Rabu, 25 Februari 2009
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
KONSTITUSI DAN KEBHINNEKAAN1
Oleh: Jimly Asshiddiqie2
A. KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME, DAN KEBHINNEKAAN
Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya, konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero3 dapat disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi, perkataan constitutio dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the emperor. Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero “now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Dari pendapat Cato tersebut dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything) yang dalam hal ini adalah entitas suatu negara.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”.4 Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang superior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain menjelaskan:
In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late eighteenth century was of a set of principles embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them.5
Oleh karena itu, konstitusi dan konstitusionalisme selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.6
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Konstitusi adalah constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), konstitusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but by some higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way.7
Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.8 Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement.
Jika negara-bangsa yang didirikan disandarkan pada prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama, maka mekanisme demokrasi menjadi satu-satunya pilihan dalam proses pembentukan kesepakatan bersama. Hal ini karena dalam demokrasi mengutamakan adanya dan pentingnya pluralisme dalam masyarakat.9 Di sisi lain, demokrasi tidak mungkin terwujud jika disertai absolutisme dan sikap mau benar sendiri. Demokrasi mengharuskan sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) antara warga masyarakat di bawah tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum.10
Proses kompromi yang didasari sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) dalam kontrak sosial menentukan cita-cita nasional dan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara. Kontrak sosial tersebutlah yang mengikat seluruh bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sebagai bentuk kesepakatan bersama merefleksikan kebhinnekaan yang dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Jika kebhinnekaan tersebut tidak dijamin dan tidak diakui keberadaannya, tentu tidak tercapai kesepakatan bersama dan tidak dapat hidup sebagai satu bangsa dan satu negara.
Di sinilah dapat dilihat peran konstitusi sebagai pemersatu bangsa dengan cara mengakui dan melindungi kebhinnekaan. Konstitusi menjamin hak setiap orang memiliki pandangan berdasarkan keyakinan masing-masing, sama halnya dengan setiap kelompok, suku, atau agama yang memiliki hak kolektif untuk mengembangkan keragaman sesuai dengan sistem nilai dan kepercayaannya. Namun dalam interaksi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang melibatkan keseluruhan komponen bangsa, konstitusi yang telah disepakati bersama menjadi acuan utama dan pertama.
Konsensus yang diwujudkan dalam kontitusi dapat dipahami substansinya sebagai substansi paham konstitusionalisme yang meliputi tiga hal, yaitu:11
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa’ di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu “The Rule of Law, and not of Man” untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Sedangkan prinsip “The Rule of Law” mensyaratkan bahwa kekuasaan dalam negara berpuncak pada konstitusi. Dari sinilah dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Kesepakatan-kesepakatan yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi tersebut harus menjadi pedoman bersama dalam jangka panjang. Oleh karena itu, para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahwa naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat.
Mengingat kedudukan konstitusi sebagai kesepakatan nasional yang mempersatukan bangsa, maka konstitusi oleh Thomas Paine dikatakan bahwa konstitusi juga berfungsi sebagai “a national symbol”.12 Konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat seremonial dan fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan fungsi kepala negara. Karena itu, konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai kepala negara simbolik dan sebagai kitab suci dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).13
Sebagai kepala negara simbolik, konstitusi berfungsi sebagai; (i) simbol persatuan (symbol of unity), (ii) lambang identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (majesty of the nation), dan atau (iii) puncak atau pusat kekhidmatan upacara (center of ceremony). Sedangkan sebagai kitab suci simbolik (symbolic civil religion), konstitusi berfungsi sebagai; (i) dokumen pengendali (tool of political, social, and economic control), dan (ii) dokumen perekayasa dan bahkan pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and economic engineering and reform).
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai dokumen civil religion14, konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian atau sarana perekayasaan dan pembaruan. Konstitusi dapat pula difungsikan sebagai sarana kontrol politik, sosial dan/atau ekonomi di masa sekarang, dan sebagai sarana perekayasaan politik, sosial dan/atau ekonomi menuju masa depan.
Perkembangan konstitusionalisme dalam praktik kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi dan mengakui dan melindungi kebhinnekaan sendiri telah dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.15
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka adalah ummat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain).16 Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi memikul biaya bersama kamu mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan dalam keragaman tersebut demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka, dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum diinukum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan perkataan “aku” atau “kami” versus “kamu”. Dalam piagam digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad Rasulullah SAW).17
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat manusia, meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi modern yang dikenal dewasa ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787-lah yang pada umumnya dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama. Peristiwa penandatangan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai perkembangan yang paling modern di zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai tradisi kenegaraan yang berkembang di kawasan yang dipengaruhi oleh peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama yang biasa dikenal dengan sebutan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
B. KEBHINNEKAAN DALAM UUD 1945
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Dari sudut bahasa saja, Indonesia memiliki tidak kurang dari 665 bahasa daerah. Bahasa mencerminkan cara berpikir, cita rasa budaya dan tentu ada kaitan dengan adat dan sistem hukum adat yang berbeda-beda. Dari sisi geografis, bangsa Indonesia juga sangat plural, terdiri lebih dari 17.000 ribu pulau dengan keragaman suku dari sisi antropologis. Indonesia sendiri berada di tengah pergaulan dunia (the cross road), semua pengaruh kebudayaan besar, semua pengaruh agama besar, semua pengaruh peradaban besar dunia berpartisipasi dan berebut pengaruh di Indonesia.
Aspek lain yang memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan bermasyarakat adalah keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, namun terdapat pula masyarakat yang menganut agama, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, bahkan juga terdapat masyarakat yang menganut kepercayaan adat yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori agama besar tersebut di atas. Kebhinnekaan juga merupakan konsekuensi dari aspek manusia sebagai makhluk yang “berpikir”, “bekerja”, dan “berpengharapan”. Sebagai makhluk yang memiliki cita-cita, eksistensi manusia berada sepanjang “masa kini” dan “masa depan”. Maka manusia selalu melakukan perubahan secara kreatif dan berbeda-beda. Karenanya pula manusia mempunyai kebebasan untuk bertindak dan memilih (freedom of will and choice).18
Kebhinnekaan bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan. Bahkan kebhinnekaan tersebut merupakan kekayaan sebagai karunia Tuhan yang telah menyatakan bahwa manusia diciptakan bergolongan-golongan agar saling kenal-mengenal. Karena itu, organisasi negara yang didirikan harus mengakomodasi keseluruhan perbedaan-perbedaan tersebut menjadi suatu persatuan tanpa harus memaksakan adanya kesatuan. Jika tidak ada mampu mengkamodasikan keragaman dalam satu ikatan bersama, mustahil dapat diorganisasikan sebagai satu bangsa dan satu negara. Akan muncul pertentangan antara satu budaya dengan budaya lainnya atau antara satu agama dengan agama lainnya.
Oleh karena itu gagasan negara bangsa (nation state) yang dikemukakan para pendiri bangsa Indonesia bukanlah konsep negara bangsa yang semata-mata mendasarkan diri pada persamaan ras, bahasa, dan, agama. Negara bangsa adalah gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Konsep “negara bangsa” adalah negara yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Para pendiri bangsa telah menyadari perlunya menjaga dan melindungi kebhinnekaan bangsa. Hal itu dapat dilihat dari tujuan nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan bersama tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government) sebagai dasar konstitusionalisme Indonesia. Salah satu tujuan nasional adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Kata “segenap” menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama, dan perbedaan lain, yang semuanya harus dilindungi.
Selain itu, para pendiri bangsa juga telah menyepakati falsafah kenegaraan yang berfungsi sebagai common platforms atau kalimatun sawa’ di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Prinsip dasar tersebut adalah Pancasila yang meliputi lima dasar, yaitu (i) ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebelum Perubahan UUD 1945, ketentuan yang terkait dengan perlindungan terhadap kebhinnekaan tertuang dalam jaminan terhadap kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan). Selain itu dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan juga terdapat pengakuan terhadap lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Selain itu juga dinyakan bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Pasca Perubahan UUD 1945, jaminan terhadap kebhinnekaan semakin jelas dan kuat, baik berupa hak individu, hak kolektif, maupun terhadap satuan pemerintahan. Ketentuan UUD 1945 yang menjamin kebhinnekaan dalam bentuk hak individu diantaranya adalah Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 28E Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28E Ayat (3) menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28I Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Sedangkan Pasal 29 Ayat (2) juga memberikan jaminan terhadap kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Khusus untuk kemerdekaan beragama dan beribadat, adalah jaminan terhadap kebhinnekaan dalam hal bergama. Hal itu ditegaskan dalam dua ketentuan, yaitu Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Di samping jaminan kebhinnekaan berupa hak individu, UUD 1945 juga memberikan jaminan terhadap hak kolektif baik sebagai suatu komunitas masyarakat maupun sebagai satuan pemerintahan. Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945). Sedangkan pengakuan terhadap kebhinnekaan satuan pemerintahan dijamin dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Kekhususan dan keistimewaan tersebut terkait dengan struktur dan sistem pemerintahan serta masyarakatnya yang dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, kondisi geografis, maupun ajaran agama tertentu.
Berbagai ketentuan UUD 1945, terutama tentang hak asasi manusia dan hak kolektif masyarakat tersebut harus dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa dan seluruh penyelenggara negara. Pengakuan keragaman dalam bangsa Indonesia dalam UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dalam pembuatan kebijakan dan tindakan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, jika terdapat produk hukum atau kebijakan yang mengingkari keragaman bangsa Indonesia, maka produk hukum dan kebijakan tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional.
C. TANTANGAN PELAKSANAAN KONSTITUSI DAN KEBHINNEKAAN
Upaya menjamin kebhinnekaan dan mewujudkan konstitusionalisme adalah bagian integral dari upaya pelaksanaan UUD 1945. Hal itu membutuhkan pemahaman dari seluruh rakyat dan segenap penyelenggara yang mengarah pada budaya sadar berkonstitusi. Pemahaman dalam hal itu tidak hanya berupa pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan dasar yang ada dalam UUD 1945 tetapi juga pemahaman terhadap latar belakang filosofis berupa prinsip-prinsip dasar yang menjiwai seluruh ketentuan dalam UUD 1945, termasuk jaminan dan perlindungan terhadap kebhinnekaan Indonesia.
Di dalam budaya sadar berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal ini juga berlaku dalam konteks menjalankan kebebasan beragama. Tanpa adanya kesadaran mematuhi rambu-rambu permainan dan mekanisme penyelesaian sengketa, persatuan sebagai satu bangsa dan satu negara akan menghadapi ancaman.
Oleh karena itulah harus ada upaya secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tantangan lain yang dihadapi adalah munculnya polarisasi dalam masyarakat karena proses demokratisasi yang telah kita jalani. Di samping telah mampu membentuk kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tidak saja memiliki pemahaman terhadap prinsip kebhinnekaan dan konstitusionalisme, tetapi juga mendedikasikan hidupnya untuk melindungi kebhinnekaan, juga terdapat kutub kelompok yang cenderung eksklusif. Bahkan, kelompok ini mencurigai prinsip pluralisme sebagai bagian dari gagasan HAM adalah bagian dari budaya barat yang individual-liberal. Kelompok ini tidak hanya berada di tingkat lokal, tetapi juga memiliki jaringan antar negara.
Eklusivitas kelompok tersebut didorong oleh keyakinan atas kebenaran yang dianut. Eklusivitas tersebut mendorong tindakan yang tidak toleran terhadap kelompok lain dan senantiasa mengupayakan agar setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur berdasarkan kebenaran yang diyakininya. Jika hal itu dilakukan dengan cara-cara demokratis, tentu tidak menimbulkan persoalan. Namun adakalanya hal itu dilakukan dengan cara kekerasan dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok lain.
Terhadap kekerasan yang dilakukan tentu harus ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sinilah letak peran negara yang utama. Tetapi terhadap keyakinan dan pikiran yang eksklusif, tentu tidak dapat dilakukan pelarangan, karena hal itu dengan sendirinya menyalahi prinsip kebhinnekaan dan demokrasi. Yang harus dikedepankan adalah dialog yang mengedepankan prinsip kebaikan bersama, bukan memaksakan kebenaran masing-masing.
Proses dialog tersebut hanya dapat terlaksana jika antar kelompok dalam masyarakat menjadikan kesepakatan bersama untuk hidup sebagai satu bangsa dan satu negara sebagai titik berangkat, bukan dari keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu, gagasan konstitusi sebagai kitab suci dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion) perlu ditransformasikan dan dikembangkan lebih lanjut. Hal ini tentu tidak sekadar menjadi tanggungjawab negara, tetapi tanggungjawab seluruh warga negara, termasuk organisasi keagamaan yang memiliki otoritas terhadap ummatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995.
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short Introduction. London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. Vol. 1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Dahlan Thaib dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. Cet. Kelima. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Darmanto JT dan Sudharto PH. Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan Kedua. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Levinson, Sanford. Constitutional Faith. Princeton: Princeton University Press, 1990.
McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.
Nurcholish Madjid. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2003.
Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Cet. Kedua. Jakarta: Kencana, 2004.
Thomson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. Edisi ke-3. London: Blackstone Press Ltd., 1997.
1 Bahan disampaikan pada acara Seminar “Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi”. Diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008.
2 Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3 Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.
4 Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 20.
5 Ibid., hal. 12.
6 Lihat misalnya Brian Thomson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hal. 5.
7 J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.
8 William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political community have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
9 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 257.
10 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2003), hal. 98-99.
11 Ibid., hal.12-13.
12 Ibid, hal. 24.
13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 29-30.
14 Istilah ini dikembangkan dari Sanford Levinson dalam Constitutional Faith, (Princeton: Princeton University Press, 1990).
15 Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004).
16 Ibid., hal. 47.
17 Ibid., hal. 57.
18 Mukti Ali, Butir-Butir Manusia Ditinjau dari Segi Agama, dalam Darmanto JT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hal. 175-177.
Oleh: Jimly Asshiddiqie2
A. KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME, DAN KEBHINNEKAAN
Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya, konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero3 dapat disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi, perkataan constitutio dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the emperor. Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero “now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Dari pendapat Cato tersebut dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything) yang dalam hal ini adalah entitas suatu negara.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”.4 Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang superior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain menjelaskan:
In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late eighteenth century was of a set of principles embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them.5
Oleh karena itu, konstitusi dan konstitusionalisme selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.6
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Konstitusi adalah constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), konstitusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but by some higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way.7
Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.8 Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement.
Jika negara-bangsa yang didirikan disandarkan pada prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama, maka mekanisme demokrasi menjadi satu-satunya pilihan dalam proses pembentukan kesepakatan bersama. Hal ini karena dalam demokrasi mengutamakan adanya dan pentingnya pluralisme dalam masyarakat.9 Di sisi lain, demokrasi tidak mungkin terwujud jika disertai absolutisme dan sikap mau benar sendiri. Demokrasi mengharuskan sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) antara warga masyarakat di bawah tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum.10
Proses kompromi yang didasari sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) dalam kontrak sosial menentukan cita-cita nasional dan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara. Kontrak sosial tersebutlah yang mengikat seluruh bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sebagai bentuk kesepakatan bersama merefleksikan kebhinnekaan yang dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Jika kebhinnekaan tersebut tidak dijamin dan tidak diakui keberadaannya, tentu tidak tercapai kesepakatan bersama dan tidak dapat hidup sebagai satu bangsa dan satu negara.
Di sinilah dapat dilihat peran konstitusi sebagai pemersatu bangsa dengan cara mengakui dan melindungi kebhinnekaan. Konstitusi menjamin hak setiap orang memiliki pandangan berdasarkan keyakinan masing-masing, sama halnya dengan setiap kelompok, suku, atau agama yang memiliki hak kolektif untuk mengembangkan keragaman sesuai dengan sistem nilai dan kepercayaannya. Namun dalam interaksi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang melibatkan keseluruhan komponen bangsa, konstitusi yang telah disepakati bersama menjadi acuan utama dan pertama.
Konsensus yang diwujudkan dalam kontitusi dapat dipahami substansinya sebagai substansi paham konstitusionalisme yang meliputi tiga hal, yaitu:11
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa’ di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu “The Rule of Law, and not of Man” untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Sedangkan prinsip “The Rule of Law” mensyaratkan bahwa kekuasaan dalam negara berpuncak pada konstitusi. Dari sinilah dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Kesepakatan-kesepakatan yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi tersebut harus menjadi pedoman bersama dalam jangka panjang. Oleh karena itu, para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahwa naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat.
Mengingat kedudukan konstitusi sebagai kesepakatan nasional yang mempersatukan bangsa, maka konstitusi oleh Thomas Paine dikatakan bahwa konstitusi juga berfungsi sebagai “a national symbol”.12 Konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat seremonial dan fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan fungsi kepala negara. Karena itu, konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai kepala negara simbolik dan sebagai kitab suci dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).13
Sebagai kepala negara simbolik, konstitusi berfungsi sebagai; (i) simbol persatuan (symbol of unity), (ii) lambang identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (majesty of the nation), dan atau (iii) puncak atau pusat kekhidmatan upacara (center of ceremony). Sedangkan sebagai kitab suci simbolik (symbolic civil religion), konstitusi berfungsi sebagai; (i) dokumen pengendali (tool of political, social, and economic control), dan (ii) dokumen perekayasa dan bahkan pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and economic engineering and reform).
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai dokumen civil religion14, konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian atau sarana perekayasaan dan pembaruan. Konstitusi dapat pula difungsikan sebagai sarana kontrol politik, sosial dan/atau ekonomi di masa sekarang, dan sebagai sarana perekayasaan politik, sosial dan/atau ekonomi menuju masa depan.
Perkembangan konstitusionalisme dalam praktik kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi dan mengakui dan melindungi kebhinnekaan sendiri telah dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.15
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka adalah ummat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain).16 Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi memikul biaya bersama kamu mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan dalam keragaman tersebut demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka, dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum diinukum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan perkataan “aku” atau “kami” versus “kamu”. Dalam piagam digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad Rasulullah SAW).17
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat manusia, meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi modern yang dikenal dewasa ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787-lah yang pada umumnya dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama. Peristiwa penandatangan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai perkembangan yang paling modern di zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai tradisi kenegaraan yang berkembang di kawasan yang dipengaruhi oleh peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama yang biasa dikenal dengan sebutan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
B. KEBHINNEKAAN DALAM UUD 1945
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Dari sudut bahasa saja, Indonesia memiliki tidak kurang dari 665 bahasa daerah. Bahasa mencerminkan cara berpikir, cita rasa budaya dan tentu ada kaitan dengan adat dan sistem hukum adat yang berbeda-beda. Dari sisi geografis, bangsa Indonesia juga sangat plural, terdiri lebih dari 17.000 ribu pulau dengan keragaman suku dari sisi antropologis. Indonesia sendiri berada di tengah pergaulan dunia (the cross road), semua pengaruh kebudayaan besar, semua pengaruh agama besar, semua pengaruh peradaban besar dunia berpartisipasi dan berebut pengaruh di Indonesia.
Aspek lain yang memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan bermasyarakat adalah keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, namun terdapat pula masyarakat yang menganut agama, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, bahkan juga terdapat masyarakat yang menganut kepercayaan adat yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori agama besar tersebut di atas. Kebhinnekaan juga merupakan konsekuensi dari aspek manusia sebagai makhluk yang “berpikir”, “bekerja”, dan “berpengharapan”. Sebagai makhluk yang memiliki cita-cita, eksistensi manusia berada sepanjang “masa kini” dan “masa depan”. Maka manusia selalu melakukan perubahan secara kreatif dan berbeda-beda. Karenanya pula manusia mempunyai kebebasan untuk bertindak dan memilih (freedom of will and choice).18
Kebhinnekaan bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan. Bahkan kebhinnekaan tersebut merupakan kekayaan sebagai karunia Tuhan yang telah menyatakan bahwa manusia diciptakan bergolongan-golongan agar saling kenal-mengenal. Karena itu, organisasi negara yang didirikan harus mengakomodasi keseluruhan perbedaan-perbedaan tersebut menjadi suatu persatuan tanpa harus memaksakan adanya kesatuan. Jika tidak ada mampu mengkamodasikan keragaman dalam satu ikatan bersama, mustahil dapat diorganisasikan sebagai satu bangsa dan satu negara. Akan muncul pertentangan antara satu budaya dengan budaya lainnya atau antara satu agama dengan agama lainnya.
Oleh karena itu gagasan negara bangsa (nation state) yang dikemukakan para pendiri bangsa Indonesia bukanlah konsep negara bangsa yang semata-mata mendasarkan diri pada persamaan ras, bahasa, dan, agama. Negara bangsa adalah gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Konsep “negara bangsa” adalah negara yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Para pendiri bangsa telah menyadari perlunya menjaga dan melindungi kebhinnekaan bangsa. Hal itu dapat dilihat dari tujuan nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan bersama tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government) sebagai dasar konstitusionalisme Indonesia. Salah satu tujuan nasional adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Kata “segenap” menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama, dan perbedaan lain, yang semuanya harus dilindungi.
Selain itu, para pendiri bangsa juga telah menyepakati falsafah kenegaraan yang berfungsi sebagai common platforms atau kalimatun sawa’ di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Prinsip dasar tersebut adalah Pancasila yang meliputi lima dasar, yaitu (i) ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebelum Perubahan UUD 1945, ketentuan yang terkait dengan perlindungan terhadap kebhinnekaan tertuang dalam jaminan terhadap kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan). Selain itu dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan juga terdapat pengakuan terhadap lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Selain itu juga dinyakan bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Pasca Perubahan UUD 1945, jaminan terhadap kebhinnekaan semakin jelas dan kuat, baik berupa hak individu, hak kolektif, maupun terhadap satuan pemerintahan. Ketentuan UUD 1945 yang menjamin kebhinnekaan dalam bentuk hak individu diantaranya adalah Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 28E Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28E Ayat (3) menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28I Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Sedangkan Pasal 29 Ayat (2) juga memberikan jaminan terhadap kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Khusus untuk kemerdekaan beragama dan beribadat, adalah jaminan terhadap kebhinnekaan dalam hal bergama. Hal itu ditegaskan dalam dua ketentuan, yaitu Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Di samping jaminan kebhinnekaan berupa hak individu, UUD 1945 juga memberikan jaminan terhadap hak kolektif baik sebagai suatu komunitas masyarakat maupun sebagai satuan pemerintahan. Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945). Sedangkan pengakuan terhadap kebhinnekaan satuan pemerintahan dijamin dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Kekhususan dan keistimewaan tersebut terkait dengan struktur dan sistem pemerintahan serta masyarakatnya yang dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, kondisi geografis, maupun ajaran agama tertentu.
Berbagai ketentuan UUD 1945, terutama tentang hak asasi manusia dan hak kolektif masyarakat tersebut harus dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa dan seluruh penyelenggara negara. Pengakuan keragaman dalam bangsa Indonesia dalam UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dalam pembuatan kebijakan dan tindakan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, jika terdapat produk hukum atau kebijakan yang mengingkari keragaman bangsa Indonesia, maka produk hukum dan kebijakan tersebut dapat dinyatakan inkonstitusional.
C. TANTANGAN PELAKSANAAN KONSTITUSI DAN KEBHINNEKAAN
Upaya menjamin kebhinnekaan dan mewujudkan konstitusionalisme adalah bagian integral dari upaya pelaksanaan UUD 1945. Hal itu membutuhkan pemahaman dari seluruh rakyat dan segenap penyelenggara yang mengarah pada budaya sadar berkonstitusi. Pemahaman dalam hal itu tidak hanya berupa pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan dasar yang ada dalam UUD 1945 tetapi juga pemahaman terhadap latar belakang filosofis berupa prinsip-prinsip dasar yang menjiwai seluruh ketentuan dalam UUD 1945, termasuk jaminan dan perlindungan terhadap kebhinnekaan Indonesia.
Di dalam budaya sadar berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal ini juga berlaku dalam konteks menjalankan kebebasan beragama. Tanpa adanya kesadaran mematuhi rambu-rambu permainan dan mekanisme penyelesaian sengketa, persatuan sebagai satu bangsa dan satu negara akan menghadapi ancaman.
Oleh karena itulah harus ada upaya secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tantangan lain yang dihadapi adalah munculnya polarisasi dalam masyarakat karena proses demokratisasi yang telah kita jalani. Di samping telah mampu membentuk kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tidak saja memiliki pemahaman terhadap prinsip kebhinnekaan dan konstitusionalisme, tetapi juga mendedikasikan hidupnya untuk melindungi kebhinnekaan, juga terdapat kutub kelompok yang cenderung eksklusif. Bahkan, kelompok ini mencurigai prinsip pluralisme sebagai bagian dari gagasan HAM adalah bagian dari budaya barat yang individual-liberal. Kelompok ini tidak hanya berada di tingkat lokal, tetapi juga memiliki jaringan antar negara.
Eklusivitas kelompok tersebut didorong oleh keyakinan atas kebenaran yang dianut. Eklusivitas tersebut mendorong tindakan yang tidak toleran terhadap kelompok lain dan senantiasa mengupayakan agar setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur berdasarkan kebenaran yang diyakininya. Jika hal itu dilakukan dengan cara-cara demokratis, tentu tidak menimbulkan persoalan. Namun adakalanya hal itu dilakukan dengan cara kekerasan dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok lain.
Terhadap kekerasan yang dilakukan tentu harus ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sinilah letak peran negara yang utama. Tetapi terhadap keyakinan dan pikiran yang eksklusif, tentu tidak dapat dilakukan pelarangan, karena hal itu dengan sendirinya menyalahi prinsip kebhinnekaan dan demokrasi. Yang harus dikedepankan adalah dialog yang mengedepankan prinsip kebaikan bersama, bukan memaksakan kebenaran masing-masing.
Proses dialog tersebut hanya dapat terlaksana jika antar kelompok dalam masyarakat menjadikan kesepakatan bersama untuk hidup sebagai satu bangsa dan satu negara sebagai titik berangkat, bukan dari keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu, gagasan konstitusi sebagai kitab suci dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion) perlu ditransformasikan dan dikembangkan lebih lanjut. Hal ini tentu tidak sekadar menjadi tanggungjawab negara, tetapi tanggungjawab seluruh warga negara, termasuk organisasi keagamaan yang memiliki otoritas terhadap ummatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995.
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short Introduction. London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. Vol. 1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Dahlan Thaib dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. Cet. Kelima. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Darmanto JT dan Sudharto PH. Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan Kedua. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Levinson, Sanford. Constitutional Faith. Princeton: Princeton University Press, 1990.
McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.
Nurcholish Madjid. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2003.
Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Cet. Kedua. Jakarta: Kencana, 2004.
Thomson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. Edisi ke-3. London: Blackstone Press Ltd., 1997.
1 Bahan disampaikan pada acara Seminar “Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi”. Diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008.
2 Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3 Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.
4 Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 20.
5 Ibid., hal. 12.
6 Lihat misalnya Brian Thomson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hal. 5.
7 J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.
8 William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political community have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
9 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 257.
10 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, 2003), hal. 98-99.
11 Ibid., hal.12-13.
12 Ibid, hal. 24.
13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 29-30.
14 Istilah ini dikembangkan dari Sanford Levinson dalam Constitutional Faith, (Princeton: Princeton University Press, 1990).
15 Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004).
16 Ibid., hal. 47.
17 Ibid., hal. 57.
18 Mukti Ali, Butir-Butir Manusia Ditinjau dari Segi Agama, dalam Darmanto JT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hal. 175-177.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
PERADILAN IINDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA
Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??
David Pangemanan,
(0274)934567
Posting Komentar