Selasa, 24 Februari 2009
Hukum Berkeadilan Jender
Hukum Berkeadilan Jender
Judul buku ini mengundang perhatian banyak pihak, khususnya para pemerhati masalah perempuan dan hukum. Pokok permasalahan yang berkedudukan sentral dalam sebuah penelitian dirumuskan secara baik dan data yang disajikan dalam buku ini juga sangat kaya serta berharga. Namun, tanpa mengurangi penghargaan terhadap kehadiran buku ini, beberapa catatan dapat diberikan.
Melihat judulnya, pembaca berharap banyak bahwa buku ini akan menjawab berbagai persoalan konseptual dan metodologis dari aliran Teori Hukum Berkeadilan Jender (selanjutnya: HBJ) serta konfirmasi antara acuan hukum normatif dan implementasinya pada tataran praktik. Ternyata harapan itu menjadi pupus ketika membaca bab demi bab yang disajikan. Secara paradigmatik, pendekatan HBJ adalah sebuah aliran pemikiran yang cukup ”revolusioner” pada zamannya. Dalam filsafat hukum, pemikiran ini biasa dikenal dengan sebutan ”feminist jurisprudence”, sedangkan dalam literatur sosiologi pendekatan ini dikenal dengan beragam nama, seperti Femininist Legal Theory, Women and the Law, Feminist Analysis of Law, Feminist Perspectives on Law, dan Feminist Legal Scholarship. HBJ adalah ”pengindonesiaan” dari berbagai sebutan tersebut. Pada prinsipnya, pendekatan ini merupakan derivasi dari sebuah pemikiran besar yang sangat terkenal, yaitu teori-teori konflik, teori-teori analitik, dan sangat dekat dengan studi hukum kritis, atau critical legal studies, baik yang berkembang di Eropa maupun Amerika.
Di Indonesia, pemikiran HBJ ”baru” berkembang bersamaan dengan berkembangnya wacana keadilan jender dalam bidang hukum. Masuknya berbagai upaya men-”jender perspektif”-kan kurikulum sekolah-sekolah hukum di Indonesia dan semakin gencarnya gerakan perempuan ikut dalam proses legislasi dan pendampingan kasus hukum perempuan menandai mulai berkembangnya pemikiran ini. Dapat dikatakan bahwa apa yang berkembang di Amerika sekitar tahun 1970-an sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Tidak mudah untuk mencari benang merah isi buku ini. Pertama, penjelasan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian serasa lepas satu sama lain. Sesungguhnya, dalam bagian Kerangka Konseptual (hal 27-65), pembaca mengharapkan penjelasan konseptual yang cukup mendasar dari pendekatan HBJ yang justru menjadi judul besar dalam penelitian ini. Sayangnya, hal itu tidak ditemukan. Dalam bagian ini bahkan dijumpai beberapa penjelasan konsep yang sebenarnya ”tidak perlu”. Misalnya berkali-kali dikemukakan tentang penggunaan metode kasus sengketa maupun non-sengketa. Penjelasan ini barulah menjadi penting ketika kita memperdebatkan berbagai metode dalam pencarian hukum yang hidup dalam masyarakat, suatu penjelasan yang tidak diperlukan bagi penelitian ini.
Kesukaran untuk mencari benang merah, khususnya penjelasan teori dan konfirmasinya terhadap data lapangan dalam buku ini, berpusat pada peletakan paradigma yang tidak tepat. Dikatakan bahwa ”kajian ini berparadigma konstruktivisme…” (hal 66), bukan sebuah ”rumah” yang tepat bagi HBJ yang merupakan derivasi dari teori-teori kritik yang kedudukannya dalam ”peta” paradigma teori adalah berada dalam ranah paradigma kritikal. Pendekatan HBJ bertujuan untuk mendekonstruksi berbagai peraturan perundang-undangan dan cara berpikirnya pada tataran substansial serta melakukan konfirmasi antara peraturan yang dikritisi itu dan implementasinya dalam praktik.
Di sisi lain, paradigma konstruktivisme muncul sebagai reaksi terhadap teori-teori ilmu sosial dalam ranah paradigma positivisme yang ”memaksakan diri” bekerja seperti ilmu alam. Pendekatan konstruktivisme memang bertujuan melakukan konstruksi secara induktif. Pertanyaannya adalah: manakah yang menjadi pilihan dalam penelitian ini? Akan menghasilkan konstruksi induktif terhadap berbagai ”hukum alternatif” yang diciptakan oleh perempuan sebagai sebuah strategi adaptasi menghadapi ketidakadilan dalam dunia kerja? Atau melakukan dekonstruksi terhadap hukum (pasal-pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan) untuk dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai dasar pembaruan hukum sebagaimana yang diinginkan oleh pendekatan HBJ? Kita lebih dibingungkan lagi dengan pernyataan bahwa kajian ini lebih mengarahkan bekerjanya hukum daripada isinya yang abstrak (hal 65), suatu pernyataan yang seharusnya tidak ”keluar” dari pemikiran HBJ.
Kedua, dalam bagian metodologi ada hal-hal yang dipertentangkan, seperti menyadari subyektivitas dalam penelitian kualitatif (hal 67), tetapi secara ketat mengetengahkan bagaimana pencapaian obyektivitas dalam penelitian ini dilakukan (hal 74). Catatan penting lain yang perlu diketengahkan adalah ketidakhati-hatian dalam pengutipan pernyataan yang mungkin tidak dibaca langsung dari sumbernya. Contoh: ”Hukum negara juga dipengaruhi ideologi gender yang berlaku dalam masyarakat seperti yang dikatakan Bohannan (1937)…” (hal hxiii). Paul Bohannan tidak pernah mengatakan hal tersebut, melainkan berbicara soal double institutionalization, yaitu proses terciptanya hukum melalui pelembagaan peradilan desa dan badan khusus (legislatif). Kesalahan semacam ini dapat dijumpai di bagian lain.
Adanya bebagai redundancy juga cukup mengganggu. Kemudian, beberapa pengutipan dan referensi ditulis tidak dengan konfirmasi yang baik dalam hal nama pengarang, judul, dan tahun. Termasuk adanya ”pointers” yang dipresentasikan di suatu universitas ditulis sebagai buku yang diterbitkan di universitas tersebut. Bagaimanapun, keberadaan buku ini patut disambut gembira karena telah mengisi kekosongan dalam literatur hukum dan perempuan di Indonesia.
Judul buku ini mengundang perhatian banyak pihak, khususnya para pemerhati masalah perempuan dan hukum. Pokok permasalahan yang berkedudukan sentral dalam sebuah penelitian dirumuskan secara baik dan data yang disajikan dalam buku ini juga sangat kaya serta berharga. Namun, tanpa mengurangi penghargaan terhadap kehadiran buku ini, beberapa catatan dapat diberikan.
Melihat judulnya, pembaca berharap banyak bahwa buku ini akan menjawab berbagai persoalan konseptual dan metodologis dari aliran Teori Hukum Berkeadilan Jender (selanjutnya: HBJ) serta konfirmasi antara acuan hukum normatif dan implementasinya pada tataran praktik. Ternyata harapan itu menjadi pupus ketika membaca bab demi bab yang disajikan. Secara paradigmatik, pendekatan HBJ adalah sebuah aliran pemikiran yang cukup ”revolusioner” pada zamannya. Dalam filsafat hukum, pemikiran ini biasa dikenal dengan sebutan ”feminist jurisprudence”, sedangkan dalam literatur sosiologi pendekatan ini dikenal dengan beragam nama, seperti Femininist Legal Theory, Women and the Law, Feminist Analysis of Law, Feminist Perspectives on Law, dan Feminist Legal Scholarship. HBJ adalah ”pengindonesiaan” dari berbagai sebutan tersebut. Pada prinsipnya, pendekatan ini merupakan derivasi dari sebuah pemikiran besar yang sangat terkenal, yaitu teori-teori konflik, teori-teori analitik, dan sangat dekat dengan studi hukum kritis, atau critical legal studies, baik yang berkembang di Eropa maupun Amerika.
Di Indonesia, pemikiran HBJ ”baru” berkembang bersamaan dengan berkembangnya wacana keadilan jender dalam bidang hukum. Masuknya berbagai upaya men-”jender perspektif”-kan kurikulum sekolah-sekolah hukum di Indonesia dan semakin gencarnya gerakan perempuan ikut dalam proses legislasi dan pendampingan kasus hukum perempuan menandai mulai berkembangnya pemikiran ini. Dapat dikatakan bahwa apa yang berkembang di Amerika sekitar tahun 1970-an sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Tidak mudah untuk mencari benang merah isi buku ini. Pertama, penjelasan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian serasa lepas satu sama lain. Sesungguhnya, dalam bagian Kerangka Konseptual (hal 27-65), pembaca mengharapkan penjelasan konseptual yang cukup mendasar dari pendekatan HBJ yang justru menjadi judul besar dalam penelitian ini. Sayangnya, hal itu tidak ditemukan. Dalam bagian ini bahkan dijumpai beberapa penjelasan konsep yang sebenarnya ”tidak perlu”. Misalnya berkali-kali dikemukakan tentang penggunaan metode kasus sengketa maupun non-sengketa. Penjelasan ini barulah menjadi penting ketika kita memperdebatkan berbagai metode dalam pencarian hukum yang hidup dalam masyarakat, suatu penjelasan yang tidak diperlukan bagi penelitian ini.
Kesukaran untuk mencari benang merah, khususnya penjelasan teori dan konfirmasinya terhadap data lapangan dalam buku ini, berpusat pada peletakan paradigma yang tidak tepat. Dikatakan bahwa ”kajian ini berparadigma konstruktivisme…” (hal 66), bukan sebuah ”rumah” yang tepat bagi HBJ yang merupakan derivasi dari teori-teori kritik yang kedudukannya dalam ”peta” paradigma teori adalah berada dalam ranah paradigma kritikal. Pendekatan HBJ bertujuan untuk mendekonstruksi berbagai peraturan perundang-undangan dan cara berpikirnya pada tataran substansial serta melakukan konfirmasi antara peraturan yang dikritisi itu dan implementasinya dalam praktik.
Di sisi lain, paradigma konstruktivisme muncul sebagai reaksi terhadap teori-teori ilmu sosial dalam ranah paradigma positivisme yang ”memaksakan diri” bekerja seperti ilmu alam. Pendekatan konstruktivisme memang bertujuan melakukan konstruksi secara induktif. Pertanyaannya adalah: manakah yang menjadi pilihan dalam penelitian ini? Akan menghasilkan konstruksi induktif terhadap berbagai ”hukum alternatif” yang diciptakan oleh perempuan sebagai sebuah strategi adaptasi menghadapi ketidakadilan dalam dunia kerja? Atau melakukan dekonstruksi terhadap hukum (pasal-pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan) untuk dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai dasar pembaruan hukum sebagaimana yang diinginkan oleh pendekatan HBJ? Kita lebih dibingungkan lagi dengan pernyataan bahwa kajian ini lebih mengarahkan bekerjanya hukum daripada isinya yang abstrak (hal 65), suatu pernyataan yang seharusnya tidak ”keluar” dari pemikiran HBJ.
Kedua, dalam bagian metodologi ada hal-hal yang dipertentangkan, seperti menyadari subyektivitas dalam penelitian kualitatif (hal 67), tetapi secara ketat mengetengahkan bagaimana pencapaian obyektivitas dalam penelitian ini dilakukan (hal 74). Catatan penting lain yang perlu diketengahkan adalah ketidakhati-hatian dalam pengutipan pernyataan yang mungkin tidak dibaca langsung dari sumbernya. Contoh: ”Hukum negara juga dipengaruhi ideologi gender yang berlaku dalam masyarakat seperti yang dikatakan Bohannan (1937)…” (hal hxiii). Paul Bohannan tidak pernah mengatakan hal tersebut, melainkan berbicara soal double institutionalization, yaitu proses terciptanya hukum melalui pelembagaan peradilan desa dan badan khusus (legislatif). Kesalahan semacam ini dapat dijumpai di bagian lain.
Adanya bebagai redundancy juga cukup mengganggu. Kemudian, beberapa pengutipan dan referensi ditulis tidak dengan konfirmasi yang baik dalam hal nama pengarang, judul, dan tahun. Termasuk adanya ”pointers” yang dipresentasikan di suatu universitas ditulis sebagai buku yang diterbitkan di universitas tersebut. Bagaimanapun, keberadaan buku ini patut disambut gembira karena telah mengisi kekosongan dalam literatur hukum dan perempuan di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar