Rabu, 25 Februari 2009

MENUJU KEBEBASAN BERFIKIR; Sebuah refleksi bersama

Oleh : Katri Hadinoto


Di usianya yang sudah dibilang dewasa bagi IMM dalam pergulatannya dengan pergerakan Mahasiswa dan masyarakat, mengharuskan kepada semua elemen yang ada didalammnya untuk terus tanpa henti dalam menyejajarkan antara wilayah yang dimensinya berbeda akan tetapi saling mengikat,menguatkan dan berkesinambungan, yaitu pencerahan-pengkayaan fikir (refleksi) dengan dimensi praksis gerakan (aksi). Mengapa demikian ? karena selama ini IMM secara epistimologis telah mendasarkan dirinya pada sebuah paradigma gerakan yang berdimensi integralistik, yang tidak merasa cukup-kalau tidak boleh dikatakan puas- hanya memprioritaskan pada satu dimensi dengan meniadakan yang lain, melainkan selalu memadukan keduanya dalam bingkai terminologi ilmu amaliah dan amal ilmiah. Namun perlu disadari lebih lanjut bahwa apa yang telah dilakukan selama ini akan sia-sia dan tidak mendatangkan keberkahan dari Allah, apabila tanpa dilandasi dengan semangat keImanan (ihlas-ridlo). KH.A. Dahlan pernah mengajarkan pada para santrinya tentang arti penting iman-ilmu-amal, yang berbunyi :”Pada hakekatnya setiap insan pasti akan mati, kecuali meraka yang berilmu. Orang yang berilmu akan bingung, kecuali mereka yang beramal. Orang yang beramal akan sia-sia, kecuali mereka yang ihlas.” Maka sudah sepantasnya, seandainya kemudian seluruh gerak dan aktifitas IMM, merupakan implementasi atas pemahaman terminologi iman-ilmu-amal, yang diajarkan beliau.
Tulisan ini muncul, dengan harapan tidak semakin menenggelamkan nalarkritis aktifis-IMM, untuk selalu “secara konsisten” melakukan dekonstruksi paradigma gerakan (refleksi-aksi), dalam rangka ijtihad pembaharuan pada konteks situasinya dan pergumulan dengan tema-tema zaman. Demikian juga tidak bermaksud membatasi ruang gerak aktifis-IMM untuk mengekspresikan diri (pikiran-bahasa), mencari dan menangkap tema-tema zaman tersebut, karena penulis sadar bahwa dalam sebuah tata nilai kebenaran manusia meniscayakan adanya absolutisme konteks dan mengesahkan keberadaan relatifisme konteks. Namun akan menjadi harapan bersama manakala tulisan ini kita maknai sebagai pemicu akselerasi pencerahan kembali ruh perjuangan kita, karena saat ini aktifis-IMM sedang mengalami kejumudan berfikir dan stagnasi dalam bergerak. Maka disini akan kita coba untuk melihat kembali sejauh mana aktifitas yang dilakukan IMM pada konteks gerakan intelektual.
Antonio gramsci dalam pokok pembahasannya seputar keterlibatan komunitas intelektual dalam upaya melakukan counter hegemoni atas bentuk hegemoni penguasa (Mussolini), dan membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin) oleh kesewenang-wenangan kaum penindas (mustakbirin), membagi intelektual dalam dua wilayah yang berbeda yaitu intelektual tradisional (teori) dan intelektual organic (mendialogkan dengan realitas sosial). Secara gamblang diuraikan gramsci selanjutnya bahwa intelektual organic adalah intelektual yang secara sadar dan mampu menghubungkan teori dengan realitas sosial yang ada. Intelektual yang memiliki kemampuan sebagai organisator(memobilisasi massa) yang sadar terhadap identitas yang diwakili dan mewakili. Sementara intelektual tradisional adalah intelektual yang hanya berkutat pada dataran teoritik semata tanpa mampu membumikian torinya untuk didialogkan dengan realitas sosial. Terlepas dari konteks sejarah pada saat gramsci merumuskan idea-idea revolusionernya, distingsi tentang intelektual tradisional dan intelektual organic tetap relevan untuk dijadikan dasar analisis pada konteks zaman dan komunitas kita saat ini (IMM). Jadi dengan demikian secara implisit, dalam perspektif gramscian, IMM adalah salah satu dari sekian banyak komunitas intelektual yang dicita-citakan gramsci mampu membangun kesadaran pada tingkat basis massa masyarakat dan melakukan counter hegemoni terhadap struktur sosial yang menindas. Pertanyaannya kemudian adalah pada wilayah mana IMM sejatinya memposisikan dirinya sebagai komunitas intelektual ?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, sekiranya perlu kita lakukan maping terlebih dahulu atas peran-peran yang dimainkann IMM pada wilayah empiris, yaitu IMM sebagai entitas independen (lembaga) selanjutnya disebut dalam peranya sebagai komunitas pemikir dan individu-individu didalammnya yang selanjutnya disebut dalam perannya sebagai pelaku (subjek) pemikir. Pertama; sebagai pemikir (komunitas), selama ini kita leham melakukan berbagai macam aktifitas sebagai bentuk wacana proses penyadaran terhadap massa masyarakat terhadap adanya berbagai macam bentuk penindasan baik yang dilakukan individu (penguasa) maupun sistem (kekuasaan). Pada dataran inilah selama ini juga IMM memposisikan dirinya sebagai komunitas yang tidak pernah terjamah akan adanya praktek-praktek penindasan, baik sebagai komunitas penindas maupun tertindas, sehingga seolah-olah akan mampu”tanpa optimisme” memberikan jawaban atas segala persoalan yang terjadi. Bentuk tawaran-kalau tidak boleh dikatakan jawaban-yang telah menjadi terminologi yang tak terbantahkan selama ini antara lain: Keperpihakan terhadap kaum du’afa dan mustadh’afin serta melakukan revolusi sistem yang tiranik, melawan dan melakukan pemberontakan terhadap kaum penindas adalah jalan termudah menuju surga Allah, dsb. Terminologi semacam inilah yang selalu menjadi jargon (paradigma) gerakan IMM, yang sekaligus menjadi materi-materi doctrinal spirit perjuangan bagi kader-kadernya. Paradigma yang dimiliki dan tidak mampu dikritisi oleh individu-individunya semacam inilah yang sebenarnya akan mendatangkan preseden buruk untuk keberlangsungan komunitas intelektual kedepan. Karena secara teoritik paradigma tersebut dirumuskan oleh kaum elit yang sama sekali tanpa pernah melibatkan dan merasakan pahitnya penindasan. Maka boleh dikatakan kalau sebenarnya paradigma yang dimiliki IMM hanyalah sebuah retorika semata, karena terjadi bias pada dataran praksis. Artinya paradigma yang diusung tersebut pada wilayah praksisi tidak memiliki keperpihakan yang jelas, antara kaum tertindas dan kaum penindas. Dalam pruralisme borjuis-Nur khalik ridwan- mengatakan bahwa,”posisi kelas sosial sesorang (kelompok) mempengaruhi idiologi yang diperjuangkan.” Kalau pada tingkat toeritis paradigma gerakan IMM dirumuskan oleh kaum elit, maka jelas bahwa produk yang dihasilkannya pun sejatinya mempunyai keperpihakan kepada idiologi kaum yang diwakilinya secara implisit, meskipun dibuat dengan redaksi yang seolah-olah memihak kepada idiologi kelompok lain.
Oleh karena itu perlu kiranya diuji kembali paradigma gerakan IMM yang diusung dengan perspektif yang objektif-empirik, pada esensi pembebasan itu sendiri. Boleh jadi yang dilakukan bukannya sebuah pembebasan terhadap kaum tertindas melainkan gejala praktek masifikasi hegemoni kaum penindas, artinya sadar atau tidak komunitas kita telah menjadi “komunitas penindas” juga. Sehingga pertanyaan yang muncul kemudian adalah; bagaimana mungkin IMM dikatakan komunitas pembebas kaum lemah, manakala yang kita bangun selama ini adalah komunitas pemikir yang exsklusif-elitis, yang membiasakan gaya hidup hedonis-borjuis, yang bersikap layaknya penguasa lalim-hegemonik? Maka sudah barang tentu produk pemikiran (paradigma gerakan) yang dihasilkan mempunyai keperpihkan kepada posisi kelas sosial yang diwakili (elitis-borjuis-hegemonik). Karena realitasnya adalah komunitas elit-borjuis-hegemonik yang selama ini menindas dan mempunyai potensi untuk terus menindas.
Kedua; sebagai subjek pemikir. Kayaknya sudah mendarah daging pada masing-masing individu yang saat ini bergumul dengan komunitas intelektual (IMM), terlepas dari perannya sebagai subjek pemikir aktif maupun pasif.terbangunnya image sebagai subjek pemikir tidak dapat dipisahkan dengan semangat liberalisasi pemikiran dan radikalisasi kader. Sehingga dengan sendirinya ada tanggung jawab secara moral untuk berproses menjadi ada (to exist) bersama bumi. Terminology yang dipakai adalah “proses individuasi”, sehingga diharapkan terbentuknya individu-individu yang pilih tanding (kesolehan individu) yang dapat mensinergikan cita-cita komunitas intelektual (IMM) dengan tindakan keseharian.
Bergaining positon yang dicitrakan oleh komunitas intelektual diatas, tidak dapat dipisahkan dari proses individuasi yang dilakukan oleh sang actor intelektual. Pada proses individuasi inilah sebenarnya juga telah terjadi praktek-praktek penindasan. Praktek penindasan yang semacam apa, yang terjadi pada proses individuasi tersebut ? sebelum kita uraikan lebih jauh, perlu disepakati bahwa kalau benar terjadi praktek penindasan, maka telah terjadi juga proses penegasian (pengingkaran) terhadap paradigma gerakan komunitas intelektual (IMM), sebagai gerakan yang tidak pernah tunduk dan akan bangkit melawan bentuk ketidakadilan, namun yang terjadi adalah menundukkan dan melanggengkan praktek ketidakadilan.
Bentuk penindasan tersebut adalah adanya hegemoni wacana yang dilakukan oleh subjek pemikir yang memonopoli dan mendominasi secara kuat untuk terus menancapkan pikiran-pikirannya. Karena menurut gramsci bahwa watak kekuasaan mirip dengan monopoli pengetahuan. Secara empirik, sekilas akan terlihat proses transformasi wacana, shearing idea dan perdebatan, namun sejatinya hanyalah apologetic semata. Karena pada saat itu juga tengah terjadi praktek pengkerdilan dan pemandulan dalan berfikir. Kekritisan kita sesunggunya telah didesign sedemikian rupa, sehingga tidak pernah bisa keluar ataupun melewati sebuah hole of discourses (lingkaran wacana) dan lingkaran pemikiran yang dibuat oleh masing-masing dari kita. Sehingga nalar kritis subjek pemikir benar-benar mandul dan kerdil, karena hanya mampu berfikir sebagaimana berfikirnya orang lain, jadi subjek pemikir tidak pernah ada untuk dirinya tapi ada dari orang lain.
Terjadinya monopoli dan dominasi wacana oleh masing-masing dari kita, lagi-lagi mengesahkan adanya praktek penindasan. Kita adalah penindas terhadap kita dalam komunitas inteltual (IMM) ini yang tidak sadar, sehingga mustahil akan menjadi pelaku pembebas sedangkan kita adalahpelaku penindas dan tertindas (esoteris).(distingsi penindas dan tertindas dapat dilihat pada”pendidikan kaum tertindas”. Paulo freire).
Imanuel Kant, peletak pertama dasar faham kritisme mengomentari bahwa, pada komunitas yang berjalan damai dan selaras, sejatinya mengisaratkan adanya praktek-praktek penindasan, depedensi (kemapanan) serta pembodohan. Maka bukan tidak mungkin komunitas intelektual (IMM) kita yang getol-getol menyuarakan keadilan,humanisasi oleh individu-individunya, ternyata merupakan sistem yang membuka peluang bagi individu-individunya untuk melakukan penindasan terhadap sesame.
Maka kalau dikembalikan pada distingsi gramsci tentang intelektual tradisionalis dan intelektual organic, maka akan terjawab, dimanakah posisi komunitas intelektual (IMM) dan actor inteltual (aktifis IMM) berada ? mari kita kaji bersama. Salam perjuangan. . . . .

Tidak ada komentar: