Rabu, 25 Februari 2009

Eksaminasi Publik


Social Control, dan
Upaya Mencegah Judicial Corruption
Oleh: Taufiq Nugroho



BAB I
PENDAHULUAN



Latar Belakang
Korupsi di lembaga peradilan (Judicial Corruption) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (law enforcement agencies) mulai dari kepolisian, kejaksaan, kepengadilan juga advokat dan masyarakat pencari keadilan itu sendiri, adalah suatu realitas social yang sangat sulit dibuktikan melalui prosedur yang telah disediakan oleh system hukum pidana. Bukan saja karena praktik korupsi tersebut dilakukan oleh orang-orang yang menguasai seluk-beluk peradilan, tetapi juga karena prakrik korupsi tersebut terjadi di Institusi yang memiliki otoritas untuk menentukan sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau bukan.
Keterjalinan diantara aktor-aktor judicial corruption dari waktu kewaktu telah terbangun sedemikian rupa, sehingga nyaris menyerupai organisasi mafia yang terorganisir meskipun tidak berbentuk. (Teten Masduki, Koordinator ICW.2003)
Sudah menjadi rahasia umum perkara perdata atau pidana apapun pada dasarnya bisa “diatur” oleh pemesan mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Bahkan dalam praktiknya, ketika memutus perkara dipengadilan ibarat lembaga balai lelang, yakni tergantung siapa yang berani bayar paling tinggi. Walaupun beberapa kasus-kasus penyimpangan putusan pengadilan juga karena ada factor intervenesi politik.
Para pelaku praktik judicial corruption senantiasa berlindung dibalik klaim otoritas independensi lembaganya, apakah itu yang di miliki oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau advokat. Praktik korupsi di lembaga peradilan menjadi semakin tidak terkontrol ketika internal control dan social control terhadap kinerja lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik.

Permasalahan
Skandal tragis dan memalukan di Mahkamah Agung dengan sejumlah kasus mafia peradilan akhir-akhir ini, dengan jelas menggambarkan kinerja yang sistemik antara elemen advokat, broker (cukong, pegawai Mahkamah Agung), dan Hakim Agung. Dan patut disesalkan, dalam menyikapi praktik mafia peradilan yang merupakan “jenis kejahatan terbesar” dan pembunuh masa depan bangsa ini, komunitas penegak hukum dan keadilan (Law Enforcement Agencies) termasuk advokat hanya bersuara lirih, ragu-ragu dan sayup-sayup dilorong-lorong kecil. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana signifikasinya terhadap usaha mencapai keadilan dalam system peradilan?
Umumnya orang menilai korupsi di lembaga peradilan disebabkan karena rendahnya gaji (upah), system rekruitmen, karier yang kolutif, lemahnya system pengawasan internal, dan sanksi yang tidak fungsional serta diperparah dengan system administrasi pengadilan yang tidak transparan. Sementara system control eksternal (social control) seperti mekanisme pra-peradilan terbukti tidak bisa diharapkan banyak, dalam system peradilan yang korup. Jika itu memang factor penyebabnya, maka sebenarnya bukab hal yang sulit untuk membasmi mafia peradilan, asal ada kemauan untuk mengatasi factor-faktor itu. Tapi yang menjadi persoalan dari mana dan siapa yang mau memulainya?


BAB II
PEMBASAHAN

Instrumen Hukum untuk Memerangi Judicial Corruption
Saya tidak ingin mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia telah mengalami kemandulan, khususnya dalam memerangi korupsi di pengadilan, melainkan hendaknya kita berani mencari tracee baru dalam penegakan hukum kita. Pwernyataan sikap Perang terhadap korupsi, sebagai konsekuensi logisnya sangat dibutuhkan peran serta masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam pasal 41 ayat (1,2, dan 3) Undang-undang Republik Indonesia No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001. selain undang-undang di atas, masih banyak lagi insrumen hukum yang dibuat pemerintah untuk memerangi korupsi tersebut.

Instrumen hukum dalam Upaya Pemberantasan korupsi (Legislasi):
 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999);
 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
 Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
 Undanmg-undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
 United Nations convention Againts Corruption;
 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Instrument pemberantasan Korupsi (Institusi):
 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
 Kepolisian;
 Kejaksaan;
 Mahkamah Agung (Lembaga Peradilan);
 Komisi Pemberantasan korupsi (KPK);
 Komisi Yudisial;
 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
 Komisi Ombudsman;
 Menteri Penertiban Aparatur Negara(Menpan).

Kita sibuk mencap korupsi sebagai kejahatan luar bisaa (extra ordinary crime) yang sudah menyusup ke semua sendi kehidupan. Kalau kita jujur dengan pendapat tersebut, maka kejahatan luar bisaa juga harus dihadapi dengan cara-cara yang luar bisaa pula extra ordinary measures. (Satjipto Rahardjo,2003)
Terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan masyarakat untuk mendeteksi atau minimal dicurigai terjadi praktik judicial corruption. Pertama, harus dilihat secara kasuistik, (a) perkara komersial besar (b) perlakuan istimewa pada penggugat atau tergugat (c) pelanggaran telanjang hukum acara (d) putusan yang aneh dan bertentangan dengan hukum. Kedua, penelusuran kekayaan: (a) hakim, Jaksa dan Pengacara dalam perkara tertentu, (b) investigasi partikelir, LSM seperti ICW, ICM, Judicial watch, Komisi yudisial, KPK, PPATK. (Todung Mulya Lubis)

Lemahnya Pengawasan oleh Lembaga Negara
(MA, KY dan Menkeh)
Masyarakat cukup mafhum, bahwa membersihkan mafia peradilan harus mulai dari tubuh Mahkamah Agung (MA) sendiri. Secara teori, putusan-putusan yang menyimpang di pengadilan tingkat rendah bisa dikoreksi oleh MA. Secara hirearkis sebenarnya Mahkamah Agung, dan Menteri Kehakiman memegang peranan yang sangat besar dalam mengawasi kenakalan-kenakalan para hakim dan panitera, paling tidak yang berada dibawahnya. Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, misalnya, memberikan wewenang yang sangat besar kepada Ketua MA dan Menteri Kehakiman untuk mengusulkan kepada presiden, pemberhentian (sementara), terhadap hakim maupun panitera yang terlibat praktik mafia peradilan.
Setelah dibentuknya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal yang independent, sesuai yang dikehendaki dalam amandemen UUD 1945, maka sebenarnya lembaga ini mempunyai kewenangan yang liuar biasa untuk mengontrol kinerja lembaga-lembaga peradilan di Indonesia. Di sisilain, berdasarkan pasal 10 ayat 4 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, MA juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan yang ada dibawahnya. Kewenangan ini diperjelas dalam pasal 32 Undang-undang No.14 tahun 1985, yang menyatakan bahwa MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan dan mengawasi tingkahlaku dan perbuatan hakim dalam menjalankan tugasnya disemua lingkungan peradilan.
Dewasa ini, sampai proses penyatuan atap selesai, dimana pengawasan hakim dilakukan oleh tiga lembaga yaitu, MA, KY dan Menkeh, namun proses penanganan hakim-hakim yang diduga melakukan pelanggaran tidak jelas dan tidak transparan, dan sering baru mencuat beritanya saat proses persidangan dan putusan.

Berikut ini kami kutipkan hasil survey Transparansi Internasional, terkait Persepsi Publik tentang Kinerja Hakim, Jaksa, Polsis, Advokat dan Mahkamah Agung;
Sumber: Kompas 4 April 2005

Idealnya memang pada masa transisi dari rezim otoriter ke demokrasi, pertama-tama yang dilakukan adalah mereformasi lembaga peradilan, dengan memberhentikan semua Hakim maupun Jaksa agung dan kemudian diadakan pemilihan ulang, seperti terjadi di Meksiko pada tahun 70-an dan Georgia pada tahun 1980-an. Kita sekarang merasakan kesalahan fatal dari pemerintahan reformasi yang tidak berani melakukan perubahan-perubahan radikal untuk kemajuan fundamental bangsa ini.
Peraturan hukum tersebut tidaklah tepat jika semata-semata diatribusikan kepada masyarakat saja, tetapi juga ada hubungannya dengan persoalan hukum dan penegakan hukum yang diindikasikan. Pertama, peraturan hukum yang sudah “out of date”. Peraturan hukum yang ada tidak lagi sesuai dengan gagasan ideal masyarakat terkini yang terus menerus bergerak dan berkembang. Kedua, peraturan hukum yang tidak harmonis atau belum menyatu dalam suatu sistem hukum positif. Peraturan hukum yang ada tidak sesuai dengan peraturan hukum yang lain disebabkan karena adanya peraturan hukum baru di bidang kehidupan lain, baik substansinya memiliki kedudukan yang tinggi atau memberi landasan hukum. Ketiga, ada aspek kehidupan yang belum diatur oleh aturan hukum. Persoalan tersebut muncul kemudioan setelah peraturan hukum yang ada tidak bisa dicanggihkan melalui tehnologi ilmu hukum untuk merespon permasalahan kehgidupan sehari-hari. Keempat, praktek penerapan atau penegakan hukum yang dirasakan langsung oleh masyarakat (law in action) ternyata tidak sesuai dengan hukum yang ada dalam perundang-undangan hukum positif (law in book) karena tidak ditegakkan atau diterapkkan sebagaimana seharusnya aparat penegak hukum menerapkan hukum tersebut.

Maraknya Judicial Corruption dan akibatnya
Salah satu bentuk korupsi yang popular di masyarakat adalah korupsi di lembaga-lembaga peradilan atau lebih dikenal dengan istilah judicial corruption. Menurut deklarasi International Bar Association (IBA) pada konferensi dua tahunan (17-22 september 2000) di Amsterdam, yang dikutip berdasarkan rekomendasi para pakar hukum Centre for the Independence of Judges and Lawyers (CIJL), disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidak mandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (Polisi, Jaksa Hkim dan Advokat).
Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalah gunaan kekuasaan kehakiman, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, skap tunduk pada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, favoritisme, kompromi dengan pembela (advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik.

Berikut ini Indeks Persepsi Korupsi di beberapa negara di dunia tahun 2005 yang dikutip dari hasil survey Transparancy international
Country
Rank Country/
Teritorry 2005 CPI
Score Confidence
range Surveys Used
1 Iceland 9,7 9,5-9,7 8
2 Finland 9,6 9,5-9,7 9
3 New Zaeland 9,6 9,5-9,7 9
5 Singapore 9,4 9,3-9,5 12
15 Hong Kong 8,3 7,7-8,7 12
21 Japan 7,3 6,7-7,8 14
32 Taiwan 5,9 5,4-6,3 14
39 Malaysia 5,1 4,6-5,6 14
40 South Korea 5,0 4,6-5,3 12
59 Thailand 3,8 3,5-4,1 13
78 China 3,2 2,9-3,5 14
88 India 2,9 2,7-3,1 14
107 Vietnam 2,6 2,3-2,9 10
117 Philippines 2,5 2,3-2,8 13
130 Cambodja 2,3 1,9-2,5 4
137 Indonesia 2,2 2,1-2,5 13
155 Myanmar 1,8 1,7-2,0 4
158 bangladesh 1,7 1,4-2,0 7
Sumber: Indeks Persepsi Korupsi 2005.
Transparancy International

Dahsyatnya korupsi di lembaga peradilan indonesia juga dapat dilihat dari catatan Daniel Kaufmann, dalam laporan Bureaucratic and Judiciary bribery pada tahun 1998 yang mengatakan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia adalah yang paling tinggi diantara negara-negara Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Yordania, turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura.
Lebih parah lagi adalah bahwa praktik-praktik judicial corruption dilakukan oleh para aparat penegak hukum itu sendiri (law enforcement agencies) dan secara kolektif mereka dikenal dengan sebutan “mafia peradilan”. Daniel S.Lev, seorang pengamat Hukum Indonesia, mengatakan bahwa: “The mafia peradilan is after all a working system that benefits all its participants. In some ways, in fact, for advokates, who otherwise are excluded from the collgial relationships of judges and prosecutors, it works rather better and more efficiently than the formal system”.
Dari berita-berita di media masa kita juga melihat bagaimana hakim dengan seenaknya telah menjatuhkan putusan-putusan yang mengandung kontroversial dari masyarakat terhadap kasius-kasus mega korupsi yang dilakukan oleh para penguasa. Putusan-putusan kontroversial yang dikeluarkan oleh pengadilan antara lain perkara Peninjauan Kembali (PK) Tommy Soeharto, perkara penyelewengan Bantuan Liquidasi bank Indonesia (BLBI) yang dilakukan oleh para konglomerat, perkara Bulog Gate II yang melibatkan mantan ketua DPR RI Akbar Tanjung, dan perkara Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin.
Dengan dibuatnya putusan-putusan konroversial seperti diatas, pengadilan telah melakukan pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Hal ini memperkokoh ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Lebih jauh masyarakat akan beranggapan bahwa korupsi adalah hal yang wajar dilakukan dan bahkan sangat menguntungkan karena sifatnya yang high profile and low (no) risk. Tingginya presentasi pembebasan (vrijspaak) dalam perkara-perkara korupsi dan tidak adanya efek jera (deterrent effect) dalam suatu putusan perkara korupsi cenderung membuat masyarakat akan melakukan perbuatan serupa.

Eksaminasi Publik sebagai Media Social Control
Dalam pengelolaan ilmu hukum dan hukum sebagai pranata social, pendekatan doctrinal juga dipengaruhi oleh dinamika pendekatan dialektika ilmu hukum. Juga pusaran-pusaran perubahan-tatanan kehidupan masyarakat baik yang menyangkut perubahan kualitas dan kesempatan memperoleh hak-hak publiknya yang acapkali dipengaruhi oleh tekanan structural dari kekuatan-kekuatan dominant dalam masyarakat. (Muh. Busyro Muqoddas, Ketua Komisi Yudisial RI)
Dalam masyarakat dimana kelas menengah belum berperan sebagai kekuatan pengontrol, penyeimbang dan perubah terhadap struktur politik (Kekuasaan Negara), Negara yang berada ditangan kekuatan hegemonik, akan menyebabkan posisi tawar rakyat tidak berdaya dihadapan kekuatan Negara. Dalam situasi seperti ini, meningkatnya syahwat politik penguasa modal dan penguasa Negara memudahkan terjadinya konspirasi politik. Kondisi ini akan diperparah ketika elemen-elemen formil demokrasi (parpol dan parlemen) berselingkuh secara terbuka dengan kekuatan konspiratif tersebut.
Bertitik tolak dari pandangan teoretikal bahwa hukum sebagai instrument yang diperlukan bagi perubahan-perubahan social politik ekonomi dan ketatanegaraan, ditangan kekuasaan yang hegemonic, alih-alih, hukum pembentukannya dalam proses legislasi nasional dan melalui putusan hakim sebagai instrument “pembebas ketertindasan dan ketidakadilan”, bahkan sebagai system norma yang menindas dan memperkuat serta memperpanjang ketidak adilan structural.
Proses penegakan hukum tidak pernah lepas dari tantangan dan godaan serta variable-variabel yang melekat pada proses penegakan hukum antara lain karakter hukum (nomo-logos), penerapan keadilan prosedural (teknologos), integritas moral, dan ketangguhan mental para penegak hukum. Agar penegak hukum tidak mengalami degradesi moral dan defisit mental, diperlukan adanya nutrisi knowledge dan skill bagi aparat penegak hukum (law enforcement agencies) serta mekanisme control (eksaminasi) produk putusan, yang berkelanjutan baik dalam hal kode etik, social maupun yuridis terhadap tingkah laku para penegak hukum termasuk advokat.(Artidjo Alkostar, Hakim Agung RI)
Eksaminasi berasal dari terjemahan bahasa inggris “examination” yang dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai an investigation; search; inspection; interrogation. Jadi eksaminasi public jika dikaitkan dengan produk badan peradilan berarti ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan/ hakim oleh masyarakat luas.
Tujuan eksaminasi secara umum adalah untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain adanya eksaminasi public juga diharapkan dapat mendorong para hakim agar membuat putusan hukum dengan pertimbangan yang baik dan professional.
Instruksi Mahkamah Agung/ Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1967, telah membuka lebar kesempatan untuk melakukan eksaminasi terhadap putuan pengadilan. Selain mengintrksikan adanya eksaminasi, SE tersebut juga menginstruksikan tentang laporan bulanan dan daftar banding. Jadi tujuan yang terkandung dalam instruksi tersebut tidak hanya untuk menilai/ menguji apakah putusan tersebut telah sesuai dengan prinsipo-prinsip hukum yang benar atau belum, tetapi dengan diajukan berita acara siding sebagai kelengkapan eksaminasi, juga sebagai bahan penilaian apakah hakim tel;ah melaksanakan proses acara persidangan dan putusan dengan baik.
Dalam rangka pembinaan dan perbaikan mutu putusan, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 3 tahun 1974, yang pada intinya menginstruksikan bahwa semua putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar putusannya, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum lain yang tidak tertulis sebagai dasar untuk memberikan putusan. Tidak atau kurang memberikan peertimbangan atau alasan, atau tidak jelas dan sulit dimengerti, atau bertentangan satu sama lain, maka ha;l demikian ini dipandang sebagai kelalaian dalam acara (vormverzuim) yang dapat mengakibatkan batalnya putusan pengadilan yang bersangkutan.
Namun saat ini kajian ilmiah terhadap produk peradilan tidak pernah atau jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, hanya rutinitas dari mata kuliah tertentu saja, tidak lebih dari itu. Akibatnya kajian ilmiah mengenai putusan pengadilan menjadi barang yang langka. Padahal social control dengan kekuatan-kekuatan kritis mempunyai bobot yang tinggi dalam pengambilan putusan hakim. Oleh karena itu Perguruan tinggi, bersama dengan elemen masyarakat lain (NGO, Praktisi hukum, mantan hakim maupun jaksa) perlu mengembangkan budaya kajian ilmiah tersebut untuk melakukan pengawasan terhadap aparat hukum. (Rahmad Syafaat)

Kebutuhan akan system yang kondusif; Rekomendasi untuk Law enforcement agencies dan Perguruan Tinggi (Fakultas Hukum)
Untuk membudayakan kembali kajian ilmiah putusan pengadilan dan menghidupkan kembali lembaga eksaminasi sebagai wadah social control yang berkelanjutan dan berhasil guna, dibutuhkan system yang kondusif sebagai berikut:
1. Adanya akses yang besar untuk mempelajari putusan pengadilan. Pengadilan dengan system adminstrasinya harus berani mereformasi diri sehingga dapat memberikan peluang yang besar bagi perguruan tinggi (akademisi) untuk memperoleh salinan putusan yang ingin dieksaminasi.
2. Membudayakan metode case study dalam proses belajar mengajar di Fakultas Hukum.(BBM; Belajar Berbasis Masalah. R.Ginting, SH,MH, Dosen FH UNS). Selama ini metode belajar mengajkar di fakultas Hukum di Indonesia lebih banyak didominasi metode belajar secara text books. Berbeda dengan metode belajar mengajar di law school di Amerika Serikat, yang lebih banyak didominasi dengan metode case study berdasarkan text books yang merupakan susunan dari case reports yang terbaru yang dikeluarkan oleh Pengadilan (Robert A.Carp & Ronald Stidham, 1990:87). Metode tersebut juga banyak dilakukan dinegara-negara penganut system common law lainnya, yang lebih mengutamakan preseden atau yurisprudensi sebagai sumber hukum. Sehingga perlu ada kajian rutin terhadap konsep hukum yang ada dibalik tiap putusan.
3. Adanya hubungan yang sinergis antara lembaga pengadilan sebagai penegak hukum dan penemu hukum in concreto, dengan lembaga perguruan tinggi (para akademisi), untuk saling mendukung dalam mengembangkan hukum dan ilmu hukum. Disini diperlukan keterbukaan oleh lembaga peradilan untuk menerima kritik dan masukan dari perguruan tinggi demi tegaknya hukum dan keadilan serta perkembangan ilmu hukum.

Studi Hukum Kritis
Study hukum kritis (Critical legal studies) adalah suatu gerakan intelektual yang khas di Amerika, oleh karena itu sebaiknya kita berhati-hati pada saat merujuk pada gerakan tersebut. Study tersebut bersifat historis Amerika, artinya study tersebut muncul dari pengalaman sejarah unik amerika serikat. Secara resmi study hukum kritis lahir dalam suatu konferensi di Universitas Wisconsin Madison, Amerika Serikat pada tahun 1977. Gerakan tersebut muncul dari suasana Amerika Serikat sekitar tahun 1960 hingga tahun 1970 yang sarat dengan penentangan terhadap kekuasaan yang ada (the establisment) dan berkaitan dengan anti perang Vietnam dan lain-lain.
Gerakan study hukum kritis membangun serangan terhjadap peradilan dalam iklim demokrasi liberal (judicial within liberal democracy). Berhadapan dengan watak liberal tersebut, studi hukum kritis menginginkan penyelenggaraan peradilan secara obyektif (judicial objective) dan tuntutan terhadap keadilan sosial (social justice).
Gerakan ini tidak hanya merupakan suatu gerakan intelektual, melainkan juga merupakan suatu kekuatan yang merambah kedalam dunia praktek. Studi hukum kritis menginginkan suatu perbaikan dan memberikan visi pada law enforcement agencies yang radikal. Gerakan ini tetap berada pada sistm yang ada, tetapi tidak menjadi tawanan dari sistem tersebut.
Dengan menggunaklan optik empirik sosiologis orang secara sistemais dipacu untuk mengamati kenyataan dalam kehidupan hukum dan dengan demikian bisa melihat jarak yang ada antara apa yang dikenal sebagai “law in the books” dan “law in action”. Dengan perkembangan ilmu sosiologi masyaralkat mendapat informasi bahwa ada alternatif-alternatif yang sama bekerja dalam masyarakat kecuali hukum positif saja. Maka dengan sendirinya studi-studi seperti itupun sudah menjadi studi hukum yang bersifat kritis, setidaknya kritis dalam mekna keindonesiaannya.
Studi hukum kritis di Indonesia masih memiliki dimensi lain apabila dihubungkan dengan keterpurukan negara kita saat ini dan memiliki suatu mission sacree untuk membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan. Seperti dalam studi hukum kritis, maka Penegakan Hukum Progresif (PHP) juga tetap bekerja di dalam sistem yang ada, kendatipun menempuh tracee yang berbeda, antara lain menolak praktek liberal yang tampak masih dominan sampai dewasa ini.

Undang-undang Perlindungan Saksi
Membongkar praktik mafia peradilan memang bukan perkara yang gampang. Kejahatan peradilan yang termasuk kategori whitecollour crime, yang dilakukan oleh orang-orang terpelajar dan professional. Kesulitan terbesar mangadili kasus judicial corruption adalah mencari bukti yang menunjukkan adanya transaksi jual beli putusan di satu sisi, dan menghadirkan saksi independent disisi lain. Karena bisaanya para pelapor maupun saksi akhirnya harus menghadapi masalah perlindungan saksi yang sampai saat ini belum memperoleh perlindungan yang memadai. Kita menyaksikan bagaimana Endin, Leonita atau Arifin mereka justru sebaliknya diseret ke Pengadilan dengan tudingan pencemaran nama baik. Segera disahkannya Undang-undang perlindungan saksi (Whistle Blower) ini harus diprioritaskan oleh Pemerintah dan DPR. Rancangan Undang-undang (RUU) dan study komparatif sudah tersedia, tinggal kemauan politik

Gerakan Whistleblower
Dalam system hukum Indonesia belum mengenal adanya penghargaan (reward) kepada whistleblower untuk memperoleh keringanan hukuman guna memudahkan pengusutan kasus-kasus kejahatan yang suliot pembuktiannya. Lagi pula mana ada transaksi suap yang menyertakan kwitansi. Meskipun hal itu tidaklah sulit pembuktiannya, melalui pendekatan “follow the money to track the crime” karena kekayaannya pasti tidak ekuivalen dengan pendapatan resminya. Hanya saja Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) belum bisa bekerja optimal dan asas pembuktian terbalik belum diterapkan secara murni dalam mengadili korupsi di Indonesia.
Pemerintah harus segera merumuskan ide cemerlang ini. Karena biarbagaimanapun saat ini benar-benar sangat dibutuhkan pahlawan-pahlawan yang berani membongkar kasus-kasus judicial corruption yang saat ini sudah sangat menggurita. Tidak semua orang baik berani melakukan tindakan semacam ini, tanpa didukung perlindungan hukum. Makanya, dengan adanya penghargaan semacam reward atau perlindungan kepada para whistleblower maka akan tercipta suadana yang nyaman dan bebas bagi masyarakat untuk melaporkan setiap praktik mafia peradilan, dan merangsang masyarakat untuk menjadi pahlawan-pahlawan hukum.

Reorientasi Peran dan Fungsi Entitas Penegak Hukum
Dewasa ini orientasi aparat penegak hukum cukup relevan untuk dipertanyakan, ketika suara nurani dan akal sehat komunitas ini semakin jauh terdengar dari wilayah-wilayah problem riil ketidakadilan sebagai akibat system yang menindas. Juga sebagai akibat dari desakan godaan materialisme yang menempatkan “materi” sebagai “berhala” yang disembah-sembah, selain tentunya live style advokat dan keluarganya (istri, anak dll) penganut dan pengamal glamour style.
Pada hakekatnya tujuan utama para professional penegak hukum bersifat alturistik dan tidak egoistic. Dengan posisi social demikian maka masyarakat memiliki hak untuk menguji kualitas komitmen, menggugat, mengontrol dan memberi respon terhadap ingkah laku yang mengenai “Legal Behavior” maupun yang ada dalam dominant “Courtroom Behavior” dari para penegak hukum (Artidjo Alkostar) .
Tujuan profesi hukum yang luhur, seyogiyanya mengundang “konsekuensi etis” timbulnya rasa hormat terhadap penegak hukum termasuk advokat (Binziad Kadafi).
Tetapi sebaliknya apabila profesi luhur ini dikotori oleh mafia peradilan, maka penegak hukum tersebut akan menjadi tidak terhormat karena mengidap “kolesterol moral” dalam tubuh para penegak hukum . para penegak hukum yang terjangkit “Kolesterol Moral” akan gagap menyuarakan dan membobongkar praktek KKN dalam proses penegakan hukum.
Dalam kacamata teori Michael I Reed kelompok Profesional dilihat sebagai “Can be seen as a strategic source of moral regulation and potential force for sociale political change”. Untuk itu posisi social yang strategis dari komunitas professional penegak hukum memikul beban tanggungjawab moral dan social yang tinggi, bukan justru dijadikan tempat berlindung atau memberi imunitas diri bagi tibdakan malpraktek, kolutif, terlibat mafia peradilan, dan tindakan menyimpang lainnya. Dalam hubungannya dengan ideology profesionalisme, Michael I Reed mengemukakan;
“Amodel and ideology of professionalism based on relatively autonomous relationship between individual client and independent practitioner (accretidet and supported by an appropriate professional body) give way and strategy and form of profesionalization in wich various accoupational groups have conducted a faustian pact with bueanieratic organization”. (Reed, Michael I. 1992. p 210)
Dari hal ini terlihat bahwa entitas (entity) professional penegak hukum sejatinya berkewajiban moral untuk memprioritaskan spirit kejuangan dalam rangka “striving instability for knowledge and mastery” atau yang senantiasa berjuang keras untuk emenuhi kehausan terhadap peningkatan ilmu dan keunggulan.

Hukum Modern yang Hegemonial
Kemunculan hukum modern mendatangkan perubahan besar yang sangat dramatis. Hukum modern tersebut membabat habis semua bentuk penataan dalam masyarakat yang muncul dari kekuatan otonom masyarakat. Semua bentuk dan praktek yang ada harus menyingkir untuk mremberi jalan kepada hukum modern.
Hukum modern muncul bersamaan dengan munculnya negara modern pada abad kedelapanbelas. Negara modern ini membutuhkan kelengkapan sendiri yang kemudian diciptakannya dan membutuhkan kelengkapan baru dan metode baru untuk mendukung keberadsaan negara modern. Negara modern dalam sejarahnya bergandengan dengan industrialisasi dan sistem produksi kapitalisme pada dasarnya disusun secara rasional. Sistem ekonomi yang disusun secara rasional tersebut membutuhkan penataan menuju tertib sosial baru yang juga rasional dan penuh kepastian. Maka lahirlah berbagai institusi hukum seperti legislatif, yudikatif yang semuanya diatur secara sengaja dan jelas mengenai tugas, wewenang, serta batas-batasannya.
Sejak saat itulah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap tata ketertiban lama yang lebih bersifat asli tadi. Memang dalam kenyatan hampir semua bentuk-bentuk penataan yang lama , ditenggelamkan, untuk digantikan oleh hukum negara, legislatif negara, pengadilan negeri, polisi negara dan seterusnya. Para legalis-normativis biasanya melihat kehidupan hukum dalam tampilan yang linier dan hukum direduksi menjadi sesuatu yang formal. Kompleksitas dan pergulatan secara yterus-menerus antara yang formal dan yang otonom muncul dari dalam masyarakat tidak terlihat dan tidak teramati.
Berdasarkan data empirik, ternyata kekuatan otonomi masyarakat tidak mati, melainkan tetap ada dan bekerja secara diam-diam (latent). Kekuatan itu tetap bertahan (survive) di tengah-tengah penggunaan hukum modern. Dengan demikian kita tidak hanya mengandalkan kekuatan hukum formal saja, melainkan juga memperhatikan kekuatan yang bersifat latent. Suatu saat kekuatan latent tersebut akan muncul dipermukaan (Manifest) dan sengan demikian tetap menunjukkan eksistensinya.

Dua Sindrom Yang Berbeda
Menurut hukum negara, tindakan masyarakat ataui publik seperti itu dilarang dan dimasukkan kedalam kategori main-hakim-sendiri (eigenrichting, self-help). Dari optik formallegalistik masalahnya sampai disitu. Tetapi dari optik sosiologis tindakan itu termasuk kedalam daftar panjang tentang berbagai bentuk penyelesaian sengketa. Optik legal-formal hanyalah mengetahui satu bentuk saja yaitu pengadilan oleh pengadilan negeri (adjudikation).
Tetapi dalam kenyataan dijumpai banyak bentuk mengadili lainnya, seperti Arbirase, Mediasi, Negosiasi, menghindar dan beberapa bentuk lainnya. Bahkan dikenal pula istilah mengadili dibawah bayangan hukum (in the shadow of the law), dimana proses mengadili berlangsung menurut ketentuan hukum, tetapi dilakukan oleh para pihak sendiri, sedang hakium hanya mengesahkan. Dengan demikian apa yang terjadi di lapangan benar-benar lebih kompleks dari apada apa yang dikatakan oleh hukum (baca: Undang-undang).
Di Amerika pada tahun 1960, seorang perempuan pulang kerja dan menuju apartemennya. Pada waktu toiba di apartemennya dia dicegat seorang laki-laki, kemudian diperkosa dan sibunuh. Sebelumnya perempuan tadi sudah berteriak yang pasti didengar diseluruh apartemen. Tetapi tidak ada seorang pun yang mau turun tangan, sedang ada yang mengengok dari jendela, namun ditutup kembali. Peristiwa tersebut terkenal dengan istilah Sindrom Kitty Genovese (SKG) sebagai trade mark penyelenggaraan hukum Amerika. Mereka sangat menyerahkan semuanya pada hukum dan aparat yang memang bertugas untuk menanganinya. Pikiran rasional mereka mengatakan, bahwa mereka sudah memebayar pajak untuk menggaji polisi, jadi buat apa susah payah ikut campur.
Suatu sindrom yang berseberangan dengan Sindrom Kitty Genovese adalah (antara lain) terjadi di Indonesia dan saya sebut sebagai Sindrom Arakan Bugil (SAB). Sindrom tersebut saya ambil dari kebiasaan masyarakat untuk mengarak seorang pelaku kejahatan keliling kampung. Yang bersangkutam boiasanya hanya bercelana dalam dan di lehernya di kalungi tulisan tindakan kejahatannya. Sindrom tersebut menunjukkan masyarakat secara langsung melibatkan diri dalam menindak pelaku kajahatan. Dilihat dari kacamata hukum modern, maka tindakan SAB tersebut jelas termasuk perbuatan main hakim sendiri yang dilarang. Kendatipun demikian, SAB tetap eksis dalam masyarakat dengan berbagai alasan pembenar. Bahkan di Amerikapun, pengadilan secara diam-diam tersebut masih sering terjadi dan memperoleh sebutan populer, seperti “street justice”, “dark justice” dan “neighbourhood watch”.

Bifurkasi Perjalanan Hukum
Sejak munculnya hukum modern hukum mengalami bifurkasi dan menjalani jalan cabang. Disatu sisi proses hukum adalah perjalanan mencari keadilan (search for justice), tetapi sejak muncu hukum modern berhadapan dengan suatu persimpangan. Dan yang perlu dicamkan adalah, betapa saat ini proses hukum sangat berstandar pada prosedur, sehingga menimbulkan adanya keadilan substansif (substantive justice) dan keadilan prosedural (Procedural justice, formal justice, legal justice).
Patut dipertanyakan kembali, apakah kita menggulirkan proses hukum untuk mencari kebenaran dan keadilan ataukah mematuhi prosedur? Munculnya aspek prosedur sebagai kekuatan atau kartu truf baru dalam peradilan mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah ini tidak dapat dilepaskan dari rancangan sistem hukum modern liberal. Sejarah hukum modern yang sangat erat dengan budaya atau kultur barat mempunyai dorongan kuat untuk melindungi individu dan menghargai HAM.
Saya kira Indonesia selama ini termasuk murid yang baik dari penegakann hukum yang bersifat leberal seperti di atas. Tommy Soeharto lolos pada saat advokat dan jaksa sibuk berdebat mengenai kekuatan hukum suatu fotokopi. Putusan Akbar Tanjung juga hampir-hampir dinyatakan tidak sah karena pengadilan tidak segera memberikan salinan putusan kepada terpidana. Tim gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang aat itu berada di puncak untuk membawa tiga hakim agung ke pengadilan harus menerima kekalahan karena keberadaan dan pembentukan TGPTPK itu dinyatakan bertentangan dengan hukum. TGPTPK yang sudah mempunyai rencana untuk membongkar sejumlah korupsi kakap harus menerima kenyataan dibubarkan oleh Mahkamah Agung.

Mewujudkan Citra Peradilan yang tidak Korup
Ada beberapa langkah strategis yang diperlukan untuk mewujudkan kembali Lembaga peradilan yang bersih dari praktek mafia peradilan:
Pertama, Mengefektifkan kinerja dari Komisi Yudisial. Sebagai sebuah lembaga yang baru dibentuk beberapa bulan lalu untuk mengawasi kinerja dari para hakim, tentunya peranan lembaga ini sangat diharapkan. Penegakan dan penjagaan kehormatan serta keluhuran martabat para hakim, tentunya tidak hanya dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial sendiri saja namun disini dibutuhkan kerjasama dan tindakan pro-aktif dari Pimpinan Mahkamah Agung sendiri. Ini tentunya sangatlah penting karena pada dasarnya Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim hanya berwenang untuk memberikan rekomendasi ke Mahkamah Agung saja. Dan segala keputusan tergantung pada Lembaga tersebut menyikapinya. Terkait dengan hal tadi tentunya perlu dikaji kembali mengenai kewenangan yang yang harus dimiliki oleh Komisi Yudisial karena dengan minimnya wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial malah akan menghambat kinerja dari Komisi Yudisial itu sendiri.
Kedua, Perlunya sistem hukum yang bersifat lebih progresif. Bila kita bandingkan dengan negara yang ada lainnya, Indonesia mempunyai pranata hukum lebih banyak, namun disisi lain pelaksanaan hukum di Indonesia masih sangat rendah. Keberadaan hukum yang ada di Indonesia itu sendiri kadang-kadang malah dianggap menghambat gerak dari penegak hukum kita dalam usaha menjalankan tugasnya menjaga kedilan. Sebut saja contoh kasus yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan penggerebekan guna mengungkap kasus suap dan korupsi yang terjadi di Indonesia malah mendapat tuaian protes dari para pejabat maupun ahli hukum yang menganggap bahwa cara-cara tersebut tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Prof Dr Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa kita tidak boleh menyerahkan hidup kita dipenjara oleh hukum, dalam artian perundang-undangan. Diperlukan adanya suatu pembebesan dalam memaknai hukum itu sendiri, dengan demikian kita perlu memebebaskan diri dari kultur berhukum yang membiarkan diri kita “dijajah” oleh perundang-undangan. Perlu adanya tindakan yang berani dan revolusioner dalam usaha menciptakan keadilan dalam masyarakat ini.
Ketiga, Transparansi lembaga peradilan untuk menjaga akuntabilitas lembaga peradilan itu sendiri. Sering kali orang menganggap bahwa lembaga peradilan adalah lembaga yang sakral dan tertutup. Sebut saja contohnya dalan pengambilan putusan majelis hakim. Seringkali kita hanya mengetahui hasil jadi dari putusan tersebut tanpa mengetahui alasan-alasan riil yang menjadi dasar dari dikeluarkannya putusan tersebut. Fenomena Dissenting Opinion (pendapat hakin yang berbeda dengan putusan) seringkali menjadi hal yang tabu dan ditutup-tutupi oleh Lembaga Peradilan. Kerahasiaan yang sangat ketat oleh Lembaga peradilan kita ini justru menjadikan masyarakat semakin bertanya tanya “ada apa dibalik lembaga peradilan kita?”.
Keempat, adanya kontrol bersama antara LSM, Lembaga Pers, maupun masyarakat. Ini sangat penting karena dengan adanya pemantauan bersama oleh elemen-elemen yang ada dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan kita, tentunya akan mendukung proses pembersihan lembaga peradilan kita dari mafia peradilan maupun prakek-praktek menyimpang lainnya.
Upaya pembersihan lembaga peradilan kita dari praktek mafia peradilan ini merupakan sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Kita tentunya tidak ingin bila upaya penegakan hukum di negara ini hanya menjadi lips service dari aparat yang terkait saja. Suatu harapan besar dari kita adalah upaya penegakan hukum ini mampu memaberikan hasil yang memuaskan bagi rakyat yang merindukan keadilan. Jangan sampai kasus mafia peradilan yang terjadi di Indonesia ini akan menguap begitu saja karena adat kebiasaan di negeri ini selalu berkata bila ada kasus yang melibatkan para pejabat penting, maka selalu akan dicari-carikan jalan untuk menghindarinya meski fakta ada di depan mata.

Titik-titik Rawan Penyelewengan Wewenang
Birokrasi dirancang untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Tetapi setelah terbentuk, birokrasi mengembangkan kehidupan rohaninya sendiri dan memandang publik sebagai musuh. (Brooks Atkinson, September 9th Once Around the Sun, 1951)
Menurut definisi, korupsi adalah “menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi”. Namun, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip ”mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilan keputusan apakah dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip menjaga jarak dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul. Contohnya konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah landasan untuk organisasi apapun untuk mencapai efisiensi.
Ada sebuah asumsi pokok yang tidak dinyatakan, yang melandasi teori-teori mengenai peranan sector publik, yakni pejabat publik (baik pengambil keputusan maupun pegawai negeri) memiliki kemampuan netral dalam sikap dan mempu membedakan mana yang pribadi dan man yang bukan pribadi, dalam melaksanakan tugas mewujudkan kesejahteraan sosial.
KKN dan suap-menyuap terjadi ketika etika dan moral tidak dipertimbangkan lagi, ajaran agama tidak diperhitungkan, norma keadilan dan kebenaran dikalahkan untuk kepentingan materi sesaat. Sistem ini tersusun dengan sangat rapi, sehingga begitu sulit terungkap.karena tidak adanya bukti atau tidak ada saksi kecuali pelaku sendiri, yang terlibat pun orang-orang yang ahli di bidang hukum dan sangat diperhitungkan resiko hukum yang akan dihadapi. Mereka sudah menciptakan celah-celah hukum agar tidak terjerat pasal-pasal.
Berlikut proses terjadinya KKN atau suap-menyuap yang dasarikan dari hasil investigasi Monitoring peradilan (Eksaminasi Publik) ICW tahun 2005 (Suara Merdeka, 23 Oktober 2005). Ada empat tahap, dan setiap tahap terdapat beberapa modus. Pertama, tahapan tingkat penyidikan dengan modus penawaran perdamaian, rekayasa BAP, pengaburan unsur pidana, pembocoran BAP, pergelolaan dengan cara penguluran waktu penyelidikan. Kedua, tahapan pembuatan dakwaan dengan modus jaksa menawarkan kepada tersangka untuk menentukan Jaksa dan Majelis Hakim. Ketiga, tahapan majelis sidang dengan modus Ketua Pengadilan dan Pengacara menentukan Majelis Hakim yang “favourable” serta dengan mengulur-ulur waktu proses registrasi. Keempat, tahapan sidang majelis hakim, dengan modus Hakim mengatutr rencana putusan (sebelumnya sudah mengadakan negosiasi dengan Pengacara), dan Hakim menunda putusan (sebagai isyarat hakim minta dihubungi). Begitu sempurnanya proses parktik mafia peradilan diatas.
Jeremy Pope menyampaikan sebuah hasil survey mengenai pengalaman organisasi-organisasi cabang Transparansi Internasional, yang dilakukan pada tahun 1995. menunjukkan bahwa korupsi di sektor publik sama bentuknya dan berjangkit di bidang-bidaag yang sama pula. Naik itu d negara maju maupun berkembang. Bidang-bidang kegiatan pemerintah yang paling mudah terjangkit korupsi adalah:
 Pengadaan barang dan jasa publik;
 Penetapan batas-batas tanah;
 Pengumpulan pwemasukan;
 Pengangkatan pegawai pemerintajh;
 Tata pemerintahan setempat.
Dalam mengumbar “syahwat” korupsinya, ternyata cara-cara yang digunakan pun sama, dimana dalam sektor-sektor publik sering terjadi kegiatan-kegiatan yang tidak wajar atau ”aneh”:
 Kronisme (perkoncoan), koneksi, anggota keluarga dan sanak saudara;
 Korupsi politik melalui sumbangan dana untuk kampanye politik;
 Uang komisi bagi kontrak pemerintah (dan subkontrak jasa konsultan);
 Menteri “menjual” wewenangnya untuk mengambil keputusan;
 Pejabat memperoleh prosentase tertentu dari kontrak pemerintah, dan uang komisi ini disimpan baik-baik di bank asing;
 Pejabat memperoleh “pelayanan” yang sangat berlebihan dari kontraktor pemerintah dan keuntungan lain dalam berbagai bentuk, misalnya bea siswa untuk pendidikan anak-anaknya di Universitas luar negeri;
 Pejabat mengurangi sendiri kontrak pemerintah, melalui perudsahaan bayangan dan “mitra”-nya atau bahkan secara terang-terangan kepada dirinya sendiri sebagai “konsultan”;
 Pejabat sengaja melakukan perjalanan keluar negeri agar dapat mengantongi tunjangan yang besarnya ditentukan sendiori;
 Partai politik menggunakan kemungkinan mendapatkan kekuasaan, atau melanjutkan kekuasaan yang ada, untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari perusahaan-perusahaan internasional ternama, dengan imbalan perusahaan-perusahaan itu mendapat kontrak-kontrak pemerintah;
 Pejabat bea cukai melakukan pemerasan dengan mengancam akan mengenakan pada pembayar pajak atau importir pungutan tambahan kecuali kalau dia diberi suap- jika diberi suap, pajak yang harus dibayar akan berkuarng banyak atau impor akan dibebaskan nea masuk;
 Petugas pelayanan publik (misal pengadaan surai izin mengemudi, paspor dll) meminta imbalan untuk mempercepat penerbitan surat izin bersanglkutan;
 Kepala unit pelayanan publik meminta “bagian” dari bawahannya, mengharuskan bawahannya menaikkan uang setoran setiap munggu atau setiap bulan dan meneruskan uang yang masuk tadi keatasan;
 “unit fiktif” diciptakan (misal Unit dana taktis di KPU) untuk memperpanjang daaftar gaji dan daftar pensiunan, atau untuk menciptakan lembaga-lembaga fiktif, yang jikka benar-benar ada berhak mendapatkan dana negara;
 Penegak hukum mengutip uang utuk kepentingannya sendiri dengan cara mengancam akan menjatuhkan sanksi yang berat, jika tidak mau bekerjaama- jika mau bekerjasama, maka ia akan dibebaskan atau sanksinya dikurangi.
Dewasa ini, ketika korupsi sudah mendarah-daging dari kalangan grassroot sampai puncak pimpinan, ternyata modus operandi yang digunakan pun tidak monoton. Terdapat beberapa modus yang sering dipakai oleh para “pengumbar syahwat” korupsi dalam melakukan aksi suapnya . Pertama, suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan yang langka, atau menghindari biaya yang lebih besar. Kedua, suap yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan (atau menghindari biaya) yang tidak langka, tetapi memerlukan keputusan yang harus diputuskan oleh pejabat publik. Ketiga, suap yang dilakukan tidak untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari publik, tetapi untuk mendapatkan pelayanana yang berkaitan dengan perolehan keuntungan (atau menghindari resiko) seperti misalnya layanan yang cepat atau informasi dari dalam. Dan keempat, suap yang dilakukan untuk mencegah orang lain mendapat bagian dari keuntungan atau untuk membebankan biaya pada pihak lain.
Dalam kondisi demokrasi yang masih prematuer semacam ini, Indonesia memerlukan mekanisme pemerintahan yang menanamkan pertangungg-jawaban kepada publik dan transparansi untuk dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya, perilaku yang membatasi kelakuan yang berkaitan dengan penerimaan hadiah dan imbalan, sehingga mengurangi resiko pengaruh yang korup terhadap kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemerintahan. Jangan ada lagi manipulasi dan penggelembugan dana proyek untuk kepentingan pribadi atau kelompok saja.
Sistem peradilan harus menjamin dan menetapkan transparansi melalui mekanisme konkrit untuk mengawasi ketaatan dan mengatasi pelanggaran hak-hak. Fungsi pengawasan badan peradilan terhadap eksekutif dan legislatif merupakan elemen penting dalam pemetaan demokrasi, terutama dalam perang terhadap korupsi.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Seperti Pepatah, sepandai-pandainya tupai menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga. Percayalah tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak. Akhirnya, selamat berjuang.
Tegakkan hukum sekarang, atau menjadi “pecundang” selamanya!!












Daftar Pustaka

Alkostar, Artidjo. 2005. Dilema Advokat dalam Praktek Mafia Peradilan. UII Yogyakarta. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel dalam rangka HUT Ikadin ke-20 diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 6th ed. St.Paul, Minn:
West Publishing Co, 1990.
Hukumonline.com; “Mafia Peradilan I”. Agustus,2002.
Kadafi, Binziad. 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Study tentang
Tangung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Pusat Study
Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Lubis, Todung Mulya. 2005. Mafia Peradilan Di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel dalam rangka HUT Ikadin ke-20 diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII bekerja sama dengan DPC Ikadin Yogyakarta, 2005.
Masduki, Teten. 2003. Mengontrol Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian Corruption Watch (ICW).
Muqoddas, Muhammad Busyro. 2005. Dilema Misi Advokat, Antara Penegakan Hukum dan Mafia Peradilan. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel dalam rangka HUT Ikadin ke-20 diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII bekerja sama dengan DPC Ikadin Yogyakarta, 2005.
Paru, Zainudin. 2005. Koripsi KPU Ujian buat KPK. Makalah disampaikan dalam acara Seminar Nasional; “Antara Indikasi Korupsi dan Efektivitas Kinerja KPK”, yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Hukum UNS, Kamis 26 Mei 2005.
Rahardjo, Satjipto. 2003. Eksaminasi Publik; sebagai Manifestasi Kekuatan Otonomi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Hukum. Jakarta: Indonesian Corruption Watch (ICW).
Suara Merdeka, Edisi 23 Oktober 2005

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha?). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675