Selasa, 24 Februari 2009
ANALISIS KOMPARATIF UU No. 22 TAHUN 1957 DENGAN UU 22 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAB I
PENDAHULUAN
Harus diakui, bahwa terhitung sejak zaman penjajahan Jepang sampai dengan saat ini telah terjadi beberapa perubahan peraturan dibidang Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, yang memaksa dilakukannya perbaikan-perbaikan dan tambahan beberapa hal dalam sistem perundang-undangan Ketenagakerjaan Indonesia. Hal ini diharapkan peraturan perundang-undangan khususnya ketenagakerjaan dapat lebih up to date sehingga mampu mengcover segala kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum ketenagakerjaan.
Dengan perkembangan zaman dan semakin meningkatnya persaingan dalam pemenuhan hak-haknya, maka sering tidak bisa dihindari yang namanya perselisihan. Terjadinya perselisihan diantara manusia adalah merupakan masalah yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia. Yang penting bagi kita adalah bagaimaa mencegah atau memperkecil perselisihan tersebut atau bahkan mendamaikan diantara mereka yang berselisih.
Dalam bidang perburuhan timbulnya perselisihan antara pengusaha dan para buruh biasanya berpokok pangkal pada ketidak puasan atas kebijakan pada salah satu atau kedua pihak. Berkaitan dengan ini dalam bukunya, Gunawi Kartasapoetra mengakatakan:
Bahwa yang menjadi pokok pangkal ketidakpuasan itu, umumnya berkisar pada masalah-masalah: Pengupahan, Jaminan sosial, perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai kepribadian, daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang diemban dan adanya masalah pribadi.
(Gunawi Kastasapoetra, dkk., I, op.citr., hlm. 264-247)
Negara termasuk didalamnya pengusaha maupun buruh, tidak menghendaki terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak. Karena dengan adanya perselisihan sebenarnya sama-sama merugikan keduanya, termasuk juga merugikan bangsa dan negara. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah sudah mengeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana lainnya. Sejak zaman panjajahan, sampai saat ini telah banyak perubahan yang dilakukan pemerintah dalam pengaturan penyelesaian perselisihan perburuhan. Dimulai dengan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan Perburuhan, sampai pada yan terbaru saat ini yaitu undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yang mengatur tentang hal yang sama.
Dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk pemerintah tersebut, tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan disana-sini. Untuk itu sangat perlu bagi kita untuk menganalisis peraturan-peraturan tersebut agar dapat memberi masukan kepada pemerintah, demi kemajuan perkembangan dunia ketenagakerjaan Indonesia. Namun karena saking banyaknya peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan, maka pada pembahasan kali ini kami hanya membahas mengenai analisis komparatif yuridis Undang-undang No. 22 Tahun 1957 dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.
PERMASALAHAN
Pengertian Perselisihan Perburuhan menurut UU No. 22 tahun 1957 adalah pertentangan antara majikan/ perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau kumpulan buruh, berhubungan dengan tidakadanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Sedangkan menurut UU No. 2 tahun 2004 perselisihan Hubungan industrial adalah persedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha/ gabungan pengusaha dengan pekerja/ serikat pekerja karena adanya perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam 1 perusahaan.
Namun yang perlu dicermati pada kedua Undang-undang tersebut adalah, mengenai masalah Jenis Perselisihan, Para pihak yang berselisih dan prosedur seperti apa yang diatur didalamnya. Jenis perselisihan pa saja yang diatur? Siapakah para pihaknya? dan bagaimaa prosedur penyelesaiannya? Dengan tiga indikator tersebut, kita dapat menyimpulkan, apakah kedua undang-udang tersebut efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1957
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan berpegang pada suatu asas musyawarah untuk mencapai mufakat dengan berpijak pada tahap pertama bila terjadi perselisihan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang berselisih. Dalam hal tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian oleh para pihak, maka baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan ini juga dalam mencari penyelesaian harus tetap berpedoman pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat serta harus pula memberi kesempatan kepada para pihak yang berselisih sebelum mengambil keputusan.
Perselisihan Perburuhan menurut UU No. 22 tahun 1957 adalah pertentangan antara majikan/ perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau kumpulan buruh, berhubungan dengan tidakadanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Dari pengertian diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa yang disebut para pihak dalam perselisihan adalah: Serikat pekerja atau kumpulan serikat pekerja (bukan perorangan) dengan majikan atau kumpulan majikan. Sedangkan perselisihan yang diatur adalah:
1. Perselisihan kepentinga
2. Perselisihan Hak, dan
3. Perselisihan Syarat-syarat kerja.
Disamping penyelesaian perselisihan perburuhan oleh Badan/ Lembaga tersebut yang merupakan penyelesaian secara wajib, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 juga mengatur penyelesaian perselisihan perburuhan oleh juru pemisah atau sebuah badan/dewan pemisah untuk diserahkan dengan cara arbitrase (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 bagian V pasal 19 sampai dengan 22), penyelesaian dengan menyerahkan secara sukarela kepada badan/dewan pemisah dengan cara arbitrase inilah yang lazim disebut “Penyelesaian secara sukarela”.
a. penyelesaian secara sukarela
“Majikan dan buruh yang terlibat dalam perselisihan atas kehendak mereka sendiri dapat menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah. Penyerahan perselisihan kepada badan/dewan pemisah atau harus disetujui oleh kedua belah pihak yang berselisih dan dimuat dalam surat perjanjian “.
(zainal Asikin, dkk., op.cit., hlm. 175)
Pegawai perantara atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) yang memberikan peraturan dapat pula dipilih menjadi juru/dewan pemisah dan dalam praktek seringkali panitia daerah ditunjuk sebagai juru/ dewan pemisah. Terhadap putusan yag diambil oleh panitia daerah selaku dewan pemisah ini, Soepomo berpendapat:
”Sebetulnya sama saja putusan panitia daerah selaku dewan pemisah dan putusan panitia daerah sebagai instansi pengadilan perburuhan. Bahkan putusan panitia daerah selaku dewan pemisah dapat merugikan karena tidak dapat dimintakan banding pada panitia pusat”. (Imam soepooI, op.cit. hlm.99 )
Setiap keputusan yang diambil oleh panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah selaku juru atau dewan pemisah harus memuat:
1. hal-hal yang termuat dalan surat perjanjian penyerahan tersebut.
2. Ihktisar dari tuntutan, balasan, penjelasan lebih lanjut yang diberikan kedua belah pihak.
3. pertimbangan yang menjadi dasar putusan tersebut.
4. pokok putusan
Putusan yang telah ditetapkan itu harus di beri tanggal, dibubuhi nama tempat dimana putusan itu di jatuhkan dan ditandatangani oleh juru atau dewan pemisah. Putusan yang telah diambil oleh panitia daerah selaku juru/ dewan pemisah tidak dapat dimintakan banding kepada P4 pusat, hanya putusan tersebut dapat dimintakan pangesahan pada P4 pusat, kecuali:
1. putusan yang diberikan itu melampaui batas kewenangan dewan pemisah.
2. terdapat hal-hal yang didasari itikad buruk
3. isinya bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
Seandainyan P4 menolak permohanan pengesahan itu maka P4 pusat harus mengatur akibat penolakan tersebut. Tetapi jika putusan yang dimintakan diterima oleh P4 pusat maka putusanya memperoleh kekuatan hukum sebagai putusan P4 pusat yang berarti bahwa:
1. Putusan tersebut daapat dimintakan kepada penagadilan negeri agar dapat dijalankan dan kemudian dilaksanakan menurut peraturan yang berlaku
2. Pihak yang tidak mentaati isi putusan tersebut dapat diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda setinggi- tingginya sepuluh ribu rupiah.
b. Penyelesaian secara wajib
Dalam hal perselisiham tidak dapat diselesaikan secara damai, serta oleh para pihak tidak diserahklan kepada dewan pemisah maka oleh para pihak atau salah satu harus memberitahukan keadaan tersebut kepada pegawai perantara. Pemberitahuan secara wajib ini dipandang sebagai permintaan kepada pegawai perantara untuk memberikan perantaraan guna mencari upaya penyelesaian dalam perselisihan tersebut. Persetujuan yang telah dicapai dalam perundingan mempunyai kekuatan hukum sebagai perjanjian perburuhan.
Jika perselisihan tersebut tidak mencapai perdamaian dan pegawai perantara menyatakan bahwa perselisiahan tidak dapat diselesaikan olehnya maka perselisihan tersebut harus di serahkan kepad P4D. Setelah P4D menerima pemberitahuan tersebut maka P4D memberikan perantaraan dengan jalan mengadakan perundingan bersama para pihak yang berselisih. Jika perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan maka perundingan itu mempunyai kekuatan hukum sebagai perjanjian perburuhan.
Ketika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan maka panitia daerah dapat mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan. Putusan panitia daerah dapat berupa anjuran, namun jika perselisihan tersebut sulit di selesai maka panitia daerah memberikan putusan yang bersifat mengikat. Jika dalam 14 hari setelah putusan diambil tidak dimintakan pemeriksaan ulang pada panitia pusat maka putusan itu dapat di eksekusi. Putusan panitia daerah yang mengikat dalam waktu 14 hari dapat dimintakan pemeriksaan ulang kepada panitia pusat.
Ada beberapa persoalan yang dapat diajukan permeriksaan ulang ke panitia pusat. Yaitu:
1. soal yang meliputi lebih dari satu wilayah panitia daerah.
2. perselisihan mengenai perslisihan perburuhan atau upah di perusahaan umum
3. perselisihan masal lebih dari 9 orang
4. perselisihan mengenai pembentukan atau perubahan peraturan pensiunan/ jaminan hari tua dan jaminan sakit.
5. semua putusan daerah yang bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang berlaku.
(FX. Djumialdi dan Wiwoho Soedjono,op.cit.,hal.47)
Panitia pusat selain menerima pemeriksaan ulang, atau banding, juga dapat menarik perselisihan perburuhan dari tangan pegawai perantara atau panitia daerah untuk diselesaikan, bila menurut panitia pusat, perselisihan dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentigan umum.
Keanggotaan panitia pusat ini terdiri dari: seorang wakil dari kementrian perburuhan sebagai ketua merangkap anggota, seorang wakil kementrian perindustrian, seorang wakil kementrian kuangan, seorang wakil kementrian perhubungan, atau kementrian pelayaran, 5 orang wakil dari kalangan buruh, dan 5 orang sebagai wakil majikan sebagai anggota, untuk setiap orang anggota ditunjuk masing-masing seorang pengganti.
Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri menurut UU No 22 Tahun 1957, secara sederhana dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
Keluh Kesah
gagal
Bipatrit
Gagal Sepakat
Arbitrase
Juru pisah/Dewan Pemisah
Pemerantaraan
Melalui Pegawai Perantara
Gagal Sepakat PKB
Anjuran
Diterima
Ditolak
P4D perdamaian
Anjuran
Putusan Mengikat
Dapat Diajukan Banding ke P4P Dapat Ditunda/ diputuskan Menaker
Keterangan :
1.Bipatreit Sistem.
Bipatreit sistem adalah upaya damai antara buruh dengan majikan (Pengusaha) atau anjuran Departemen Tenaga Kerja. Fungsi Depnaker dalam hal ini adalah sebagai perantara. Apabila dalam suatu perusahaan itu ada SPSI maka kepentingan buruh diwakili SPSI namun apabila belum ada maka buruh mewakili kepentingannya sendiri.
2. Arbitrase.
Arbitrase adalah peradilan wasit atau peradilan yang akan memberikan keputusan yang akan memberikan keputusan mengenai persengketaan antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa melalui Pengadilan.
3. Banding ke P4P.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) adalah merupakan suatu lembaga untuk melakukan pemeriksaan ulangan terhadap putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). adapun putusan P4D yang dapat dimintakan pemeriksaan ulangan kepada P4D adalah putusan P4D yang bersifat mengikat, kecuali bila putusan itu mengenai soal khusus bersifat lokalyang ditentukan oleh P4P.
4. Putusan Menteri/ Veto.
Terhadap putusan P4P, Menteri Tanaga Kerja dapat mengambil siakp berupa:
1. Membatalkan Putusan P4P.
2. Menunda pelaksanaan putusan P4P.
Alasan mengambil sikaptersebut, menuirut pasal 17 (1) UU No22 Tahun 1957 adalah jika hal tersebut dipandangnya perlu untuk memelihara ketertiban umum srta melindungi kepentingan negara. Tindaka tersebut dapat diambil setelah terlebih dahulu Menteri Tenaga Kerja dengan menteri-menteri yang Kementeriannya mempunyaiwakil di P4P.
Fiat Executie Terhadap Putusan P4D/P4P dan Beberapa Permasalahan.
Seperti yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957, bahwa keputusan P4D yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk pelaksanaannya dapat dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan P4D. sedangkan atas keputusan P4P yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti dapat dimintakan fit eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yag menjadi dasar pemikiran sehingga keputusan P4D dan P4P itu dapat dimintakan fiat eksekusi ke Lembaga Pengadilan?
Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk dapat melaksanakan suatu hak yang dimiliki seseorang diperlukan suatu lembaga yang berwenang menetapkan keabsahan itu, misalnya Pengadilan melalui keputusannya akan menetapkan hak dan kewajiban seseorang; P4D dan P4P lewat keputusanya menetapkan keputusan hak dan kewajiban buruh da majikan; begitu pula notaris melalui akta otentik yang dibuatnya akan menggariskan hak-hak seseorang. Jadi apabila seseorang atau beberapa orang menyerahkan penyelesaian perkara melalui lembaga hukum tadi, berarti bahwa para pihak mengharapkan satu perlindungan hak yang pasti. Begitu pula masing-masing pihak secara diam-diam telah sepakat akan tunduk dan patuh terhadap putusan lembaga yang dipercayakan tersebut.
Penataatan terhadap pelaksanaan putusan itu tentunya harus dilaksanakan secara sukarela tanpa harus dipaksa dengan bantuan petugas pelaksana putusan (eksekutor). Praktek seperti ini juga diterapkan dalam Pengadilan Negeri, yakni apabila telah ada keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), maka pihak yang dikalahkan diharapkan untuk tersedia melaksanakan keputusan itu secara sularela tanpa membutuhkan paksaan dari panitera (executor). Utuk itulah dalam hukum acara perdata dikenal yang namanya “aanmaning” atau peringatan (pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG).
Namun keputusan P4D maupun P4P hanya bersifat mengikat atau tidak/belum mempunyai sifat “executoliale kracht”. Karena sifatnya hanya mengikat, maka pada para pihak diserahkan sepenuhnya utuk melaksanakan keputusan secara sukarela.
Karena itu, demi menyelamatkan dan melindungi keputusan posisi pihak yang dimenangkan. Undang-undang memberikan jalan keluar atas permasalahan ini, yaitu terhadap keputusan P4D atau P4P yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan fiat eksekusi kepada PN setempat. Adapun prosedur pengajuan fiat eklsekusi, yaitu sebagai berikut:
1. pihak yang menang mengajukan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri setempat. Dilampiri turunan putusan P4D
2. Kepala Panitia Perdata menerima surat permohonan dengan memberitahu biaya administrasi.
3. setelah pemohon memenuhi segala persyaratan administrasi, panitera mendaftar pemohon tersebut pada register yang telah tersedia.
4. Ketua Pengadilan segera setelah menerima berkas permohonan, membubuhkan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada bagian atas. Sedangkan bagian bawah dicantumkan kata-kata bahwa keputusan ini sudah dapat dilaksanakan, dengan disertakan tanggal, tanda tangan dan stempel Pengadilan Negeri. Dengan ini maka putusan sudah dapat dilaksanakan.
Demikian dasar pemikiran dan eksistensi fiat eksekusi atas putusan P4D dan P4P secara sederhana diuraikan untuk mendapatkan kejelasan dalam pelaksanannya.
Pemogokan (Strike) dan Penutuoan Perusahaan (lock-out)
Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1963 pasal 1 memberikan beberapa pengertian berikut:
Pemogokan adalah: sengaja melalaikan atau menolak melakukan pekerjaan atau meskipun diperintah dengan syah enggan melaksanakan atau lambat melaksanakan pekerjaan yang harus dilakukan oleh karena perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis atauyang harus dikerjakan karena jabatanya. Penutupan perusahaan (lock-out) adalah dengan sengaja bertentangan dengan perjanjian baik secara tertulis maupun lisan yang merintangi dijalannkannya pekerjaan itu.
(PP No. 7 Tahun 1963, pasal 1)
Dampak utama yamg dirasakan dengan adanya strike dan lock out adalah kesulitan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, lebih-lebih jika perusahaan yang terjadi strike dan lock-out memproduksi barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Bagi negara hal ini juga sangat merugikan, lebih-lebih perusahaan tersebut menghasilkan barang-barang yang diekspor, selain hubungan dagang menjadi retak, juga devisa negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai pelaksanaan pembanguan menjadi kurang. Karena itulah pemerintah/negara melarang terjadinya pemogokan dan penutupa perusahaan. Pencegahan yang dilakukan pemerintah, nampak dengan munculnya Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang penyeesaian perselisihan Perburuhan, pasal 6 (1), pasal 18 (5), pasal 23 (1), dan pasal 27.
Setelah itu pemerintah juga mengeluarkan UU No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok Ketenagakerjaan. Pasal 13 menyatalkan bahwa mogok, demontrasi, dan lock-out diatur dengan perundang-undangan. Selanjutnya Penetapan Presiden Nomor 7 1963 dan Keputusan Presiden nomor 123 Tahun 1963 menegaskan bahwa lock-out dan pemogokan-pemogokan harus dicegah, terutama pada perusahaan-perusahaan vital. penegasan larangan ini dilakukan dengan Instruksi PANGKOPKAMTIP Nomor: INS/KOPKAM/VII/1973 Tanggal 5 Juli 1973. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut pemerintah memberikan ancaman hukuman kepada para pihak, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya pemogokan dan penutupan perusahaan. Ancaman tersebut sebagai berikut:
a. Dalam hal penyelesaian perselisihan perburuhan dihukum setinggi-tinggiya tiga bulan kurungan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,00 bagi mereka yang melakukan tindakan sepihak. Selama penyelesaian sedang berlangsung, dibawah petugas DEPNAKER , juru pemisah P4D atau tindakan-tindakan setelah adanya keputusan P4D yang bersifat mengikat, keputusan juru pemisah yang mempunyai kekuatan mengikat.
b. Dalam hal pencegahan pemogokan dan lock out, dipidana dengan kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tinginya Rp5.000,00 bagi mereka yang melakukan pemogokan atau penutupan perusahaan , jawatan atau badan yang dengan keputusan presiden dinyatakan vital. Dan juga dihukum yang sama bagi mereka yang memberi kesempatan atau memancing, mengajak, menganjurkan, menghasut, menyuruh, memerintahkan ataumemaksa dilakukanya pemogokan atau penutupan perusahan jawatan atau badan yang dengan keputusan presiden dinyatakan vital.
B. Penyelesaian Perselisihan Hubunga Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
Menurut UU No. 2 tahun 2004 perselisihan Hubungan industrial adalah persedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha/ gabungan pengusaha dengan pekerja/ serikat pekerja karena adanya perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam 1 perusahaan.
Dari pengertian diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan para pihak dalam perselisihan adalah: buruh (perorangan) atau serikat buruh (kolektif) dengan serikat majikan atau majikan. Ini artiya para pihak sangat fleksibel, tidak harus dengan serikat pekerja, tetapi peroranganpun bisa dipenuhi.
Sedagkan untuk jenis perselisihan yang diatur dalan UU No.2 Tahun 2004 adalah
1.Perelisihan hak,
2.Perelisihan kepentingan,
3. Perelisihan PHK dan
4. perselisihan antar serikat pekerja dalam 1 perusahaan.
Mengenai prosedur penyelesaian sengketa/ perselisihan perburuhan, diatur dengan dua cara:
A. Diluar Pengadilan
1. perundingan Bipartiet
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
B. Pengadilan Hubungan Industrial
1. Penyelesaian melalui Perundingan Bipartiet
Perundingan bipartiet adalah perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Sebenarnya tidak berbeda antara perundingan bipartiet dengan negoisasi. Karena kedua-duanya sama-sama menyelesaikan sengketa oleh para pihak tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang harmonis dan kreatif.
Pada tahap Bipatreit sistem ini biasanya Depnaker meminta bukti baik dari buruh maupun dari majikan. Apabila buruh tidak mencapai perdamaian maka Depnaker mengambil keputusan yang sifatnya anjuran.
Tata cara / prosedur penyelesaian sengketa dengan perundingan bipartiet:
a. Musyawarah untuk mufakat antara para pihak dengan membuat risalah yang ditandatangani oleh kedua pihak.
b. Jika tercapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani kedua pihak. perjanjan ini bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan.
c. Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan kepada Pengadilan hubungan Industrial pada PN setempat.
d. Bila perjanjian bersama tidak dilaksanakan maka dapat diajukan permohonan kesekusi kepada Pengadilan hubugan industrial PN setempat
Penyelesainan dengan cara bipartiet paling lama dilakukan 30 hari, sejak dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartiet dianggap gagal.
Jika perundinagan secara bipartiet gagal, maka alah satu/ kedua pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi bidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti penyelesaian bipartiet. Setelah menerima pencatatan, instansi ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada kedua pihak untuk memilih penyelesian secara konsiliasi atau arbirase. Jika dalam 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan, maka instansi ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator.
2. Penyelesaian melalui mediasi.
Mediasi adalah penyeleaian perselihan hak, kepentingan , PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator disini adalah pegawai dari instansi pemerintah yang bertanggungjwab dalam ketenagakerjaan yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Prosedur penyelesaian secara mediasi sebagai berikut:
a. Dalam waktu paling lama 7 hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
b. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli dalam sidang
c. Jika mediasi mencapai kesepakatan maka harus dibuat perjanjian kerjab bersama yang ditandatangani oleh kedua pihak dan disaksikan oleh mediator. Kemudian didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial di PN setempat.
d. Jika tidak dicapai kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis paling lama 10 hari sejak sedang mediasi. Para pihak dalam waktu 10 hari sejak menerima anjuran tersebut harus sudah memberi jawaban. Jika tidak memberi jawaban maka dianggap menolak. Jika anjuran disepakati maka dalam waktu paling lama 3 hari mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat PKB.
e. Apabila PKB tidak dilaksanakan maka dapat diajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan.
f. Jika anjuran tertulis ditolak, maka salah satu atau kedua pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke pengadilan hubungan industrial
g. Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 hari kerja.
3. Penyelesaian secara konsiliasi
Konsilisai adalah penyelesaian perselisihan kepetingan, PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator disini tidak dari unsur pemerintah tetapi harus ditetapkan oleh menteri.
Mekanisme penyelesaian perselisihan melalui konsilisai sebagai berikut:
a. para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepeda konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
b. dalam waktu 7 hari setelah menerima permintaan, konsoliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang.
c. Konsiliator dapat mengajukan saksi atau saksi ahli.
d. Jika konsiliasi mencapai ksepakatan maka dibuat PKB.
e. Jika tidak tercapai kesepakatan maka, konsoliator harus membuat anjuran tertulis, yang disampaikan maksimal dalam 10 hari.
f. Dalam waktu 10 hari setelah menerima anjuran, para pihak harus memberi jawaban.
g. Jika tidak memberi jawaban maka dianggap menolak.
h. Jika anjuran disetujui, maka dalam 3 hari harus dibuat PKB.
i. Apabila PKB tidak dilaksanakan dapat dimintakan fiat eksekusi ke PN stempat
j. Jika anjuran tertulis ditolak, maka salah satu/ kedua pihak dapat melanjutkan ke pengadilan hubungan industrial.
4. Penyelesaian melalui arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan kepetingan dan perselisihan antara serikat pekerja dalam suatu perusahaan, diluar pengadilan melalui kesepakatan tertulis dari kedua pihak yang berselisih untuk menyerahkan perelisihan kepada arbiter yang keputusanya mengikat dan final.
Menurt Pasal 19 UU No 22 Tahun 1957 , bahwa majikan dan (serikat) buruh yang terlibat dalam perselisihan perburuhan atas kehendak mereka sendiri atau atas anjuran dari pegawai atau Panitia Daerah yang memberikan perantaraan dapat menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah.
Prosedure penyelesaian melalui arbitrase sebagai berikut:
a. diawali dengan pendamaian para pihak
b. bila terjadi perdamaian, maka arbiter membuat akte perdamaian. Dan jika akte perdamaian tidak dilakanakan dapat dimintakan fiat eksekusi ke PN setempat.
c. Bila upaya perdamaian gagal, maka arbiter meneruskan dengan sidang arbitrase.
d. Arbiterdapat memanggil saksi atau saksi ahli
e. Putiusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan Peraturan perundang-undangan, perjanjian, kebiasaan, keadila dan kepetingan umum. 14 hari setelah diputuskan, harus sudah dilaksanakan.
f. Putusan didaftarkan ke PN dan jika tidak dilaksanakan dapat dimintakan ke PN setempat
g. Terhadap putusan arbitrease, salah satu/ para pihak dapat mengajukan peninjauan kembali pada MA paling lama 30 hari sejak putusan ditetepkan.
BAB III
PENUTUP
Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah adalah sama, yaitu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Namun yang namanya produk manusia pasti ada cacat atau kekurangannya. Begitu pula dalam peraturan perundang-undangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, ketika UU No. 22 Tahun 1957 dibuat pada saat itu sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam perburuhan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman Undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dan harus diperbaharui. Agar up to date dan mampu mengcover semua kebutuhan hukum masyarakat, maka peraturan perundang undangan harus selalu mengalami perkembangan dan pembaharuan, sehingga yang terbaru saat ini keluarlah Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, yang intinya sama yaitu untuk memberikan keadilan bagi masyarakat terutama dalambidang ketenagakerjaan.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kami Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 lebih efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam duniaketenagakerjaan Indonesia, dari pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1957. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar kami menilai UU No. 2 tahun 2004 lebih efektif dari UU Nomor 22 tahun 1957, yaitu pada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebenarnya UU No. 22 Tahun 1957 sudah cukup bagus dalam memberikan keadilan bagi masyarakat.
Berikut ini beberapa aspek yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk menilai keefektifitasan peraturan perundang-undangan tersebut:
1. Ruang lingkup subyek atau para pihak dalam perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 Ruang lingkupnya terlalu sempit, yaitu para pihak dalam perselisihan hanya antara serikat pekerja dan pengusaha/ kumpulan pengusaha saja. Dalam hal ini undang-undang tidak mengakomodir kepentingan seorang tenaga kerja yang tidak dengan serikat pekerja. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004, ruang lingkupnya cukup luas yaitu mengakomodir pekerja perorangan maupun serikat pekerja dengan pengusaha maupun kumpulan pengusaha.
2. Ruang lingkup jenis atau Bentuk Perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 Permasalahan yang diaturpun tidakluas, yaitu hanya mengatur tentang perselisihan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan. Masih ada beberapa permasalahan yang sangat dimungkinkan muncul tapi tidak diatur, seperti perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 diatur secara jelas tentang permasalahan ini.
3. Prosedure atau mekanisme penyelesaian sengketa
Mekanisme penyelesaian yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1957 kurang efektif dan tidak efeisien, bahkan terkesan berbelit-belit dan lama. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, Banyaknya tingkatan-tingkatan lembaga yang harus dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebabkan proses penyelesaiannya memakan waktu dan biaya yang banyak.
Kedua, Keputusan dari masing-masing lembaga yang daya mengikatnya tidak/kurang kuat, menyebabkan para pihak kurang manghargai keputusan dari lembaga yang bersangkutan, sehingga harus mengajukan fiat eksekusi. Seperti contohnya keputusan arbitrase yang dapat dimintakan banding ke P4P,padahal yang namanya keputusan arbitrase itu harusnya bersifat final dan mengikat.
“Manusia adalah tempatnya salah dan lupa; No Body Perfect”, begitu pepatah mengatakan. Mungkin hal tersebut juga berlaku dalam karya kami ini. Karena itu kritik dan saran selalu kami tunggu untuk kebaikan masa depan hukum dan keadilan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal dkk. 2002. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Djimialdji,FX, dan Wiwoho Soedjono. 1982. Perjanjian Perburuhan dan Hubungn Perburuhan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.
Efendi, Sofyan. 1984. Hukum Perburuhan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gunawi, Kartosapoetra. 1988. Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaslkan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.
Prinst, Darwan. 2000. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Soepomo, Imam. 1983. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.
Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Perburuhan dn Perlindungan tenaga kerja: Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
PENDAHULUAN
Harus diakui, bahwa terhitung sejak zaman penjajahan Jepang sampai dengan saat ini telah terjadi beberapa perubahan peraturan dibidang Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, yang memaksa dilakukannya perbaikan-perbaikan dan tambahan beberapa hal dalam sistem perundang-undangan Ketenagakerjaan Indonesia. Hal ini diharapkan peraturan perundang-undangan khususnya ketenagakerjaan dapat lebih up to date sehingga mampu mengcover segala kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum ketenagakerjaan.
Dengan perkembangan zaman dan semakin meningkatnya persaingan dalam pemenuhan hak-haknya, maka sering tidak bisa dihindari yang namanya perselisihan. Terjadinya perselisihan diantara manusia adalah merupakan masalah yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia. Yang penting bagi kita adalah bagaimaa mencegah atau memperkecil perselisihan tersebut atau bahkan mendamaikan diantara mereka yang berselisih.
Dalam bidang perburuhan timbulnya perselisihan antara pengusaha dan para buruh biasanya berpokok pangkal pada ketidak puasan atas kebijakan pada salah satu atau kedua pihak. Berkaitan dengan ini dalam bukunya, Gunawi Kartasapoetra mengakatakan:
Bahwa yang menjadi pokok pangkal ketidakpuasan itu, umumnya berkisar pada masalah-masalah: Pengupahan, Jaminan sosial, perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai kepribadian, daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang diemban dan adanya masalah pribadi.
(Gunawi Kastasapoetra, dkk., I, op.citr., hlm. 264-247)
Negara termasuk didalamnya pengusaha maupun buruh, tidak menghendaki terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak. Karena dengan adanya perselisihan sebenarnya sama-sama merugikan keduanya, termasuk juga merugikan bangsa dan negara. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah sudah mengeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana lainnya. Sejak zaman panjajahan, sampai saat ini telah banyak perubahan yang dilakukan pemerintah dalam pengaturan penyelesaian perselisihan perburuhan. Dimulai dengan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan Perburuhan, sampai pada yan terbaru saat ini yaitu undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yang mengatur tentang hal yang sama.
Dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk pemerintah tersebut, tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan disana-sini. Untuk itu sangat perlu bagi kita untuk menganalisis peraturan-peraturan tersebut agar dapat memberi masukan kepada pemerintah, demi kemajuan perkembangan dunia ketenagakerjaan Indonesia. Namun karena saking banyaknya peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan, maka pada pembahasan kali ini kami hanya membahas mengenai analisis komparatif yuridis Undang-undang No. 22 Tahun 1957 dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.
PERMASALAHAN
Pengertian Perselisihan Perburuhan menurut UU No. 22 tahun 1957 adalah pertentangan antara majikan/ perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau kumpulan buruh, berhubungan dengan tidakadanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Sedangkan menurut UU No. 2 tahun 2004 perselisihan Hubungan industrial adalah persedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha/ gabungan pengusaha dengan pekerja/ serikat pekerja karena adanya perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam 1 perusahaan.
Namun yang perlu dicermati pada kedua Undang-undang tersebut adalah, mengenai masalah Jenis Perselisihan, Para pihak yang berselisih dan prosedur seperti apa yang diatur didalamnya. Jenis perselisihan pa saja yang diatur? Siapakah para pihaknya? dan bagaimaa prosedur penyelesaiannya? Dengan tiga indikator tersebut, kita dapat menyimpulkan, apakah kedua undang-udang tersebut efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1957
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan berpegang pada suatu asas musyawarah untuk mencapai mufakat dengan berpijak pada tahap pertama bila terjadi perselisihan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang berselisih. Dalam hal tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian oleh para pihak, maka baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan ini juga dalam mencari penyelesaian harus tetap berpedoman pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat serta harus pula memberi kesempatan kepada para pihak yang berselisih sebelum mengambil keputusan.
Perselisihan Perburuhan menurut UU No. 22 tahun 1957 adalah pertentangan antara majikan/ perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau kumpulan buruh, berhubungan dengan tidakadanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Dari pengertian diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa yang disebut para pihak dalam perselisihan adalah: Serikat pekerja atau kumpulan serikat pekerja (bukan perorangan) dengan majikan atau kumpulan majikan. Sedangkan perselisihan yang diatur adalah:
1. Perselisihan kepentinga
2. Perselisihan Hak, dan
3. Perselisihan Syarat-syarat kerja.
Disamping penyelesaian perselisihan perburuhan oleh Badan/ Lembaga tersebut yang merupakan penyelesaian secara wajib, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 juga mengatur penyelesaian perselisihan perburuhan oleh juru pemisah atau sebuah badan/dewan pemisah untuk diserahkan dengan cara arbitrase (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 bagian V pasal 19 sampai dengan 22), penyelesaian dengan menyerahkan secara sukarela kepada badan/dewan pemisah dengan cara arbitrase inilah yang lazim disebut “Penyelesaian secara sukarela”.
a. penyelesaian secara sukarela
“Majikan dan buruh yang terlibat dalam perselisihan atas kehendak mereka sendiri dapat menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah. Penyerahan perselisihan kepada badan/dewan pemisah atau harus disetujui oleh kedua belah pihak yang berselisih dan dimuat dalam surat perjanjian “.
(zainal Asikin, dkk., op.cit., hlm. 175)
Pegawai perantara atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) yang memberikan peraturan dapat pula dipilih menjadi juru/dewan pemisah dan dalam praktek seringkali panitia daerah ditunjuk sebagai juru/ dewan pemisah. Terhadap putusan yag diambil oleh panitia daerah selaku dewan pemisah ini, Soepomo berpendapat:
”Sebetulnya sama saja putusan panitia daerah selaku dewan pemisah dan putusan panitia daerah sebagai instansi pengadilan perburuhan. Bahkan putusan panitia daerah selaku dewan pemisah dapat merugikan karena tidak dapat dimintakan banding pada panitia pusat”. (Imam soepooI, op.cit. hlm.99 )
Setiap keputusan yang diambil oleh panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah selaku juru atau dewan pemisah harus memuat:
1. hal-hal yang termuat dalan surat perjanjian penyerahan tersebut.
2. Ihktisar dari tuntutan, balasan, penjelasan lebih lanjut yang diberikan kedua belah pihak.
3. pertimbangan yang menjadi dasar putusan tersebut.
4. pokok putusan
Putusan yang telah ditetapkan itu harus di beri tanggal, dibubuhi nama tempat dimana putusan itu di jatuhkan dan ditandatangani oleh juru atau dewan pemisah. Putusan yang telah diambil oleh panitia daerah selaku juru/ dewan pemisah tidak dapat dimintakan banding kepada P4 pusat, hanya putusan tersebut dapat dimintakan pangesahan pada P4 pusat, kecuali:
1. putusan yang diberikan itu melampaui batas kewenangan dewan pemisah.
2. terdapat hal-hal yang didasari itikad buruk
3. isinya bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
Seandainyan P4 menolak permohanan pengesahan itu maka P4 pusat harus mengatur akibat penolakan tersebut. Tetapi jika putusan yang dimintakan diterima oleh P4 pusat maka putusanya memperoleh kekuatan hukum sebagai putusan P4 pusat yang berarti bahwa:
1. Putusan tersebut daapat dimintakan kepada penagadilan negeri agar dapat dijalankan dan kemudian dilaksanakan menurut peraturan yang berlaku
2. Pihak yang tidak mentaati isi putusan tersebut dapat diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda setinggi- tingginya sepuluh ribu rupiah.
b. Penyelesaian secara wajib
Dalam hal perselisiham tidak dapat diselesaikan secara damai, serta oleh para pihak tidak diserahklan kepada dewan pemisah maka oleh para pihak atau salah satu harus memberitahukan keadaan tersebut kepada pegawai perantara. Pemberitahuan secara wajib ini dipandang sebagai permintaan kepada pegawai perantara untuk memberikan perantaraan guna mencari upaya penyelesaian dalam perselisihan tersebut. Persetujuan yang telah dicapai dalam perundingan mempunyai kekuatan hukum sebagai perjanjian perburuhan.
Jika perselisihan tersebut tidak mencapai perdamaian dan pegawai perantara menyatakan bahwa perselisiahan tidak dapat diselesaikan olehnya maka perselisihan tersebut harus di serahkan kepad P4D. Setelah P4D menerima pemberitahuan tersebut maka P4D memberikan perantaraan dengan jalan mengadakan perundingan bersama para pihak yang berselisih. Jika perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan maka perundingan itu mempunyai kekuatan hukum sebagai perjanjian perburuhan.
Ketika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan maka panitia daerah dapat mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan. Putusan panitia daerah dapat berupa anjuran, namun jika perselisihan tersebut sulit di selesai maka panitia daerah memberikan putusan yang bersifat mengikat. Jika dalam 14 hari setelah putusan diambil tidak dimintakan pemeriksaan ulang pada panitia pusat maka putusan itu dapat di eksekusi. Putusan panitia daerah yang mengikat dalam waktu 14 hari dapat dimintakan pemeriksaan ulang kepada panitia pusat.
Ada beberapa persoalan yang dapat diajukan permeriksaan ulang ke panitia pusat. Yaitu:
1. soal yang meliputi lebih dari satu wilayah panitia daerah.
2. perselisihan mengenai perslisihan perburuhan atau upah di perusahaan umum
3. perselisihan masal lebih dari 9 orang
4. perselisihan mengenai pembentukan atau perubahan peraturan pensiunan/ jaminan hari tua dan jaminan sakit.
5. semua putusan daerah yang bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang berlaku.
(FX. Djumialdi dan Wiwoho Soedjono,op.cit.,hal.47)
Panitia pusat selain menerima pemeriksaan ulang, atau banding, juga dapat menarik perselisihan perburuhan dari tangan pegawai perantara atau panitia daerah untuk diselesaikan, bila menurut panitia pusat, perselisihan dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentigan umum.
Keanggotaan panitia pusat ini terdiri dari: seorang wakil dari kementrian perburuhan sebagai ketua merangkap anggota, seorang wakil kementrian perindustrian, seorang wakil kementrian kuangan, seorang wakil kementrian perhubungan, atau kementrian pelayaran, 5 orang wakil dari kalangan buruh, dan 5 orang sebagai wakil majikan sebagai anggota, untuk setiap orang anggota ditunjuk masing-masing seorang pengganti.
Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri menurut UU No 22 Tahun 1957, secara sederhana dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
Keluh Kesah
gagal
Bipatrit
Gagal Sepakat
Arbitrase
Juru pisah/Dewan Pemisah
Pemerantaraan
Melalui Pegawai Perantara
Gagal Sepakat PKB
Anjuran
Diterima
Ditolak
P4D perdamaian
Anjuran
Putusan Mengikat
Dapat Diajukan Banding ke P4P Dapat Ditunda/ diputuskan Menaker
Keterangan :
1.Bipatreit Sistem.
Bipatreit sistem adalah upaya damai antara buruh dengan majikan (Pengusaha) atau anjuran Departemen Tenaga Kerja. Fungsi Depnaker dalam hal ini adalah sebagai perantara. Apabila dalam suatu perusahaan itu ada SPSI maka kepentingan buruh diwakili SPSI namun apabila belum ada maka buruh mewakili kepentingannya sendiri.
2. Arbitrase.
Arbitrase adalah peradilan wasit atau peradilan yang akan memberikan keputusan yang akan memberikan keputusan mengenai persengketaan antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa melalui Pengadilan.
3. Banding ke P4P.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) adalah merupakan suatu lembaga untuk melakukan pemeriksaan ulangan terhadap putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). adapun putusan P4D yang dapat dimintakan pemeriksaan ulangan kepada P4D adalah putusan P4D yang bersifat mengikat, kecuali bila putusan itu mengenai soal khusus bersifat lokalyang ditentukan oleh P4P.
4. Putusan Menteri/ Veto.
Terhadap putusan P4P, Menteri Tanaga Kerja dapat mengambil siakp berupa:
1. Membatalkan Putusan P4P.
2. Menunda pelaksanaan putusan P4P.
Alasan mengambil sikaptersebut, menuirut pasal 17 (1) UU No22 Tahun 1957 adalah jika hal tersebut dipandangnya perlu untuk memelihara ketertiban umum srta melindungi kepentingan negara. Tindaka tersebut dapat diambil setelah terlebih dahulu Menteri Tenaga Kerja dengan menteri-menteri yang Kementeriannya mempunyaiwakil di P4P.
Fiat Executie Terhadap Putusan P4D/P4P dan Beberapa Permasalahan.
Seperti yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957, bahwa keputusan P4D yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk pelaksanaannya dapat dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan P4D. sedangkan atas keputusan P4P yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti dapat dimintakan fit eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yag menjadi dasar pemikiran sehingga keputusan P4D dan P4P itu dapat dimintakan fiat eksekusi ke Lembaga Pengadilan?
Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk dapat melaksanakan suatu hak yang dimiliki seseorang diperlukan suatu lembaga yang berwenang menetapkan keabsahan itu, misalnya Pengadilan melalui keputusannya akan menetapkan hak dan kewajiban seseorang; P4D dan P4P lewat keputusanya menetapkan keputusan hak dan kewajiban buruh da majikan; begitu pula notaris melalui akta otentik yang dibuatnya akan menggariskan hak-hak seseorang. Jadi apabila seseorang atau beberapa orang menyerahkan penyelesaian perkara melalui lembaga hukum tadi, berarti bahwa para pihak mengharapkan satu perlindungan hak yang pasti. Begitu pula masing-masing pihak secara diam-diam telah sepakat akan tunduk dan patuh terhadap putusan lembaga yang dipercayakan tersebut.
Penataatan terhadap pelaksanaan putusan itu tentunya harus dilaksanakan secara sukarela tanpa harus dipaksa dengan bantuan petugas pelaksana putusan (eksekutor). Praktek seperti ini juga diterapkan dalam Pengadilan Negeri, yakni apabila telah ada keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), maka pihak yang dikalahkan diharapkan untuk tersedia melaksanakan keputusan itu secara sularela tanpa membutuhkan paksaan dari panitera (executor). Utuk itulah dalam hukum acara perdata dikenal yang namanya “aanmaning” atau peringatan (pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG).
Namun keputusan P4D maupun P4P hanya bersifat mengikat atau tidak/belum mempunyai sifat “executoliale kracht”. Karena sifatnya hanya mengikat, maka pada para pihak diserahkan sepenuhnya utuk melaksanakan keputusan secara sukarela.
Karena itu, demi menyelamatkan dan melindungi keputusan posisi pihak yang dimenangkan. Undang-undang memberikan jalan keluar atas permasalahan ini, yaitu terhadap keputusan P4D atau P4P yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan fiat eksekusi kepada PN setempat. Adapun prosedur pengajuan fiat eklsekusi, yaitu sebagai berikut:
1. pihak yang menang mengajukan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri setempat. Dilampiri turunan putusan P4D
2. Kepala Panitia Perdata menerima surat permohonan dengan memberitahu biaya administrasi.
3. setelah pemohon memenuhi segala persyaratan administrasi, panitera mendaftar pemohon tersebut pada register yang telah tersedia.
4. Ketua Pengadilan segera setelah menerima berkas permohonan, membubuhkan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada bagian atas. Sedangkan bagian bawah dicantumkan kata-kata bahwa keputusan ini sudah dapat dilaksanakan, dengan disertakan tanggal, tanda tangan dan stempel Pengadilan Negeri. Dengan ini maka putusan sudah dapat dilaksanakan.
Demikian dasar pemikiran dan eksistensi fiat eksekusi atas putusan P4D dan P4P secara sederhana diuraikan untuk mendapatkan kejelasan dalam pelaksanannya.
Pemogokan (Strike) dan Penutuoan Perusahaan (lock-out)
Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1963 pasal 1 memberikan beberapa pengertian berikut:
Pemogokan adalah: sengaja melalaikan atau menolak melakukan pekerjaan atau meskipun diperintah dengan syah enggan melaksanakan atau lambat melaksanakan pekerjaan yang harus dilakukan oleh karena perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis atauyang harus dikerjakan karena jabatanya. Penutupan perusahaan (lock-out) adalah dengan sengaja bertentangan dengan perjanjian baik secara tertulis maupun lisan yang merintangi dijalannkannya pekerjaan itu.
(PP No. 7 Tahun 1963, pasal 1)
Dampak utama yamg dirasakan dengan adanya strike dan lock out adalah kesulitan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, lebih-lebih jika perusahaan yang terjadi strike dan lock-out memproduksi barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Bagi negara hal ini juga sangat merugikan, lebih-lebih perusahaan tersebut menghasilkan barang-barang yang diekspor, selain hubungan dagang menjadi retak, juga devisa negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai pelaksanaan pembanguan menjadi kurang. Karena itulah pemerintah/negara melarang terjadinya pemogokan dan penutupa perusahaan. Pencegahan yang dilakukan pemerintah, nampak dengan munculnya Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang penyeesaian perselisihan Perburuhan, pasal 6 (1), pasal 18 (5), pasal 23 (1), dan pasal 27.
Setelah itu pemerintah juga mengeluarkan UU No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok Ketenagakerjaan. Pasal 13 menyatalkan bahwa mogok, demontrasi, dan lock-out diatur dengan perundang-undangan. Selanjutnya Penetapan Presiden Nomor 7 1963 dan Keputusan Presiden nomor 123 Tahun 1963 menegaskan bahwa lock-out dan pemogokan-pemogokan harus dicegah, terutama pada perusahaan-perusahaan vital. penegasan larangan ini dilakukan dengan Instruksi PANGKOPKAMTIP Nomor: INS/KOPKAM/VII/1973 Tanggal 5 Juli 1973. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut pemerintah memberikan ancaman hukuman kepada para pihak, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya pemogokan dan penutupan perusahaan. Ancaman tersebut sebagai berikut:
a. Dalam hal penyelesaian perselisihan perburuhan dihukum setinggi-tinggiya tiga bulan kurungan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,00 bagi mereka yang melakukan tindakan sepihak. Selama penyelesaian sedang berlangsung, dibawah petugas DEPNAKER , juru pemisah P4D atau tindakan-tindakan setelah adanya keputusan P4D yang bersifat mengikat, keputusan juru pemisah yang mempunyai kekuatan mengikat.
b. Dalam hal pencegahan pemogokan dan lock out, dipidana dengan kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tinginya Rp5.000,00 bagi mereka yang melakukan pemogokan atau penutupan perusahaan , jawatan atau badan yang dengan keputusan presiden dinyatakan vital. Dan juga dihukum yang sama bagi mereka yang memberi kesempatan atau memancing, mengajak, menganjurkan, menghasut, menyuruh, memerintahkan ataumemaksa dilakukanya pemogokan atau penutupan perusahan jawatan atau badan yang dengan keputusan presiden dinyatakan vital.
B. Penyelesaian Perselisihan Hubunga Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
Menurut UU No. 2 tahun 2004 perselisihan Hubungan industrial adalah persedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha/ gabungan pengusaha dengan pekerja/ serikat pekerja karena adanya perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam 1 perusahaan.
Dari pengertian diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan para pihak dalam perselisihan adalah: buruh (perorangan) atau serikat buruh (kolektif) dengan serikat majikan atau majikan. Ini artiya para pihak sangat fleksibel, tidak harus dengan serikat pekerja, tetapi peroranganpun bisa dipenuhi.
Sedagkan untuk jenis perselisihan yang diatur dalan UU No.2 Tahun 2004 adalah
1.Perelisihan hak,
2.Perelisihan kepentingan,
3. Perelisihan PHK dan
4. perselisihan antar serikat pekerja dalam 1 perusahaan.
Mengenai prosedur penyelesaian sengketa/ perselisihan perburuhan, diatur dengan dua cara:
A. Diluar Pengadilan
1. perundingan Bipartiet
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
B. Pengadilan Hubungan Industrial
1. Penyelesaian melalui Perundingan Bipartiet
Perundingan bipartiet adalah perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Sebenarnya tidak berbeda antara perundingan bipartiet dengan negoisasi. Karena kedua-duanya sama-sama menyelesaikan sengketa oleh para pihak tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang harmonis dan kreatif.
Pada tahap Bipatreit sistem ini biasanya Depnaker meminta bukti baik dari buruh maupun dari majikan. Apabila buruh tidak mencapai perdamaian maka Depnaker mengambil keputusan yang sifatnya anjuran.
Tata cara / prosedur penyelesaian sengketa dengan perundingan bipartiet:
a. Musyawarah untuk mufakat antara para pihak dengan membuat risalah yang ditandatangani oleh kedua pihak.
b. Jika tercapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani kedua pihak. perjanjan ini bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan.
c. Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan kepada Pengadilan hubungan Industrial pada PN setempat.
d. Bila perjanjian bersama tidak dilaksanakan maka dapat diajukan permohonan kesekusi kepada Pengadilan hubugan industrial PN setempat
Penyelesainan dengan cara bipartiet paling lama dilakukan 30 hari, sejak dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartiet dianggap gagal.
Jika perundinagan secara bipartiet gagal, maka alah satu/ kedua pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi bidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti penyelesaian bipartiet. Setelah menerima pencatatan, instansi ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada kedua pihak untuk memilih penyelesian secara konsiliasi atau arbirase. Jika dalam 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan, maka instansi ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator.
2. Penyelesaian melalui mediasi.
Mediasi adalah penyeleaian perselihan hak, kepentingan , PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator disini adalah pegawai dari instansi pemerintah yang bertanggungjwab dalam ketenagakerjaan yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Prosedur penyelesaian secara mediasi sebagai berikut:
a. Dalam waktu paling lama 7 hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
b. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli dalam sidang
c. Jika mediasi mencapai kesepakatan maka harus dibuat perjanjian kerjab bersama yang ditandatangani oleh kedua pihak dan disaksikan oleh mediator. Kemudian didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial di PN setempat.
d. Jika tidak dicapai kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis paling lama 10 hari sejak sedang mediasi. Para pihak dalam waktu 10 hari sejak menerima anjuran tersebut harus sudah memberi jawaban. Jika tidak memberi jawaban maka dianggap menolak. Jika anjuran disepakati maka dalam waktu paling lama 3 hari mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat PKB.
e. Apabila PKB tidak dilaksanakan maka dapat diajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan.
f. Jika anjuran tertulis ditolak, maka salah satu atau kedua pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke pengadilan hubungan industrial
g. Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 hari kerja.
3. Penyelesaian secara konsiliasi
Konsilisai adalah penyelesaian perselisihan kepetingan, PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator disini tidak dari unsur pemerintah tetapi harus ditetapkan oleh menteri.
Mekanisme penyelesaian perselisihan melalui konsilisai sebagai berikut:
a. para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepeda konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
b. dalam waktu 7 hari setelah menerima permintaan, konsoliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang.
c. Konsiliator dapat mengajukan saksi atau saksi ahli.
d. Jika konsiliasi mencapai ksepakatan maka dibuat PKB.
e. Jika tidak tercapai kesepakatan maka, konsoliator harus membuat anjuran tertulis, yang disampaikan maksimal dalam 10 hari.
f. Dalam waktu 10 hari setelah menerima anjuran, para pihak harus memberi jawaban.
g. Jika tidak memberi jawaban maka dianggap menolak.
h. Jika anjuran disetujui, maka dalam 3 hari harus dibuat PKB.
i. Apabila PKB tidak dilaksanakan dapat dimintakan fiat eksekusi ke PN stempat
j. Jika anjuran tertulis ditolak, maka salah satu/ kedua pihak dapat melanjutkan ke pengadilan hubungan industrial.
4. Penyelesaian melalui arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan kepetingan dan perselisihan antara serikat pekerja dalam suatu perusahaan, diluar pengadilan melalui kesepakatan tertulis dari kedua pihak yang berselisih untuk menyerahkan perelisihan kepada arbiter yang keputusanya mengikat dan final.
Menurt Pasal 19 UU No 22 Tahun 1957 , bahwa majikan dan (serikat) buruh yang terlibat dalam perselisihan perburuhan atas kehendak mereka sendiri atau atas anjuran dari pegawai atau Panitia Daerah yang memberikan perantaraan dapat menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah.
Prosedure penyelesaian melalui arbitrase sebagai berikut:
a. diawali dengan pendamaian para pihak
b. bila terjadi perdamaian, maka arbiter membuat akte perdamaian. Dan jika akte perdamaian tidak dilakanakan dapat dimintakan fiat eksekusi ke PN setempat.
c. Bila upaya perdamaian gagal, maka arbiter meneruskan dengan sidang arbitrase.
d. Arbiterdapat memanggil saksi atau saksi ahli
e. Putiusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan Peraturan perundang-undangan, perjanjian, kebiasaan, keadila dan kepetingan umum. 14 hari setelah diputuskan, harus sudah dilaksanakan.
f. Putusan didaftarkan ke PN dan jika tidak dilaksanakan dapat dimintakan ke PN setempat
g. Terhadap putusan arbitrease, salah satu/ para pihak dapat mengajukan peninjauan kembali pada MA paling lama 30 hari sejak putusan ditetepkan.
BAB III
PENUTUP
Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah adalah sama, yaitu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Namun yang namanya produk manusia pasti ada cacat atau kekurangannya. Begitu pula dalam peraturan perundang-undangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, ketika UU No. 22 Tahun 1957 dibuat pada saat itu sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam perburuhan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman Undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dan harus diperbaharui. Agar up to date dan mampu mengcover semua kebutuhan hukum masyarakat, maka peraturan perundang undangan harus selalu mengalami perkembangan dan pembaharuan, sehingga yang terbaru saat ini keluarlah Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, yang intinya sama yaitu untuk memberikan keadilan bagi masyarakat terutama dalambidang ketenagakerjaan.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kami Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 lebih efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam duniaketenagakerjaan Indonesia, dari pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1957. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar kami menilai UU No. 2 tahun 2004 lebih efektif dari UU Nomor 22 tahun 1957, yaitu pada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebenarnya UU No. 22 Tahun 1957 sudah cukup bagus dalam memberikan keadilan bagi masyarakat.
Berikut ini beberapa aspek yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk menilai keefektifitasan peraturan perundang-undangan tersebut:
1. Ruang lingkup subyek atau para pihak dalam perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 Ruang lingkupnya terlalu sempit, yaitu para pihak dalam perselisihan hanya antara serikat pekerja dan pengusaha/ kumpulan pengusaha saja. Dalam hal ini undang-undang tidak mengakomodir kepentingan seorang tenaga kerja yang tidak dengan serikat pekerja. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004, ruang lingkupnya cukup luas yaitu mengakomodir pekerja perorangan maupun serikat pekerja dengan pengusaha maupun kumpulan pengusaha.
2. Ruang lingkup jenis atau Bentuk Perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 Permasalahan yang diaturpun tidakluas, yaitu hanya mengatur tentang perselisihan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan. Masih ada beberapa permasalahan yang sangat dimungkinkan muncul tapi tidak diatur, seperti perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 diatur secara jelas tentang permasalahan ini.
3. Prosedure atau mekanisme penyelesaian sengketa
Mekanisme penyelesaian yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1957 kurang efektif dan tidak efeisien, bahkan terkesan berbelit-belit dan lama. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, Banyaknya tingkatan-tingkatan lembaga yang harus dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebabkan proses penyelesaiannya memakan waktu dan biaya yang banyak.
Kedua, Keputusan dari masing-masing lembaga yang daya mengikatnya tidak/kurang kuat, menyebabkan para pihak kurang manghargai keputusan dari lembaga yang bersangkutan, sehingga harus mengajukan fiat eksekusi. Seperti contohnya keputusan arbitrase yang dapat dimintakan banding ke P4P,padahal yang namanya keputusan arbitrase itu harusnya bersifat final dan mengikat.
“Manusia adalah tempatnya salah dan lupa; No Body Perfect”, begitu pepatah mengatakan. Mungkin hal tersebut juga berlaku dalam karya kami ini. Karena itu kritik dan saran selalu kami tunggu untuk kebaikan masa depan hukum dan keadilan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal dkk. 2002. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Djimialdji,FX, dan Wiwoho Soedjono. 1982. Perjanjian Perburuhan dan Hubungn Perburuhan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.
Efendi, Sofyan. 1984. Hukum Perburuhan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gunawi, Kartosapoetra. 1988. Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaslkan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.
Prinst, Darwan. 2000. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Soepomo, Imam. 1983. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.
Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Perburuhan dn Perlindungan tenaga kerja: Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar