Jumat, 11 April 2008

SEJARAH KELAHIRAN MADZHAB SEJARAH

Tugas Individu

Mata Kuliah Sejarah Hukum

Oleh : Taufiq Nugroho

NIM : R 100070013


SEJARAH KELAHIRAN MADZHAB SEJARAH

Oleh: Taufiq Nugroho,SH

Penulis adalah Ketua Umum PW IRM Jawa Tengah 2007-2009. ALumnus FH UNS Solo,
Sedang study lanjut di Program Magister Hukum UMS

A. PENDAHULUAN

Pemikiran tentang hukum di abad ke-19 secara sederhana terbagi atas 3 (tiga) aliran mazhab. Dimulai dari aliran positivisme, aliran utilitarianisme, dan mazhab sejarah. Setiap aliran itu menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah.

Kelahiran mazhab yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif (Lili Rasyidi, 1996: 68, 69).

Mazhab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat.

Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia (Lili Rasjidi, 1991; 48 dan Lili Rasjidi, 1996; 70). Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum, tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-undangan sebagai sumber hukum (Lili Rasjidi, 1996; 70). Tulisan ini bermaksud merinci argumentasi, betapa pemikiran hukum Madzab Sejarah sangat membutuhkan koreksi untuk diterapkan pada lingkungan berlaku masyarakat modern yang kompleksitas kebutuhan dan kepentingan hidupnya berkembang cepat.

B. KELAHIRAN MADZAB SEJARAH; INSPIRASI DAN REAKSI

Munculnya pemikiran filsafati tentang hukum pada umumnya merupakan jawaban fundamental tentang masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat pada zaman itu. Gambar-1 tentang Inspirasi dan reaksi Madzab Sejarah di bawah ini menunjukkan, terdapat 2 hal yang memicu kelahiran Madzab Sejarah ini yakni; buku Montesquieu "L' esprit des Lois" dan paham nasionalisme yang mulai tumbuh pada awal abad ke-19. Kedua hal itu, tampak sangat menonjol memberi inspirasi kepada Savigny untuk menciptakan suatu pemikiran hukum. Pemikiran tersebut selanjutnya merupakan jawabannya atas ketidaksetujuannya pada aliran hukum alam dan usulan kodefikasi hukum perdata Jerman berdasarkan Hukum Perancis.

1. Inspirasi dan Reaksi Madzab Sejarah

Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya Madzab Sejarah adalah Montesquieu (1689-1755) lewat bukunya L'esprit des Lois yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya (Lili Rasjid,1996:61). W. Friedman (1993: 86) mengatakan bahwa gagasan yang benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya. Dengan ide inilah, Montesquieu mulai dengan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan.

R.Haryono Iman dalam kata pengantarnya pada buku Montesquieu yang berbahasa Indonesia ini memformulasikan bahwa sistem hukum positif di berbagai masyarakat politik yang berbeda-beda adalah relatif terhadap berbagai faktor: terhadap watak masyarakat, terhadap hakikat dan asas bentuk-bentuk pemerintahan, iklim dan kondisi ekonomi dan sebagainya. Keseluruhan hubungan ini membentuk jiwa undang-undang yaitu ration d'etre bagi hukum atau landasan bagi adanya hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral.

Faktor fisik yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibat fisiologi dan mentaltertentu. Yang harus juga dipertimbangkan adalah keadaan dataran, kepadatan penduduk dan daerah kekuasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud sebagai faktor moral adalah: agama, hukum, peribahasa, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berfikir dan suasana yang tercipta di pengadilan negara.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa Montesquieu mendekati pokok bahasannya lebih sebagai ahli filsafat sejarah daripada semangat seorang ahli sosiologi positivistik. Faktor-faktor Pembentuk Jiwa Undang-undang dan Peranannya terhadap Sistem Hukum Positif Sebagaimana dikemukakan di atas, Madzab Sejarah juga diilhami oleh paham nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke-19.

"Deutsch uber alles", demikianlah semboyan Jerman mengekspresikan tingginya nasionalismenya (bahkan kemudian semboyan itu terkesan menunjukkan sikap chauvinisme). Dengan memanfaatkan eforia politik yang sedang berkecamuk pada warga negara dan penyelenggara negara pada waktu itu, Savigny menyarankan penolakan terhadap usul Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi: "Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland" (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman).

Tentulah usul Thibaut, ahli hukum perdata Jerman, yang menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodefikasi perdata dengan berdasarkan hukum Perancis (Code Napoleon) dirasakan tidak selaras dengan semangat nasionalisme Jerman yang pada waktu itu sedang menggelora. Eforia nasionalisme yang cenderung chauvinistik tersebut mustahil dapat menerima upaya pembentukan hukum yang berasal dari jiwa bangsa lain (dalam hal ini Perancis yang meninggalkan Jerman).

Dalam suasana demikian. Savigny mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan menyemaikan ajarannya yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa memiliki "volgeist" (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya.

Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).

2. Substansi dan Perkembangan Ajaran Madzab Sejarah

Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain dikatakan: 'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) (Lili Rasjidi. 1996: 69).

Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa rakyat) yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya (Lili Rasjid 1996: 70).

Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut (W.Friedman, 1994: 61, 62) :

a) Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

b) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalamperadaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

c) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.

3. Pokok-pokok Ajaran Madzab Sejarah

Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodifikasi hukum perdata (Lili Rasjidi, 1996: 70). Baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch (Satjipto RahardjoJ 19B6: 24B).

Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.

Namun akhirnya, ajaran madzab sejarah ini mengalami improvisasi di tangan pengikutnya sendiri yakni Sir Henry Maine (1822-1888) yang dalam bukunya "Ancient Society" mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadardan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Hukum sendiri pada masyarakat iniberkembang melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan.

Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untukmembedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju (Lili Rasjidi 1991: 48). Jadi Maine membedakan adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui 3 cara yaitu: "fiksi, equity, dan perundang-undangan. Selanjutnya, bagi Maine,Volgeist bukanlah sesuatu yang mistik. 0leh karena Maine mencermati bahwa dalam perjalanan kehidupan masyarakat terdapat perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak (Satjipto Rahardjo, 1986: 250).

R.W.M Dias mengatakan bahwa pada masyarakat-masyarakat kuna (tradisional), kedudukan hukum seseorang ditentukan oleh status, yaitu bahwa tuntutan-tuntutannya kewajiban-kewajibannya, ditentukan oleh hukum (dalam SatjiptoRahardjo, 1986: 250). Dengan demikian hukum yang berlaku itu adalah fiksi yaknisesuatu yang sudah dianggap diketahui oleh masyarakat oleh karena merupakan "jiwa"nya sendiri.

Dapat dibayangkan selaras dengan perkembangan masyarakat dari masyarakat kuna /tradisional menuju masyarakat modern, seyogianya terlebih dahulu mengalami transisi. Dalam pada itu dasar kedudukan hukumnya diasumsikan juga berada pada tahap antara status dan kontrak. Konsekuensinya hukum yang berlaku adalah "fiks dengan dibarengi equity. Gerakan suatu masyarakat menuju kepada masyarakat progresif ditandai oleh

runtuhnya status tersebut dan kedudukan hukum seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri artinya oleh kebebasannya untuk melakukan perundingan-perundingan serta perjanjian-perjanjian dengan pihak lain.

Living Law

Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang membeku dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa. (Rahardjo. 2007: 10-11). Hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup (living law) dalam interaksi masyarakat.

Kualitas penegakan hukum itu beda-beda. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi. Sementara dibanyak negara ada yang melakukan penegakan hukum secara lunak dan bahkan bisa dikomersilkan dengan istilah yang lebih kasar adalah jual beli hukum.

Di Indonesia, hukum oleh beberapa kalangan, dianggap sebuah virus yang membuat masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menghindar. Dapat dilihat dengan terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan.

Hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Karl Ranner menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”. (http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html)

Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau di kala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Dengan kata lain bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pandangan ini adalah pandangan yang menolak logosentris dengan berpaling pada antoposentis yang humanis. Dengan memperhatikan masyarakat, maka hukum akan terus hidup (living) dalam masyarakat. Dapat dibilang hukum itu menjadi progresif.

4. Kelebihan dan Kelemahan Madzab Sejarah

Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa (Sudikno Mertokusumo, 1986: 100). Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.

Mochtar Kusumaatmadja (1976: 4) mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (" preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai ebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya "pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi. Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni (Lili Rasjidi, 1991: 49):

a) Tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);

b) konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;

c) inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

Kelemahan-kelemahan di atas akan diuraikan satu persatu untuk lebih mendalami kritik terhadap madzab ini.

1. Penolakan hukum tertulis (perundang-undangan)

Yang dimaksud sebagai hukum bagi madzab sejarah ini adalah hukum kebiasaan tidak tertulis yang berkembang pada masyarakat sebagai pengejawantahan dari sistem nilai. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1986: 100).

Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis. Sikap seperti itu menegasikan perubahan masyarakat. 0leh karena itu, Savigny

menentang perubahan hukum. Menurut madzab sejarah ini, tugas seorang yuris dan pembentukan hukum adalah untuk mengadakan verifikasi dan memformulasikan hukum kebiasaan yang ada secara esensial hukum berfungsi untuk mengadakan stabilisasi, dan bukan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1987: 35).

Bagi masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak mungkin pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu ketidakpastian hukum.

0leh karena, sebagaimana pandangan madzab ini, proses konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari jiwa masyarakat.

Tegasnya, monopoli aturan tidak tertulis sebagai pedoman tindakan hukum masyarakat melahirkan ketidakpastian hukum. Interpretasi para ahli hukum melakukan konkretisasi jiwa masyarakat, yang tidak mustahil subjektif, akan mempertinggi kemungkinan ketidakpastian hukum. Sifat tidak tertulis dari suatu aturan hukum juga dapat mengundang tindakan sewenang-wenang dari kekuasaan absolut (Lili Rasjidi, 1991: 49).

Penguasa dapat saja menyelewengkan makna dari jiwa masyarakat sesuai dengan harapannya sendiri. Para ahli hukum yang bertugas menemukan hukum tidak mustahil diarahkan penguasa. Sebab keberadaan ahli hukum sebagai penemu hukum yang menjadi abdi kesadaran umum/kesadaran hukum sulit mengontrol kesetiaannya. Jadi jika masyarakat hidup di bawah kekuasaan absolut sangat mungkin aturan tidak tertulis yang disebut hukum itu untuk disalahgunakan.

Oleh karena itulah, maka Baseler (W. Friedman, 1994: 62) menentang konsepsi romantis Savigny bahwa ahli hukum adalah agen kesadaran umum dengan mengatakan bahwa, sebaliknya hukum rakyat, berbeda dari pengetahuan teknis dan artifisial dari ahli hukum. Mochtar Kusumaatmadja (1976: 4-5) mengatakan bahwa politik hukum yang diilhami madzab sejarah yang secara apriori menolak perundang-undangan sebagai hukum kurang menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Politik hukum yang bermaksud melindungi golongan pribumi telah secara efektif mengisolasikan "golongan pribumi" dari hubungan dan perkembangan hukum aktua, sehingga mengakibatkan keterbelakangan golongan ini dalam situasi dimana golongan-golongan yang berbeda itu harus bersaing, misalnya dalam perdagangan.

2. Ketidakjelasan konsep kesadaran hukum dan jiwa rakyat

Kesadaran hukum yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. menurut pandangan madzab sejarah ini bukanlah merupakan pertimbangan rasional. tetapi berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun, bukan karena mengalami perubahan). Konsekuensinya, tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku obyektif yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah (Sudikno Mertokusumo. 1986: 100).

Selanjutnya, konsep jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini. Pendeknya Friedman (1994: 59) mengatakan bahwa konsep itu masih terlalu umum.

3. Inkonsistensi jiwa rakyat sebagai sumber hukum

Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia mengatakan bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik (Lili Rasjidi, 1991: 49).

Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap bagi zaman-zaman sebelum "corpus yuris" membentuk kodefikasi yang final (W.Friedman, 1994: 62).

Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:

a. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;

b. kodefikasi merupakan "tindakan final" dari suatu upaya memformulasikan

hukum, yang berarti akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi

tampaknya sudah diperluwes.

C. PENUTUP

Mazhab Sejarah hukum adalah Mazhab yang intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat.

Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.

Namun disisi lain pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni (Lili Rasjidi, 1991: 49): tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan); konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak; dan inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Friedman. W., 1993, Teori & Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori

Hukum (Susunan I), Diterjemahkan Muhammad Arifin, Cetakan

Kedua, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

___________, 1994, Teori & Filsafat Hukum Idealisme Filosofis &

ProblemKeadilan (Susunan II), Diterjemahkan Muhammad

Arifin. Cetakan Kedua. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan

Kedua, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Montesquieu, 1993, Membatasi Kekuasaan -Telaah Mengenai Jiwa Undang-

undang, Alih bahasa J.R. Sunaryo. Cetakan Kedua, Penerbit PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan

Hukum Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Diedarkan oleh Penerbit Binacipta.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1987, Renungan tentang

Filsafat Hukum, Cetakan Keempat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.

______________, 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas

Rasjidi, Lili, 1991, Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?, Cetakan Kelima,

Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

_________, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cetakan ke-7, Penerbit PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan R.Otje Salman, 1987, Disiplin Hukum dan Disiplin

Sosial

_________. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada

Zulkarnain. 2001. Madzhab Sejarah. Fakultas Hukum. Universitas Sumatera

Utara

Dep. Huk.HAM. RI. 2006. Kumpulan Hasil Seminar: Arah Pembangunan

Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional

Sumber lain:

http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html



Tidak ada komentar: