Selasa, 24 Februari 2009

TAJDID GERAKAN MUHAMMADIYAH DALAM MENYIKAPI PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL

Oleh: Fathurrahman Djamil

Pengantar

Muhammadiyah sering dijuluki sebagai organisasi islam pembaharu, atau gerakan tajdid. Julukan ini tentu tidak datang dari dalam Muhammadiyah, melainkan dari para pengamat dan pemerhati Muhammadiyah. Diantara indikator organisasi pembaharu, menurut mereka, adalah karena organisasi ini berusaha untuk merujuk secara langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan memahaminya secara utuh dan komprehensif. Namun, akhir-akhir ini, ciri dan indikator itu sering dipermasalahkan. Karena itu, predikat mujaddid yang diberikan kepada Muhammadiyah merupakan sesuatu yang harus dikritisi. Kritik itu, tentu harus didasarkan pada kenyataan dan kiprah organisasi ini dalam merspons segala macam persoalan yang semakin kompleks dan canggih ini. Kenyataannya, bukan saja Muhammadiyah yang melakukan pembaharuan dan terobosan baru, bahkan akhir-akhir ini banyak perkumpulan yang telah melakukan perubahan secara liberal terhadap doktrin dan norma ajaran Islam.
Ketika Muhammadiyah didirikan tahun 1912 atau sejak Majlis tarjih dibentuk pada tahun 1928, persoalan yang dihadapinya relative sangat sederhana dan kelihatannya tidak beranjak dari pemurnian aqidah dan ibadah atau dalam masalah-masalah khilafiyah. Itulah sebabnya, majlis ini diberi nama Majlis Tarjih. Tetapi dalam perkembangannya sampai saat ini, persoalan-persoalan baru muncul kepermukaan dan menuntut direspon oleh Muhammadiyah. Tentu, seiring dengan beragam persoalan kontemporer, nama Majlis ini pun mengalami peerubahan atau penambahan. Ada yang menghendaki diubah menjadi Majlis Ijtihad. Namun sejarah mencatat, bahwa ketika Muktamar Tarjih di Aceh pada tahun 1995, Majlis ini diubah menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Sesuai namanya, tentu Majlis ini semakin berat tugas dan tanggung jawabnya. Pararlel dengan perubahan namanya, Majlis Tarjih dan PPI telah berusaha mengembangkan system dan metode berijtihad, yang berbeda dari metode yang pernah ada sebelumnya. Pendekatan yang digunakan tidak terbatas pada pendekatan normative fiqhiyyah, tetapi sudah mengarah pada pendekatan yang lebih filosofis.
Berbagai metode dan pendekatan itu digunakan oleh Muhammadiyah dimaksudkan untuk merealisasikan Islam yang universal sebagai cirri gerakannya. Diyakini oleh Muhammadiyah, bahwa sebagai sebuah agama, Islam memiliki kepentingan untuk mendorong manusia untuk melakukan transformasi ke arah cita dan visi Islam. Dalam hal ini, Islam harus menjadi instrumen ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia. Islam, dibandingkan dengan agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir dimana-mana” (omnipressence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.1
Peradaban modern manusia yang semakin mengglobal akibat pesatnya kemajuan industri, teknologi, dan informasi menuntut tidak saja kecerdasan nalar tetapi juga kematangan dan kecerahan emosional dan spiritual dalam menyikapi, mencermati, menyimak, dan mengevaluasi peradaban sehingga manusia tidak tercerabut dari akar religiusitasnya. Umat Islam, sesungguhnya dapat memberikan responsi pada modernitas secara positif. Islam secara intrinsik memiliki muatan nilai dan ajaran yang mendorong pada pembaharuan dan kemajuan. Sebagai agama universal dan kosmopolitan, Islam memiliki karakter yang menjunjung tinggi pada harkat kemanusiaan dan kepedulian sosial sebagai sesuatu yang selalu tetap dan abadi.
Islam selain bersifat transendental, juga harus bersifat immanent, dalam arti harus dapat memberi daya dan pengaruh pada transformasi sosial, budaya, politik, ekonomi yang positif dan konstruktif. Nilai-nilai keagamaan Islam dengan demikian diharapkan memberi energi dan kekuatan yang dapat memotivasi secara terus menerus dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifaat praktis maupun teoritis. Namun, tentu saja pesan Ilahiah dan kumpulan hkazanah Islam klasik itu harus dapat diterjemahkan dalam sebuah konsep teoritis dan empirik yang siap diaplikasikan dalam ruang dan waktu kekinian. Akselerasi kemajuan teknologi dan perkembangan informasi begitu cepat harus diimbangi dengan interpretasi dan kajian yang aktual dan bertanggungjawab dari doktrin syari’at Islam.
Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan Sunnah, artinya segala persoalan kehidupan harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut. Akan tetapi, hal itu memerlukan kecerdasan akal untuk menggali dan menkontekstualisasikan secara tepat dengan situasi dan kondisi yang berubah. Upaya reaktualisasi ajaran Islam, menjadi niscaya karena secara doktrinal Islam bersifat universal dan rahmat bagi seluruh alam. Al-Quran memang bersifat doktrin yang mutlak benar, tetapi penafsiran dan pemahaman atasnya tidak bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Di sinilah makna tajdid menjadi tema penting.


Tajdid dalam Muhammadiyah


Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi.
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran yang dihasilkan oleh Majlis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan.
Kemudian pada awal tahun enam puluhan sampai tahun sembilan puluhan sudah mulai terasa bagaimana pentingnya untuk membuat dasar dan teori penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat Islam yang didominasi oleh persoalan mu’amalah dunyawiyyah, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah politik sekalipun. Pedoman bertarjih dalam bentuk kaidah lajnah tarjih mulai disusun pada awal tahun tujuh puluhan. Dalam kaidah ini disebutkan, bahwa tugas pokok lajnha tarjih adalah melakukan pemurnian dalam bidan aqidah dan ibadah serta menyusun rumusan dan tuntunan dalam bidang mu’amalah dunyawiyyah. Tentu kaidah ini belum mencakup konsep dan metode penyelesaian masalah secara komprehensif.
Sebenarnya sejak tahun 1968 rumusan tajdîd di kalangan Muhammadiyah telah ada, dan bahkan tidak pernah ada warga Muhammadiyah yang menggugatnya. Akan tetapi, rumusan tersebut sangat sederhana, tanpa disertai penjelasan yang memadai. Masalah tersebut baru dibahas pada muktamar tarjih XXII di Malang, tahun 1989. Agaknya, pembicaraan ini menjadi agenda muktamar tarjih disebabkan semakin gencarnya kritik yang ditujukan kepada organisasi yang berorientasi pada pemurnian dan pembaharuan ini. Kemudian hasil muktamar tarjih itu ditanfizkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi rumusan yang resmi dan berlaku untuk seluruh warga Muhammadiyah.
Adapun rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:2
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
a. pemurnian;
b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami al-Qur'an dan Hadits. Namun, kata-kata "yang dijiwai ajaran Islam" memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam meyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman akal.
Ada yang berpendapat, bahwa dalam Muhammadiyah fungsi akal tidak dominan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fiqih.3 Agaknya pendapat itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Memang benar bahwa Majlis Tarjih Muhammadiyah menegaskan kenisbian akal dalam memahami nash al-Qur'an dan Hadits. Namun, kenisbian akal itu hanya terbatas dalam memahami masalah-masalah ibadah yang ketentuannya sudah diatur dalam nash.4 Sedangkan dalam masalah-masalah yang termasuk "al-umûr al-dunyâwiyyat" penggunaan akal sangat diperlukan, untuk tercapainya kemaslahatan umat manusia.5
Menarik untuk dikaji lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan "al-umûr al-dunyâwiyyat" oleh Muhammadiyah. Secara harfiyah, istilah itu berarti masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia. Konsekwensi logisnya, berarti Muhammadiyah menerima istilah "masalah-masalah yang berhubungan dengan akhirat" saja. Hal ini mengesankan adanya dikotomi antara masalah keduniaan yang bersifat profan di satu pihak dan masalah-masalah keakhiratan yang bersifat sakral di pihak lain. Namun, dikotomi itu tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Muhammadiyah. Yang ada dalam konsep dasar Muhammadiyah adalah dibedakannya antara mas'alah dunyawiyah di satu pihak dan masalah ibadah di pihak lain.6 Kalau begitu, yang dimaksud dengan mas'alah dunyawiyah itu adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, atau dalam pembagian ilmu fiqih lazim disebut bidang mu'amalah. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa menurut Muhammadiyah peranan akal cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah mu'amalah itu.
Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, Muhammadiyah berpendapat bahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, berlaku dalam bidang fiqih saja. Masalah aqidah termasuk masalah vang tidak boleh diijtihadkan lagi, apalagi jika dikaji secara rasional.7 Bidang yang disebut terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukkan kepada lahan pemurnian, dan bukan lahan modernisasi. Tentu pendapat ini tidak sepenuhnya disetujui oleh warga Muhammadiyah, terutama para cendikiawan atau pemikirnya. Ada beberapa warga Muhammadiyah yang berkeinginan agar organisasinya melakukan ijtihad secara menyeluruh, tidak terbatas pada masalah fiqih saja. Mereka menginginkan ijtihad Muhammadiyah sama seperti ijtihadnya Muhammad Abduh.8 Tajdîd tidak hanya diartikan sebagai purifikasi, tetapi harus diartikan juga sebagai redefinisi dan reformulasi. Masalah-masalah baru harus dipahami secara integralistik.9 Dalam bidang fiqih pun, kelihatannya Muhammadiyah masih membatasi diri pada masalah yang belum diatur berdasarkan dalil yang qath’i, baik wurûd maupun dalâlat-nya.
Bagaimanapun, Muhammadiyah tetap berpendapat bahwa masalah-masalah yang ada sekarang ini, sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu diselesaikan dengan baik. Kalau tidak, berarti Muhammadiyah membiarkan masalah-masalah itu terbengkalai dan pada gilirannya akan menjadi "bumerang" bagi umat Islam.10 Salah satu upaya yang ditawarkan oleh Muhammadiyah dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer adalah digiatkannya cara memahami al-Qur'an dan Hadits melalui pendekatan interdisipliner.11 Dari sini dapat difahami bahwa ijtihad dalam Muhammadiyah dapat diartikan sebagai upaya menyelesaikan masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits, atau sebagai upaya reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran dasar Islam, al-Qur'an dan Hadits.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pemahaman Muhammadiyah tentang ijtihad bertitik tolak dari kerangka berpikir, bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi baru.12 Kelihatanya bagi Muhammadiyah, ijtihad memberikan kemungkinan adanya penyegaran dan penyesuaian Islam pada situasi baru itu. Dengan ijtihad itulah ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya, dapat diterima oleh umat manusia di mana dan kapan pun mereka berada.
Dari sederetan agenda permasalahan yang dibahas dalam satu muktamar tarjih ke muktamar tarjih berikutnya, dapat dipahami bahwa tugas pokok Majlis Tarjih tidak hanya terbatas pada masalah-masalah khilâfiyat dalam bidang ibadah, melainkan juga mencakup masalah-masalah mu'amalah kontemporer. Jadi, bidang garapan Majlis Tarjih sudah sangat luas, berbeda dari tugas dan kegiatan yang dilaksanakannya pada saat lembaga itu didirikan.
Pada Muktamar Tarjih di Malang tahun 1989 mulai disusun Pokok-pokok Manhaj Tarjih yang merumuskan secara garis besar tentang sumber dalam beristidlal, tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu, penggunaan akal dalam menyelesaikan masalah-masalah kduniaan, dan yang penting adalah dirumuskannya metode ijtihad dalam bentuk ijtihad bayani, qiyasi dan istishlahi.Ijtihad bayani dipakai dalam rangka untuk mendapatkan hukum dari nash dengan menggunakan dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Kemudian ijtihad qiyasi digunakan dalam rangka untuk menetapkan hukum yang belum ada dalam nash, dengan memperhatikan kesamaan ‘illatnya. Sementara itu, ijtihad istishlahi dipakai untuk menetapkan hukum yang sama sekali tidak diatur dalam nash. Pokok-pokok manhaj tarjih ini dapat dikatakan sebagai upaya awal untuk merumuskan konsep dan metode ijtihad sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya.
Kemudian pada awal tahun sembilan puluhan, seiring dengan perubahan nama Majlis tarjih, telah dirumuskan Manhaj Tarjih yang lebih komprehensif, dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kalau pada pase sebelumnya metode ijtihad diwujudkan dalam bentuk ijtihad bayani, qiyashi dan istishlahi yang berorientasi pada teks atau nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka pada pase yang ketiga ini sudah diperluas menjadi: pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani merupakan pendekatan yang menempatkan teks sebagai kebenaran hakiki, sedangkan akal hanya menempati kedudukan yang sekunder dan berfungsi menjelaskan serta menjasstifikasi nash yang ada. Pendekatan ini lebih didominisai oleh penafsiran gramatikal dan semantik. Pendekatan ini, dalam pandangan Muhammadiyah, masih diperlukan, dalam rangka menjaga komitmennya kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pendekatan burhani lebih difokuskan pada pendekatan yang rasional dan argumentatif, berdasarkan dalil logika. Pendekatan ini tidak hanya merujuk pada teks, tetapi juga konteks. Sedangkan pendekatan ‘irfani didasarkan pada pengalaman bathiniyyah dan lebih bersifat intuitif, tidak didasarkan pada medium bahasa atau logika. Metode dan pendekatan seperti ini tentu tidak terbatas pada pendekatan normatif, tetapi lebih dari itu mengarah pada pendekatan filosofis dan sufistik, yang sebelumnya tidak dikenal dalam Muhammadiyah.
Kelihatannya, upaya rekonstruksi pola fikir dan konsep pemecahan masalah di kalangan Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari arus global dan lokal yang berkaitan dengan kecenderungan memahami dan menafsirkan sumber ajaran Islam dalam dunia modern.

Muhammadiyah di Tengah Arus Perubahan Global

Kalau dalam perkembangan pertama sampai pertengahan abad 20 Muhammadiyah berhadapan dengan persoalan khilafiyah dan pemurnian aqidah, maka pada akhir abad 20 menjelang awal abad 21 organisasi ini sudah berhadapan dengan berbagai kecenderungan pemikiran di kalangan umat Islam, baik dalam skala nasional maun internasional. lKecenderungan itu didasarkan asumsi bahwa Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis, difahami oleh umat Islam dengan pemahaman dan cara pandang yang berbeda. Secara garis besar, kecenderungan untuk memehami ajaran dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, pertama kelompok salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan Kelompok yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam Liberalis Kemudian, berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasikan aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan moderat.

1. Fundamentalis
Istilah Fundamentalis yang dihubungkan dengan penganut ajaran Islam garis keras, sering kita dengar dari sumber informasiNegara barat. Hal itu terasa lebih popular ketika telah terjadinya serangan 11 september di New York. Kelompok Al-qaida yang dikomandani Usamah bin Laden termasuk kategori ini. Belakangan diduga ada jaringan yang sangat luas dari kelompok ini di beberapa wilayah di dunia ini, termasuk di Asia Tenggara, tentu Indonesia termasuk di dalamnya. Adanya kelompok garis keras seperti Majlis Mujahidin yang dipimpin oleh Ustaz Abu Bakar Baasyir dan Fron Pembela Islam, yang dipimpin Habib Rizizq Shihab, semakin memperkuat dugaan, bahwa Islam atau muslim fundamentalis itu identik dengan muslim yang mempunyai faham “garis keras” itu. Apakah memang benar demikian? Tentu persepsi seperti itu perlu ditelusuri kebenarannya.
Dalam tradisi kajian Islam, istilah lain dari fundamentalis adala salfiy. Ke;ompok salafi, dari segi bahasa berarti kelompok yang berorientasi kepada masa lampau atau orang-orang yang terdahulu. Maksudnya, kelompok ini berusaha memahami ajaran Islam seperti apa yang difahami oleh Umat Islam generasi awal, termasuk Rasulullah dan para sahabatnya. Karena itu, apa saja yang tertulis secara harfiah dalam Al-Qur’an dan Hadis merupakan ajaran yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, atau merupakan ajaran yang given dari Allah dan Rasul-Nya. Sesuai dengan namanya, kelompok ini mempunyai ciri dan karakteristik sebagai berikut :
Pertama, Meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan rujukan utama. Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Kemudian Nabi Muhammad menjelaskan dalam bentuk pernyataan dan praktek beliau. Penjelasan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari dari wahyu Allah itu.
Kedua, Meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan syariat penyempurna dari syari’at sebelumnya. Oleh karena penyempurna, maka syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad dipastikan telah sempurna mengatur berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut masalah ibadah khusus (ritual), maupun yang menyangkut masalah kehidupan di dunia ini. Karena itu, harus diacu secara keseluruhan (kaffah).
Ketiga, Memahami ayat Al-Qur’an dan Hadis secara tekstual, apa adanya sesuai dengan apa yang dipraktekan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Penafsiran terhadap Al-Qur’an harus dilakukan dengan memahami kosa kata bahasa ketika Al-Qur’an diturunkan. Dalam banyak hal, penafsiran otentik, penafsiran ayat dengan ayat lain atau dengan hadis, merupakan ciri dari kelompok ini.
Keempat, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Maksudnya, mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang harus difahami sebagai norma yang mengatur, dan karena itu, harus ditaati secara keseluruhan. Tentu, mereka tidak mau menerima pendekatan rasional dan pendekatan historis-sosiologis, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok islam liberal.
Dari keempat karakteristik di atas dapat difahami, bahwa kelompok salafi melihat segala persoalan dalam perspektif teks Al-Quran dan Hadis secara ketat. Mereka selalu berusaha mengadakan purifikasi atau pemurnian dari tradisi dan tindakan yang menyimpang dari diktum Al-Quran dan Hadis.
Timbul pertanyaan, apakah mereka mungkin dapat mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap syariat yang datang dari Tuhan itu ? Jawabannya sudah dipastikan tidak. Bahkan mereka sering mengibaratkan, perubahan dalam masyarakat di satu sisi dengan syariat (wahyu) di sisi lain, seperti orang yang ingin membeli peci. Kepala orang dianggap sama dengan syariat, sedangkan peci disamakan dengan perubahan masyarakat. Karena itu, apabila terjadi ketidak cocokan antara ukuran kepala dengan peci, maka yang harus disesuaikan adalah pecinya, bukan merombak kepalanya. Begitulah kira-kira tamsil dari betapa kelompok ini berusaha menjaga kemurnian ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Namun demikian, tidak berarti kelompok ini menolak perubahan sama sekali. Mereka meyakini bahwa teks suci yang berupa Al-Qur’an dan Hadis yang mengatur tentang kehidupan duniawi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ada ayat yang bersifat pasti (qath’i) dan tidak ada penafsiran lain terhadap ayat dimaksud; dan ada ayat yang interpretable dan multi tafsir. Dalam kaitan dengan ayat-ayat jenis pertama tidak ada perubahan dan penafsiran, betapapun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dalam masalah yang diatur oleh ayat-ayat jenis kedua dimungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, dan tentu membawa implikasi perbedaan dalam penerapan aturan itu.
Betapapun adanya potensi perbedaan penafsiran di kalangan mereka, tapi penafsiran mereka masih terbatas dengan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu. Bahkan dalam hal tertentu, mereka lebih bersifat kaku dalam menafsirkan ayat atau hadis. Itulah sebabnya kelompok ini disebut orang sebagai kelompok “skripturalis” atau “tekstualis”. Implikasi dari kecenderungan ini terkadang mereka bersifat ekslusif, menganggap penafsiran dari kelompoknya yang paling benar, sementara pemahaman orang lain dianggap salah. Tidak jarang juga menganggap umat Islam yang berbeda dengan penafsiran kelompoknya dianggap “kafir”.
Di kalangan mereka diintrodusir istilah “bid’ah” yang dipertentangkan dengan istilah “sunnah”. Istilah ini terutama berkaitan dengan tatacara beribadah (ibadah mahdlah). Bagi mereka, adat atau kebiasaan ibadah yang tidak ada landasannya dari Al-Qur’an dan Hadis disebut bid’ah, dan karena itu dianggap sesat. Konsep bid’ah itu juga memasuki ranah muamalat, sehingga apa saja yang dilakukan oleh Rasul, tanpa membedakan kedudukan beliau, harus sepenuhnya diikuti. Tidak heran, kalau dalam penampilan sehari-hari mereka harus memakai gamis atau jubah, berjenggot tebal dan seterusnya.
Bertitik tolak dari keyakinan dan cara berfikir kelompok ini, maka banyak pandangan atau gagasan yang dikemukakan mereka terkesan kembali ke lima belas abad yang lampau. Dalam masalah kenegaraan, mereka tidak membenarkan wanita menjadi kepala negara. Argumen yang dikemukakannya adalah ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “Laki-laki menjadi pemimpin terhadap wanita”. Tentu mereka tidak berupaya untuk memehami secara komprehensif apa makna yang sesungguhnya dari ayat tersebut, apa konteks kalimatnya, apalagi memeahami makana di balik teks itu berupa kondisi sosial budaya pada masyarakat Arab waktu itu.
Begitu pula masalah hubungan antar umat beragama. Dalam pandangan mereka, tidak dibenarkan menjadikan orang non muslim sebagai orang yang menjadi kepercayaan orang muslim, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin bagi orang muslim. Memang harus diakui ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan hal itu. Tetapi, lagi-lagi tanpa difahami konteks ayat dan kondisi sosial yang ada pada waktu itu.
Dari beberapa contoh kasus di atas dapat difahami, betapa konsistennya kelompok ini dalam mengamalkan apa yang tertulis secara literal dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber ajaran islam ini diyakini mereka merupakan ajaran yang fundamental dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Itulah sebabnya, orang yang di luar kelompok ini, terutama orang barat, menyebut kelompok mereka sebagai kelompok muslim fundamentalis, bahkan sering juga disebut sebagai kelompok militan.
Tentu, kita sebagai umat Islam harus memberikan apresiasi terhadap sikap mereka yang konsisten atau istiqamah dalam menjalankan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun dalam waktu yang sama kita juga harus memperhatikan dan mencermati sumber ajaran Islam dengan menggunakan penalaran dan analisis yangtidak bertentangan dengan misi Al-Qur’an sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua umat manusia, di mana pun dan kapan pun mereka berada


2. Liberalis

Istilah Islam Liberal merupakan salah satu wacana dialektis Islam dalam konteks menghadapi kemoderrnan. Wacana ini menjadi penting dan menonjol akhir-akhir ini, ketika dunia Islam terkepung oleh peradaban dan sains modern yang datang dari barat. Kemunculan Islam liberal berbeda secara kontras dengan Islam fundamentalis yang menekankan pada tradisi salaf. Dalam faham liberal, faham fundamentalis hanya akan membawa keterbelakangan yang akan membawa dunia islam menikmati buah modernitas, berupa kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia. Lebih dari itu, faham ini meyakini bahwa apabila Islam difahami dengan pendekatan liberal akan menjadi perintis jalan bagi liberalisme di dunia barat.
Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan normatif yang terkandung di dalamnya. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa adanya, melainkan harus dibawa kepada konteks manusia modern.


3. Moderat

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kecenderungan pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah dibedakan menjadi muslim liberal di satu sisi dan muslim fundamentalis di sisi yang lain. Diantara kedua aliran dan kecenderungan ini ada kelompok umat Islam yang memahami kedua sumber itu secara moderat (tawassuth). Artinya, tidak terlalu bebas, seperti kelompok Islam liberal dan tidak juga kaku, seperti kelompok Islam fundamentalis.
Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini sebagai sebuah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an dan Al-Sunnah , turun dalam situasi yang berbeda dengan apa yang ada saat ini. Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat permanent dan konstan,, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah mahdlah). Namun ada juga ajaran yang mengalami perkembangan dan penyempurnaan, seiring degan perkembangan umat Islam. Ajaran Islam kategori ini lebih bersifat temporer, berubah dan dqapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kelompok ini membuat adagium “al-Nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghairu mutanahiyah”. Artinya, Teks suci, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, bersifat terbatas, sementara kasus dan perstiwa hokum tidak pernah ada batasnya. Bagi mereka, Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus difahami dalam kaitannya dengan perkembangan umat islam yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Secara sosiologis harus diakui bahwa masyarakat berkembang dan tidak statis. Bahkan secara linguistic, bahasa mengalami perubahan sekitar 90 tahun sekali (hampir satu abad). Perubahan ini meniscayakan adanya perubahan dalam pemahaman terhadap norma dasar, Al-Qur’an dan Hadis.
Kelompok ini selalu memperhatikan kepentingan dan kebutuhan manusia yang selalu berkembang, dengan tetap memperhatikan norma yang terdapat dalam teks. Selama telah diatur secara qathiy, maka perkembangan dan kepentingan manusia harus tunduk pada ketentuan teks yang sudah mempunyai nilai pasti itu.
Karakteristik kelompok moderat:
Pertama, Menggabungkan antara faham salaf dan modernis. Kelompok ini tidak terpaku hanya pada buku-buku yang ditulis oleh ulama terdahulu, sebagaimana dilakukan oleh kelompok fundamentalis, melainkan juga memperhatikan perkembangan pemikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini.
Kedua, Mengambil pendapat para ulama secara selektif, tidak mengikatkan diri dengan mazhab tertentu. Kelompok ini berusaha untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan penafsiran genearsi awal, dengan memperhatikan relevansinya dengan kondisi saat ini.
Ketiga, Mendahulukan persoalan yang universal dibandingkan dengan masalah yang particular. Kelompok ini lebih banyak berbicara masalah yang bersifat pokok (ushul) ketimbang yang bersifat cabang (furu’)
Keempat, Kelompok ini berusaha untuk menggabungkan arti yang secara harfiah ada dalam teks, tetapi berusaha juga memahami apa maksud pemberi syariat dibalik teks itu.

Dari empat karakteristik di atas, dapat difahami, bahwa kelompok ini telah berupaya untuk membedakan antara masalah-masalah yang prinsipil dan konstan atau permanent di satu pihak dan masalah-masalah yang tidak prinsipil, berubah dan temporer di sisi yang lain. Mereka memilah ajaran Islam yang ada menjadi dua kategori, yaitu yang tetap dan berubah. Yang termasuk prinsipil dan tidak berubah adalah aqidah (keyakinan) , akhlak dan ibadah mahdlah. Sedangkan dalam masalah muamalah pada umumnya dikategorikan pada masalah yang bersifat berubah, terutama dalam hal yang bersifat oprasional.
Setelah diaparkan tiga kecenderungan dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah (Hadis), kelihatannya yang menjadi kecenderungan umum adalah sikap moderat dalam mengamalkan ajaran Islam. Sikap dan kecenderungan ini sejalan dengan jiwa dan semangat Al-Qur’an yang menghendaki umat Islam menjadi umat yang moderat (wasathan). Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang moderat (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”. Sementara itu Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang yang datang sebelum kamu binasa karena sikap mereka yang berlebihan dalam agama”.
Kelihatannya menjadi muslim moderat, bukan saja sesuai dengan jiwa ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga mencerminkan kearifan umat Islam untuk melihat masa sekarang sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari, namun tetap dapat mengamalkan ajaran dasar Islam dengan peneuh keyakinan atas kebenaran ajarannya.
Kelihatannya Muhammadiyah telah faham dan sangat menyadari adanya wacana pemahaman umat Islam tentang doktrin dan penerapannya. Kecenderungan di kalangan warga persyarikatan, kalau boleh jujur apa adanya, telah terbagi menjadi dua arus utama ini. Kelompok Muhammadiyah salafi dalam arti taat asas kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara literal cukup banyak penganutnya. Bagi kelompok ini, perubahan masyarakat tidak serta merta harus mengubah pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sementara kelompok ‘ashroni di kalangan warga Muhammadiyah tidak kurang banyak juga penganutnya. Tarik menarik antara dua kelompok kecenderungan ini tidak mustahil akan menimbulkan “ideologi” keberagamaan baru dalam Muhammadiyah. Mungkin, di tengah pergumulan pemikiran itu, adanya sikap tawassuth atau moderat akan lebih arif dan penting untuk disosialisaikan.


Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua sudah mulai terlihat pentingnya menyelesaikan masalah yang sama sekali baru yang dihadapi umat Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan dirumuskan tajdid dalam arti modernisasi dan dinamisasi. Rumusan dan konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ini tidak lagi berkutat pada pemurnian aqidah dan masalah-masalah khilafiyah dalam fikih, tetapi lebih diarahkan pada ijtihad insya’i. Sedangkan pada pase terakhir, tema tajdid dalam Muhammadiyah tidak terbatas pada masalah purifikasi dan dinamisasi, tetapi menuju rekonstruksi dan bahkan dalam batas tertentu melakukan dekonstruksi terhadap ajaran normatif, menuju ajaran islam yang bersifat historis.
Persoalannya adalah, apakah semua warga Muhammadiyah, terutama para ulama dan cendikiawannya setuju dengan tema tajdid pase ketiga ini. Tentu, sesuai dengan karakteristik persyarikatan yang menghargai pendapat anggotanya, ragam pandangan dalam merspons persoalan ini tidak dapat dihindari. Kecenderungan fundamentalis sama kuatnya dengan kecenderungan liberalis. Di balik kedua kecenderungan yang ekstrim itu, barangkali kecenderungan moderat menjadi pertimbangan kita semua.

Tidak ada komentar: