Selasa, 24 Februari 2009

Hak Asasi Manusia & Critical Legal Studies


Hak Asasi Manusia & Critical Legal Studies


Menanggapi faktor-faktor penghambat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, penulis mengutip pernyataan J.E Sahetapy. Beliau berpendapat bahwa upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya, nampak seperti “kincir angin”. “Berputar-putar terus, tanpa ada penyelesaian yang jelas dan tegas. [1]
Tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia mengikuti kecenderungan global yang mengindikasikan bahwa pelanggaran HAM berat, antara lain kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes agaist humanity) dan kejahatan perang (war crimes) termasuk kejahatan internasional (international crimes). [2]
Tujuan tuntutan ini adalah memperoleh keadilan transisional [3] (transitional justice). Instrumen hukum yang telah dibuat oleh pemerintah tidak efektif dalam penerapannya. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM.
Kondisi ini dapat dikaji dengan perspektif teori hukum Critical Legal Studies. Alasannya adalah karena selama kurun waktu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia sarat dengan nuansa politik. Keadilan yang dicitakan rakyat seolah tidak pernah terwujud. Akibatnya berbagai gelombang pergerakan para aktivis HAM bersama korban pelanggaran HAM mengkritisi segala kebijakan pemerintah sebagaimana substansi pemikiran dalam teori hukum Critical Legal Studies.
Perspektif Critical Legal Studies membangun serangan terhadap peradilan dalam iklim demokrasi liberal (judiciary within liberal democracy) Berhadapan dengan praktek dan watak liberal tersebut, Critical Legal Studies menginginkan penyelenggaraan peradilan secara obyektif (judicial objectivity) dan tuntutan terhadap keadilan sosial (social justice). [4]
Penganut aliran Critical Legal Studies sebagaimana kelompok kritis yang menuntut penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Seharusnya kebuntuan penyelesaian pelanggaran HAM dapat dilakukan dengan melakukan proses delegitimasi sebagaimana yang dilakukan oleh aliran Critical Legal Studies,
Permasalahan pelanggaran HAM dapat dianalisis secara mendalam antara “law in the books” dan “law in action”. Dengan demikian kajian kritis tentang HAM menjadikan suatu studi hukum yang bersifat kritis, setidaknya kritis dalam makna keindonesiaannya. [5] Alasannya karena boleh jadi berbagai kelemahan peraturan perundang-undangan tentang HAM di Indonesia disebabkan karena sarat politik dan kepentingan kekuasaan.
Kaitannya dalam hal ini dengan metode yang digunakan oleh Critical Legal Studies. Adapun metode dimaksud adalah metode trashing, deconstruction dan genealogy. [6] Trashing adalah teknik untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik ini dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang diragukan. Decontruction adalah membongar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan ini, maka rekonstruksi pemikiran hukum dapat dilakukan kembali. Sedangkan ganealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi.
Dengan menggunakan perspektif teori hukum Critical Legal Studies dapat menjadi bahan perbandingan ke depan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.

Tidak ada komentar: