Selasa, 24 Februari 2009

MUHAMMADIYAH MENUJU SATU ABAD

Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif

Tema ini gawat, tetapi tentunya harus dijawab untuk apa ini semua. Bila kita sudah memiliki sebuah organisasi tajdid yang kokoh dan Islami lalu ini untuk apa. Kemudian, timbul pertanyaan kedua yang lebih gawat lagi, Indonesia ini mau diapakan oleh Muhamamdiyah. Pertanyaan ini sudah lama bergalau dalam otak saya.
Kalau kita kaitkan dengan Anggaran Dasar, Muhammadiyah ini adalah gerakan Islam, gerakan dakwah amar makruf nahi munkar, berasas Islam yang ditetapkan sejak Muktamar di Jakarta yang lalu, dan kita buang asas tunggal dari Muktamar tahun 1985 yang ditetapkan karena dipaksa oleh keadaan, tetapi juga harus diingat bahwa asas itu baru muncul pada tahun 1959. Dulu Kyai Dahlan tidak pakai asas. Ki Bagus Hadikusumo, Kiyai Ibrahim, dan Kyai Mas Mansur juga tidak. Jadi, dengan demikian Kyai Dahlan tidak memandang asas ini penting. Tidak tergantung identitas Muhammadiyah ini kepada asas. Ini hal yang menarik.
Asas itu muncul dalam situasi politik Indonesia yang sangat ideologis (ideology oriented). Islam tidak pernah menjadi ideologi karena Islam bukan ideologi. Sebab, posisi ideologi dalam pengkajian filsafat berada dibawah filsafat. Ideologi memang penting untuk pedoman-pedoman harian sebagai pedoman praktis, tapi diatasnya ideologi ada filsafat. Sedang posisi wahyu berada diatas filsafat. Bisa saja dari Islam, misalnya, dari Alquran kita rumuskan sebuah filsafat. Tidak ada masalah, namun belum pernah terjadi apakah di jaman Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, karena pemikiran mereka lebih banyak dipengaruhi oleh Helenisme, Arestotelianisme, lalu Islam menumpang ke sana.
Seorang Ibnu Rusyd, umpamanya, dalam buku kecilnya, Faslul Makhal, mengungkapkan bagaimana dia mencoba mengintegrasikan antara Islam dengan Aristotelianisme. Saya tidak tahu mana yang menang, apakah Islam ditundukkan atau Aristotelianisme yang ditundukkannya kepada Islam. Tetapi Ibnu Rusyd ingin tetap sebagai seorang muslim namun juga sebagai penganut Aristotelianisme, sehingga ia dikenal sebagai al-mualim ats-tsani, guru kedua.
Permasalahan ini merupakan wacana-wacana yang agak mendalam namun di kalangan Muhammadiyah kurang diperhatikan. Saudara Haedar Nashir punya ide di kantor PP Muhammadiyah sekarang yang agak gagah itu harus ada kajian. Itu sudah kita mulai, tapi kita lihat nanti bagaimana agar setiap bulan ada kajian yang agak mendalam. Dan sekarang sedang kita cari apa yang mau kita bicarakan dalam kajian itu.
Kalau kita lihat pada ayat-ayat dalam surat Al Anfal, jelas sekali bahwa untuk menghadapi musuh harus dengan kekuatan terutama kekuatan kualitas, disamping kuantitas. Lihatlah sekarang bagaimana peta dunia Islam. Peta dunia Islam saat ini menunjukkan jumlah penduduk muslim mencapai 1,3 milyar. Sebab di dunia Islam ini tidak ada pembatasan kelahiran bahkan poligami malah digalakkan. Seperti misalnya, di Malaysia bagian utara pantai timur, seperti dalam kelompok-kelompok radikal. Saya pernah berjumpa dengan seseorang dari Al-Arqam Malaysia, seorang WNI. Saya ketemu di airport Sepang, Malaysia. Ia memperkenalkan dirinya dan keluarganya kepada saya, dibawanya anaknya yang masih kecil dan istrinya yang kedua. Saya rasa dalam keadaan yang seperti ini seorang pemimpin itu harusnya mengerahkan energinya bukan untuk kawin banyak-banyak. Anda tidak bisa membandingkan hal ini dengan Nabi, sebab persoalannnya lain sama sekali.
Seorang pemimpin Islam, saya rasa, harus mengerahkan energinya untuk memikirkan Islam; kalau saya hubungkan bahwa Indonesia ini mau diapakan oleh Muhammadiyah; Indonesia yang tertarit-tatih, yang terfragmentasi, dan bangsa ini sedang retak sementara kepemimpinannya lemah, kalau tidak saya katakan rapuh. Muhammadiyah kita ini tidak punya cukup kekuatan untuk memberikan alternatif kepada hari depan Bangsa. Pendidikan kita masih juga bergantung kepada subsidi pemerintah, dengan dosen-dosen dari Kopertis, begitu juga di SD dan mungkin juga TK. Harus kita akui bahwa kita masih belum mampu untuk berdikari.
Kebetulan, barangkali, saat ini PP ini luar biasa mobilitasnya yang kadang-kadang sudah tidak masuk akal. Anggota-anggota PP pergi kesana-kemari mendatangi wilayah-wilayah. Tapi ada satu hal yang kemudian diketahui bahwa ternyata Muhammadiyah punya kantong-kantong umat, kantong-kantong pemimpin lokal yang memiliki idealisme yang luar biasa. Idealisme mereka tidak tergantung di awang-awang, tetapi mereka bawa turun ke bumi. Ini yang menggembirakan.
Pertanyaan-pertanyan besar ini tentunya tidak bisa terjawab oleh ketuanya saja. Kita semua harus menjawab. Kalau saya katakan Indonesia ini mau diapakan oleh Muhammadiyah, itu juga harus kita jawab pertanyaan-pertanyaan umpamanya: politik, ekonomi, sosial-budaya yang bagaimana yang kita inginkan. Kita belum bisa menjawab hal ini. Dalam soal kepemimpinan, kalau kita bicara soal jender, bagaimana sebenarnya teologis Muhammadiyah, perempuan boleh atau tidak menjadi presiden, ini belum jelas di Muhammadiyah. Kalau saya pribadi tidak ada masalah. Mengapa tidak. Asal menunjukkan kemampuan, tidak hanya senyum-senyum, gunting-gunting pita yang tidak banyak gunanya, sebab bukan disitu soalnya. Tapi betul-betul punya kemampuan untuk memimpin negara ini. Sekarang ini sudah dikritik orang bahwa kita ini ada pemerintah tapi without government. Ada pemerintah tetapi tidak mampu memerintah. Jangan kita salahkan orang, sebab itu artinya dakwah kita di bidang itu belum mencapai sasaran.
Saya rasa tema Sidang Tanwir di Bali sangat strategis, menjadi pencerahan bangsa. Sesungguhnya kalau boleh kita memakai istilah proses pencerdasan otak, pencerahan hati, atau bisa juga dipakai istilah yang saya pakai di Bali itu tanwirul qulub wa tanwilul ukul. Bagaimana kita mengerjakan sesuatu yang besar kalau kita tidak punya gagasan yang agak mendalam, yang agak luas, tentang masa depan yang bagaimana yang ingin kita ciptakan. Tidak cukup dengan seperti teman saya yang agak radikal-radikal itu. Implementasi syariah, menurut saya, ditempuh dengan jalan-jalan yang ….. ya, saya hormat dengan yang semacam itu, tetapi gerakan-gerakan radikal dimanapun di muka bumi ini akan berakhir dengan bunuh diri. Kita di Indonesia ini kenal dengan DI/TII di Aceh, di Jabar, Sulawesi, dan Kalimantan. Apa akhirnya yang terjadi? Habis. Karena kita tidak memiliki suatu perangkat teori, perangkat lunak yang memungkinkan kita mewujudkan apa yang kita ucapkan itu. Untungnya orang-orang Muhammadiyah ini, walaupun mengritik ketuanya karena tidak mendukung masuknya tujuh kata dalam pasal 29 ayat 1 UUD 45, setelah diberi penjelasan ternyata dong (paham, ed.). Itu yang saya senang di Muhammadiyah. Mereka tidak ngeyel. Asal dijelaskan, mereka bisa menerima walaupun ketika belum dijelaskan reaksinya macam-macam. Dikatakannya Ketua PP anti syariah, lalu marah, lalu serahkan kartu anggota, bahkan ada yang saya dengar sewaktu ke Padang, Ketua PP ini sudah halal darahnya. Namun setelah dijelaskan, dilihat dari bermacam dimensi, mereka menjadi faham juga. Inilah model kita sebenarnya. Jadi tampaknya Muhammadiyah itu sudah agak cerah sebenarnya. Bukan berarti pendapat ketuanya itu betul, belum tentu betul juga, harus kita adu dulu. Sebab, tidak mungkin seorang ketua PP sampai anti syariah. Dari mana (pemikiran) itu? Saya kira itu sebenarnya persoalan komunikasi saja.
Muhammadiyah ini berumur sudah hampir satu abad, sementara organisasi lainnya sudah hilang berantakan, seperti Al-Ihwan Al-Muslimun yang fragmentasi luar biasa. Muhammadiyah masih utuh. Tapi tentu saja tidak cukup dengan itu. Harus kita menjawab pertanyaan ini: Indonesia mau kita apakan. Untuk itu perlu dipersiapkan konsep-konsep yang lebih matang yang dapat dilaksanakan di negeri tercinta ini, apakah itu dalam hal politik, posisi perempuan, tentang demokrasi, tentang ekonomi, dan bagaimana perbankan. Kita sekarang baru begitu-begitu saja, memang ada konter syariah di BNI, bank syariah di Bank Mandiri, dan yang baru di BRI, dan lain-lain. Perlu dikaji betul apakah itu bank alternatif, atau itu hanya sekadar coba-coba. Sah saja coba-coba karena kita memang belum mempunyai satu sistem, satu konsep, yang matang. Namun, di atasnya semua ini adalah bank riba, karena pasti semuanya dinaungi oleh BI di puncaknya. Oleh karena itu mari kita lihat kenyatan itu, sudah mampukah kita menawarkan sebuah sistem perbankan alternatif. Untuk itu harus ada kajian empirik, disamping didorong oleh iman kita. Maksud saya, sistem-sistem itu, apakah politik, sosial, ekonomi, perbankan, dan sebagainya itu tetap dikawal oleh bingkai iman kita, secara iman benar dan secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan. Inilah tantangan yang menurut saya besar sekali. Bukan saja untuk kita di Indonesia, tetapi ini tantangan dunia Islam.

Dunia Global
Mengapa arogansi Amerika Serikat dan Inggris meluluhlantakkan orang-orang Palestina, katakanlah itu terorisme negara lalu kita lawan juga dengan terorisme, apakah dilakukan oleh perorangan atau kelompok, saya rasa itu indikasi dari tidak berdayanya kita memberikan sistem alternatif kepada dunia ini. Jadi, terorisme negara kita lawan dengan terorisme juga yang kita lakukan secara nekat karena kita sudah tidak mampu lagi menghadapi kenyataan ini. Barangkali kalau Palestina diberi kemerdekaan, mungkin terorisme ini akan berkurang, sebab ini adalah pangkalnya. Mereka dianiaya sementara negeri-negeri tetangganya yang mayoritas muslim belum sungguh-sungguh membela Palestina.
Bukunya Thariq Ali, Benturan Fundamentalisme, yang gambar ilustrasinya ada Kristen Bush tapi pakaiannya adalah pakaian Usamah bin Laden, patut dibaca. Memang buku itu ditulis oleh seorang sekuler, warga negara Inggris yang saya rasa berasal dari India, saya ketemu dia di Munchen, Jerman berapa waktu lalu. Pertarungan ini, menurut Thariq Ali, sebenarnya adalah pertarungan dua kekuatan fundamentalis: Bush di satu pihak dan Usamah bin Laden di pihak lain. Kita tahu siapa Usamah bin Laden. Dulu dia bekerjasama dengan CIA waktu masih ada perang dingin. Jaringan Alqaeda dipakai oleh Amerika untuk turut menghancurkan Soviet. Begitu juga pada waktu Perang Irak-Iran, Amerika berada di belakang Saddam Husein. Namun sekarang Saddam Husein dan Irak mau dihancurkan juga oleh Amerika.
Saya setuju dengan pendapat seorang Sekjen Federasi Universitas Katholik Internasional yang berkunjung ke kantor PP dua minggu yang lalu, seorang Kanada yang tinggal di Paris, dia mengatakan baik Bush maupun Saddam Husein menderita paranoid. Saya setuju itu. Jadi, kalau kita bela Irak, maka yang kita bela adalah rakyatnya. Jangan karena Saddam Husein itu pemimpin Islam lalu kita bela. Tidak begitu. Rakyat Irak yang teraniaya itulah yang harus kita bela.
Begitu juga tentang Abu Bakar Baasyir. Bukan karena saya setuju dengan idenya, atau strateginya, saya membela dia karena, menurut saya, dia diperlakukan secara aniaya oleh aparat kita. Itu saja. Saya pernah berdebat dengan kelompok ini. Hasilnya, tidak ada titik temu. Akhirnya saya tanyakan kepada Pak Baasyir, mana pemerintah Islam yang agak baik yang dapat dicontoh sekarang, Pak Baasyir menjawab Thaliban. Ketika dia menjawab itu, saya katakan diskusi ini kita hentikan di sini. Sebab tidak bisa diteruskan karena terlalu jauh perbedaannya. Namun, sekalipun demikian kita tetap bersaudara. Untuk menunjukkan kita tetap bersuadara itu saya kunjungi dia ke rumah sakit.

KHA Dahlan dan Perspektif Alquran
Kita sekarang sudah memiliki beberapa PTM yang besar-besar. Beberapa sudah mapan secara fisik, walaupun secara kualitas masih dalam proses untuk merevitalisasikan lembaga-lembaga di sana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar yang kita hadapi di Indonesia. Rumuskan dulu pertanyaannya baru kita cari jawabnya. Umpamanya, kita ambil satu contoh. Pertama, apakah Muhammadiyah ini masih ingin mendirikan negara Islam atau hanya masyarakat Islam. Kedua, bagaimana sistem politik menurut Islam, menurut faham Muhammadiyah. Yang ketiga, sistem ekonominya bagaimana, perbankannya bagaimana. Kita tidak bisa lari dari ini semua. Oleh sebab itu saya berharap orang-orang Muhammadiyah kalau sudah terdesak jangan lalu memakai dalil fakruba lil ghuraba. Itu bukan jawaban. Itu harus ditafsirkan sesuai dengan kehendak Alquran, dengan spirit syuhada alannas, sehingga menyingkir saja orang-orang yang tidak mau terkontaminasi oleh keadaan, Islam tidak bisa begitu.
Harus kita lihat, setelah Nabi Saw. menerima wahyu di gua Hira, beliau tidak pernah kembali ke sana, tetapi terus terjun memasukkan dirinya ke dalam kekuatan-kekuatan sejarah sambil mengubah dengan perjuangan yang sangat nyata, penuh pengorbanan dan selama 13 tahun, hampir-hampir tidak berhasil, tetapi kemudian berhasil membentuk beberapa kader lalu hijrah ke Madinah. Dari Madinah kemudian merebut kota Makkah. Jadi, sampai kita menempatkan gerak Muhammadiyah ini dalam perspektif Alquran, baru barangkali kita akan tahu jalannya. Dan jalan itu, menurut saya, adalah jalan aqabah, jalan yang terbagus yang harus kita lalui.
Saya sudah berkali-kali menyatakan orang-orang Muhammadiyah, termasuk Aisyiyah, terutama tokoh-tokohnya di wilayah, daerah sampai cabang itu harus mengerti lingkungan, harus memahami dinamika sosial politik ekonomi yang terjadi di lingkungannya. Tidak usah terlalu mendalam tapi harus paham. Anda tidak perlu masuk parpol dulu, mengikuti dinamika politik. Tidak perlu. Tapi tetap saja mengikuti perkembangan, sehingga tokoh-tokoh Muhamadiyah dan Aisyiyah ini menjadi rujukan dimana mereka tinggal, menjadi tempat orang bertanya seperti Kyai Dahlan dahulu. Kyai Dahlan enak saja melenggang ke SI, ke Budi Utomo, dia panggil juga Semaun ke rapat Muhammadiyah. Kyai yang tidak pernah mengenyam pendidikan Barat ini percaya dirinya luar biasa, itu adalah suatu gift, karunia Allah untuk bangsa ini. Kyai Dahlan dituduh macam-macam: sudah jadi kristen, Wahabi, sudah menyimpang, tapi Kyai Dahlan tenang saja. Umurnya pendek, 55 tahun, tapi jasanya besar. Kita yang datang belakangan ini tidak sampai sekukunya jika dibandingkan. Coba kalau Kyai Dahlan dulu tidak membentuk Muhammadiyah ini, bisa dibayangkan bagaimana Islam di Indonesia. Bukan karena saya pro Muhammadiyah, tapi bisa dibayangkan. Kyai menjawab tantangan ini tidak melalui perdebatan teologi, tapi dijawabnya dengan action, dengan perbuatan. Itulah yang menyebabkan Muhammadiyah langgeng dan makin lama makin membesar. Paling tidak kuantitatif dulu. Kualitas, saya rasa juga tidak jelek bila dibanding dengan yang lebih jelek dari kita.
Sekarang ini peluang ada pada kita. Beberapa pimpinan di PP dan Majelis sebentar lagi sudah tamat S-3, di daerah-daerah juga demikian. Saya berharap juga Aisyiyah, tidak susah sebenarnya menjadi doktor asal ada kemauan saja. Ini luar biasa. Kita harapkan mereka kalau memang kader betul kalau sudah doktor, profesor, maka konstribusi terhadap Persyarikatan ini harus semakin nyata. Jangan nanti kalau sudah jadi orang, jadi menteri, segala macam, lalu lupa kepada Muhammadiyah. Ini namanya kader-kader musiman. Amien Rais sumbangannya nyata, sangat-sangat nyata, sampai hari ini.
Pada Muktamar Muhammadiyah di Aceh tahun 1995, Majelis Tarjih kita tingkatkan tugasnya dengan Pengembangan Pemikiran Islam. Tarjihnya sudah berjalan, tapi masih perlu didorong, HPT mau direvisi, belum rampung-rampung juga, karena memang yang menjadi pengurus ini orang-orang penting di tempat lain. Kita bersyukur itu, hanya kadang-kadang tidak bisa berkonsentrasi. Memang tidak mudah, kita terima keadaan yang semacam itu, tapi jangan lupa bahwa Persyarikatan ini harus kita rawat bersama.
Sewaktu saya berceramah di hadapan Tanwir IMM di Serang Banten, saya katakan dengan kata-kata yang sedikit agak bersayap, bahwa semakin lama saya turut mengurus Muhammadiyah ini semakin dalam simpati saya kepada Muhammadiyah. Ini sesungguhya kalimat-kalimat yang menunjukkan sebuah formulasi yang dalam sekali. Oleh karena itu kalau kemarin saya tidak mendukung masuknya tujuh kata ke dalam pasal 29 UUD itu karena semata-mata tanggung jawab saya sebagai anak bangsa dan tanggung jawab saya dalam memimpin Muhammadiyah ini.
Saya katakan bangsa ini sedang retak. Kita belum memiliki pemimpin nasional yang visioner, yang kuat, yang betul-betul mencintai bangsa ini, sehingga tampilan kita di luar negeri lemah sekali. Diplomasi kita juga lemah. Sudah ditempatkan beberapa duta besar tapi tidak bisa juga karena negara kita tidak punya uang. Sesungguhnya negeri ini belum bangkrut tapi kalau tanpa pinjaman nampaknya sudah susah. Tetapi ternyata rakyat kita tidak terpuruk. Persepsi kita tentang rakyat harus kita ubah. Setelah mendengar penjelasan Pak Mubyarto, negeri ini tidaklah seperti Argentina yang ekonominya hampir 100 persen tergantung kepada konglomerasi. Di sini tidak, konglomerat hancur, UKM tetap berjalan. Inilah sebenarnya soko guru ekonomi bangsa kita. Sayangnya sikap bank terhadap mereka belum banyak perubahan. Kalau UKM yang akan pinjam, karena upetinya kecil lalu dipersulit, tapi kalau kongkolerat yang pinjam uang sampai trilyunan diberikan karena ada komisi yang banyak. Inilah yang merusak Republik ini.
Namun, kita masih ada harapan. Muhammadiyah sebagai salah satu pilar kuat dari integrasi nasional harus mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Oleh sebab itu mohon hal ini disampaikan ke daerah-daerah. Sebab, kalau nanti integrasi ini retak sampai pecah, pasti repot jadinya. Kita menjadi kecil-kecil, tidak punya perangkat lunak untuk membawa turun idealisme Islam ke muka bumi. Kita sangat berkepentingan untuk menjaga keutuhan bangsa.
Selain itu, kita mempunyai alasan historis sosiologis. Beberapa waktu lalu saya datang ke Ternate. Saya betul-betul merasa gembira sampai hampir mengeluarkan air mata. Saya tidak mengira di kota kecil Ternate Muhammadiyah merangkak secara pasti. Ini kekuatan sumber daya manusia yang ada di sana. Universitasnya yang baru berusia setahun tiga bulan, pada tahun kedua sudah menerima mahasiswa 888 orang, di sebuah kota kecil. Anda bisa bayangkan, itu luar biasa. Saya diundang juga ke Universitas Hairun. Rektornya ternyata dari kader kita dari Pemuda Muhammadiyah. Saya ketemu dekannya juga Muhamadiyah. Di kota yang begitu jauh dari kita, ternyata Muhammadiyah sangat berakar kokoh. Oleh sebab itu, kalau negeri ini sampai pecah, susahlah untuk mempertautkan kembali sebab dalam perpecahan itu ada egoisme lokal, arogansi sektoral, dan macam-macam. Jadi, kita punya modal besar sekali.

Langkah-langkah ke Depan
Sekarang, bagaimana meningkatkan peran Muhammadiyah. Pertama, untuk menjaga keutuhan bangsa ini, yang kedua, menyiapkan perangkat lunak untuk membawa pesan rahmatan lil alamin itu turun betul di muka bumi, jangan lalu terpaku dan terpukau oleh merek. Negara Islam adalah merek, asas Islam juga merek. Kyai Dahlan tidak ambil pusing, tidak berpikir begitu, tapi coba lihat apa kurangnya Islamnya Kyai Dahlan itu. Kalau anda melihat dia kurang Islam, saya bayangkan anda tidak faham Muhammadiyah sama sekali.
Begitu juga tentang Ad-Daulah Islamiyah yang teman-teman radikal masih tetap juga begitu. Pokoknya harus dengan negara Islam. Dengan syariat Islam semua akan selesai. Ya Allah, cara berfikir yang semacam ini sungguh kasihan. Mereka tidak melakukan studi perbandingan. Pada Piagam Madinah juga tidak ada asas. Saya tidak anti. Boleh, tapi nanti saatnya. Kita tunjukkkan dulu bahwa Islam ini bisa mengurus dunia ini. Bagaimana kita mau berjuang, mau meneguhkan kejuangan Muhammadiyah menuju organisasi tajdid yang kokoh dan Islami, itu kemudian harus ditambah lagi; lalu setelah itu Indonesia mau kita apakan? Perangkat lunaknya sangat-sangat penting.
Begitu juga Aisyiyah, saya rasa juga perlu mengadakan kajian-kajian yang mendalam. Saya tidak keberatan dengan jender, mungkin satu saat ketua PP perempuan, saya pikir juga tidak ada masalah. Kalau itu dipilih, tidak apa-apa, tapi tunjukkan kualitas. Sekarang pimpinlah Aisyiyah secara baik dulu, juga guru-guru TK ABA yang menderita itu dipikirkan gajinya, itu dulu dicoba. Rumah sakit Aisyiyah di Malang sudah bagus. Tapi kalau bisa direkturnya adalah seorang dokter perempuan, seorang dokter Aisyiyah yang cakap, yang mempunyai leadership yang tangguh, maka itu akan menjadi salah satu bukti bahwa ternyata Aisyiyah ini tidak main-main.
Saya pikir, disamping kita sibuk dengan amal usaha, sibuk dengan aksi kemanusiaan dan sosial, jangan lupa juga mengisi otak kita. Sebab kalau tidak terisi akan susah jadinya, karena kita tidak tahu mau kemana. Oleh karena itu kembalilah Saudara kepada pendapat Jumhur Ulama bahwa ayat pertama turun itu adalah iqra’.
Saya melihat potensi Muhammadiyah ini luar biasa. Tapi ada kritik orang, Muhammadiyah ini raksasa, giant, raksasa besar tapi sleeping, tidur. Kita terima kritik orang itu, tapi kita mulai tunjukkan bahwa kita ini tidak tidur. Aisyiyah juga tidak tidur. Kalau Aisyiyah mau muktamar sendiri itu bagus, agak berkibar sedikit.::



















_______________________________
*) Transkrip Ceramah “Keynote Speech” dalam Pengajian Ramadhan 1423 MPKSDI PP Muhammadiyah dengan tema “Peneguhan Kejuangan Muhammadiyah Menuju Organisasi Tajdid yang Kokoh dan Islami”, 07-10 Nopember 2002 di Kampus Univ. Muhammadiyah Yogyakarta. Ditranskrip oleh Arief Budiman Ch.

Tidak ada komentar: