Selasa, 24 Februari 2009

Reorientasi Peran dan Fungsi Entitas Penegak Hukum


Reorientasi Peran dan Fungsi Entitas Penegak Hukum
Oleh: Taufiq Nugroho
Mahasiswa Fakultas Hukum UNS
Aktif di Pimpinan Wilayah IRM Jawa Tengah
Dewasa ini orientasi aparat penegak hukum (law enforcement officer) cukup relevan untuk dipertanyakan, ketika suara nurani dan akal sehat komunitas ini semakin jauh terdengar dari wilayah-wilayah problem riil ketidakadilan sebagai akibat system yang menindas. Juga sebagai akibat dari desakan godaan materialisme yang menempatkan “materi” sebagai “berhala” yang disembah-sembah, selain tentunya live style para aparat dan keluarganya (istri, anak dll) penganut dan pengamal glamour style.
Pada hakekatnya tujuan utama para professional penegak hukum bersifat alturistik dan tidak egoistic. Dengan posisi social demikian maka masyarakat memiliki hak untuk menguji kualitas komitmen, menggugat, mengontrol dan memberi respon terhadap tingkah laku yang mengenai “Legal Behavior” maupun yang ada dalam dominant “Courtroom Behavior” dari para penegak hukum. Jadi tugas Hakim bukan saja tugas formal seperti yang tertera didalam peraturan perundang-undangan, tetapi secara sosiologis Hakim juga punya tanggungjawab moral kepada masyarakat untuk selalu bersikap dan bertindak secara bijaksana, baik didalam peradilan maupun diluar peradilan.
Kebijakan Mahkamah Agung (MA) dalam pengadaan mobil mewah sungguh sangat disayangkan. Masih hangat dalam ingatan masyarakat terhadap skandal tragis dan memalukan di Mahkamah Agung dengan sejumlah kasus mafia peradilan akhir-akhir ini. Sangat ironis, ketika MA sendiri belum mampu membenahi diri untuk membersihkan virus-virus mafia peradilan ditubuhnya dan belum bisa menunjukkan kinerjanya secara maksimal dalam memberantas kejahatan kepada masyarakat. Kini masyarakat dikagetkan dengan kebijakan MA untuk mengadakan 216 mobil mewah yang rencananya akan dibagikan pada Hakim-hakim Agung serta Hakim-hakim Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN) di daerah.
Seharusnya MA punya “sedikit” rasa malu kepada masyarakat. Minimal beban moral kepada masyarakat, ketika belum mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diembannya dengan baik, seharusnya malu untuk menerima apalagi meminta fasilitas yang lebih. Budaya malu seperti ini harus dibiasakan, sehingga tangung jawab yang diemban dalam sebuah tugas profesi benar-benar diendahkan, sebelum adanya tuntutan fasilitas yang lebih.
Kejadian memalukan semacam ini bukannya yang pertama kali terjadi dan bukan hanya terjadi di MA, tetapi hampir disemua lembaga-lembaga negara mengidap penyakit yang sama. Karena belum lama ini DPR juga menaikkan tunjangannya, dengan dalih kenaikkan harga-harga kebutuhan sehari-hari. Perlu adanya reorientasi kembali peran dan fungsi aparat penegak hukum. Sejak awal perekrutan Calon Hakim menjadi Hakim, sudah dilakukan janji dan sumpah jabatan, dimana seorang hakim dituntut untuk bersikap Profesional, bermoral dan berintegritas tinggi, memiliki kemampuan intelektualitas dan teknis hukum yang tinggi, serta paham akan rasa adil yang berkembang dalam masyarakat.
Paham rasa keadilan disini, maksudnya bukan hanya keadilan antara seorang dipidana 10 tahun atau lima tahun, tetapi juga pemahaman dan kecerdasan bersikap dan bertindak dalam mengambil kebijakan yang berdampak pada khalayak luas. Seperti kebijakan pengadaan 216 mobil mewah oleh MA kemarin misalnya, apakah sudah selaras dengan nilai-nilai keadilan. Ketika masyarakat tak henti-hentinya dirundung dengan ujian bencana yang silih berganti, dan banyak anggaran negara yang dikorupsi oleh pejabat-pejabat yang tidak bertanggung jawab. Maka kiranya mana yang harus diprioritaskan, pengadaan mobil mewah untuk para pejabat ataukah mengalokasikan anggaran untuk membantu para korban bencana alam yang saat ini sedang kelaparan?
Layaknya sebuah organisasi profesi lainnya, Hakim juga mempunyai Kode Etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak sebagai seorang Hakim. Kode etik hakim diapresiasikan dalam lambang-lambang kehakiman. Pertama, Bintang (kartika) yang melambangkan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bahwa segala tindakan Hakim, baik di dalam maupun di luar pengadilan harus selalu berdasarkan pada Ketuhanan YME. Kenapa? Karena dengan tindakan/ putusan Hakim dapat menentukan nasib seseorang bersalah atau tidak. Sehingga secara ekstrim ada yang menyebut bahwa hakim adalah wakil Tuhan.
Kedua, bulan (candra) yaitu suatu benda yang mampu menerangi dunia dalam kegelapan. Dimaksudkan agar hakim dengan segala tindakannya mampu memberikan pencerahan bagi para pihak. Ketiga, air (tirta) yaitu sebagai suatu perumpamaan benda yang mampu menghilangkan segala kotoran. Dengan lambang tirta ini diharapkan agar hakim dapat memberantas segala jenis kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Melalui kewenangannya memutus perkara, hakim dapat memenjarakan yang salah dan bisa membebaskan yang tidak bersalah.
Keempat, Cakra, yaitu senjata yang digunakan Kresna (dalam cerita pewayangan) yang terkenal sangat ampuh dalam menumpas musuh-musuhnya. Harapannya, agar hakim dengan kewenangan yang telah diberikan, bisa menjadi senjata bagi negara untuk memberantas segala bentuk kedzaliman yang terjadi dalam masyarakat. Kelima, Sari atau puspita/ kesuma. Artinya Hakim dituntut untuk memberikan tauladan yang baik bagi masyarakat dalam bersikap dan bertingkah laku baik didalam maupun diluar pengadilan. Sehingga nama hakim harum bak kesuma yang mekar.
Namun realitanya masih jauh dari harapan. Tujuan profesi Hakim yang luhur, seyogiyanya mengundang “konsekuensi etis” timbulnya rasa hormat terhadap penegak hukum. Tetapi sebaliknya apabila profesi luhur ini dikotori oleh mafia peradilan, maka penegak hukum tersebut akan menjadi tidak terhormat karena mengidap “kolesterol moral” dalam tubuh para penegak hukum . para penegak hukum yang terjangkit “Kolesterol Moral” akan gagap menyuarakan dan membobongkar praktek KKN dalam proses penegakan hukum.
Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, skap tunduk pada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, favoritisme, kompromi dengan pembela (advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik.
Dari kode etik diatas terlihat bahwa entitas (entity) professional penegak hukum khususnya Hakim, sejatinya berkewajiban moral untuk memprioritaskan spirit kejuangan dalam rangka “striving instability for knowledge and mastery” atau yang senantiasa berjuang keras untuk memenuhi kehausan masyarakat akan penegakan hukum yang tidak memihak serta harapan hidup yang berkeadilan, bukan justru dijadikan tempat berlindung atau memberi imunitas bagi bagi tindakan-tindakan malpraktek untuk memperkaya diri.

Tidak ada komentar: