Rabu, 25 Februari 2009
Islam vs Barat : Perang Dunia Ketiga?
Oleh: Taufiq Nugroho
Aktif di BEM Fakultas Hukum UNS
dan Pimpinan Wilayah IRM Jawa Tengah
Pendahuluan
Ghoswul Fikr yang sering diterjemahkan dalam istilah “perang pemikiran” mengandung definisi yang sarat konflik dan pertikaian, selain menimbulkan bulu kuduk merinding karena trauma. Bagaimana tidak, tatkala di telinga kita mendengar kata “perang” maka image nya sudah gak karu-karuan, banyak jatuh korban, anak menjadi yatim, istri menjadi janda dan rumah dibakar dan lingkungan rusak. Memang itulah resiko perang yang sesungguhnya, perang dengan mengetengahkan adu kekuatan senjata, bom, nuklir dan jet modern. Indonesia pernah melakoni perang beberapakali, dari perang paderi antara Kaum Kyai dengan Kaum Adat, hingga hampir perang terhadap Malaysia karena urusan Perairan Ambalat. Atau yang lebih dekat lagi bagaimana pemandangan yang mengerikan dalam Perang Amerika dengan Irak atau lebih pantas perang “kepentingan” antara George W Bush melawan Osama bin Laden dengan doktrin “memberantas terorisme”. Tetapi untuk perang ini lain dari yang lain, bukan adu bom atau nuklir, bukan unjuk kekuatan fisik dan sebagainya melainkan adu argumentasi dengan berbagai metode dan sarana. Meski tanpa adu kekuatan fisik, implikasinya jauh lebih dahsyat hingga sampai ke relung-relung kehidupan manusia. Dari budaya madhang, ngising, turu hingga persolan Ipoleksosbudhankam.
Sapai saat ini belum juga ditemukan akar sejarah terjadinya Ghoswul Fikr. Sejar Islam (tarikh) ataupun Shiroh Nabawiyah tidak menceritakan asbabul wurud perang “aneh” ini. Akan tetapi terminologi sederhana, penulis mengidentikkan dengan permusuhan abadi antara syar’i dengan setani, kekuatan baik dan buruk serta pertarungan sholeh dan salah. Di masa kenabian, yakni ketika Nabi Adam sudah dihadapkan pada kekuatan oposisi yakni kekuatan Iblis. Kutub yang berlawanan ini turun temurun hingga masa kenabian Muhammad SAW bahkan hingga saat ini masih berlangsung perseturuan dua kubu ini. Manifesto Perseteruan ini dikeluarkan oleh kekuatan Iblis yang identik dengan kejahatan, kemaksiatan dan keburukan, bahwa Iblis akan mencari teman dan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Maklumat inipun mendapatkan legitimasi dari Allah bahwa tempat tinggal Iblis dan tentunya bala tentaranya ialah neraka.
Setelah beberapa abad menguasai dunia (+ 800 tahun), ummat Islam bagai tertidur pulas tanpa pernah bangun kembali. Lebih-lebih setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah pada awal abad ke XX M atau abad ke XIV H. Mengapa hal ini terjadi? Padahal bila kita lihat historis, ummat Islam terdahulu mampu menguasai sebagian belahan dunia. Mereka mampu mengalahkan Byazantium (Romawi Timur), Persia, India, Asia Tengah hingga semenanjung Balkhan. Bahkan Islam juga mampu menginjakkan kakinya selama 7 abad di Semenanjung Andalusia (Spanyol) dan Portugal. Lebih dari itu sumbangsih Islam terhadap kemajuan iptek Eropa sangat besar sekali. Sehingga menurut pakar sejarah, pada awal abad pertengahan pada waktu peradaban Islam berada pada puncaknya, dalam waktu bersamaan Eropa masih dalam masa kegelapan. Umat Islam sudah bicara masalah ilmu hitung, astronomi, kedokteran, sementara Eropa masih taklid terhadap pemikiran Gereja.
Peradaban Islam mendorong pemuda non-Islam tertarik untuk mempelajarinya. Mereka pergi ke lumbung-lumbung Islam guna mempelajari bahasa Arab sebagai langkah awal mendalami iptek lebih jauh. Berbondong-bondongnya pemuda nasrani dan yahudi menjadikan pihak gereja kebakaran jenggot. Sehingga kebencian mereka muncul, yakni dengan menyebarkan fitnah kesana kemari. Tidak sedikit pemuda nasrani yang mendapatkan tentangan dan siksaan dari pihak gereja, bahkan ada yang mendapatkan justifikasi “murtad”. Pihak Gereja menghembuskan kebenciannya dengan membuka kembali sejarah kelam Perang Salib yang memakan 7 periode. Kita tahu bagimana kengerian dan kedahsyatan Perang Salib. Kalau sejarah kelam ini terus menerus dihembuskan , maka yang akan terjadi adalah kebencian dan permusuhan. Tidak hanya dalam kaitannya dengan urusan politik, namun merambah hingga ranah ideologi agama. Sehingga muncul tesis baru perang Salib adalah Perang Agama. Meski perlu ditelusuri lagi kesimpulan ini.
Samuel Swimmer adalah tokoh Yahudi yang getol menentang keras kemajuan islam di Eropa saat itu. Ia mengkampanyekan fitnah bahwa Islam akan melakukan Islamisasi yakni mengubah agama Eropa menjadi muslim total. Beberapa pemuda di kalangan Yahudi kumpulkan dan digembleng dalam rangka menjalankan fitnah ini. Mereka dipersilahkan belajar Islam namun dengan jaminan tidak akan mengikutinya, melainkan mengambil ilmunya, mencari kelemahannya kemudian menghancurkannya. Strategi inilah yang dikenal dengan misi Zending yakni menghancurkan Islam dari dalam.
Islam vs Barat
Pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah pada awal abad ke XX M atau abad ke XIV H memunculkan semangat baru bagi kebangkitan Islam. Jiika kita ikuti berbagai jurnal, buku dan komentar para pakar politik dan kebudayaan, setelah berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, perhatian Barat terhadap Islam kelihatan semakin meningkat, baik dalam kontrol positif maupun negatif. Para pengamat politik internasional, diantara yang paling vokal adalah Samuel P.Huntington dengan Thesisnya “The Clash of Civilization” mengatakan bahwa kini kontak yang intens antara Barat dan Islam muncul kembali dan sisa-sisa benturan masa lalu ternyata masih laten. Tentu saja pernyataan ini perlu dikaji ulang. Meski demikian yang pasti adanya kebangkitan dunia Islam dan kekhawatiran Barat terhadap dunia Islam merupakan kenyataan yang sulit dihindari.
Khatami misalnya menentang thesis Samuel, bahwa pertemuan Barat dengan Islam tidak menimbulkan Clash of civilization (benturan peradaban) akan tetapi justru terjadi dialog of civilization (dialog antar peradaban). Dalam teori sosiologi ketika dua peradaban bertemu maka akan terjadi beberapa kemungkinan yakni asimilasi, akulturasi dan kompetisi. Jurgen Meyer, dari hasil penelitiannya yang dituliskan dalam bukunya “The New Cold War”?(1993) menyatakan bahwa dominasi ideologi Barat yang berakar pada paham nasionalisme-sekuler kini mendapatkan tentangan dari kekuatan nasionalisme religius. Kebangkitan etnis, suku dan paham kebangsaan yang bersimbiosis dengan semangat keagamaan bisa kita saksikan dimana-mana, yang hal itu tidak hanya terjadi pada umat Islam. Gerakan Zionisme-Yahudi yang berhasil mendirikan negara Israel merupakan contohnya.
Perpaduan Islam dengan Barat sekarang lebih akrab dikenal dengan nama Globalisasi. Substansi Globalisasi tidak mengenal batas-batas ruang (geografis dan geopolitik) bahkan dapat menembus dimensi agama. Modernisasi sikap dan perilaku hidup, prasarana dan sarana kehidupan seolah menjadi “dewa” penyelamat bagi kebangkitan dan pecerahan manusia. Industrialisasi dan modernisasi seakan telah menjadi “agama” baru bagi bangsa yang memasuki ranah globalisasi. “Borderless World” memang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi. Meski tidak mengenal batas, namun penghargaan terhadap individu baik pribadi maupun privasi keluarga masih ada. Penganut globalisasi akan terus mempromosikan produknya melalui demokratisasi, penegakan HAM, gender dan egalitarianisme. Bangsa yang tidak mengkonsumsi produk ini maka akan menanggung resiko, terbelakang dan terkucilkan.
Dalam merespon perpaduan Barat dengan Islam, masyarakat negara bangsa terutama warga Muslim menanggapi dengan 3 cara. Pertama, masyarakat tertutup yakni masyarakat yang menutup diri dari perkembangan global dan menyatakan bahwa segala yang datang dari Barat haram hukumya. Kedua, masyarakat terbuka, yakni apapun yang datang dari Barat diadposi tanpa reserve. Mereka berpandangan bahwa segalanya baik dan mencerahkan. Ketiga, masyarakat selektif, tidak semua tradisi dan peradaban Barat diterima begitu saja, akan tetapi diseleksi dan disesuaikan dengan budaya luhur yang masih melekat di masyarakat entah budaya Timur maupun Budaya Islami. Ketiga kategorisasi ini menimbulkan ekses yang kurang menguntungkan bagi masyarakat plural seperti masyarakat Indonesia. Implikasi kategori ini dalam dunia politik dan Islam juga menimbulkan penggolongan. Ada yang mengusung Revivalisme yakni antara dakwah dan politik tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama dan Negara merupakan dua sisi mata uang, saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Selain itu ada juga yang mengusung sekulerisme dimana ranah dakwah dengan politik harus dipisahkan, karena sarat konflik dan perpecahan. Dan moderat (sistesis antara revivalis dengan sekularis), Agama memberikan seperangan nilai bagi pengaturan kehidupan manusia dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Jadi “perang pemikiran” sebetulnya pertentangan antara paham materialisme versus spiritualisme. Bukan pertentangan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Terlebih lagi Islam, Kristen dan Yahudi oleh beberapa pakar dikenal dengan agama Ibrahami (abrahimic religions), karena akar sejarah ketiga agama ialah Nabi Ibrahim. Sejarah perang salib merupakan sejarah suram yang memunculkan prejudice dan sentimen, termasuk sentimen agama. Munculnya kolonialisme dan imperialisme menyusul penemuan “agama baru” dunia Barat juga memperburuk situasi hubungan Islam, Yahudi dan Kristen. Selama masa kolonialisme-imperialisme itu, perang menjadi pola utama hubungan antara Islam-Kristen-Yahudi. Pemikiran-pemikiran yang bersumber dari kitab suci terus menerus menghadapi problem kehidupan termasuk menghadapi globalisasi. Oleh karena itu penting bagi kita mendefinisikan globalisasi, memahami ajaran yang obyektif dan mendialogkan dengan realitas secara cerdas dan profesional.
Barat dengan Islam tidak perlu diperhadapkan atau didikotomiskan secara ekstrem. Keduanya adanya simbiosis mutualisme, dalam arti bahwa bukan Islam dikompromikan dengan Barat melainkan Baratlah yang harus dikompromikan dengan Islam. Kedua peradaban ini perlu melakukan evaluasi diri dan berbenah. Keduanya dapat membudayakan take and give. Soal waktu dan harga nyawa dalam politik, para politisi Islam dapat belajar dari Barat. Untuk membuat stabilnya keluarga, masyarakat Barat dapat belajar dari Kaum Muslimin. Pertemuan budaya dan peradaban Barat-Islam saat ini sedang terjadi di perguruan tinggi di Eropa dan Amerika, serta dalam turisme Barat ke Asia, Afrika dan Timur Tengah. Dalam dunia yang makin menghargai manusia dan kebudayaan, dua puncak budaya Islam dan Barat Kristen sedang intensif berdialog melalui generasi mudanya??? Sejarah yang akan menjadi saksi.
Penutup
Dahulu, ketika zaman peradaban Islam “menguasai” dunia, semangat iqro’, ‘allama, ya’lamu dan al qolam diramu dan diaktualisasikan dalam bentuk karya nyata. Kerja keras dan cerdas melandasi keseriusan untuk menggali lebih dalam lagi, memahami fenomena alam dan fenomena sosial. Sehingga tak heran para pemikir Muslim saat itu mampu mengkombinasikan berbagai khazanah intelektual tidak hanya warisan budaya Arab, melainkan juga khazanah intelektual Yunani, Persia dan India. Pemahaman yang mendalam terhadap berbagai khazanah intelektual ini tidak hanya dilakukan secara statis, dalam arti berhenti pada zamannya. Tetapi justru mereka turunkan pada generasi berikutnya. Disinilah terjadi proses tranfers knowledge yang besar-besaran dari waktu ke waktu. Berdasarkan kemampuan empirisnya yang dilakukan melalui perenungan dan penjelajahan, akhirnya mereka mampu menderivasikan (menurunkan) berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, penjelajahan intelektual terhadap ayat qouliyah (tertulis) dan ayat qouniyah (tersirat) menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta karya budaya yang agung.
Menurut hemat penulis, kebangkitan Islam akan dapat kita rekayasa kembali manakala tradisi iqro’ telah menjadi budaya. Nah, untuk menumbuhkan tradisi iqro’ supaya menjadi budaya perlu kerja keras dan kontinyu dalam membangkitkan semangat iqro’ menjadi bagian yang esensial dalam aktivitas sehari-hari. Disinilah peran organisasi Islam sangat signifikan. Terutama organisasi islam modern, seperti Muhammadiyah misalnya. Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan dakwah islam terbesar didunia, yang mengusung gerakan tajdid nya mempunyai tanggungjawab besar dalam menciptakan kader muda bangsa, terutama dalam menghadapi era globalisasi. Para kader perlu mendapatkan rangsangan dengan aktivitas tertentu sehingga mendorong mereka untuk gemar membaca dan menulis.
Dengan sumbangsih amal usaha lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang menyebar diseluruh penjuru pelosok tanah air, bahkan kuantitasnya lebih banyak daripada lembaga pendidikan negara, secara makro, masa depan gerakan intelektual sangat menggembirakan dan ada kecenderungan mengalami kecemerlangan. Munculnya gerakan intelektual di kampus-kampus dan membanjirnya buku-buku memberi harapan baru kebangkitan kembali tradisi membaca. Telah banyak pula para pemikir muda berbakat yang mengaktualisasikan ide dan gagasannya melalui tulisan dan karya nyata lain. Akan tetapi kalau kita cermati secara lebih mendalam, kondisinya cukup mengkhawatirkan. Ketika gerakan Islam seakan telah usang dan tampak belum mampu kalau boleh dikatakan gagal sama sekali dalam mengawal perubahan. Malah justru para aktivisnya terjerumus pada aktivitas pragmatis melalui pertentangan kepentingan politik. Sehingga kekuatannya menjadi terpolarisasi mengikuti jejak langkah patronnya masing-masing. Keterlibatannya dalam aktivitas sosial politik ternyata menyita banyak waktu sehingga mengurangi minat baca para aktivis. Tak ada waktu lagi untuk meng up grade intelektualnya karena di sibukan oleh kerja-kerja organisasi yang cenderung formalistik. Berangkat dari sinilah perlu kiranya mendefinisikan ulang paradigma dan karakteristik gerakannya agar sesuai dengan perkembangan zaman. Bahwa tantangan umat saat ini dan ke depan sangat besar terutama dalam merebut kembali kejayaan umat. Maka sekali lagi perlu dibutuhkan strategi dan cara baru. Strategi dan cara baru yang dimaksud ialah melakukan massifikasi gerakan intelektual. Sebuah strategi yang merupakan kombinasi antara konsep qoroa, ‘allama, ya’lamu dan al qolam. Nun wal qolami wa maa yasthurun.
Aktif di BEM Fakultas Hukum UNS
dan Pimpinan Wilayah IRM Jawa Tengah
Pendahuluan
Ghoswul Fikr yang sering diterjemahkan dalam istilah “perang pemikiran” mengandung definisi yang sarat konflik dan pertikaian, selain menimbulkan bulu kuduk merinding karena trauma. Bagaimana tidak, tatkala di telinga kita mendengar kata “perang” maka image nya sudah gak karu-karuan, banyak jatuh korban, anak menjadi yatim, istri menjadi janda dan rumah dibakar dan lingkungan rusak. Memang itulah resiko perang yang sesungguhnya, perang dengan mengetengahkan adu kekuatan senjata, bom, nuklir dan jet modern. Indonesia pernah melakoni perang beberapakali, dari perang paderi antara Kaum Kyai dengan Kaum Adat, hingga hampir perang terhadap Malaysia karena urusan Perairan Ambalat. Atau yang lebih dekat lagi bagaimana pemandangan yang mengerikan dalam Perang Amerika dengan Irak atau lebih pantas perang “kepentingan” antara George W Bush melawan Osama bin Laden dengan doktrin “memberantas terorisme”. Tetapi untuk perang ini lain dari yang lain, bukan adu bom atau nuklir, bukan unjuk kekuatan fisik dan sebagainya melainkan adu argumentasi dengan berbagai metode dan sarana. Meski tanpa adu kekuatan fisik, implikasinya jauh lebih dahsyat hingga sampai ke relung-relung kehidupan manusia. Dari budaya madhang, ngising, turu hingga persolan Ipoleksosbudhankam.
Sapai saat ini belum juga ditemukan akar sejarah terjadinya Ghoswul Fikr. Sejar Islam (tarikh) ataupun Shiroh Nabawiyah tidak menceritakan asbabul wurud perang “aneh” ini. Akan tetapi terminologi sederhana, penulis mengidentikkan dengan permusuhan abadi antara syar’i dengan setani, kekuatan baik dan buruk serta pertarungan sholeh dan salah. Di masa kenabian, yakni ketika Nabi Adam sudah dihadapkan pada kekuatan oposisi yakni kekuatan Iblis. Kutub yang berlawanan ini turun temurun hingga masa kenabian Muhammad SAW bahkan hingga saat ini masih berlangsung perseturuan dua kubu ini. Manifesto Perseteruan ini dikeluarkan oleh kekuatan Iblis yang identik dengan kejahatan, kemaksiatan dan keburukan, bahwa Iblis akan mencari teman dan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Maklumat inipun mendapatkan legitimasi dari Allah bahwa tempat tinggal Iblis dan tentunya bala tentaranya ialah neraka.
Setelah beberapa abad menguasai dunia (+ 800 tahun), ummat Islam bagai tertidur pulas tanpa pernah bangun kembali. Lebih-lebih setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah pada awal abad ke XX M atau abad ke XIV H. Mengapa hal ini terjadi? Padahal bila kita lihat historis, ummat Islam terdahulu mampu menguasai sebagian belahan dunia. Mereka mampu mengalahkan Byazantium (Romawi Timur), Persia, India, Asia Tengah hingga semenanjung Balkhan. Bahkan Islam juga mampu menginjakkan kakinya selama 7 abad di Semenanjung Andalusia (Spanyol) dan Portugal. Lebih dari itu sumbangsih Islam terhadap kemajuan iptek Eropa sangat besar sekali. Sehingga menurut pakar sejarah, pada awal abad pertengahan pada waktu peradaban Islam berada pada puncaknya, dalam waktu bersamaan Eropa masih dalam masa kegelapan. Umat Islam sudah bicara masalah ilmu hitung, astronomi, kedokteran, sementara Eropa masih taklid terhadap pemikiran Gereja.
Peradaban Islam mendorong pemuda non-Islam tertarik untuk mempelajarinya. Mereka pergi ke lumbung-lumbung Islam guna mempelajari bahasa Arab sebagai langkah awal mendalami iptek lebih jauh. Berbondong-bondongnya pemuda nasrani dan yahudi menjadikan pihak gereja kebakaran jenggot. Sehingga kebencian mereka muncul, yakni dengan menyebarkan fitnah kesana kemari. Tidak sedikit pemuda nasrani yang mendapatkan tentangan dan siksaan dari pihak gereja, bahkan ada yang mendapatkan justifikasi “murtad”. Pihak Gereja menghembuskan kebenciannya dengan membuka kembali sejarah kelam Perang Salib yang memakan 7 periode. Kita tahu bagimana kengerian dan kedahsyatan Perang Salib. Kalau sejarah kelam ini terus menerus dihembuskan , maka yang akan terjadi adalah kebencian dan permusuhan. Tidak hanya dalam kaitannya dengan urusan politik, namun merambah hingga ranah ideologi agama. Sehingga muncul tesis baru perang Salib adalah Perang Agama. Meski perlu ditelusuri lagi kesimpulan ini.
Samuel Swimmer adalah tokoh Yahudi yang getol menentang keras kemajuan islam di Eropa saat itu. Ia mengkampanyekan fitnah bahwa Islam akan melakukan Islamisasi yakni mengubah agama Eropa menjadi muslim total. Beberapa pemuda di kalangan Yahudi kumpulkan dan digembleng dalam rangka menjalankan fitnah ini. Mereka dipersilahkan belajar Islam namun dengan jaminan tidak akan mengikutinya, melainkan mengambil ilmunya, mencari kelemahannya kemudian menghancurkannya. Strategi inilah yang dikenal dengan misi Zending yakni menghancurkan Islam dari dalam.
Islam vs Barat
Pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah pada awal abad ke XX M atau abad ke XIV H memunculkan semangat baru bagi kebangkitan Islam. Jiika kita ikuti berbagai jurnal, buku dan komentar para pakar politik dan kebudayaan, setelah berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, perhatian Barat terhadap Islam kelihatan semakin meningkat, baik dalam kontrol positif maupun negatif. Para pengamat politik internasional, diantara yang paling vokal adalah Samuel P.Huntington dengan Thesisnya “The Clash of Civilization” mengatakan bahwa kini kontak yang intens antara Barat dan Islam muncul kembali dan sisa-sisa benturan masa lalu ternyata masih laten. Tentu saja pernyataan ini perlu dikaji ulang. Meski demikian yang pasti adanya kebangkitan dunia Islam dan kekhawatiran Barat terhadap dunia Islam merupakan kenyataan yang sulit dihindari.
Khatami misalnya menentang thesis Samuel, bahwa pertemuan Barat dengan Islam tidak menimbulkan Clash of civilization (benturan peradaban) akan tetapi justru terjadi dialog of civilization (dialog antar peradaban). Dalam teori sosiologi ketika dua peradaban bertemu maka akan terjadi beberapa kemungkinan yakni asimilasi, akulturasi dan kompetisi. Jurgen Meyer, dari hasil penelitiannya yang dituliskan dalam bukunya “The New Cold War”?(1993) menyatakan bahwa dominasi ideologi Barat yang berakar pada paham nasionalisme-sekuler kini mendapatkan tentangan dari kekuatan nasionalisme religius. Kebangkitan etnis, suku dan paham kebangsaan yang bersimbiosis dengan semangat keagamaan bisa kita saksikan dimana-mana, yang hal itu tidak hanya terjadi pada umat Islam. Gerakan Zionisme-Yahudi yang berhasil mendirikan negara Israel merupakan contohnya.
Perpaduan Islam dengan Barat sekarang lebih akrab dikenal dengan nama Globalisasi. Substansi Globalisasi tidak mengenal batas-batas ruang (geografis dan geopolitik) bahkan dapat menembus dimensi agama. Modernisasi sikap dan perilaku hidup, prasarana dan sarana kehidupan seolah menjadi “dewa” penyelamat bagi kebangkitan dan pecerahan manusia. Industrialisasi dan modernisasi seakan telah menjadi “agama” baru bagi bangsa yang memasuki ranah globalisasi. “Borderless World” memang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi. Meski tidak mengenal batas, namun penghargaan terhadap individu baik pribadi maupun privasi keluarga masih ada. Penganut globalisasi akan terus mempromosikan produknya melalui demokratisasi, penegakan HAM, gender dan egalitarianisme. Bangsa yang tidak mengkonsumsi produk ini maka akan menanggung resiko, terbelakang dan terkucilkan.
Dalam merespon perpaduan Barat dengan Islam, masyarakat negara bangsa terutama warga Muslim menanggapi dengan 3 cara. Pertama, masyarakat tertutup yakni masyarakat yang menutup diri dari perkembangan global dan menyatakan bahwa segala yang datang dari Barat haram hukumya. Kedua, masyarakat terbuka, yakni apapun yang datang dari Barat diadposi tanpa reserve. Mereka berpandangan bahwa segalanya baik dan mencerahkan. Ketiga, masyarakat selektif, tidak semua tradisi dan peradaban Barat diterima begitu saja, akan tetapi diseleksi dan disesuaikan dengan budaya luhur yang masih melekat di masyarakat entah budaya Timur maupun Budaya Islami. Ketiga kategorisasi ini menimbulkan ekses yang kurang menguntungkan bagi masyarakat plural seperti masyarakat Indonesia. Implikasi kategori ini dalam dunia politik dan Islam juga menimbulkan penggolongan. Ada yang mengusung Revivalisme yakni antara dakwah dan politik tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama dan Negara merupakan dua sisi mata uang, saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Selain itu ada juga yang mengusung sekulerisme dimana ranah dakwah dengan politik harus dipisahkan, karena sarat konflik dan perpecahan. Dan moderat (sistesis antara revivalis dengan sekularis), Agama memberikan seperangan nilai bagi pengaturan kehidupan manusia dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Jadi “perang pemikiran” sebetulnya pertentangan antara paham materialisme versus spiritualisme. Bukan pertentangan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Terlebih lagi Islam, Kristen dan Yahudi oleh beberapa pakar dikenal dengan agama Ibrahami (abrahimic religions), karena akar sejarah ketiga agama ialah Nabi Ibrahim. Sejarah perang salib merupakan sejarah suram yang memunculkan prejudice dan sentimen, termasuk sentimen agama. Munculnya kolonialisme dan imperialisme menyusul penemuan “agama baru” dunia Barat juga memperburuk situasi hubungan Islam, Yahudi dan Kristen. Selama masa kolonialisme-imperialisme itu, perang menjadi pola utama hubungan antara Islam-Kristen-Yahudi. Pemikiran-pemikiran yang bersumber dari kitab suci terus menerus menghadapi problem kehidupan termasuk menghadapi globalisasi. Oleh karena itu penting bagi kita mendefinisikan globalisasi, memahami ajaran yang obyektif dan mendialogkan dengan realitas secara cerdas dan profesional.
Barat dengan Islam tidak perlu diperhadapkan atau didikotomiskan secara ekstrem. Keduanya adanya simbiosis mutualisme, dalam arti bahwa bukan Islam dikompromikan dengan Barat melainkan Baratlah yang harus dikompromikan dengan Islam. Kedua peradaban ini perlu melakukan evaluasi diri dan berbenah. Keduanya dapat membudayakan take and give. Soal waktu dan harga nyawa dalam politik, para politisi Islam dapat belajar dari Barat. Untuk membuat stabilnya keluarga, masyarakat Barat dapat belajar dari Kaum Muslimin. Pertemuan budaya dan peradaban Barat-Islam saat ini sedang terjadi di perguruan tinggi di Eropa dan Amerika, serta dalam turisme Barat ke Asia, Afrika dan Timur Tengah. Dalam dunia yang makin menghargai manusia dan kebudayaan, dua puncak budaya Islam dan Barat Kristen sedang intensif berdialog melalui generasi mudanya??? Sejarah yang akan menjadi saksi.
Penutup
Dahulu, ketika zaman peradaban Islam “menguasai” dunia, semangat iqro’, ‘allama, ya’lamu dan al qolam diramu dan diaktualisasikan dalam bentuk karya nyata. Kerja keras dan cerdas melandasi keseriusan untuk menggali lebih dalam lagi, memahami fenomena alam dan fenomena sosial. Sehingga tak heran para pemikir Muslim saat itu mampu mengkombinasikan berbagai khazanah intelektual tidak hanya warisan budaya Arab, melainkan juga khazanah intelektual Yunani, Persia dan India. Pemahaman yang mendalam terhadap berbagai khazanah intelektual ini tidak hanya dilakukan secara statis, dalam arti berhenti pada zamannya. Tetapi justru mereka turunkan pada generasi berikutnya. Disinilah terjadi proses tranfers knowledge yang besar-besaran dari waktu ke waktu. Berdasarkan kemampuan empirisnya yang dilakukan melalui perenungan dan penjelajahan, akhirnya mereka mampu menderivasikan (menurunkan) berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, penjelajahan intelektual terhadap ayat qouliyah (tertulis) dan ayat qouniyah (tersirat) menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta karya budaya yang agung.
Menurut hemat penulis, kebangkitan Islam akan dapat kita rekayasa kembali manakala tradisi iqro’ telah menjadi budaya. Nah, untuk menumbuhkan tradisi iqro’ supaya menjadi budaya perlu kerja keras dan kontinyu dalam membangkitkan semangat iqro’ menjadi bagian yang esensial dalam aktivitas sehari-hari. Disinilah peran organisasi Islam sangat signifikan. Terutama organisasi islam modern, seperti Muhammadiyah misalnya. Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan dakwah islam terbesar didunia, yang mengusung gerakan tajdid nya mempunyai tanggungjawab besar dalam menciptakan kader muda bangsa, terutama dalam menghadapi era globalisasi. Para kader perlu mendapatkan rangsangan dengan aktivitas tertentu sehingga mendorong mereka untuk gemar membaca dan menulis.
Dengan sumbangsih amal usaha lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang menyebar diseluruh penjuru pelosok tanah air, bahkan kuantitasnya lebih banyak daripada lembaga pendidikan negara, secara makro, masa depan gerakan intelektual sangat menggembirakan dan ada kecenderungan mengalami kecemerlangan. Munculnya gerakan intelektual di kampus-kampus dan membanjirnya buku-buku memberi harapan baru kebangkitan kembali tradisi membaca. Telah banyak pula para pemikir muda berbakat yang mengaktualisasikan ide dan gagasannya melalui tulisan dan karya nyata lain. Akan tetapi kalau kita cermati secara lebih mendalam, kondisinya cukup mengkhawatirkan. Ketika gerakan Islam seakan telah usang dan tampak belum mampu kalau boleh dikatakan gagal sama sekali dalam mengawal perubahan. Malah justru para aktivisnya terjerumus pada aktivitas pragmatis melalui pertentangan kepentingan politik. Sehingga kekuatannya menjadi terpolarisasi mengikuti jejak langkah patronnya masing-masing. Keterlibatannya dalam aktivitas sosial politik ternyata menyita banyak waktu sehingga mengurangi minat baca para aktivis. Tak ada waktu lagi untuk meng up grade intelektualnya karena di sibukan oleh kerja-kerja organisasi yang cenderung formalistik. Berangkat dari sinilah perlu kiranya mendefinisikan ulang paradigma dan karakteristik gerakannya agar sesuai dengan perkembangan zaman. Bahwa tantangan umat saat ini dan ke depan sangat besar terutama dalam merebut kembali kejayaan umat. Maka sekali lagi perlu dibutuhkan strategi dan cara baru. Strategi dan cara baru yang dimaksud ialah melakukan massifikasi gerakan intelektual. Sebuah strategi yang merupakan kombinasi antara konsep qoroa, ‘allama, ya’lamu dan al qolam. Nun wal qolami wa maa yasthurun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar