Rabu, 25 Februari 2009
Aktualisasi Fungsi Hukum dalam Mekanisme Integrasi Ketatanegaraan Bangsa Indonesia
oleh: Taufiq Nugroho,SH
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Kemajemukan Indonesia yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud, kebijakan yang terpusat, otoriter, serta tindak ketidak adilan pemerinah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi pancasila dan mekanisme Undang Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang melahirkan budaya Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter. Gerakan rerormasi-yang dimotori Prof Dr. Amien Rais, MA telah telah mendorong secara relatif terjadinya kemajuan-kemajuan dibidang politik, usaha penegakan kedaulatan rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya Sidang Istimewa MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai politik, netralisasi PNS, serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politk, pers yang bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi.
Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, dipihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat ditegakkan.
Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti KKN, serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan, yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-wnangan.
Keseluruhan gambaran tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Kondisi ini menuntut bangsa Indonesia, terutama penyelenggara negara, elite politik dan pemuka masyarakat, agar bersatu dan bekerja keras melaksanakan reformasi dalam segala bidang kehidupan untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Permasalahan
Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum, termasuk lembaga-lembaga penegak hukum, kian terpuruk setelah putusan Kasasi Akbar Tanjung. Oleh sebagian besar masyarakat, putusan Mahkamah Agung itu dianggap mengusik keadilan masyarakatsehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang sangat besar. Akibatnya, kini ada kecenderungan munculnya sinisme masyarakat terhadap setiap gagasan dan upaya pembaharuan hukum yang dimunculkan oleh negara maupun civil society.
Patut kita jadikan referensi tersendiri kasus-kasus menarik MA, berawal dari isu kolusi dalam kasus Ghandi Memorial School (GMS), yang menjadi sangat menarik karena kasus ini justru berasal dari Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Dan yang terbaru kasus korupsi dana non bagiter bulog senilai 40 miliar, yang menjadi tersangka utama ketua DPR RI, yang sekaligus Ketua Umum Partai yang berlambang pohon beringin, Akbar Tanjung. Yang kesemuanya itu merupakan representasi dari berbagai putusan pengadilan atas kasus-kasus korupsi lainnya yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan sense of crisis. Sejak komitmen reformasi dicanangkan tahun 1998, mandat reformasi hukum paling utama adalah “ Membersihkan sapu kotor” agar mampu Membersihkan “lantai kotor”. Sapu kotor menggambarkan institusi penegak hukum kita – kepolisian, kejaksaan, dan peradilan – yang belum steril dari praktek korupsi sehingga menyulitkan untuk melaksanakan mandat penegakan hukum secara tidak diskriminatif.
II. I S I
Demokratisasi ke Arah Pemusatan Kekuasaan
Kalau kita berbicara Tata Negara, maka tidak akan lepas dari demokrasi. Karena sistim ketatanegaraan kita (Indonesia) berazaskan “Demokrasi”, dengan Jargon andalan “demi rakyat”. Terlepas dari semua kebobrokan dan kebusukan dalam pelaksanaannya, saat ini demokrasi adalah sebuah sistem yang paling marketable untuk Indonesia.
Demokratisasi yang tidak berjalan, dibarengi dengan melemahnya fungsi lembaga– lembaga negara semakin meyakinkan kita bahwa demokrasi yang menuntut adanya kesejajaran tak diketemukan. Dengan kondisi semacam ini, maka menjadi wajar bila kedudukan presiden menjadi sangat kuat, sebab terjadinya penumpukan kekuasaan padanya ; sebagai kepala Negara, Kepala Pemerintahaan dan Mandataris (One Man Show ) Sangat sulit untk membedakan kapan presiden bertindak selaku kepala negara, dan kapan presiden bertindak sebagai Kepala Pemerintahan dan kapan bertindak sebagai mandataris, sebab UUD 1945 tidak mengatur secara jelas. Dan yang lebih penting lagi, MPR mestinya segera membuat penafsiran dan penjabaran tugas presiden selaku kepala pemerintahaan, agar dikemudian hari tidak ada lagi overlapping tugas yang harus dilaksanakan presiden selaku kepala negara, maupun selaku kepala pemerintahaan. Harapannya adalah agar lembaga tinggi negara yang lain bisa menempatkan diri bila berhadapan dengan presiden, selaku kepala negara atau kepala pemerintahan.
Cita-cita Masyarakat Madani masih Jauh dari Indonesia
Berbagai kerusuhan di Indonesia misalnya, di Ketapang, Kupang, Ambon, Maluku, Poso, teror Ninja di Banyuwangi, dan daerah lain yang telah menelan korban jiwa itu merupakan bagian sejarah hitam bangsa ini yang akan dicatat dengan “tinta darah”. Berbagai insiden buruk itu tidak pelak lagi mempertegas kondisi dan situasi bangsa ini yang belum menunjukkan sebagai masyarakat yang madani, yang demokratis, egaliter dan mandiri. Aparat keamanan masih ringan tangan (Jawa : Cengkiling), rakyat masih mudah diprovokasi, dan lebih sering, tuntutan yang menjadi pemaksaan kehendak, semakin mempersulit tercapainya masyarakat madani yang dicita-citakan bangsa ini.
Sesungguhnya, di negara ini masyarakat madani masih berada pada tataran perdebatan. Dan perdebatan mangenai konsep masyarakat madani tidsak terlepas dari apa yang terjadi pada hubungan antara negara dan masyarakat. Menurut Kunto Wijoyo (1996), setidaknya ada tiga konsep yang membahas mengenai hubungan masyarakat dengan negara. Pertama pikiran Hegel, yang menyatakan bahwa yang rasional adalah aktual dan yang aktual adalah rasional, sedang keberadaan negara adalah aktual yang lahir karena di dalam masyarakat terjadi konflik. Oleh karenanya kemerdekaan sejati tidak akan diketemukan didalam masyarakat, dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud.
Kedua pandangan Marx, bahwa negara adalah alat represi dari negara, oleh karenanya harkat manusia dapat terwujud dengan hapusnya negara, bersamaan dengan itu hapus pula represi.. Ketiga, adalah pandangan Antonio Gramsci yang menyatakan bahwa negara adalah mewakili pemaksaan dan dominasi, sedang masyartakat mewakili budaya, konsensus dan Ideologi. Teori keempat menyatakan ada hubungan fungsional antara masyarakat dan negara, masyarakat terpecah antara kepentingan pribadi dan umum, dan Indonesia berada pada posisi ketiga , yakni terpisahnya antara political society dan civil society.
Pemerintahan Era Reformasi
Jangan sampai terulang lagi , apa yang telah dilkukan oleh Orde Baru yang semula hendak melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai perwujudan langkah korektif terhadap Orde Demokrasi Terpimpin (Baca; Orde lama), namun ternyata langkah-langkah yang diambil tidak ada bedanya. Koreksi tidak menghasilkan hal yang berarti, malahan membangkrutkan bangsa dan negara. Pemusatan kekuatan yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin ternyata juga dilakukan oleh orde baru melalui cara yang berbeda.
UUD 1945 yang singkat dan supel, karenanya hanya memuat ketentuan yang sangat pokok, yakni 37 Pasal ini ternyata dalam pelaksanaanya UUD dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan untuk memupuk kekuasaan agar semakin besar dan kuat. Sebab kuatnya orde baru, berada dibalik ketentuan UUD 1945 yang banyak memberikan delegasi kepada Presiden dan DPR untuk membuat aturan lebih lanjut. Adanya amanat dari UUD 1945 yang harus dibuat dengan UU itulah yang yang menyebabkan munculnya UU yang hanya menguntungkan penguasa. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah memang konstitusional, karena dibuat bersama-sama antara Presiden dan DPR. Akan tetapi substansi UU itulah yang menjadikan rakyat yang selama 32 tahun aspirasinya tersumbat secara sistematis, kalau penulis menyebutnya; “ Membunuh demokrasi dengan cara yang sangat demokratis”.
Selanjutnya pemerintahan transisi harus ingat bahwa, pemanfaatan UUD yang dijadikan alat legitimasi penguasa pada masa orde baru itu pada akhirnya menjadikan lembaga-lembaga negara; DPR, MPR, MA, DPA, MA dan BPK tidak bisa menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Bahkan yang justru lebih dominan adalah peran Presiden. Dengan metode One Man Show-nya, presiden menjadi nahkoda tumggal dalam menjalankan roda pemerintahan. Itu semua berakibat demokratisasi macet, hukum tak berfungsi dan politik menjadi penentu jalannya kebijakan pemerintah.
Sesungguhnya problematika ketatanegaraan yang terjadi pada masa orde baru itu bermuara pada dua hal, yakni kedaulatan rakyat yang tidak dijalankan, dan keberadaan UUD 1945 yang sudah tidak mampu menampung aspirasi masyarakat dan tuntutan praktek ketatanegaraan yang terus berkembang.
Apa yang terjadi pada masa orde baru, adalah merupakan sejarah suram bangsa ini, karenanya pemerintahan transisi tidak perlu mengulang kesuraman masa lalu. Oleh karenanya MPR mendatang yang dibentuk lewat pemilu yang jujur adil dan demokratis harus mampu; pertama, mencerminkan diri sebagai penjelmaan rakyat sekaligus harus mampu memerankan dan memfungsikan diri sebagai pemegang kedaulatan rakyat serta memahami apa yang dikehendaki rakyat.
Kedua, menciptakan lembaga-lembaga negara yang mandiri, dan mampu menempatkan diri sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi. Untuk menuju ke itu merupakan tindakan positiv jika MPR hasil Pemilu 2004 nanti melakukan amandemen terhadap segala bentuk peraturan yang itu hanya menguntungkan para penguasa saja. Bila langkah ini dilakukan, maka pada gilirannya pastilah lembaga-lembaga negara dapat berfungsi seperti yang diharapkan, yakni DPR dapat menjalankan fungsinya sebagai legislatif yang mandiri dan kreatif serta berpihak pada masyarakat.
Ketiga, mahkamah Agung sebagai lembaga Kehakiman tertinggi harus mampu menciptakan mekanisme hukum yang tidak bisa dipengaruhi oleh pemerintah, maupun oknum-oknum yang berpolitik uang. Demikian halnya presiden tidak menjadi sentral kekuasaan dalam negara, kesemuanya akan bermuara pada demokrasi yang dapat ditegakkan, terwujudnya hukum yang mengayomi semua lapisan masyarakat dan tujuan keadilan sosial seperti yang tertuang dalam dasar negara pancasila dapat segera diketemukan.
Bila ternyata pemerintahan transisi hanya melanjutkan watak orde baru, dengan gaya lain, maka hasilnya sama saja, rakyat tidak berkutik, dan penguasa akan mengedepankan kepentingannya sendiri dari pada rakyat. Kasus “insiden Semanggi” 13 Novenber 1998, dan insden berdarah lainnya perlu dijadikan referensi tersendiri bahwa cara orde baru masih lekat dengan pemerintahan masa transisi. Jika hal tersebut masih terjadi , maka reformasi sendiri tidak mengarah pada apa yang namanya “Good Governence”. Dan watak negara yang memaksakan kehendak, arogan, anarki, lama kelamaan akan menjadi watak masyarakatnya. Karenanya, masyarakat madani yang dicita-citakan itu masih jauh di awang-awang.
Hukum sebagai Alat Penguasa
Konstitusi, telah dimanfaatkan untuk mengesahkan tindakan kenegaraan yang pada dasarnya justru anti demokrasi. Pembatasan partai politik, pembrangusan pers, tersumbatnya saluran komunikasi, adalah sejumlah fakta yang sangat mudah kita temukan saat ini. Peberlakuan UUD pun tidak secara murni dan konsekuen dapat dilakukan. DPR dan presiden belum bisa “ berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Demokrasi yang dipraktikkan masih terbatas pada level demokrasi formal, yakni dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat, namun masih banyak komponen rakyat yang secara materiil belum tertampung di DPR.
Stabilitas adalah sesuatu yang harus diwujudkan. Sehingga muncul doktrin bahwa apa yang dikatakan pemerintah adalah sesuatu yang pasti benar ( Mas’ud 1994). Karena harus dianggap benar maka dalam penyusunan Undang-Undang harus tidak bertele-tele. Untuk itu harus dibangun adanya pihak yang lebih berkuasa dari pada pihak yang lain. Oleh karena itu, harus ada lembaga yang terbelenggu dalam penyusunan Undang-Undang. Jadilah DPR yang “gagap” dalam menyuarakan hati nurani rakyat, bahkan muncul 5 paket Undang-Undang politik ; UU Pemilu, UU Kedudukan, Susunan MPR/DPR/DPRD UU Parpol, UU Ormas dan UU Referendum , yang menjadi salah satu agenda demo Mahasiswa . Situasi itulah yang mengantarkan belum terciptanya undang-undang secara demokratis.
Disamping hal itu, konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945 juga memberi peluang yang lebih dominan, untuk membuat UU adalah Presiden sesuai pasal 5 UUD 1945 bahwa presiden memegang kekuasaan membuat UU, sedang DPR hanya diberi hak mengajukan rancangan UU (pasal 21 UUD 1945). Dengan terciptanya UU yang tidak secara demokratis, maka akan menjurus pada pemusatan kekuasaan. Jika pemusatan kekuasaan terjadi maka tidak ada jaminan bagi masyarakat, sebab pemerintah mempunyai kebebasan sangat besar. Hal ini menurut Montesquie negara itu sama halnya dengan tidak memiliki konstitusi, seperti doktrin Deklarasi Lafayette 29 agustus 1789 yang berbunyi: “ Asociety in which are right not secured nor the separation of power. Estables is a society without a contitusi.” (Tambunan, 1993).
Demokrasi atau Penegakan Hukum?
Tulisan Riza Sihbudi berjudul “Demokrasi atau Penegakan Hukum?” (kompas, 20/10) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Karena meletakkan demokrasi dan hukum sebagai dua gagasan yang seolah-olah kontradiktif tanpa ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Demokrasi adalah satu hal (one thing) dan hukum adalah hal lain (other thing).
Titik tolak tulisan Riza berawal dari persetujuan pada I Wibowo (“Demokrasi untuk Indonesia”, Kompas, 8/10) yang mengatakan, demokrasi tidak akan membawa kita ke pintu gerbang kemakmuran. Di akhir tulisannya Riza mengatakan, “Tak usah muluk-muluk bicara soal sistem politik yang demokratis. Itu terlalu abstrak. Sebab yang amat di butuhkan bangsa, negara dan rakyat Indonesia dalam waktu dekat ini adalah penegakan hukum. Bukan demokrasi yang sulit dimengerti itu”.
Pada tataran teoretis, demokrasi dan hukum tidak dipahami sebagai dua entitas yang contradictio in interminis. Keduanya bisa berada dalam suasana hidup berdampingan secara damai., tanpa salah satunya di unggulkan dari pada yang lain, karena semuanya penting dalam kerangka gagasan negara modern.
Campur Tangan Pemerintah Terlalu Besar.
Secara empiris dapat kita ketahui bahwa di negara-negara Amerika serta Eropa Barat telah terjadi kemajuan demokrasi akibat keberhasilan pembangunan. Tetapi ternyata di negara berkembang tingkat kemajuan pembangunan tidak diikuti dengan berkembangnya demokrasi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut; terdapat model pelaksanaan kekuasaan dimana para politisi mempunyai peranan di atas para ahli, sehingga pemikiran jenius dari para ilmuan tidak digunakan sebagai pelaksanaan kekuasaan. Selain itu ada dua hal yang perlu kita caat: Pertama, adanya kendala dari kebijakan negara yang menutup jalan munculnya proses demokrasi. Ini dapat dilihat pada model kapitalisme di Asia Tenggara misalnya, di mana munculnya bukan lantaran adanya “Hukum Pasar” akan tetapi terjadi karena campur tangan penguasa yang begitu besar. Sehingga partisipasi dari masyarakat umum menjadi terbatas, bahkan masyarakat tidak mendapatkan kesempatan. Kondisi semacam ini dijelaskan oleh Kuino (1990), bahwa di Asia Tenggara telah muncul model kapitalisme yang semu, munculnya kapitalisme semacam ini tidak menciptakan pasar tenaga kerja yang bebas, artinya buruh idak mendapatkan kebebasan dari ikatan tuan tanah feodalnya. Oleh karena itu, tidak munculnya gerakan buruh yang memberikan peranan pokok dalam perjuangan menuju demokrasi. Juga tidak munculnya kelas menengah yang secara internal saling berkompetisi. Selain kapitalisme semu juga masih ditambah adanya para speculator, yang mengambil resiko demi peluang memperoleh keuntungan melalui Judi, bursa valuta asing, dan saham. Kondisi munculnya kapitalisme semu ini didukung dengan adanya pemerintahan yang otoriter dan diktator. Kedua, tidak munculnya demokrasi di negara berkembang termasuk di Indonesia bisa jadi karena adanya kepentingan negara agar modal nasional dapat berkembang., maka harus mendapat perlindungan dari persaingan modal asing. Oleh karena itu pemerintah harus berperan akif dalam mengambangkan strategi perdagangan internasional dan mengurangi dampak negatif perusahaan internasional dan investasi asing terhadap modal domestik. Semenara itu menurut Loekman Soetrisno kecenderungan munculnya pemrintahan otoriter di negara berkembang (termasuk Indonesia) karena pemerintahan negara tersebut harus menjaga dua kepentingan ekonomi, yakni kepentingan ekonomi negara kreditur dan kepentingan elit ekonomi dalam negeri dari kemungkinan rongrongan politik rakyat negara tersebut yang merasa kurang memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hasil pembangunan ( Prisma, 1988 ).
Liddle mengomentari kasus di Indonesia bahwa salah satu hambatan terwujudnya tata pemerintahan yang sehat di Indonesia adalah belum terbentuknya kelas menengah yang mandiri, dalam jumlah yang memadai dan tersebar keseluruh wilayah negara ini. Kompas, 1 Juni 1995). Komentar ini sejalan dengan fakta yang ada, bahwa Kapitalisme Indonesia disamping besar karena keikutcampur tangannya penguasa juga hanya kalangan tertentu saja yang bisa menjadi kapitalisme besar. Sisanya merupakan kapitalisme survival yang mudah ambruk karena angin krisis moneter.
Aktualisasi Fungsi Hukum
Reformasi yang dipelopori oleh Prof. Dr. Amien Rais , MA ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), memberikan amanat yang cukup berat bagi pemerintahan Indonesia saat ini, yaitu membersihkan “Sapu kotor” (baca;para penegak hukum yang korup) untuk menyapu “lantai kotor” (baca; koruptor). “Lantai kotor” menunjukkan kondisi meluasnya korupsi di Indonesia. Tidak mungkin tindakan represif terhadap tindak korupsi dapat berjalan dengan baik bila polisi, jaksa, hakim masih dapat dipengaruhi uang, maupun pengaruh politik. Karena itu pembenahan institusi penegak hukum dari praktik korupsi telah menjadi mandat Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. Meskipun demikian, sampai saat ini misi pembersihan “Sapu kotor” tidak membuahkan hasil sebagai mana diharapkan oleh masyarakat. Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, institusi penegak hukum yang ada telah gagal mengemban tugas memberantas korupsi di Indonesia.
Untuk membersihkan “Sapu kotor” tersebut, diperlukan strategi dan rencana aksi yang jelas, sistematis, serta berkesinambungan dibawah kepemimpinan nasional yang bersih, berani dan punya antusisme untuk menjadikan upaya pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama. Prasarat ini yang tidak kita miliki, sehingga mandat Propenas 2000-2004 tidak dapat terelisasi dengan sempurna.
Untuk mewujudkan rencana aksi pembenahan institusi penegakan hukum itu (kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan profesi advokat ) institusi-institusi negara dan elemen civil society sedang menyiapkan rencana aksi (plan of action ) dibidang pembaharuan hukum dan peradilan, yang meliputi pembaharuan peradilan, kepolisian kejaksaan, advokat, sistem peradilan pidana terpadu (SPPT), dan pemberdayaan penegakan hukum korupsi. Rencana aksi ini sedang disiapkan sebuah komite persiapan (Preparatory Comitte) yang diketuai oleh Ketua MA Bagir Manan, beranggotakan wakil-wakil dari institusi penegak hukum (kepolisian, peradilan, kejaksaan, KPK) dan Departemen Kehakiman dan HAM, Menko Polkam, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Ombudsman Nasional, dan LSM-LSM dibidang pembaharuan hukum dan peradilan yang difasilitasi Partnership for Governence Reform in Indonesia. Rencana Aksi ini akan menjadi kesepakatan bersama antara para pejabat tinggi hukum dalam pertemuan Law Summit (LS) III yang diselenggarakan tanggal 31 Maret 2004.
III. PENUTUP
Jika hukum telah dilangkahi untuk mengawasi dominasi para pemimpin, hukum itulah yang berangsur-angsur melemah, dan bukannya para pemimpin itu sendiri. Revolusi suatu ketika terjadi dalam sejarah dan para tirani diganti, tetapi para tiran-tiran baru muncul, dan dunia kembali seperti sedia kala. Arus sejarah demokrasi seperti gelombang laut yang saling bergantian. Mereka selalu hancur pada tepian yang sama. (Robert Michels)
Sejarah kepemimpinan bangsa-bangsa di muka bumi menunjukkan hal tersebut bahwa setiap periode kepemimpinan, apakah itu dalam hitungan tahun, atau dekade selalu termajan oleh hukum besi kepemimpinan. Bahwa tidak ada kepemimpinan yang abadi, pemimpinan yang senantiasa berganti atau diganti, yang bisa ditinggalkan sebagai keabadian untuk dikenang hanyalah perilaku kepemimpinan mereka, apakah seorang pemimpin berlaku sebagai tiran atau seorang pemimpin yang benevolent, seorang pemimpin yang korup atau seorang pemimpin yang jujur, seorang pemimpin yang bijak, atau seorang pemimpin yang sontoloyo; demikian sejarah terus berulang dengan tidak pernah lelah, seperti halnya gelombang samudra yang bergulung-gulung kepantai yang sama, yang tidak pernah berhenti.
Kepemimpinan politik merupakan sebuah fenomena yang penting bagi manusia, karena dalam kepemimpinan ini tidak hanya sekedar menyangkut pengelolaan managerial administratif belaka, melainkan juga mengharuskan hadirnya kemampuan managerial politik; seperti membangun visi dan misi ke arah kemajuan, membangun karakter bangsa, mempersatukan dan menyatukan bangsa, mengarahkan tujuan bangsa dan banyak lagi dimensi politik yang lain. Oleh karena itu, siapapun pemimpin bangsa saat ini harus segera menentukan arah kebijakan yang akan dibawa untuk mengatasi krisis multi dimensi yang melanda Indonesia saat ini.
Beberapa arah kebijakan negara yang tertuang dalam GBHN, dan yang harus segera direlisasikan, khususnya dalam bidang hukum antara lain:
1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui Undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidak sesuaiaannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan para penegak hukum, termasuk Kepolisian RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
3. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
4. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya semua lembaga, institusi maupun person yang ada di dalamnya harus tunduk dan patuh pada hukum. Maka ketika hukum di Indonesia betul-betul ditegakkan dengan tegas, dan dikelola dengan jujur, adil dan bijaksana, insya Allah negeri ini akan makmur dan sejahtera.
Daftar Pustaka
GBHN 1999-2004. Kabinet Gotong Royong. Sinar Grafika.
Indra, Muhammad Ridwan. 1987. Kedudukan Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945. Sinar Grafika
Kusnardi, Muhammad dan Ibrahim, Harmailly. 1988. Hulum Tatanegara Indonesia. Jakarta Selatan, PD. Budi Chaniago.
Kompas, 1 Juni 1995
Kompas, 8 Oktober 2004
Kompas, 20 Oktober 2004
Majalah Prisma, Maret 1988
Prof. Soehino,SH, Hukum Tatanegara . Yogyakarta, BPFE UGM
Prof. Wahjono, Padmo. 1984. Beberapa Masalah Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta, CV. Rajawali.
Sulardi, SH, Msi. 1999. Tatanegara Indonesia Menuju Pembaharuan. Malang, IKIP Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar