Rabu, 25 Februari 2009

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN


PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN :
TINJAUAN SANKSI ADMINISTRASI MENURUT UU. NO. 23 TAHUN 1997
TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh :
Taufiq Nugroho, S.H.

A. Pendahuluan
Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai.
Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara serta hukum internasional.
Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri.
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML).
Berhubungan dengan hal tersebut, Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa :
"Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap pengelolaan lingkungan secara konkret; dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 14 UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)".
Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan : bahwa Baku Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut depat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan.
Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetaoan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.
Istilah " mutu" dapat menimbulkan pengertian yang ambivalen dan banyak orang yang senang menggunakan istilah "Nilai Ambang Batas". Perbedaan kedua istilah itu adalah bahwa Mutu Lingkungan mempunyai karakter diwajibkan. Dengan demikian, Mutu Lingkungan selalu merupkan Nilai Ambang Batas tetapi tidak semua Nilai Ambang Batas merupakan Mutu Lingkungan selama tidak diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum. Karena dari aspek yuridis dan teknis ekologi, fungsi Mutu Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama untuk menentukan ada atau tidak ada pencemaran terhadap lingkungan. Untuk menentukan ada atau tidak ada kerusakan lingkungan, UUPLH mengintrodusir istilah Kriteria Kerusakan Lingkungan (KBKL), bagi kegiatan yang mempunyai "dampak besar dan penting" terhadap lingkungan, Mutu Lingkungan dikaitkan lebih jauh dengan prosedur AMDL. Mutu Lingkungan harus tercermin dalam rencana pengelolaan lingkungan (RKL). Mutu Lingkungan dipakai sebagai pedomen bagi PKL suatu kegiatan yang niscaya dituangkan sebagai persyaratan perizinan suatu rencana kegiatan.
Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan hukum internasional.

B. Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan
Salah satu penyebab parahnya kondisi lingkungan akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan saat ini adalah lemahnya penegakan hokum lingkungan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sudah saatnya penegakan hokum lingkungan yang konsisten merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat dari pencemaran da kerusakan lingkungan. Jumlah perkara pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah di tindaklanjuti melalui upaya penegakan hokum oleh Kementrian LH dalam tahun 2001-2004 mencapai 77 perkara.
Ironisnya, AMDAL yang diharapkan sebagaiperangkat lebijakan yang dipersiapkan untuk mengurangi dampaklingkungan suatu kegiatan sejak tahap perencanaan, dan bertujuan mencegah laju pencemaran dan kerusakan lingkungan belum dapat diharapkan. Untuk melihat sejauh mana penerapan AMDAL dalam otonomi daerah, Kementrian LH telah mengevaluasi terhadap 75 domumen AMDAL.
Evaluasi ini menunjukkan sebagian domumen AMDAL gagal menyajikan substansi esensial yang harus ada didalamnya dan tidak konsisten dalam mengevaluasi dampak yang dijaki. Sebanyak 68% domumen AMDAL tersebut dikategorikan jelek. Hanya sebagian kecil dokumen yang menunjukkan mutunya bagus, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Hasil evaluasi tersebut menunjukkan, meskipun secara kelembagaan institusi AMDAL telah mencapai tahap mapan, tetapi masih memerlukan perbaikan terus-menerus agar lebih meningkatkan peranan AMDAL dalam menjaga lingkunganhidup.Fenomena yang terjadi saat ini Pemerintah Daerah berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya dengan alas an untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

C. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.
Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Udang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah.
Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :
Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.

Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati / Walikotamadya / kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
Pihak ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didahulukan dengan surat perintah dari pejabat berwenang.
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.
Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai keterbatasan. Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu penegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.

Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas
Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.
Teerdapat beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan hokum lingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan) diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya "dapat diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).

C. Kesimpulan
Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem.
Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia.
Penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diberikan oleh Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pemerintrah sebagai bahan refleksi. Pertama, kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hodup sebagai Umbrella Act bagi peraturan yang lain yang juga mengatur mengenai lingkungan, yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air. Namunmasalah utama pengelolaan lingkungan hidup tidak pernah ada niatan yang sungguh-sungguh untuk peduli masalah lingkungan.
Kedua, perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat diliohat dari seperangkat lingkungan tentang sumberdaya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi ktimbang konservasi.


DAFTAR PUSTAKA

Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, palembang, Universitas Sriwijaya.
Ayu, KRH I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni 2005.
Boehmer-Cristiansen S. 1994. Policy and Environmental Management. Journal of Environmental Planning and Management. 37 (1).
Eggi Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadjon, Philipus. 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press.
Kartawinata. 1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta.
Nabil Makarim, 2003. Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.
Siti Sundari Rangkuti, 2003. Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Sumber Lain;
Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tidak ada komentar: