperluan cepat, tepat, adil dan murah, perselisihan perburuhan yang selama ini diselesaikan di Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) akan di bawa ke pengadilan negeri. Alasan yang jelas menimbulkan pertanyaan karena sistem perselisihan selama ini tidak membutuhkan biaya apapun bagi buruh. Lain persoalan bila biaya yang dimaksud dalam sistem perselisihan perburuhan selama ini adalah biaya-biaya siluman seperti suap kepada petugas. Demikian pula dengan keluhan lamanya perselisihan perburuhan saat ini yang sebetulnya bukan disebabkan oleh UU 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tapi karena UU 5/1986 tentang PTUN memasukkan dalam penjelasannya P4P sebagai banding administrasi karenanya putusannya dapat dijadikan obyek gugatan. Karenanya UU PPHI tidak menjawab masalah yang ada dan hanya akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana dengan mafia peradilan yang belum juga tuntas hingga saat ini. Demikian pula dengan tumpukan perkara di Mahkamah Agung yang masih menjadi keluhan para Hakim Agung hingga saat ini. Optimisme berlebihan akan sistem baru ini benar-benar mengabaikan realitas saat ini, lihat misalnya peradilan kepailitan yang tidak mampu memenuhi ketentuan limitasi waktu dalam prosesnya. Lagi-lagi pemerintah mengulangi kesalahannya dengan tidak menyelesaikan akar masalah tapi melarikan pada persoalan lain. Atau memang menghilangkan korupsi menjadi sesuatu yang dihindari oleh pemerintah?
Diluar masalah tersebut, UU PPHI mempunyai agenda tersembunyi melemahkan gerakan serikat buruh. Lihat saja lingkup kewenangannya yang salah satunya adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Modus operandi membentuk serikat buruh tandingan yang seringkali dilakukan pengusaha untuk membendung gerakan serikat buruh mensejahterakan anggotanya, diberikan tajinya dengan masuknya perselisihan antar serikat buruh dalam salah satu kewenangan pengadilan hubungan industrial. Serikat buruh akan kelelahan serta habis energinya untuk berselisih satu sama lain. Akibatnya, tujuan semula mengurus kesejahteraan anggota akan tersisihkan.
Dari paparan kondisi terkini, dapat dilihat bila dulu pelemahan dan penindasan buruh dilakukan melalui peraturan di bawah undang-undang, “yang memberikan indikasi bahwa rezim eksekutif semakin leluasa dan tidak terkontrol”[26], maka saat ini pelemahan dan penindasan tersebut justru dilakukan melalui undang-undang yang berarti terjadi peningkatan serta perluasan instrumen negara yang melakukan pelemahan serta penindasan tersebut, karena undang-undang adalah produk legislatif dan eksekutif. Dalam situasi seperti ini harapan mungkin hanya dapat digantungkan pada mahakamah konstitusi atau rakyat diharuskan menentukan sejarahnya sendiri.
________________________________________
[1]Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 8.
[2]Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Editor A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. (Jakarta, 1990, Sinar Harapan), hal. 69.
[3]Soepomo, Op. Cit hal. 12
[4]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1995), hal.255
[5]ibid, hal. 259-260
[6]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Politik dan Konstitusi Ekonomi dalam Studi Hukum Tata Negara (Jakarta: Kapita Selekta Teori Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar, 2000), hal. 148.
[7]Ibid., hal. 160.
[8]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1995), hal. 478.
[9]Ibid., hal. 511.
[10]Billah, Strategi Pengendalian Negara Atas Buruh: Studi Awal Masalah Perburuhan di Indonesia Pasca 1965 dari Perspektif Althusserian dan Gramscian, (Tesis Bidang Studi Sosiologi Program Pasca Sarjana, 1995), hal. 88.
[11]Billah, Op. Cit., hal. 119
[12]Vedi R. Hadiz, Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru (Prisma: 7 Juli 1996), hal. 7.
[13]Billah, Op. Cit., hal. 120
[14]Bernard Gernigon, Alberto Odero dan Horacio Guido, Prinsip-Prinsip ILO tentang Hak Mogok. Kantor Perburuhan Internasional (Jakarta: Kantor Perburuhan International, 2002), hal. 11.
[15]Adi Haryadi dan Timboel Siregar, Penelitian Pekerja Kontrak di 5 Kota Besar di Indonesia : Quo Vadis Pekerja Kontrak. Kerja sama AIRC (ASPEK Indonesia Research Centre) dan ACILs (American Centre for International Labor Solidarity).
[16]Billah, Op. Cit., hal. 189.
[17]Release Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB). KAPB beranggotakan puluhan serikat buruh (dari tingkat federasi hingga tingkat perusahaan) dan LSM perburuhan dengan sekretariat di LBH Jakarta.
[18]Lihat Billah dan Vedi R. Hadiz
[19]Revrisond Baswir, Makalah Bahaya Globalisasi Neoliberal Bagi Negara-negara Miskin. Hal. 6.
[20]Stiglitz, Washington Consensus Arah Menuju Jurang Kemiskinan (INFID : 2002), hal. 33.
[21]Kompas Cyber Media : 22 Februari 2003.
[22]Kutipan bebas penulis dari pernyataan Menteri Kehakiman dan HAM pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi, 11 Desember 2003.
Penulis:
A. S. Finawati
pemantauperadilan.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar