Rabu, 25 Februari 2009

Memahami Asas Praduga Bersalah dan Tidak Bersalah




PADA kasus money politics (baca: korupsi) yang melibatkan sejumlah anggota parlemen baik di pusat maupun daerah seperti isu suap yang menimpa Komisi IX DPR dalam kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), isu pembagian uang sebesar Rp 250 juta kepada tiap anggota DPRD Jawa Barat, dan kasus suap Jogja Expo Center (JEC) yang menjadikan Herman Abdurrahman, anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai terdakwa (Kompas, 6/10), para wakil rakyat yang mulia itu dengan tanpa rasa risi dan malu masih tegar tampil di hadapan publik seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.
Bahkan, di antara mereka masih ada yang tampil memimpin sidang di Dewan dengan alasan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.
Ini tidak mengherankan. Ibarat, pepatah mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, terpidana kasus penyalahgunaan dana Yanatera Bulog, Ir Akbar Tandjung yang juga Ketua Umum Partai Golkar, masih tetap bersikukuh tidak melepaskan jabatannya sebagai Ketua DPR kendati vonis telah dijatuhkan.
Alasan yang dikemukakan Tandjung maupun para fungsionaris Golkar lainnya adalah putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van geweisde), maka dengan tameng yang sama, yakni asas praduga tidak bersalah, Tandjung berkeberatan menon-aktifkan dirinya apalagi diberhentikan.
Demikian pula kasus yang sedang menimpa Jaksa Agung MA Rachman karena tidak mencantumkan kepemilikan rumah di Graha Cinere, Depok, dan deposito Rp 800 juta dalam Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) 10 Juli 2001 kepada KPKPN (Kompas, 8/10). Meski didesak mundur, tampaknya dia tidak akan mundur hanya karena persoalan tidak melaporkan harta kekayaan sebagaimana mestinya, lagi-lagi dengan alasan asas praduga tidak bersalah.
Dari berbagai kasus yang sedang menimpa para penyelenggara negara kita, baik di pusat maupun daerah, perlu kiranya tulisan ini mengulas tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah. Ulasan ini bertujuan agar para penyelenggara negara yang terlibat perkara pidana tidak bersembunyi di balik asas praduga tidak bersalah untuk tetap bercokol di singgasana kekuasaan.
uuu
DALAM perspektif criminal procedure (hukum acara pidana), Hebert L Packer dalam The Limited of The Criminal Sanction mengemukakan dua model dalam beracara. Kedua model itu adalah crime control model dan due process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (praduga bersalah) sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Crime control model ini diumpamakan seperti sebuah bola yang digelindingkan dan tanpa penghalang.
Sementara due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga tidak bersalah) sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Due process model ini diumpamakan seperti orang yang sedang melakukan lari gawang.
Masih menurut Packer, di antara kedua model itu ada nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlawanan; dan sebagai catatan penting, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menerapkan salah satu model itu secara konsisten.
Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan M King dalam A Framework of Criminal Justice yang masih menambahkan empat model lain dalam criminal procedure, masing-masing medical model, bureaucratic model, status passage model dan power model masih membagikannya ke dalam dua pendekatan. Ketiga model yang pertama, yaitu crime control model, due process model, dan medical model dikategorikan ke dalam participant approach. Sedangkan ketiga model yang kedua, yaitu bureaucratic model, status passage model, dan power model dikategorikan ke dalam social approach.
Menurut King, participant approach ini adalah cara pandang dari sudut pandang para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Ketiga model pertama itu telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan aparat penegak hukum diberi kebebasan memilih mana yang akan digunakan.
Masih menurut King, ketiga model itu tidak ada satu pun mengungguli yang lain, semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Karena itu, para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak menerapkan satu model secara tegas, tetapi tergantung pada individu atau kasus yang dihadapi.
Sementara, social approaches ini dilihat dari sudut pandang masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Ketiga model terakhir didasarkan analisis teori sosial mengenai hubungan antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur lain di masyarakat. Para penegak hukum coba menjelaskan proses beracara secara keseluruhan kepada masyarakat dengan tujuan-tujuan tertentu, mengapa terjadi kesenjangan antara retorika dan kenyataan hukum.
Khusus mengenai asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah perlu dipahami. Kedua asas itu tidak bertentangan satu dengan yang lain. Bahkan, oleh Packer dengan tegas dikatakan, keliru jika memikirkan asas praduga bersalah sebagaimana yang dilaksanakan dalam crime control model sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah yang menempati posisi penting dalam due process model. Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, dua konsep itu berbeda, tetapi tidak bertentangan.
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir.
Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, kendati secara universal asas praduga tidak bersalah diakui dan dijunjung tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita juga menganut asas praduga bersalah.
Sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud.
uuu
KEMBALI pada berbagai kasus pidana yang menimpa para penyelenggara negara kita, dengan memahami asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah secara hakiki, maka logikanya harus dibalik, para penyelenggara negara yang terlibat perkara pidana harus menon-aktifkan diri dari jabatannya sampai ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Tanpa mengesampingkan asas praduga tidak bersalah, para penyelenggara negara itu adalah public figure yang seharusnya memberi teladan kepada masyarakat. Sementara, dengan bersandarkan deskriptif faktual atas dasar bukti permulaan yang cukup, mereka dianggap telah melakukan tindak pidana yang dimaksud.
Sementara terhadap kasus yang menimpa Tandjung, asas praduga tidak bersalah harus dikesampingkan karena sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan ia bersalah, sebagaimana postulat dasar dalam hukum, res judicata pro veritate habetur-putusan hakim itu dianggap benar dan harus dihormati. Jadi, mestinya, Tandjung dianggap bersalah sampai ada putusan hakim (yang lebih tinggi) yang menyatakan sebaliknya dalam perkara itu.
Dengan demikian, alasan yang dikemukakan Tandjung untuk tetap mempertahankan posisinya sebagai Ketua DPR menjadi tidak relevan. Justru sebaliknya, dengan tetap dipimpinnya lembaga tinggi negara oleh seorang terpidana menunjukkan pelecehan yang dilakukan para penyelenggara negara terhadap hukum itu sendiri.

Tidak ada komentar: