Kepemimpinan dalam Islam:
Kajian Tafsir Al-Qur’an
Oleh : Dr. H. Yunahar Ilyas., Lc., M.A.
K |
ARENA ini adalah kajian tafsir, maka akan saya mulai dengan nash-nash Al-Qur’an, mulai dari surat Al-Baqarah ayat 257: “Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpinnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Yang dimaksudkan dengan kegelapan adalah kekufuran, kemaksiatan, kefasikan, atau dengan istilah baru masa kini adalah bermacam-macam isme, ideologi yang masuk kategori gelap. Al-Qur’an menyimbolkan yang sesat, yang salah, dengan kata gelap atau zhulm, bentuk jamaknya zhulumât. Lawan atau kebalikannya adalah an-Nûr yaitu cahaya, maksudnya Iman, Islam, Tauhid yang merupakan lawan dari keseluruhan kegelapan tersebut.
Allah SWT memimpinkan dari keadaan kufur kepada iman, dari keadaan musyrik kepada tauhid, dari fasik kepada taat, dan seterusnya.
Sedangkan orang-orang yang kafir, yang menjadi pemimpin-pemimpin mereka adalah thâghût. Yang menarik, dalam ayat ini, kata pemimpin dalam bentuk jamak auliya’, tetapi untuk thâghût dalam bentuk tunggal atau mufrad, bukan jamak thawâghît. Harusnya, menurut kaidah bahasa dituliskan: auliyâuhumut- thawâghît (pemimpin-pemimpin mereka adalah thâghût- thâghût). Ini mengandung makna, walaupun namanya banyak, istilah yang dipakai macam-macam, tetapi pada intinya pemimpin orang kafir adalah satu, yaitu thâghût. Hal ini dapat dilihat pada ayat lain: walladzîna kafarû ba’dhuhum auliyâu ba’dhin. Orang-orang kafir dengan sesama orang-orang kafir kalau berhadapan dengan orang beriman mereka bersatu. Oleh sebab itu penggunaan katanya dimufradkan menjadi thâghût, bukan bentuk jamak thawâghît,. mengikuti bentuk jamak yang sebelumnya.
Yang dilakukan oleh thâghût adalah meng-counter kepemimpinan Allah. Ini ditunjukkan oleh ayat: yukhrijûnahum minan-nûri ilaz-zhulumât, mereka membawa kembali orang-orang yang beriman dari cahaya Islam kepada bermacam-macam kegelapan tersebut, dengan bungkus yang bermacam-macam pula, bisa dengan bungkus yang indah, misalnya memakai bungkus hak asasi manusia (HAM), bungkus pluralisme, demokratisasi, dan bungkus-bungkus lain yang sejenis. Oleh karena itu harus diwaspadai.
Kalimat berikutnya dalam ayat tersebut: ulâika ashhâbun-nâr, hum fîhâ khâlidûn, maknanya mereka para pemimpin orang kafir itu menjadi penduduk sah neraka, dan mereka kekal di dalamnya.
Kepemimpinan yang paling puncak adalah kepemimpinan Allah SWT. Tetapi Allah tidak langsung turun ke bumi, operasional menjadi pemimpin. Allah mengutus Rasul-Nya untuk melaksanakan kepemimpinan Allah. Di dalam surat Al-Maidah ayat 55 diletakkan kedudukan kepemimpinan Rasul ini nomor dua setelah kepemimpinan Allah. Demikian juga, perintah taat kepada Rasul diletakkan setelah perintah taat kepada Allah. Athî’ullah wa athî’urrasûl (taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya), atau Athi’ullah wa rasûlahu (taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya). Dalam hal ini, kata athi’u yang diulang penyebutannya sebelum kata Rasul menunjukkan bahwa Rasul diberi wewenang menetapkan hukum. Ada juga yang hanya diberi huruf a’thaf, maksudnya Rasul menjelaskan rincian dari aturan yang diturunkan oleh Allah.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kepemimpinan itu diserahkan kepada orang-orang yang beriman, yakni umat (al-ummah), bukan diserahkan kepada imam-imam (al-aimmah). Surat Al-Maidah ayat 55 menyebutkan Innamâ waliyyukumullahu warasûluhu walladzîna âmanû (Pemimpinmu itu adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman). Oleh sebab itu, di dalam Islam tidak dikenal istilah ‘ishmatul a’immah (kesucian imam-imam) sebagaimana halnya yang diyakini oleh orang-orang Syiah, karena Syiah menyatakan bahwa setelah Rasulullah, kepemimpinan diserahkan kepada imam-imam (a’immah) mulai dari Ali, Hasan, Husein, dan seterusnya sampai 12 imam. Dalam Islam, yang ada adalah ‘ishmatul ummah (kesucian umat), bukan kesucian pribadi. Sebab yang ma’shûm hanya Rasulullah SAW. Sedang umat dijamin kema’shumannya oleh Rasulullah dengan sabdanya: la tajtami’u ummati ‘ala khatha’, (umatku tidak akan pernah bersepakat untuk berbuat salah). Kalau mayoritas ummat berbuat salah memang bisa, tetapi tidak semua. Oleh sebab itu, masalah kepemimpinan ini diserahkan kepada orang-orang yang beriman sepeninggal Nabi.
Karena orang beriman itu jumlahnya banyak, maka untuk menentukan pemimpinnya dilakukan pemilihan. Demikian juga dalam Muhammadiyah, karena anggotanya banyak maka pemimpin Muhammadiyah juga dipilih.
Kriteria orang beriman yang dipilih jadi pemimpin adalah yang mendirikan shalat (alladzîna yuqîmûnash-shalâh). Maka, shalat ini menjadi kriteria kepemimpinan, yakni yang terus menerus, tertip dan disiplin mendirikan shalat. Atau bisa diperluas menjadi yang punya hubungan yang baik dengan Allah (hablun minallah).
Bisakah kita menjadikan atau meletakkan masalah mendirikan shalat ini sebagai salah satu faktor penilaian terhadap seorang pemimpin? Seperti yang dilakukan oleh Almarhum Buya AR Sutan Mansur terhadap Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Saya mendapat cerita ini dari Pak Kiyai Suprapto Ibnu Juraimi. Sewaktu Kiyai Dahlan datang ke Pekalongan memberikan pengajian sekaligus berdagang batik, ada seorang pemuda (AR Sutan Mansur) yang tertarik dengan ceramah Kiyai Dahlan. Kemudian dia pergi ke Jogja mencari tahu di mana tempat tinggal Kiyai Dahlan dan dimana mesjid tempat biasa Kiyai Dahlan shalat. Lalu dia bermaksud menunggu kedatangan Kiyai Dahlan sebelum waktu shubuh di masjid itu. Pemuda Sutan Mansur penasaran, apa yang diceramahkan Kiyai Dahlan semua benar, namun ia ingin menguji pribadi Kiyai Dahlan. Ujian pertama adalah shalat shubuh di Masjid. Kalau tidak ketemu di Masjid, dia tidak akan jadi ikut Kiyai Dahlan dan akan kembali ke Pekalongan. Kalau ketemu di Masjid, dia akan menemui Kiyai Dahlan untuk menjadi pengikutnya. Karena dari segi pemikiran dan pemahaman, Kiyai Dahlan sudah bagus. Pemuda Sutan Mansur bermaksud lebih awal datang ke Masjid, ternyata Kiyai Dahlan sudah ada lebih dulu di Masjid. Sehingga Pemuda Sutan Mansur menjadi mantap, tenang hatinya (yathmainnu qalbuhu) untuk mengikuti Kiyai Dahlan. Belakangan kemudian Sutan Mansur menjadi anggota Muhammadiyah, ikut menyebarluaskan Muhammadiyah bahkan kemudian terpilih dalam Muktamar untuk menjadi Pemimpin Muhammadiyah. Pada waktu itu, ceritanya, Buya Sutan Mansur tidak termasuk dicalonkan menjadi Ketua PP Muhammadiyah, tetapi calon-calon yang ada tidak ada yang mau menjadi Ketua. Lalu dicari diluar mereka dan pilihannya jatuh kepada Buya AR Sutan Mansur yang, menurut cerita Pak Syafii Maarif, waktu itu menjadi Pengurus Daerah. Tetapi kemudian dipilih menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Bisa jadi hal ini bisa terulang, kalau calon 13 terpilih tidak ada yang mau, mungkin dicari dari daerah mana untuk menjadi Ketua PP Muhammadiyah.
Jika hal ini diambil contoh, maka kita bisa melakukan penelitian, investigasi calon pimpinan Muhammadiyah diselidiki di mana rumahnya, apakah dia selalu berjamaah di Masjid terdekat sewaktu shalat shubuh.
Dalam sebuah diskusi di kantor PP Muhammadiyah, ketika saya sampaikan masalah ini, Pak Amien Rais malah mengatakan, tidak usah diuji shalat shubuhnya, cukup diuji bagaimana bacaan shalatnya. Seluruh calon pimpinan harus mengikuti fit and proper test yaitu membaca Al-Qur’an, yang tidak lancar membaca Al-Qur’an digugurkan dari pencalonan.
Kriteria pemimpin selanjutnya adalah orang yang membayarkan zakat (wa yu’tûnaz-zakâh). Seorang pemimpin, paling kurang, harus mampu membayarkan zakat. Kalau tidak membayar zakat tidak usah menjadi pemimpin. Jadi, harus punya uang sisa tiap tahun sebanyak 85 gram emas, kalau dirupiahkan mungkin kira-kira sebanyak 8 juta rupiah, saldo setiap tahun, baru bisa membayar zakat. Namun, untuk hal ini ada yang mengatakan bahwa itu maksudnya adalah zakat fitrah, sehingga semuanya bisa menjadi pemimpin. Jadi jangan terlalu miskin menjadi seorang pemimpin.
Masalah zakat ini, selain soal kemampuan membayar zakat, bisa kita maknai dalam pengertian lain kepada tiga hal. Pertama, orang yang bersih hati. Karena zakat, dikatakan oleh Allah, untuk membersihkan hati (tuzakkîhim). Khudz min amwâlihim shadaqathan tuthahhiruhum wa tuzaqqihim biha. Jadi, hatinya bersih dari berbagai macam penyakit hati, tidak riya, tidak takabbur, tidak egois (mau menang sendiri), tidak dengki, dan sifat-sifat buruk hati yang lain, apalagi munafik. Kedua, zakat juga bisa menjadi simbol kebersihan harta. Tidak terlibat KKN, tidak ada uang haram. Paling tidak yang tampak oleh kita. Kalau yang tidak tampak kita tidak akan tahu. Ketiga, makna zakat adalah punya kepedulian sosial. Karena zakat diberikan untuk ashnâf yang delapan. Orang yang berzakat adalah orang yang peduli kepada orang yang lemah, tidak hanya peduli kepada orang yang kuat. Peduli kepada orang yang kuat dan orang berkuasa adalah perbuatan yang mudah, tetapi peduli kepada orang yang lemah memerlukan sebuah kemauan, himmah.
Jika ketiga kriteria tersebut terpenuhi, yakni mukmin, shalat, zakat dengan segala maknanya, maka syarat yang keempat berikut ini lebih bersifat umum, yaitu: wahum raki’un. Mereka selalu dalam keadaan ruku’. Ruku’ dalam hal ini tidak mungkin dimaknai secara hakiki, namun harus dimaknai secara majazi, yaitu masalah ketaatan, siapa yang paling taat, yang paling kaffah dalam keislamannya.
Persyaratan ini berlaku umum, termasuk dalam kepemimpinan negara, mulai dari kepala (wali) negara sampai kepada wali-wali yang lain. Istilah yang digunakan adalah waliyul amri. Ketua PP Muhammadiyah adalah waliyul ‘amri-nya Muhammadiyah.
Dalam Surat Ali Imran ayat 159 kita juga bisa melihat kriteria lain kepemimpinan ini. Disebutkan beberapa akhlaq pemimpin. Fabimârahmatin minallahi linta lahum. Kriteria yang pertama adalah linta lahum. Pemimpin yang mempunyai sifat laynun, lembut. Disebabkan rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut. Ini dalam konteks Perang Uhud. Ketika itu ummat (pasukan pemanah) melanggar perintah Rasulullah (apapun yang terjadi jangan meninggalkan bukit), tetapi mereka meninggalkan tempat itu. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah sudah boleh marah. Tetapi Rasulullah tetap mempertahankan sifat lemah lembutnya. Kenapa? Hal ini tidak lain disebabkan oleh rahmat Allah. Pemimpin yang lemah lembut bukan berarti yang tidak tegas. Jadi pemimpin tidak boleh suka memaki-maki, berteriak-teriak kepada jamaahnya.
Sifat berikutnya yang disebutkan dalam ayat itu adalah pemaaf (fa’fu anhum). ‘Afwun artinya menghapus. A’fa-ya’fu-afwun = menghapus. Ibarat menulis, kalau salah dihapus. Namun, betapapun ahlinya seorang menghapus, yang namanya bekas dihapus mesti akan kelihatan. Ilustrasinya sebagai berikut: Dua orang yang semula akrab selalu bersama-sama, namun kemudian terlibat perseteruan, keduanya sudah berbaikan lagi dan sama-sama saling memaafkan, tetapi keduanya menjadi tidak akrab lagi, tidak bersama-sama. Ini terjadi karena ada jejak yang tidak bisa dihapus sama sekali. Walaupun sudah sama-sama saling memaafkan.
Islam (Al-Qur’an) mengharapkan agar jangan sekedar seperti itu, menjadi pemaaf saja. Tetapi lebih dari itu, jejak bekas menghapus itu juga harus dihilangkan. Istilah dalam Al-Qur’an adalah fa’fû washfahû (hapus dan baliklah). Karena jika dihapus saja tidak bisa jadi harus dibalik, agar tidak tidak kelihatan lagi jejak bekas penghapusan. Dan begitu diterjemahkan kalimat fa’fû washfahû ini menjadi “maafkanlah dan berlapang dadalah”. Walaupun tidak terpilih lagi, misalnya, seorang pemimpin hendaknya tetap berlapang dada. Jangan sampai mutung, ngambek.
Kalimat berikutnya dalam surat Ali Imran ayat 159: wa syâwirhum fil amri. Kata syura ada yang mengatakan berasal dari kata asyâra-yusyîru yang artinya menunjuk. Syâwara artinya saling menunjuk, tunjuk-tunjukkan. Ada juga yang mengatakan makna syawara adalah mengambil madu dari sarangnya. Dua-duanya ini bisa dipakai. Kita saling menunjuk seseorang untuk mencari kelemahan. Jadi dalam musyawarah itu tidak untuk mencari kelebihan, tetapi mencari kelemahan, agar yang diambil nanti adalah madunya, sarinya, yaitu pendapat yang sudah bebas dari kelemahan-kelemahan. Jadi, fokusnya bukan pada kelebihan, tetapi justru kelemahan. Kalau kita mengajukan usulan dalam musyawarah kemudian dikritik orang, hendaknya kita jangan marah, karena inti dari musyawarah adalah menunjuk kelemahannya, kritik, untuk mendapatkan “madunya”.
Masalah akhlak pemimpin ini juga ditunjukkan dalam ayat lain (Q.S. Al-Qashash 28:26) yang menceritakan kisah Nabi Musa ketika menolong dua anak gadis Nabi Syuaib. Puteri Syu’aib mengatakan kepada bapaknya: Inna khaira manista’jarta al-qawiyyu al-amîn. Dikatakan dalam ayat itu kata-kata al-qawiyyu dan al-amîn (kuat dan dapat dipercaya). Pertama, pemimpin yang kuat kepemimpinannya, kuat leadershipnya, profesional. Walaupun mungkin seninya berbeda. Ada seni memimpin gaya Pak AR. Gaya Pak AR adalah membuat mudah hal yang sulit. Kedua, pemimpin yang jujur, amanah, yang dapat dipercaya.
Kesimpulan
Dari ayat-ayat yang telah dikemukakan di atas, kriteria kepemimpinan dapat dilihat dalam tiga aspek. Pertama, aspek kepribadian (beriman, mendirikan shalat, membayarkan zakat, tunduk patuh pada Allah SWT, jujur, amanah, lemah lembut, pemaaf dan akhlak terpuji lainnya). Kedua, aspek kepemimpinannya (pemimpin yang kuat, yang profesional, yang memiliki leadership). Ketiga, aspek keilmuannya. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan semuanya tanpa ada ilmu yang dimilikinya. Ukuran ulama, tidak hanya sekadar orang yang berilmu tetapi juga yang takut kepada Allah. Untuk apa ilmu tinggi tetapi tidak takut kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar