Senin, 09 Mei 2011
Artikel-Makalah : Gerakan Antikorupsi, Sebuah Perang Sunyi di Belantara Curiga Perang melawan korupsi selalu vis a vis dengan fitnah, kecurigaan, dan serangan balik.
Ibarat dua sisi mata uang, aksi pemberantasan korupsi kadang berada pada sisi atas, namun bisa saja fitnah, tebaran curiga, dan aneka modus serangan balik yang berada di sisi atas mata uang itu.
Serangan balik dilancarkan bila upaya pemberantasan korupsi mulai mengusik kepentingannya, orang-orangnya, dan/atau kelompoknya.
Serangan balik tak cuma mengarah ke lembaga KPK, tetapi juga menyerang personal secara irasional.
Rumor dan fitnah kerap ditebar untuk membangun tembok kecurigaan publik.
Bahkan, kecurigaan bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan pesanan politik pemerintahan terhadap lawan-lawan politiknya, kerap dikembangkan dalam wacana-wacana publik.
Modus serangan balik pun dibungkus rapi dengan penilaian akan adanya pelanggaran prosedur hukum dan pelemahan sistematis yang perlahan terhadap institusi pemberantas korupsi.
Pengalaman itu rasanya telah banyak dialami selama hampir dua tahun berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pun waktu-waktu sebelumnya saat berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memimpikan Indonesia yang bersih, dan waktu pula telah mengajarkan bahwa hanya segelintir orang saja yang bermimpi Indonesia bebas korupsi.
Aksi-aksi penindakan yang dilakukan KPK seharusnya hanya menjadi cambuk atau pelecut untuk perbaikan sistem birokrasi di Indonesia. Namun faktanya, semua hanya menjadi penonton adegan demi adegan pemberantasan korupsi semua itu apakah Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tetap diam terpaku, meski satu per satu fakta dipertontonkan.
Tidak ada satu pihak pun yang mencoba memanfaatkan momentum untuk perbaikan sistem.
Akibatnya, aksi-aksi pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun masih berkutat pada masalah yang sama.
Semua mungkin masih ingat apa yang dilakukan Sugiarto, Ketua Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967.
Ketika itu tim pemberantasan korupsi sudah menangkap seorang pejabat Polri, mengobrak-abrik Dolog, Pertamina, maupun Departemen Agama. Namun 37 tahun kemudian, pemandangan tetap sama. Kasus menjadi salah satu bukti bahwa minyak, gula, dan beras masih menjadi komoditi yang dikorupsi.
Lembaga-lembaga negara dan BUMN masih jadi ladang korupsi.
Artinya, 37 tahun kemudian, Indonesia masih tetap berjalan di tempat, karena aksi penindakan yang bisa saja radikal ternyata tak membawa perubahan.
Kuncinya satu, momentum penindakan tak segera diikuti dengan perbaikan sistem yang bisa mencegah praktik-praktik korup.
Berbagai usulan untuk perbaikan sistem masih ditanggapi dengan dingin, baik oleh Eksekutif maupun Legislatif, dan Yudikatif
Pemetaan gerakan antikorupsi belum juga kunjung dirampungkan, begitu pula dengan satuan tugas yang bertugas mereformasi birokrasi tetap hanya sebuah janji yang tak ditindaklanjuti.
Fakta-fakta ini menjadi bukti kecil bahwa tak banyak orang sadar Indonesia dalam kondisi darurat korupsi.
Tak banyak orang mau mengakui Indonesia sedang sakit. Aneka terobosan untuk mengobati Indonesia kerapkali dicibir sebagai upaya mengada-ada belaka.
Pengalaman dua tahun ini telah memberi pelajaran banyak bagi gerakan antikorupsi, salah satu di anataranya ternyata masih sedikit orang yang ingin melihat Indonesia bersih.
Kesunyian dan kesendirian masih menemani niat baik melawan korupsi.
Tak banyak teman, tak banyak kapital, dan tak banyak dukungan yang menemani gerakan melawan soliditas kekuatan para koruptor ini. Serangan-serangan balik mengajarkan bahwa gerakan antikorupsi masih belum masif.
Kelompok-kelompok antikorupsi masih merupakan kelompok kecil yang berjalan sendirian.
Kesunyian "perang" masih menemani upaya melawan gegap gempitanya lawan yang punya segudang kapital, segunung dukungan politik dan kekuatan, serta segerombolan kawan.
Soliditas kekuatan koruptor jauh lebih rekat dan besar dibandingkan soliditas antikorupsi yang sungguh sangat rentan diobrak-abrik.
Fakta-fakta di atas adalah realitas yang harus diterima sebagai konsekuensi logis sebuah pilihan.
Realitas bahwa pemberantasan korupsi masih setengah hati, masih sebatas setengah niat adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri.
Semua bersorak saat koruptor yang ditangkap adalah lawan politiknya, orang lain yang tak dikenal dekat, namun sikap ambigu muncul saat teman, sahabat, saudara, atau anggota separtai dikatakan koruptor. Ramai-ramai teriakan menghujat dilancarkan untuk menyerang aksi pemberantasan korupsi.
Teriakan antikorupsi ternyata masih sebatas slogan-slogan yang beterbangan di ruang-ruang kosong.
Lontaran sporadis para pejabat negara menjadi bukti belum adanya kesadaran yang sama akan kondisi Indonesia yang sakit.
Teriakan bahwa korupsi telah memiskinkan rakyat memang menggema kencang di satu sisi, namun saat aksi pemberantasan korupsi mengobrak-abrik lembaga mereka, menyeret teman atau sahabat mereka, teriakan menghujat jauh lebih riuh menggema.
Di samping itu semua, kerumitan praktik korupsi menjadi problem tersendiri.
Kerumitan tersebut menjadi sebuah komplikasi yang nyata karena upaya pengungkapan praktik korupsi belum didukung oleh tiga UU yang dipersyaratkan seharusnya ada, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kebebasan Mmperoleh Informasi Publik, dan UU Pembuktian Terbalik.
Padahal dengan adanya ketiga UU itu ditambah cara berpikir progresif dengan strategi aktif menjemput bola, maka upaya-upaya mencari alat bukti untuk mengungkap praktik korupsi bisa lebih cepat dan lengkap. Negara dalam darurat korupsi haruslah menjadi pemahaman bersama sehingga terobosan-terobosan agresif tidak membuat masing-masing kita terkejut-kejut dan berteriak menghujat.
Belum lagi, soal lain, sekelompok orang yang sebenarnya memiliki niat yang sama atas dasar integritas individual yang baik, namun karena masing-masing berada di lembaga berbeda, muncullah semacam kecemburuan kelembagaan, atau lebih celaka lagi merasa ’saya paling bersih’, dan ’mereka memiliki masa lalu yang suram’.
Tidak ada satu pun manusia yang bersih, termasuk kita. Sungguh sebuah kesia-siaan yang mengganggu akal sehat.
"Perang" melawan korupsi memang tak cuma butuh niat baik belaka yang dikemas dalam slogan-slogan kosong di ruang-ruang hampa udara.
Perlu agresivitas luar biasa dan keberanian besar untuk mewujudkannya dalam aksi-aksi nyata memberantas korupsi.
Dan catatan yang perlu selalu diingat, korupsi bukanlah budaya, korupsi bisa terjadi karena sistem yang dibangun tidak benar dan sikap permisif yang masif terhadap praktik-praktik korupsi yang terakumulasi selama bertahun-tahun.
Refleksi Subyektif dari Erry Riyana Hardjapamekas
(Yang Disepahami oleh Pimpinan KPK)
Serangan balik dilancarkan bila upaya pemberantasan korupsi mulai mengusik kepentingannya, orang-orangnya, dan/atau kelompoknya.
Serangan balik tak cuma mengarah ke lembaga KPK, tetapi juga menyerang personal secara irasional.
Rumor dan fitnah kerap ditebar untuk membangun tembok kecurigaan publik.
Bahkan, kecurigaan bahwa upaya pemberantasan korupsi merupakan pesanan politik pemerintahan terhadap lawan-lawan politiknya, kerap dikembangkan dalam wacana-wacana publik.
Modus serangan balik pun dibungkus rapi dengan penilaian akan adanya pelanggaran prosedur hukum dan pelemahan sistematis yang perlahan terhadap institusi pemberantas korupsi.
Pengalaman itu rasanya telah banyak dialami selama hampir dua tahun berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pun waktu-waktu sebelumnya saat berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memimpikan Indonesia yang bersih, dan waktu pula telah mengajarkan bahwa hanya segelintir orang saja yang bermimpi Indonesia bebas korupsi.
Aksi-aksi penindakan yang dilakukan KPK seharusnya hanya menjadi cambuk atau pelecut untuk perbaikan sistem birokrasi di Indonesia. Namun faktanya, semua hanya menjadi penonton adegan demi adegan pemberantasan korupsi semua itu apakah Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tetap diam terpaku, meski satu per satu fakta dipertontonkan.
Tidak ada satu pihak pun yang mencoba memanfaatkan momentum untuk perbaikan sistem.
Akibatnya, aksi-aksi pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun masih berkutat pada masalah yang sama.
Semua mungkin masih ingat apa yang dilakukan Sugiarto, Ketua Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967.
Ketika itu tim pemberantasan korupsi sudah menangkap seorang pejabat Polri, mengobrak-abrik Dolog, Pertamina, maupun Departemen Agama. Namun 37 tahun kemudian, pemandangan tetap sama. Kasus menjadi salah satu bukti bahwa minyak, gula, dan beras masih menjadi komoditi yang dikorupsi.
Lembaga-lembaga negara dan BUMN masih jadi ladang korupsi.
Artinya, 37 tahun kemudian, Indonesia masih tetap berjalan di tempat, karena aksi penindakan yang bisa saja radikal ternyata tak membawa perubahan.
Kuncinya satu, momentum penindakan tak segera diikuti dengan perbaikan sistem yang bisa mencegah praktik-praktik korup.
Berbagai usulan untuk perbaikan sistem masih ditanggapi dengan dingin, baik oleh Eksekutif maupun Legislatif, dan Yudikatif
Pemetaan gerakan antikorupsi belum juga kunjung dirampungkan, begitu pula dengan satuan tugas yang bertugas mereformasi birokrasi tetap hanya sebuah janji yang tak ditindaklanjuti.
Fakta-fakta ini menjadi bukti kecil bahwa tak banyak orang sadar Indonesia dalam kondisi darurat korupsi.
Tak banyak orang mau mengakui Indonesia sedang sakit. Aneka terobosan untuk mengobati Indonesia kerapkali dicibir sebagai upaya mengada-ada belaka.
Pengalaman dua tahun ini telah memberi pelajaran banyak bagi gerakan antikorupsi, salah satu di anataranya ternyata masih sedikit orang yang ingin melihat Indonesia bersih.
Kesunyian dan kesendirian masih menemani niat baik melawan korupsi.
Tak banyak teman, tak banyak kapital, dan tak banyak dukungan yang menemani gerakan melawan soliditas kekuatan para koruptor ini. Serangan-serangan balik mengajarkan bahwa gerakan antikorupsi masih belum masif.
Kelompok-kelompok antikorupsi masih merupakan kelompok kecil yang berjalan sendirian.
Kesunyian "perang" masih menemani upaya melawan gegap gempitanya lawan yang punya segudang kapital, segunung dukungan politik dan kekuatan, serta segerombolan kawan.
Soliditas kekuatan koruptor jauh lebih rekat dan besar dibandingkan soliditas antikorupsi yang sungguh sangat rentan diobrak-abrik.
Fakta-fakta di atas adalah realitas yang harus diterima sebagai konsekuensi logis sebuah pilihan.
Realitas bahwa pemberantasan korupsi masih setengah hati, masih sebatas setengah niat adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri.
Semua bersorak saat koruptor yang ditangkap adalah lawan politiknya, orang lain yang tak dikenal dekat, namun sikap ambigu muncul saat teman, sahabat, saudara, atau anggota separtai dikatakan koruptor. Ramai-ramai teriakan menghujat dilancarkan untuk menyerang aksi pemberantasan korupsi.
Teriakan antikorupsi ternyata masih sebatas slogan-slogan yang beterbangan di ruang-ruang kosong.
Lontaran sporadis para pejabat negara menjadi bukti belum adanya kesadaran yang sama akan kondisi Indonesia yang sakit.
Teriakan bahwa korupsi telah memiskinkan rakyat memang menggema kencang di satu sisi, namun saat aksi pemberantasan korupsi mengobrak-abrik lembaga mereka, menyeret teman atau sahabat mereka, teriakan menghujat jauh lebih riuh menggema.
Di samping itu semua, kerumitan praktik korupsi menjadi problem tersendiri.
Kerumitan tersebut menjadi sebuah komplikasi yang nyata karena upaya pengungkapan praktik korupsi belum didukung oleh tiga UU yang dipersyaratkan seharusnya ada, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kebebasan Mmperoleh Informasi Publik, dan UU Pembuktian Terbalik.
Padahal dengan adanya ketiga UU itu ditambah cara berpikir progresif dengan strategi aktif menjemput bola, maka upaya-upaya mencari alat bukti untuk mengungkap praktik korupsi bisa lebih cepat dan lengkap. Negara dalam darurat korupsi haruslah menjadi pemahaman bersama sehingga terobosan-terobosan agresif tidak membuat masing-masing kita terkejut-kejut dan berteriak menghujat.
Belum lagi, soal lain, sekelompok orang yang sebenarnya memiliki niat yang sama atas dasar integritas individual yang baik, namun karena masing-masing berada di lembaga berbeda, muncullah semacam kecemburuan kelembagaan, atau lebih celaka lagi merasa ’saya paling bersih’, dan ’mereka memiliki masa lalu yang suram’.
Tidak ada satu pun manusia yang bersih, termasuk kita. Sungguh sebuah kesia-siaan yang mengganggu akal sehat.
"Perang" melawan korupsi memang tak cuma butuh niat baik belaka yang dikemas dalam slogan-slogan kosong di ruang-ruang hampa udara.
Perlu agresivitas luar biasa dan keberanian besar untuk mewujudkannya dalam aksi-aksi nyata memberantas korupsi.
Dan catatan yang perlu selalu diingat, korupsi bukanlah budaya, korupsi bisa terjadi karena sistem yang dibangun tidak benar dan sikap permisif yang masif terhadap praktik-praktik korupsi yang terakumulasi selama bertahun-tahun.
Refleksi Subyektif dari Erry Riyana Hardjapamekas
(Yang Disepahami oleh Pimpinan KPK)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar