Rabu, 25 Februari 2009
Mafia Peradilan
Dilema Advokat dalam Praktek Mafia Peradilan
1. Tanggungjawab dan kewaiban entitas penegak hukum
Pada haketnya tujuan utama para professional penegak hukum bersifat alturistik dan tidak egoistic. Dengan posisi social demikian maka masyarakat memiliki hak untuk menguji kualitas komitmen, menggugat, mengontrol dan memberi respon terhadap ingkah laku yang mengenai “Legal Behavior” maupun yang ada dalam dominant “Courtroom Behavior” dari para penegak hukum ( Advokat, Polisi, Jaksa dan Hakim). Respon tersebut bias berupa respek social, apresiasi kewibawaan social, penghargaan simbolik, dan sejenisnya. Sdangkan dipihak lain ada juga respon negative berupa sanksi moral, sanksi social, gugatan hukum dan lain sebagainya.(Artidjo Alkostar_Hakim Agung, 2005)
Dalam kacamata teori Michael I Reed kelompok Profesional dilihat sebagai “Can be seen as a strategic source of moral regulation and potential force for sociale political change”. Untuk itu posisi social yang strategis dari komunitas professional penegak hukum memikul beban tanggungjawab moral dan social yang tinggi, bukan justru dijadikan tempat berlindung atau memberi imunitas diri bagi tibdakan malpraktek, kolutif, terlibat mafia peradilan, dan tindakan menyimpang lainnya. Dalam hubungannya dengan ideology profesionalisme, Michael I Reed mengemukakan;
“Amodel and ideology of professionalism based on relatively autonomous relationship between individual client and independent practitioner (accretidet and supported by an appropriate professional body) give way and strategy and form of profesionalization in wich various accoupational groups have conducted a faustian pact with bueanieratic organization”. (Reed, Michael I. 1992. p 210)
Dari hal ini terlihat bahwa entitas (entity) professional penegak hukum sejatinya berkewajiban moral untuk memprioritaskan spirit kejuangan dalam rangka “striving instability for knowledge and mastery” atau yang senantiasa berjuang keras untuk emenuhi kehausan terhadap peningkatan ilmu dan keunggulan.
2. Mafia peradilan dalam Penegakan Hukum
Proses penegakan hukum tidak pernah lepas dari tantangan dan godaan serta variable-variabel yang melekat pada proses penegakan hukum antara lain karakter hukum (nomo-logos), penerapan keadilan prosedural (teknologos), integritas moral, dan ketangguhan mental para penegak hukum. Agar penegak hukum tidak mengalami degradesi moral dan defisit mental, diperlukan adanya nutrisi knowledge dan skill serta mekanisme kontrol yang berkelanjutan baik dalam hal kode etik, social maupun yuridis terhadap tingkah laku para penegak hukum termasuk advokat.
Pengawasan yang efektif (internal maupun eksternalk) akan dapat membantu mewujudkan peningkatan keindahan perangai dari para penegak hukum yang tercemin dari kecerdasan moral, emosional, dan intelektual karena didalamnya terkandung proses educasi dan pemberian sinyal-sinyal etika profesionalisme. Sehinga dalam menjalankan mandate hukum berupa kewenangan yuridis dan peran profesionalnya dapat menunjukkan puncak kearifannya dlam menegakkan keadilan bagi semua orang.
Konsekuensi pilihan nilai (ideology) pada individu dan komunitas advokat
Tujuan profesi hukum yang luhur, seyogiyanya mengundang “konsekuensi etis” timbulnya rasa hormat terhadap penegak hukum termasuk advokat. Tetapi sebaliknya apabila profesi luhur ini dikotori oleh mafia peradilan, maka penegak hukum tersebut akan menjadi tidak terhormat karena mengidap “kolesterol moral” dalam tubuh para penegak hukum . para penegak hukum yang terjangkit “Kolesterol Moral” akan gagap menyuarakan dan membobngkar praktek KKN dalam proses penegakan hukum.
Dengan ideology advokasi yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, maka beralasan jika advokat bangga terhadap profesi dan praktek penegakan huykumnya. Dengan ideologio yang berorientasi pada nilai-nilai tersebut berarti individu atau komunitas advokat telah melakukan amal baik yang memperkokoh jiwanya karena telah beramal-ilmiah yang berkualitas hablumminallah atau hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu ibadah. Pada saat yang sama advokat telah mempraktekkan ilmu ilmiahnya dengan membela “pencari keadilan” atau klientnya, yang bermakna Hablumminannas atau hubungan dengan sesama manusia atau masyarakat yang haus akan keadilan. Dengan melaksanakan peran profesionalnya secara anggun dan bermartabat disadari atau tidak advokat telah membantu membangun peradaban dan mewariskannya pada generasi mendatang.
Melalui proses peradilan yang bermartabat (tanpa adanya mafia peradilan), langsung atau tidak langsung advokat telah memberi petunjuk untuk bersikap ksatria. Artinya mengakui, menerima dan menataati prosedur-prosedur hukum serta konsekuensi yuridis atau sanksi sebagai hasil dari proses hukum yang sah. Mengambil peran dalam pross perubahan zaman, dan pembangunan peradaban, berartiu mengembangkan ritme dinamika social yangn indah artinya membina rasa saling menghormati pihak lain dan kalau terjadi persoalan, perkara atau sengketa diselesaikan melalui prosedur hukum acara dan proses peradilan yang tanpa mafia peradilan menuju keadilan yang hakik.
Tantangan advokat
Dengan misi yang altruistic dan kepribadian yang diunggulkan , advokat dapat memperluas jangkauan peran baik regional maupun internasional. Sebagai anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan setelah era reformasi, Indonesia telah mengadopsi dan meratifikasi konvensi-konvensi internasional, maka advokat Indonesia dapat mengambil peran aktif dalam penegakan hukum yang terkait dengan konvensi-konvensi internasional. Norma internsional juga telah mengatur tentang profsi advokat. Antara lain tentang Basic Principles on the role of lawyers.
Guarantees for the functioning of lawyers:
16. Goverments shall ensure that lawyers(a) are able to perform all of their professional function without intimidation, hindrance, harassment or improper interference, (b) and able to travel and to consult with their clients freely booth within their own country and abroad,and (c) shall bot suffer, or be threatened with, prosecution or administrative, economics or other sanetions for any cation taken in accordance with recognized professional duties, standard and ethics.
17. where the scurity of the lawyers is threatened as a result of diseharging their function, they shall be adequately safeguarded by autoritis.
18. Lawyers shall not be identified with their clients or their clients causes as a result of discharging their functions.
22. governments shall, recognize and respect that all communications and consultation between lawyers and their clienta within their professional relationship are confidential. (Adopted by the Eight United Nations Conggress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, Cuba, 27 August to 7 september 1990).
Indeks Persepsi Korupsi 2005. Transparancy international
Country
Rank Country/
Teritorry 2005 CPI
Score Confidence
range Surveys Used
1 Iceland 9,7 9,5-9,7 8
2 Finland 9,6 9,5-9,7 9
3 New Zaeland 9,6 9,5-9,7 9
5 Singapore 9,4 9,3-9,5 12
15 Hong Kong 8,3 7,7-8,7 12
21 Japan 7,3 6,7-7,8 14
32 Taiwan 5,9 5,4-6,3 14
39 Malaysia 5,1 4,6-5,6 14
40 South Korea 5,0 4,6-5,3 12
59 Thailand 3,8 3,5-4,1 13
78 China 3,2 2,9-3,5 14
88 India 2,9 2,7-3,1 14
107 Vietnam 2,6 2,3-2,9 10
117 Philippines 2,5 2,3-2,8 13
130 Cambodja 2,3 1,9-2,5 4
137 Indonesia 2,2 2,1-2,5 13
155 Myanmar 1,8 1,7-2,0 4
158 bangladesh 1,7 1,4-2,0 7
Sumber: Indeks Persepsi Korupsi 2005. Transparancy International
Persepsi Publik tentang Kinerja Hakim, Jaksa, Polsis, Advokat dan Mahkamah Agung
Instrumen hukum dalam Upaya Pemberantasan korupsi (Legislasi):
UU Nomor 31Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999);
Undang-undang Nomor 15 tahiun 202 tentang Pidana Pencucian Uang;
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan korupsi (KPK);
Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
Undanmg-undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
United Nations convention Againts Corruption;
Undang-undang Nomor 11 tahun 1980 tentang tindak Pidana Suap;
Instrument pemberantasan Korupsi (Institusi):
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
Kepolisian;
Kejaksaan;
Mahkamah Agung (lembaga Peradilan);
Komisi Pemberantasan korupsi (KPK);
Komisi Yudisial;
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
Komisi Ombudsman;
Menteri Penertiban Aparatur Negara(Menpan).
Terdapat beberapa langkah untuk mendeteksi adanya praktik mafia peradilan sebagai sebuah judicial corruption:
Pertama, harus dilihat secara kasuistik, (a) perkara komersial besar (b) perlakuan istimewa pada penggugat atau tergugat (c) pelanggaran telanjang hukum acara (d) putusan yang aneh dan bertentangan dengan hukum. Kedua, penelusuran kekayaan: (a) hakim, Jaksa dan Pengacara dalam perkara tertentu, (b) investigasi partikelir (LSM seperti ICW, ICM, Judicial watch, Komisi yudisial, KPK PPATK).
Peran Advokat dalam praktik mafia peradilan:
1. mengadakan pertemuan ex-parte dengan Hakim;
2. Merekayasa kesaksian dan membeli saksi pihak lawan (tempering with witnesses);
3. Memalsukan, menghilangkan dan atau merekayasa alat bukti;
4. Bersekongkol dengan sesame advokat (malicious conspiracy).
Sumpah advokat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003:
“Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia;
Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak menjanjikan atau memberikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas profesi didalam atau diluar pengadilan tidak akan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, [pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagu perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;
Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau meberi jasa hukum didalam suatu perkara yangmenurut hemat saya merupakan tanggiung jawab dari profesi saya sebagai Advokat.”
Upaya-upaya dalam memberantas praktik Mafia Peradilan:
Segera disahkannya Undang-undang perlindungan saksi (Whistle Blower): Undang-undang ini harus diprioritaskan oleh Pemerintah dan DPR. Rancangan Undang-undang (RUU) dan study komparatif sudah tersedia, tinggal kemauan politik
Dibentuknya Dwan Pengawas Advokat. Peradi harus membentuk Dewan Pengawas yang terdiri dari Advokat Senior, akademisi Hukum, dan tokoh masyarakat. Jadi benar-benar ada sebuah mekanisme control yang jelas dan mengikat bagi para professional Advokat. Diharapkan anatinya para advokat tidak sembarangan dalam menggunakan profesinya, tetap menjaga harhat dan martabat profesi advokat.
Reposisi peran dasar advokat dalam konteks pelemahan dan pelanggaran HAM Sipil Politik dan Ekosok dengan korban structural dipihak rakyat. Penggiatan program spiritualisme dan keberagamaan advokat dengan maksimal supporting keluarga dan komunitas terdekat.
Membangun sinergi moral perang terhadap Mafia Peradilan antara elemen Advokat, Hakim, Jaksa, kampus, KPK, Komisi yudisial dan unsure-unsur Civil Society.
Kotak Pos mafia Peradilan. Peradi, Ikadin, AAI, IPHI, ICW dan ICM harus membuka kotak pos tempat pengaduan masyarakat jika menjumpai adanya praktik Mafia Peradilan. Masyarakat harus diberikan akses yang mudah dijangkau, sehingga merasa leluasa dalam melaporkan setiap keputusan pengadilan yang aneh dan meyimpang dari hukum. Ataupun yang ditengarai terjadi praktik mafia peradilan.
Heavy Punishment (sanksi yang tegas). Seharusnya pihak yang berwenang memberikan sanksi yang tegas kepada para advokat yang melanggar sumpah jabatan, dengan cara memberikan skorsing atau pencabutan izin praktek, tergantung kadar kesalahan.
Kuliah Kode etik. Lembaga [pendidikan seperti fakultas hukum harus mulai lebih serius mengajarkan kode etik (professional Responsibility). Sehuingga mahasiswa nantinya paham dan mengerti apa dan bagaimana harus bertindak dalam menjalankan tugas profesi, entah itu Advokat, jaksa, Polisi maupun Hakim.
Kebebasan pers harys dipewrtahankan untuk membongkar mafia peradilan. Biar bagamana pun peran pers sangat signifikan, terutama sebagai media untuk memperoleh akses mauopun informasi terkini.
Dalam pengelolaan ilmu hukum dan hukum sebagai pranata social, pendekatan doctrinal juga dipengaruhi oleh dinamika pendekatan dialektika ilmu hukum. Juga pusaran-pusaran perubahan-tatanan kehidupan masyarakat baik yang menyangkut perubahan kualitas dan kesempatan memperoleh hak-hak publiknya yang acapkali dipengaruhi oleh tekanan structural dari kekuatan-kekuatan dominant dalam masyarakat. (Muh. Busyro Muqoddas, Ketua Komisi Yudisial, 2005)
Dalam masyarakat dimana kelas menengah belum berperan sebagai kekuatan pengontrol, penyeimbang dan perubah terhadap struktur plitik (kekuasaan Negara), Negara yang berada ditangan kekuatan hegemonik, akan menyebabkan posisi tawar rakyat tidak berdaya dihadapan kekuatan Negara. Dalam situasi seperti ini, meningkatnya syahwat politik penguasa modal dan penguasa Negara memudahkan terjadinya konspirasi politik. Kondisi ini akan diperparah ketika elemen-elemen formil demokrasi (parpol dan parlemen) berselingkuh secara terbuka dengan kekuatan konspiratif tersebut.
Bertitik tolak dari pandangan teoretikal bahwa hukum sebagai instrument yang diperlukan bagi perubahan-perubahan social politik ekonomi dan ketatanegaraan, ditangan kekuasaan yang hegemonic, alih-alih, hukum pembentukannya dalam proses legislasi nasional dan melalui putusan hakim sebagai instrument “pembebas ketertindasan dan ketidakadilan”, bahkan sebagai system norma yang menindas dan memperkuat serta memperpanjang ketidak adilan structural.
Praktik kehidupan hukum nasional dalam legislasi maupu dalam bentuk proses-proses peradilan yang bersifat menindas telah terjadi dalam era Presiden soekarno da Presiden Soeharto. Diantara banyak pengamat keadilan, Daniel S.Lev mendeskripsikan hal demikian; bahwa dalam komunitas kaum cendekiawan, sebagaimana ditulis Daniel Dakhidae dalam kedua era otoritarian iu terjadi praktik pelacuran cendekiawan. Pidato kebudayaan Ahmad Syafi’i Ma’arif tahun 2005 di TMI Jakarta mempertegas kembali, bahwa kini tengah terjadi “pengkhianatan” terhadap kaum intelektual di Indonesia.
Komunitas Advokat, Hakim, jaksa serta Polisi yang relatif merupakan kelas menengah dari segi intelektual serta mapan dari segi ekonomisnya, dipertanyakan perannya, bagaiman harus memahami dan menyikapi situasi ketika hukum berada dalam sejumlah berbagai setting ermasalahan diatas.
Patut dipertanyakan, bagaimana advokat menegaskan otentisitas pandangan dasarnya mengenai hal-hal esensial yang terkait dengan hubungan antara hak, kewajiban, klien, makna kebenaran, nilai-nilai dan ruh keadilan serta keberpihakan pada komunitas tertindas (mustadz’afien).
Pertanyaan diatas cukup relevan, ketika dewasa ini, suara nurani dan akal sehat komunitas ini semakin jauh terdengar dari wilayah-wilayah problem riil ketidakadilan sebagai akibat system yang menindas. Juga sebagai akibat dari desakan godaan materialisme yang menempatkan “materi” sebagai “berhala” yang disembah-sembah, selain tentunya live style advokat dan keluarganya (istri, anak dll) penganut dan pengamal glamour style. Merata dan menguatnya mafia peadilan dewasa ini, harus diakui sebagai sumbangan terbesar dari sementara kalangan advokat.
Skandal tragis dan memalukan di Mahkamah Agung dengan sejumlah kasus mafia peradilan akhir-akhir ini, dengan jelas menggambarkan kinerja yang sistemik antara elemen advokat, broker (cukong, pegawai Mahkamah Agung), dan Hakim Agung. Dan patut disesalkan, dalam menyikapi praktik mafia peradilan yang merupakan “jenis kejahatan terbesar” dan pembunuh masa depan bangsa ini, komunitas advokat penegak hukum dan keadilan hanya bersuara lirih, ragu-ragu dan sayup-sayup dilorong-lorong kecil. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana signifikasinya terhadap usaha menca[pai keadilan dalam system peradilan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar