Rabu, 25 Februari 2009

KONSTITUSIONALISME DALAM PEMIKIRAN ISLAM


KONSTITUSIONALISME DALAM PEMIKIRAN ISLAM
Oleh: Taufiq Nugroho,SH

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan konstitusionalisme dalam praktik kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi dan mengakui dan melindungi kebhinnekaan sendiri telah dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.
Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan Nabi Muhammad antara 610—632 masehi, manakala beliau menyampaikan Al-Quran dan menguraikan makna-makna dan aplikasi-aplikasinya secara terperinci melalui apa yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kedua sumber ini, Al-Quran dan Sunnah Nabi, merupakan dasar dari pengertian istilah Islam dan konsep-konsep turunan serta ajektiva yang digunakan, khususnya di kalangan umat Islam. Al-Quran dan Sunnah Nabi adalah sumber rukun iman yang dijunjung tinggi oleh individu-individu Muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti mereka jalankan, serta ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati. Al-Quran dan Sunnah Nabi juga adalah pedoman bagi umat Islam dalam mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan politik, serta mengembangkan norma-norma dan institusi-institusi hukumnya. Islam dalam artian pokok ajaran ini adalah tentang bagaimana mewujudkan kekuatan yang membebaskan dari sebuah kesaksian yang hidup dan proaktif akan Tuhan yang Maha esa, Maha kuasa, dan Maha ada (Tauhid).
Pemikiran Islam tentang syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat, yang dimaksudkan bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. Dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya . Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Oleh karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat diperlukan agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam. Pendapat ini juga bisa disebut ‘netralitas negara terhadap agama’, dimana institusi negara tidak memihak kepada doktrin atau prinsip agama manapun.
Bagaimanapun juga, netralitas seperti itu sasarannya adalah semata-mata kebebasan individu dalam masyarakat untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap pandangan atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Ini bukan berarti bahwa Islam dan politik harus dipisahkan, sebab hal itu tidak perlu dan tidak dikehendaki. Pemisahan Islam dan negara, sembari tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan dan perundang-undangan resmi, tetapi dengan tetap tunduk kepada perisai-perisai hukum. Pandangan tersebut berangkat dari premis bahwa negara dan politik sulit dibedakan, meskipun diantara keduanya terdapat hubungan yang permanen dan nyata .
Dasar pemikiran sebuah wacana Islam adalah bahwa setiap Muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi kewajiban agamanya. Prinsip dasar tanggung jawab perseorangan yang tidak bisa dilepaskan atau didelegasikan ini, adalah satu dari tema-tema Al-Quran yang terus diulang. Namun ketika umat Islam mencoba mengetahui apa yang diwajibkan syariah dalam situasi yang khusus, mereka lebih cenderung bertanya kepada ulama atau sufi yang mereka percaya, dibanding mengacu langsung kepada Al-Quran dan Sunnah itu sendiri. Ini biasa terjadi dalam kerangka doktrin dan metodologi yang mapan dari sebuah mazhab tertentu, akan tetapi tidak pernah benar-benar dilakukan dengan cara yang segar dan orisinal, tanpa prakonsepsi yang mengarahkan tentang bagaimana mengenali dan menafsirkan teks-teks Al-Quran dan Sunnah yang relevan.
Dengan kata lain, kapan pun kaum Muslim mempertimbangkan sumber-sumber utama ini, mereka tidak bisa menghindari filter yang tidak hanya berupa lapisan-lapisan pengalaman dan interpretasi generasi-generasi sebelumnya, tapi juga sebuah metode rumit yang menentukan teks mana yang dianggap relevan untuk persoalan tertentu, dan bagaimana teks itu seharusnya dipahami. Oleh karena itu, ‘agensi manusia’ menyatu dengan setiap pendekatan terhadap Al-Quran dan Sunnah di banyak tingkatan, mulai dari berabad-abad pengalaman dan interpretasi yang terakumulasi hingga pada konteks sekarang ini dimana kerangka acuan Islam dimunculkan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu penjelasan singkat pada tingkat ini, adalah bagaimana sebuah kerangka pemikiran Islam bisa dimunculkan dari perspektif kelembagaan kebijakan dan konstitusi negara?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Konstitusionalisme dan Kebhinekaan Indonesia
Dari sisi istilah dan perkembangan gagasannya, konstitusi (constitution) dapat dipahami meliputi dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang terkait dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero dapat disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi, perkataan constitutio dalam bentuk latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the emperor. Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero “now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.”
Dari pendapat Cato tersebut dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything) yang dalam hal ini adalah entitas suatu negara.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”. Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang superior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain menjelaskan:
In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late eighteenth century was of a set of principles embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them.
Oleh karena itu, konstitusi dan konstitusionalisme selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.
Oleh karena itu, dasar keberadaan dan kedudukan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan bersama (general consensus) seluruh rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement.
Jika negara-bangsa yang didirikan disandarkan pada prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama, maka mekanisme demokrasi menjadi satu-satunya pilihan dalam proses pembentukan kesepakatan bersama. Hal ini karena dalam demokrasi mengutamakan adanya dan pentingnya pluralisme dalam masyarakat. Di sisi lain, demokrasi tidak mungkin terwujud jika disertai absolutisme dan sikap mau benar sendiri. Demokrasi mengharuskan sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) antara warga masyarakat di bawah tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum.
Proses kompromi yang didasari sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect) dalam kontrak sosial menentukan cita-cita nasional dan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara. Kontrak sosial tersebutlah yang mengikat seluruh bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sebagai bentuk kesepakatan bersama merefleksikan kebhinnekaan yang dipersatukan dalam suatu ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Jika kebhinnekaan tersebut tidak dijamin dan tidak diakui keberadaannya, tentu tidak tercapai kesepakatan bersama dan tidak dapat hidup sebagai satu bangsa dan satu negara.
Konsensus yang diwujudkan dalam kontitusi dapat dipahami substansinya sebagai substansi paham konstitusionalisme yang meliputi tiga hal, yaitu:
a) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
b) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
c) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Sedangkan prinsip “The Rule of Law” mensyaratkan bahwa kekuasaan dalam negara berpuncak pada konstitusi. Dari sinilah dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

2. Pembedaan Negara dan Politik
Negara adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan proses-proses, yang semestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil melalui proses politik dari setiap masyarakat. Dengan pengertian ini negara seharusnya merupakan segi swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara lebih mantap dan terencana, sedangkan politik adalah proses dinamis dalam memilih diantara pilihan-pilihan kebijakan yang saling berlawanan. Untuk menjalankan fungsi tersebut dan yang lainnya, negara harus memiliki apa yang disebut monopoli penggunaan kekuatan yang sah, yaitu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya pada seluruh penduduk tanpa risiko menghadapi perlawanan yang dilakukan oleh rakyat di bawah kekuasaannya. Kekuatan memaksa negara, yang kini makin meluas dan efektif dibanding yang pernah ada dalam sejarah manusia, akan menjadi kontraproduktif ketika dijalankan dengan sewenang-wenang atau untuk tujuan-tujuan yang korup dan tidak sah. Itulah mengapa sangat penting untuk tetap menjaga negara senetral mungkin. Tugas ini menuntut kewaspadaan yang ajek dari semua warga negara yang bertindak melalui berbagai strategi dan mekanisme politik, hukum, pendidikan, dan lainnya.
Oleh karena itu, pembedaan antara negara dan politik mengasumsikan interaksi yang ajek di antara organ-organ dan institusi-institusi negara, di satu sisi, dan aktor-aktor politik dan sosial yang terorganisir, serta pandangan-pandangan yang berlawanan tentang kemaslahatan publik, di sisi lain. Pembedaan ini juga beranjak dari suatu kesadaran yang serius akan risiko penyalahgunaan kekuatan negara yang memang memaksa. Penting untuk memastikan bahwa negara bukan sekadar sebuah pencerminan penuh dari politik sehari-hari, melainkan harus mampu menengahi dan menjatuhkan keputusan atas pandangan-pandangan dan proposal-proposal kebijakan yang bertentangan, yang menuntutnya untuk tetap independen dari kekuatan-kekuatan politik yang berbeda dalam masyarakat. Karena independensi sepenuhnya tidaklah mungkin, maka kadang perlu mengingat kembali hakikat politik negara yang tidak bisa sepenuhnya otonom dari aktor-aktor politik yang mengontrol para aparaturnya. Paradoksnya, realitas keterhubungan ini justru menuntut usaha keras untuk memisahkan negara dari politik, agar orang-orang yang kini disingkirkan dari proses politik masih bisa mengharapkan perlindungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap ekses-ekses dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat negara.
Kebutuhan ini bisa diilustrasikan dengan pengalaman-pengalaman partai penguasa tunggal yang mengontrol negara secara total, dari Nazi Jerman dan Uni Soviet hingga banyak negara di Afrika dan dunia Arab selama dekade terakhir abad kedua puluh. Apakah dalam bentuk nasionalisme Arab di Mesir di bawah pemerintahan Nasser, atau partai Baath di Irak di bawah Saddam Hussain, dan Syria di bawah Hafiz al-Assad, negara menjadi agen langsung dari partai yang sekaligus merupakan alat politik negara. Dalam keadaan seperti itu, warga negara terperangkap di antara negara dan partai, tanpa kemungkinan memperoleh penanggulangan administratif atau hukum dari negara atau dari oposisi politik yang berada di luar wilayah kontrol negara.
Kegagalan menjalankan pembedaan antara negara dan politik cenderung membahayakan perdamaian, stabilitas dan perkembangan yang sehat dari seluruh masyarakat. Pasalnya, mereka yang terabaikan haknya untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik akan menarik diri atau terpaksa menempuh jalur kekerasan karena tidak adanya cara-cara penanggulangan yang memadai.
Oleh karena itu, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mempertahankan pembedaan negara dan politik, ketimbang mengabaikan ketegangan tersebut dengan harapan bahwa ketegangan itu toh akan teratasi dengan sendirinya. Pembedaan negara dan politik yang perlu namun sulit ini dapat dimediasikan melalui prinsip-prinsip dan mekanisme-mekanisme yang menjaga dan mendukung konstitusionalisme serta kesetaraan hak-hak seluruh warga negara. Prinsip-prinsip dan institusi-institusi ini tidak akan berjalan tanpa partisipasi aktif dan sungguh-sungguh dari semua warga negara, dan mustahil berfungsi bila masyarakat percaya bahwa prinsip dan institusi itu tidak sesuai dengan keyakinan agama dan norma-norma budaya yang mempengaruhi sikap politik mereka.
Prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis mensyaratkan bahwa warga negara merasa terpanggil dan sungguh-sungguh mau berpartisipasi dalam segala aspek swa-kelola (self-governance), termasuk melakukan tindakan politik yang terorganisir untuk menjaga agar pemerintah tetap bertanggungjawab dan tanggap terhadap harapan-harapan mereka. Motivasi dan kesungguhan ini, yang sebagian dipengaruhi oleh keyakinan agama dan budaya yang melingkupi warga negara, harus dibangun atas dasar apresiasi dan komitmen terhadap nilai-nilai konstitualisme dan hak-hak asasi manusia.

3. Islam dan Syariah
Konsensus (Ijma’) generasi-generasi Muslim sejak masa awal Islam bahwa teks Al-Quran benar-benar terkandung dalam naskah yang dikenal sebagai al-Mushaf, merupakan alasan pokok mengapa teks ini diterima oleh umat Islam kapan pun dan dimana pun. Demikian pula halnya ketika umat Islam pada umumnya menerima keaslian laporan mengenai apa yang dikatakan dan diperbuat Nabi (Sunnah), meskipun dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menetapkannya, dan sampai saat ini masih kontroversial di kalangan banyak umat Islam. Dengan kata lain, pengetahuan kita tentang Al-Quran dan Sunnah adalah hasil konsensus antar generasi semenjak abad ketujuhbelas . Ini bukan berarti bahwa umat Islam mengarang sumber-sumber ini melalui konsensus, tapi semata-mata untuk menggarisbawahi bahwa kita mengetahui dan menerima teks-teks ini sebagai valid karena umat Islam dari generasi ke generasi mempercayainya.
Bagi umat Islam perbedaan signifikan antara Al-Quran dan Sunnah dengan teknik-teknik ushul al-fiqh, berarti bahwa di dalam Al-Quran dan Sunnah tidak mungkin ada penambahan teks baru karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan Al-Quran adalah wahyu pemungkas. Sebaliknya, tak ada satu pun yang mencegah atau menganggap tidak sah pembentukan konsensus baru tentang teknik-teknik interpretasi atau interpretasi-interpretasi inovatif atas Al-Quran dan Sunnah, yang karenanya kemudian menjadi bagian syariah. Demikian pula halnya dengan pembentukan teknik-teknik atau prinsip-prinsip yang ada sekarang ini ketika menjadi bagian syariah pada awalnya. Perisai-perisai hukum pemisahan Islam dari negara dan pengaturan peran politik Islam melalui konstitusionalisme dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang kami ajukan ini diperlukan. Hal ini berguna untuk menjamin kebebasan dan keamanan umat Islam untuk berpartisipasi dalam mengusulkan dan memperdebatkan interpretasi-interpretasi segar atas sumber-sumber dasar tersebut.
Menentukan apakah teks Al-Quran atau Sunnah (nash) berlaku atau tidak pada sebuah masalah, dan apakah teks itu tegas atau tidak (qat’i), serta siapa yang bisa melaksanakan ijtihâd dan bagaimana menjalankannya, semua itu merupakan persoalan yang hanya bisa diputuskan oleh penalaran dan pertimbangan manusia. Oleh sebab itu, sedari awal menyensor usaha-usaha seperti itu jelas merusak dasar pemikiran tentang bagaimana prinsip-prinsip syariah bisa diperoleh dari Al-Quran dan Sunnah. Tidak logis mengatakan bahwa ijtihâd tidak bisa dilakukan menyangkut setiap persoalan atau masalah karena pernyataan itu sendiri adalah produk penalaran dan perenungan manusia. Juga berbahaya membatasi kemampuan menjalankan ijtihâd hanya pada sekegelintir kecil Muslim, yang dianggap memiliki kualitas-kualitas khusus. Pasalnya, hal itu dapat membuat praktik ijtihâd akan tergantung pada orang-orang yang akan mengatur dan menerapkan kriteria untuk menyeleksi siapa yang memenuhi syarat untuk menjadi mujtahid . Memberikan otoritas ini pada institusi atau organ apa saja, apakah negeri atau swasta, sangatlah berbahaya karena kekuasaan itu pasti akan dimanipulasi untuk alasan-alasan politis atau lainnya. Karena mengetahui dan menegakkan syariah merupakan tanggung jawab setiap Muslim yang tak dapat dielakkan, tak seorang pun manusia atau institusi yang bisa mengontrol proses ini bagi Muslim.
Wewenang untuk memutuskan siapa yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ijtihâd dan bagaimana hal itu bisa dijalankan oleh setiap Muslim merupakan masalah keyakinan dan kewajiban agama. Oleh sebab itu, tidak boleh ada sensor atau kontrol terhadap proses ini sebelumnya. Dengan kata lain, membatasi perdebatan bebas dengan mempercayai otoritas institusi-institusi atau manusia untuk memutuskan pandangan mana yang harus diikuti atau diberangus, berarti tidak konsisten dengan sifat religius syariah itu sendiri. Pemikiran ini merupakan salah satu fondasi utama Islam yang kami maksudkan untuk menjamin pluralisme, hak-hak asasi manusia, dan kewarganegaraan bagi semua.
Faktor lain yang perlu dicatat, sepanjang sejarah Islam raja-raja Muslim cenderung menyokong beberapa mazhab tertentu saja. Sebagai contoh, karena berasal dari Irak yang saat itu menjadi pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah, Mazhab Hanafi memperoleh dukungan resmi negara. Mazhab ini akhirnya menyebar ke Afghanistan dan kemudian ke anak benua India, di mana imigran-imigran India kemudian membawanya ke Afrika Timur. Mazhab ini juga terkenal di seluruh Asia Tengah dan Dinasti Utsmani yang mendukung prinsip-prinsip yurisprudensi Mazhab Hanafi sebagai dasar negara dan praktik hukum. Tapi, dukungan negara terhadap mazhab tertentu terus berlangsung melalui penunjukkan hakim-hakim yang terlatih dalam mazhab yang dipilih dan spesifikasi yurisdiksi geografis serta pokok persoalan hukumnya, ketimbang melalui pembuatan undang-undang atau kodifikasi seperti dalam pengertian modern.

4. Islam dan Negara
Sifat religius syariah dan fokusnya pada pengaturan hubungan antara Tuhan dan manusia mungkin satu-satunya alasan utama bertahan dan berkembangnya pengadilan-pengadilan sekuler yang berfungsi memutuskan perkara-perkara praktis dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara umum. Aspek lain dari sejarah hukum masyarakat Islam yang diasosiasikan dengan sifat religius syariah adalah perkembangan fatwa (ifta).
Ulama yang tidak terikat dengan negara mengeluarkan opini-opini hukum (fatwa) atas permintaan gubernur provinsi dan hakim-hakim negara, di samping memberikan nasihat pribadi kepada orang-orang, seperti yang terjadi di masa Islam awal. Jenis nasihat hukum privat ini terus berlanjut sampai pada periode sejarah Islam berikutnya, yaitu Dinasti Utsmani yang mendominasi sebagian besar dunia Islam selama lebih dari lima abad.
Konsekuensi legal dan politis dari perkembangan ini kini menjadi lebih intensif karena pengaruh kuat kolonialisme Eropa yang signifikan dan pengaruh global Barat dalam bidang-bidang pendidikan umum dan pelatihan-pelatihan profesional bagi para pejabat negara. Perubahan-perubahan kurikulum dalam institusi-institusi pendidikan menunjukkan bahwa syariah tidak lagi menjadi fokus pengajaran tingkat lanjut dalam pengetahuan Islam, melainkan telah digantikan oleh serangkaian bidang studi sekuler, yang banyak diambil dari model-model Barat. Berkenaan dengan pendidikan hukum khususnya, generasi pertama pengacara-pengacara dan ahli-ahli hukum mengikuti pelatihan tingkat lanjut di universitas-universitas Eropa dan Amerika Utara dan kembali untuk mengajar generasi selanjutnya atau menjadi pejabat senior pengadilan.
Selain itu, pada masa lalu tingkat melek huruf dalam masyarakat tradisional Islam sangat rendah, di mana para ulama/fuqaha memonopoli kepemimpinan intelektual komunitasnya. Namun sekarang tingkat melek huruf rakyat tumbuh dengan cepat di seluruh dunia Islam. Akibatnya, terbuka pintu untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara lebih demokratis. Jadi tidak hanya ulama yang kehilangan monopoli sejarah mereka atas pengetahuan tentang sumber-sumber syariah yang sakral, tapi interpretasi-interpretasi tradisional dari sumber-sumber itu secara bertahap terus dipertanyakan oleh Muslim kebanyakan.
Sebagai kesimpulan tinjauan singkat tentang Islam, Syariah dan Negara, jelas bahwa ada kebutuhan yang mendesak untuk terus melanjutkan proses reformasi Islam, merekonsiliasi komitmen religius Muslim dengan kebutuhan-kebutuhan praktis masyarakat pada saat ini. Premis bagi poses reformasi ini, dalam pandangan kami, bisa dikemukakan sebagai berikut. Meskipun Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber-sumber suci Islam sesuai dengan keyakinan Umat Islam, makna dan implementasi keduanya dalam kehidupan sehari-hari selalu merupakan produk interpretasi dan tindakan manusia dalam konteks sejarah yang spesifik. Tidak mudah mengetahui dan menerapkan syariah dalam hidup ini kecuali melalui keterlibatan agensi manusia (the agency of human beings) . Setiap pandangan syariah yang dikenal umat Islam sekarang, sekalipun dengan suara bulat disetujui, timbul dari opini-opini manusia tentang makna Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana yang diyakini dan dipraktikkan oleh banyak generasi Muslim. Dengan kata lain, pendapat ulama-ulama Islam menjadi bagian syariah melalui konsesus kaum Mukmin berabad-abad lamanya, dan bukan melalui keputusan spontan penguasa atau kehendak satu kelompok ulama.

5. Merujuk pada Kebijakan Nabi Muhammad SAW; PIAGAM MADINAH
Sebagaimana dipaparkan dalam pendahuluan di awal bahwa, Piagam Madinah ini merupakan piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Agreement ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M.
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka adalah ummat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain).16 Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi memikul biaya bersama kamu mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan dalam keragaman tersebut demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka, dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum diinukum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan perkataan “aku” atau “kami” versus “kamu”. Dalam piagam digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan Nabi. Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad Rasulullah SAW).
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis. Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat manusia, meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi modern yang dikenal dewasa ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787-lah yang pada umumnya dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama. Peristiwa penandatangan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai perkembangan yang paling modern di zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai tradisi kenegaraan yang berkembang di kawasan yang dipengaruhi oleh peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama yang biasa dikenal dengan sebutan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.




















BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Sebagai sebuah negara yang berpenduduk Muslim paling besar di dunia namun tidak menjadikan “Islam” sebagai ideologi negaranya. Proses pembentukan Dasar Negara – Piagam Jakarta

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Dari sudut bahasa saja, Indonesia memiliki tidak kurang dari 665 bahasa daerah. Bahasa mencerminkan cara berpikir, cita rasa budaya dan tentu ada kaitan dengan adat dan sistem hukum adat yang berbeda-beda. Dari sisi geografis, bangsa Indonesia juga sangat plural, terdiri lebih dari 17.000 ribu pulau dengan keragaman suku dari sisi antropologis. Indonesia sendiri berada di tengah pergaulan dunia (the cross road), semua pengaruh kebudayaan besar, semua pengaruh agama besar, semua pengaruh peradaban besar dunia berpartisipasi dan berebut pengaruh di Indonesia.
Aspek lain yang memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan bermasyarakat adalah keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, namun terdapat pula masyarakat yang menganut agama, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, bahkan juga terdapat masyarakat yang menganut kepercayaan adat yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori agama besar tersebut di atas. Kebhinnekaan juga merupakan konsekuensi dari aspek manusia sebagai makhluk yang “berpikir”, “bekerja”, dan “berpengharapan”. Sebagai makhluk yang memiliki cita-cita, eksistensi manusia berada sepanjang “masa kini” dan “masa depan”. Maka manusia selalu melakukan perubahan secara kreatif dan berbeda-beda. Karenanya pula manusia mempunyai kebebasan untuk bertindak dan memilih (freedom of will and choice).






















DAFTAR BACAAN
Abdullahi Ahmed An-Na’im. 2006. Masa Depan Syariah: Sekularisme dalam Perspektif
Islam Ahmad
Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk.
Jakarta: UI-Press, 1995.
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short Introduction. London: J.J.Dent
and Sons, Everyman’s University Library, 1988.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. Vol. 1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Dahlan Thaib dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. Cet. Kelima. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan Kedua.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
Nurcholish Madjid. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama
dengan Universitas Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun Kembali
Indonesia, 2003.
Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.
Cet. Kedua. Jakarta: Kencana, 2004.
Thomson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. Edisi ke-3.
London: Blackstone Press Ltd., 1997.

Tidak ada komentar: