Rabu, 25 Februari 2009

Hukum Pajak

“OPTIMALISASI
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM RANGKA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH”1
Oleh :
DR.Machfud Sidik,MSc.2


1. PENDAHULUAN
Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telah
menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan
Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun
dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal
sebagai era otonomi daerah.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan
yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah
kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol
penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah
dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut,
Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber
keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan
personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah
besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer
keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya
sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah
harus lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya untuk meningkatkan
akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber
penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu
saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk
diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak
lama menjadi unsur PAD yang utama.
1 Disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah
Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun
Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002.
2 Saat ini menjabat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan.
2
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat
melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan
daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang
perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah,
diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk
mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi
daerah.
Walaupun baru satu tahun diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana
diamanatkan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 serta
peraturan perundang-undangan pendukung lainnya, berbagai macam respon
timbul dari daerah-daerah. Diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan
yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui
pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 telah
memperlihatkan hasil yang menggembirakan yaitu sejumlah daerah berhasil
mencapai peningkatan PAD-nya secara signifikan. Namun, kreativitas
Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak terkontrol dalam memungut pajak
daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi
masyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya menyebabkan ekonomi biaya
tinggi. Oleh karena itu UU No.34 Tahun 2000 tetap memberikan batasan kriteria
pajak daerah dan retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah.
2. PRINSIP DAN KRITERIA PERPAJAKAN DAERAH
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan tidak
berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena hal
tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan
mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi
dalam UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam
Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan
merupakan objek pajak pusat.
Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh
banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang
baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang
perpajakan daerah sebagai berikut:
• prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat
mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
• adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota
kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
• administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan
memuaskan bagi si wajib pajak.
3
• secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
• Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang
hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada
dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik
bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau
pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan,
sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight
loss).
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah
harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi
di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
• pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
• relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara
tajam.
• tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan
(benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian
kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan
kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus
mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah
yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan
kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap
“menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu : fungsi budgeter dan fungsi regulator.
Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang
digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur
untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras dimaksudkan agar
rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor
dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam
rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997)3, beberapa kriteria dan pertimbangan
yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat
Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
3 Ter-Minassian, Teresa, “Fiscal Federalism In Theory and Practice”, International Monetary Fund, Washington,1997.
4
1) Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk
tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggungjawab
Pemerintah Pusat.
2) Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu
“mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar
pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke
daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak
terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak
yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk
alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada
daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas
(seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile”
merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat
pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).
3) Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya
diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
4) Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas
bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak
terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5) Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah
lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan
pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6) Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang
memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil
penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak
terlalu berfluktuasi.
7) Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara
ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah
pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.
8) Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan
secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan
kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang
manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
3. KETENTUAN MENGENAI PUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN
RETRIBUSI DAERAH
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dalam UU No.18 Tahun 1997 selama ini dianggap kurang
memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru.
Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada
daerah namun harus ditetapkan dengan PP. Sehingga pada waktu UU No. 18
Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan
5
baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar
Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan
dari Pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Dengan diubahnya
UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah
dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65
Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh
Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi
ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor
dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat
limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah
ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan dalam UU. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat
dipungut oleh Propinsi terkait dengan kewenangan Propinsi sebagai daerah
otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan
bidang pemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsi
dapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang
hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif
untuk Pajak Propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan
diatur dalam PP No.65 Tahun 2001.
Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan
untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran;
(iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir. Jenis pajak
Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberi peluang
untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan
secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis
pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan
dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud adalah :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan;
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
6
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak
Pusat;
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
h. Menjaga kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kota ditetapkan
dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum
yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak
yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota diharapkan
tidak adanya pengenaan pajak berganda.
Dalam rangka pengawasan, Perda-perda tentang pajak dan retribusi yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah harus disampaikan kepada Pemerintah
Pusat paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda-perda
dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam
Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan perda
dimaksud dalam kurun waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya peraturan
dimaksud. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 5A dan pasal 25A
UU No 34 Tahun 2000 juncto Pasal 80 ayat (2) PP No.65 Tahun 2001 dan Pasal
17 ayat (2) PP No.66 Tahun 2001. Namun demikian, walaupun Perda-perda
tersebut sudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (MA) segera setelah
mengajukannya kepada Pemerintah berdasarkan pasal 114 ayat (4) UU No.22
Tahun 1999.
4. PERANAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM
MENDUKUNG PEMBIAYAAN DAERAH
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan
retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan
penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan
salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah,
tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan
oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini
diperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama
7
dengan Clean Urban Project, RTI4 bahwa banyak permasalahan yang terjadi di
daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini
disebabkan oleh :
• Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan
untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria
pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak
boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan
daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta
sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara
daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam
menghadapi krisis ekonomi.
• Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari
segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini
mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih
mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk
memperoleh tambahan bantuan.
• Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh
biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy
yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam
pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong
memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi
sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui
target yang ditetapkan.
• Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah.
Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah
sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%.
Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan
pengeluarannya kurang dari 10%5. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi
dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga
hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar
daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi
(ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi
daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi
karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan
geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan
masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada
masyarakat sangat bervariasi.
4 Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia, LPEM Universitas Indonsia
bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
5 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2001.
8
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari
‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan
penuh kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial
(yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu),
seperti : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan
selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah
dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh
daerah hanya sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan
Pajak Daerah) – lihat Tabel-1. Ketimpangan dalam penguasaaan sumbersumber
penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue
assignment masih terlalu ”sentralistis”.
5. OPTIMALISASI PUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM
RANGKA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi
yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus
memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD
khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu
diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam
jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah
dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah
yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan
melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyek pendapatan daerah,
maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa harus melakukan perluasan
sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu
yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna
mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang
dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada
sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih
banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan
informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data
tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak,
misalnya : baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak,
jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
9
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam
rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :
• Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat
dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial,
antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah
pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian,
menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
• Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara
lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif
retribusi dan peningkatan SDM.
• Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan
secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan,
menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak
fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang
diberikan oleh daerah.
• Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki
prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak,
meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
• Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi
terkait di daerah.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui
kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang
lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya
perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian
langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut
oleh daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada gagasan yang berkembang di kalangan
para pakar internasional, akademisi maupun praktisi di bidang desentralisasi
fiskal, untuk menambahkan taxing power kepada Pemerintah Daerah. Hal ini
dapat dilihat dari gambaran consolidated revenues APBD dan APBN (APBD
Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN), porsi
PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated revenues, di lain pihak
pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari consolidated
expenditures. Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated revenues yang
hanya 5,30% tersebut menunjukkan betapa sentralistisnya sisi penerimaan
antara Kabupaten/Kota dan Provinsi di satu pihak dan Penerimaan Dalam Negeri
10
dalam APBN di lain pihak. Sebagai perbandingan yang sama, masing-masing
untuk developing countries, transition countries dan OECD countries rata-rata
sebesar 9,27%, 16,59% dan 19,13%. Keadaan ini kurang mendukung
akuntabilitas dari penggunaan anggaran daerah, dimana keterbatasan dana
transfer dari Pusat untuk membiayai kebutuhan Daerah idealnya dapat ditutup
oleh Daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya.
Untuk itu perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing power Daerah antara
lain melalui pengalihan sepenuhnya beberapa pajak Pusat kepada Daerah
(artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarif maupun administrasi
pemungutannya), pengalihan sebagian Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) kepada Daerah dan lain-lain kebijakan sharing tax dan piggy backing
system. Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan dengan
memberikan kewenangan penuh memungut pajak sampai dengan besaran
tertentu. PBB dan BPHTB dapat dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak
(tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak
tersebut, meskipun untuk sementara waktu administrasinya akan tetap dilakukan
oleh Pemerintah Pusat. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/Pasal
29 Orang Pribadi yang sekarang dibagihasilkan kepada Daerah dapat dialihkan
dalam bentuk Opsen atau piggy back, dimana Daerah seyogyanya diberikan
kewenangan mengenakan opsen sampai dengan batas tertentu dibawah
wewenang penuh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan ini sekaligus
diharapkan dapat menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber
PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian.
Tabel-1
Perbandingan Total PAD dan Pengeluaran Pemerintah Daerah
Terhadap Konsolidasi APBN dan APBD,
Termasuk Perkiraan Transfer PBB, BPHTB, dan PPH
Untuk Menjadi Pendapatan Kabupaten/Kota.6
Negara Persentase Terhadap Persentase Terhadap
Total PAD Total Pengeluaran
Negara Berkembang Tahun 1990-an 9,27 13,78
Negara Transisi Tahun 1990-an 16,59 26,12
Negara-negara OECD Tahun 1990-an 19,13 32,41
Republik Indonesia TA 1989/1990 4,69 16,62
Republik Indonesia TA 1994/1995 6,11 22,97
Republik Indonesia TA 2001 5,30 27,78
Republik Indonesia TA 2001 *) 7,96 27,78
*) Berdasarkan pada perkiraan pengaruh Desentralisasi dari PBB, BPHTB dan PPh.
Di lain pihak, dilihat dari sisi kewenangan yang menjadi tanggung jawab
Daerah, Indonesia tergolong Negara yang melaksanakan desentralisasi dengan
6 Bank Dunia dan Nota Keuangan dan RAPBN Pemerintah Indonesia pada berbagai tahun
11
suatu proses yang “big-bang”. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran expenditure
assignment yang dilaksanakan oleh daerah pada tahun 1990-an sebesar 16,59%
dati Total Consolidated Expenditure (APBD+APBN) meningkat menjadi 27,78%
pada tahun 2001.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyelenggaraan otonomi daerah
akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan sumber-sumber
pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam
upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan
rumah tangganya. Namun demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari jumlah PAD yang
dapat dicapai tetapi lebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi
daerah dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat
bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
6. MODEL LEVIATHAN
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar
pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk
menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah
yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak
selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada
respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif
pajak lebih tinggi7. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan
asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan
ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan
hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka
Gambar-1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional
atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola
menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak
Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari
beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah “economic behavior”
dari wajib pajak. Gambar ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib
pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independent terhadap jenis
pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan
pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif
tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini
dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan
pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus
dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan
7 Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James (1980), “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction”, dalam
“Democratic Choice and Taxation : A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,W. and Winer,S.L.,Cambridge
University Press,hal.20-22.
12
pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak
yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang
terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total
Penerimaan Maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk
menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak
untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal.
Gambar-1 : Model Leviathan
Tarif Pajak Daerah
Kurva Laffer
t*
Total Penerimaan Pajak Daerah
T*
7. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai
berikut:
Sumber pembiayaan bagi daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
fiskal yaitu PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan
yang sah. Pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu
komponen PAD, seharusnya merupakan sumber penerimaan utama bagi
daerah, sehingga ketergantungan daerah kepada Pemerintah Pusat (Dana
Perimbangan) semakin berkurang, yang pada gilirannya daerah diharapkan akan
memiliki akuntabilitas yang tinggi kepada masyarakat lokal.
Memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang kurang
menguntungkan saat ini, disarankan agar pengadaan pajak dan retribusi baru
perlu dipertimbangkan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan gejolak di
13
masyarakat yang pada gilirannya akan mendistorsi kegiatan perekonomian
daerah yang bersangkutan. Penciptaan suatu jenis pajak selain
mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum juga
perlu mempertimbangkan ketepatan suatu jenis pajak sebagai pajak daerah,
karena pajak daerah yang baik akan mendorong peningkatan pelayanan publik
yang pada gilirannya akan meningkatkan kegiatan perekonomian daerah yang
bersangkutan.
Kebijaksanaan Pemerintah Daerah yang sangat tepat saat ini untuk
meningkatkan penerimaan daerah dalam jangka pendek sebaiknya
dititikberatkan pada intensifikasi pemungutan pajak yaitu mengoptimalkan jenisjenis
pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada.
Upaya untuk meningkatkan PAD di masa mendatang seyogyanya dilakukan
melalui peningkatan taxing power antara lain melalui penyerahan beberapa pajak
Pusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah dan lain-lain
kebijakan sharing tax atau piggy backing system. Bagi Kabupaten/Kota perlu
diberikan tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan penuh untuk
memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. Untuk itu, PBB dan BPHTB
disarankan dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota
diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan
tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut. Disamping itu
disarankan adanya perubahan bagi hasil PPh Pasal 21 dan Pasal 25 dan Pasal
29 Orang Pribadi menjadi opsen atau PPh tersebut dengan tetap
mempertahankan tarif efektif yang berlaku.
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari pajak
daerah ditentukan oleh 2 (dua) hal, yaitu : dasar pengenaan pajak dan tarif
pajak. Model Leviathan mengatakan bahwa pengenaan tarif pajak yang lebih
tinggi secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan yang maksimal.
Kondisi ini tergantung oleh respons wajib pajak, permintaan dan penawaran
barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Teori ini seyogyanya dapat
dijadikan pertimbangan utama bagi Pemerintah Daerah dalam upaya menggali
sumber-sumber keuangan yang berasal dari pajak daerah yang tidak selalu
berorientasi pada pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk mencapai total
penerimaan yang maksimal.
14
DAFTAR BACAAN
1. Brennan,Geoffrey dan Buchanan,James(1981), “Tax Limits and The Logic
of Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation “
A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter and
Winer,Stanley,L. Cambridge University Press, hal.20-22.
2. LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban
Project,RTI (1999), “Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap
Keuangan Daerah di Indonesia”, Jakarta.
3. OECD (1999): “Taxing Powers Of State and Local Government”,
OECD Publication Service, France.
4. Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah”.
5. Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah”.
6. ,Beberapa Peraturan pelaksanaan dari UU No.22
Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999.
7. Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”.
8. Republik Indonesia, “Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran
2001”,.
9. Ter-Minassian,Teresa (1997), “Fiscal Federalism in Theory and
Practice”, International Monetary Fund, Washington.

Tidak ada komentar: