Rabu, 25 Februari 2009

ANTROPOLOGI HUKUM

Perkembangan Tema Kajian, Metodologi, dan Model Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum Di Indonesia[1] I Nyoman Nurjaya[2]

[1] Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Pelatihan Pluralisme Hukum, yang diselenggarakan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), pada tanggal 28-30 Agustus 2003 di Hotel Rudian, Cisarua, Bogor.
[2] Dosen Fakultas Hukum dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

I. Pendahuluan

Warsa 1970-an dapat dicatat sebagai awal dari perkembangan pendidikan ilmu hukum empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologis untuk mengkaji fenomena-fenomena hukum dalam masyarakat sedang berkembang di Indonesia, yang dikenal kemudian sebagai disiplin sosiologi hukum (sociology of law). Nama-nama akademisi hukum seperti Soerjono Soekanto (alm.) dari UI, Satjipto Rahardjo dari UNDIP, dan Sutandyo Wignyosubroto dari UNAIR dapat dicatat sebagai para perintis pengenalan mata kuliah sosiologi hukum di fakultas-fakultas hukum di Jawa.
Kemudian, sejak warsa 1980-an dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia semakin diperkaya dengan pengenalan studi-studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan antropologis. Untuk ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L. Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von Benda-Beckmann dari Wageningen Agriculture University the Netherlands dapat dinobatkan sebagai peletak dasar studi-studi antropologis tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology of law, legal anthropology, anthropological study of law). Makalah bersahaja ini mencoba untuk memberi pemahaman mengenai antropologi hukum sebagai bidang studi ilmu hukum empiris, dengan berfokus pada awal pemikiran studi-studi antropologis tentang hukum, pengembangan konsep hukum dalam studi antropologi hukum, perkembangan tema-tema kajian antropologi hukum, metodologi antropologi hukum, dan diskusi tema kemajemukan hukum dalam studi antropologi hukum. II. Antropologi Hukum: Awal dan Perkembangan Tema Kajian Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum.[1] Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat ; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971:x, 1973:538; Ihromi, 1989:8). Karena itu, studi antropologis mengenai hukum secara khusus mempelajari proses-proses sosial di mana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirobah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat (F. von Benda-Beckmann, 1979, 1986). Awal pemikiran antropologis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi dan bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menyatakan : hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak (Nader, 1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981). Tema kajian pada fase awal studi-studi teoritis mengenai hukum dengan pendekatan antropologis lebih difokuskan pada fenomena hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive), tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi perkembangan masyarakat manusia. Sedangkan, metode kajian yang digunakan untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal sebagai armchair methodology, yaitu metodologi untuk memahami hukum dalam perkembangan masyarakat melalui kajian-kajian yang dilakukan di belakang meja, sambil duduk di kursi empuk, dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis sebanyak mungkin documentary data yang bersumber dari catatan-catatan perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-laporan berkala dan dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil maupun para serdadu pemerintah kolonial dari daerah-daerah jajahannya (F. von Benda-Beckmann, 1989). Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum dari belakang meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam studi-studi antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum. Tema-tema kajian yang dominan pada fase awal perkembangan antropologi hukum berkisar pada pertanyaan-pertanyaan : apakah hukum itu ? apakah ada hukum dalam masyarakat yang bersahaja, tradisional, dan kesukuan ?; bagaimanakah hukum berujud dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat ? Pada dekade tahun 1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat sederhana. Karya klasik dari Llewellyn dan Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum dengan ahli antropologi dalam masyarakat suku Cheyenne (suku Indian) di Amerika Serikat. Kemudian, Hoebel mempublikasikan The Law of Primitive Man (1954), disusul dengan karya Gluckman mengenai Hukum orang Barotse dan Lozi di Afrika, karya Bohannan mengenai Hukum orang Tiv, karya Gulliver mengenai Hukum orang Arusha dan Ndendeuli. Karya Fallers mengenai Hukum dalam masyarakat suku Soga, dan karya Pospisil tentang Hukum orang Kapauku di Papua. Fase perkembangan tema studi antropologi hukum ke arah mekanisme-mekanisme peneyelesaian sengketa seperti disebutkan di atas disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of dispute settlements. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka. Karya Bohannan, Gluckman, dan Gulliver misalnya, tidak secara sistematis memberi perhatian pada eksistensi mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum kolonial dan hukum negara-negara sedang berkembang Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional, neo-tradisional, dan menurut institusi hukum negara. Karya Nader dan Todd (1978) misalnya, memfokuskan kajiannya pada proses, mekanisme, dan institusi-institusi penyelesaian sengketa di komunitas masyarakat tradisional dan modern di beberapa negara di dunia, melalui Berkeley Village Law Projects, menjadi karya yang memperlihatkan kecenderungan baru dari topik-topik studi antropologi hukum. Publikasi lain yang perlu dicatat adalah mekanisme penyelesaian sengketa di kalangan orang Togo di Afrika karya van Rouveroy van Nieuwaal, kemudian karya F. von Benda-Beckmann (1979) dan K. von Benda-Beckmann (1984) yang memberi pemahaman tentang penyelesaian sengketa harta warisan di kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan di pengadilan negeri di Sumatera Barat. Fase selanjutnya studi pluralisme mekanisme penyelesaian sengketa mulai ditinggalkan, dan mulai diarahkan kepada studi-studi pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa. Karya Sally F. Moore (1978) misalnya, mengenai kemajemukan hukum agraris dalam kehidupan suku Kilimanjaro di Afrika, dan mekanisme dalam proses produksi pabrik garment terkenal di Amerika dapat dicatat sebagai perkembangan baru studi pluralisme hukum. Kemudian, studi-studi pluralisme hukum mulai difokuskan pada mekanisme jaminan sosial (social security), pasar dan perdagangan, mekanisme irigasi pertanian, institusi koperasi dan perkreditan di daerah pedesaan di negara-negara sedang berkembang. Studi-studi ini dikembangkan oleh Agrarian Law Department Wageningen Agriculture University. Fase perkembangan tema pluralisme hukum yang menyoroti topik-topik penyelesaian sengketa maupun non penyelesaian sengketa, interaksi antara hukum negara, hukum rakyat, atau dengan hukum agama disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of legal pluralism. Kecenderungan yang berkembang sejak tahun 1970-an adalah penggunaan pendekatan sejarah dalam studi-studi antropologi hukum. Studi yang dilakukan Moore (1986), Snyder (1981), F. von Benda-Beckmann (1979), K. von Benda-Beckmann (1984) misalnya, secara eksplisit menggunakan kombinasi dimensi sejarah untuk menjelaskan interaksi institusi hukum negara (state law) dengan hukum rakyat (folk law) dalam kajian pluralisme hukum penyelesaian sengketa..


III. Hukum Dalam Perspektif Antropologi
Melalui studi-studi antropologis mengenai sistem pengendalian sosial (social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam kehidupan masyarakat. Anthropologist have focussed upon micro processes of legal action and interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element in the understanding of the working of law in society, and they have self-consciously adopted a comparative and historical approach and drawn the necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice (Griffiths, 1986:2).
Hal ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produksi dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku sosial (Llewellyn dan Hoebel, 1941; Hoebel, 1954; Black & Mileski, 1973; Moore, 1978; Cotterrel, 1995).
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order). Studi-studi antropologis mengenai hukum diawali dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar: apakah hukum itu ?; dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat ? (Nader, 1965:4; Bohannan, 1967:4; Hoebel, 1967:187; Roberts, 1979:17). Untuk menjawab pertanyaan di atas menjadi menarik untuk mengungkapkan diskusi dari dua ahli antropologi ternama, yaitu A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski, yang memberikan pandangannya masing-masing mengenai hukum, sebagaimana diuraikan dalam Nader (1965:4-5); Koentjaraningrat (1989:28-9); Moore (1978:218-223) seperti berikut : 1. Di satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll. sebagai alat-alat Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan (automatic-spontaneous submission to tradition).2. Di sisi lain, Malinowski berpendapat, bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat Trobriand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat, menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin, dan juga menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama. Dari pandangan 2 ahli antropologi di atas dapat dikatakan, bahwa apabila hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu Negara tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26; Bohannan, 1967:48). Wacana antropologis mengenai hukum dalam perkembangan selanjutnya memperoleh elaborasi dari kalangan antropolog yang lain. Konsep hukum yang dikemukakan Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari Bohannan (1967:45-9), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut : 1. Mekanisme resiprositas (reciprocity) dan publisitas (publicity) sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial. 2. Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.3. Kendatipun kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda satu sama lain, karena kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum dan peraturan merupakan institusi hukum, tetapi dalam masyarakat selalu ditemukan kedua bentuk institusi tersebut (institusi hukum dan institusi non hukum). Norma-norma hukum dalam masyarakat cenderung mengabaikan atau menggusur atau bahkan sebaliknya memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non hukum dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.4. Peraturan-peraturan hukum juga mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses pelembagaan ulang (reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated), sehingga peraturan hukum juga dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski, maka peraturan hukum diartikan sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum, untuk suatu tujuan agar kehidupan masyarakat secara terus menerus dapat berlangsung dan berfungsi dengan keteraturan yang dikendalikan oleh institusi hukum. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang disebut double institutionalization of norms (Bohannan, 1967:48). Lebih lanjut, konsep mengenai hukum yang dikemukakan Malinowski juga memperoleh komentar dan kritik dari Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :1. Pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu luas, sehingga hukum yang dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-kebiasaan (customs), dan bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat. 2. Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), yaitu :(1) Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang atoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otioritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum.(2) Atribut dengan Maksud untuk Diaplikasikan secara Universal (Attribut of Intention of Universal Aplication), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal. (3) Atribut Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka masih hidup.(4) Atribut Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dll. Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan atribut sanksi juga dikemukakan oleh Hoebel (1954) untuk membedakan antara norma hukum dengan norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat pengedalian masyarakat (social control). Basis peraturan hukum adalah norma-norma sosial, dan norma-norma sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap pelanggaran atas norma sosial tersebut secara reguler dijatuhi sanksi fisik berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut. A social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact, by the application of phisical force by an individual or group possesing the socially recognized previlege of so acting (Hoebel, 1954:28). Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa (Hoebel, 1979:33-4; F. von Benda Beckmann, 1979:31; Slaats & Portier, 1992: 14-5).
IV. Metode Investigasi Hukum Dalam Masyarakat Uraian pada bagian terdahulu memperlihatkan bahwa norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat secara metodologis dapat dipahami dari keberadaan keputusan-keputusan seseorang atau kelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi-sanksi kepada setiap orang yang melanggarnya. Karena itu, untuk menginvestigasi hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat, Llewellyn dan Hoebel (1941:20-1) dan Hoebel (1954:29) memperkenalkan metode penelusuran norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat melalui 3 cara, yaitu dengan :1. Melakukan investigasi terhadap norma-norma abstrak yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para tokoh masyarakat atau para pemegang otoritas yang diberi wewenang membuat keputusan-keputusan hukum (ideological method).2. Melakukan pengamatan terhadap setiap tindakan nyata atau perilaku aktual dari warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, pada waktu mereka berinteraksi dengan warga yang lain, warga masyarakat dengan kelompok, atau perilaku konkrit warga masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan hidupnya, seperti hubungan warga masyarakat dengan tanah, pohon-pohonan, tanaman pertanian, ternak, dll. (descriptive method).3. Mengkaji kasus-kasus sengketa yang pernah atau sedang terjadi dalam masyarakat (trouble-cases method). Kasus-kasus sengketa yang dipilih dan dikaji secara seksama adalah cara yang utama untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat. Data yang diperoleh dari pengkajian terhadap kasus-kasus sengketa sangat meyakinkan dan kaya, karena dari kasus-kasus tersebut dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. The trouble-cases, sought out and examined with care, are thus the safest main road into the discovery of law. Their data are most certain. Their yield is reachest. They are the most revealing (Llewellyn & Hoebel, 1941:29; Hoebel, 1954:36). Metode kasus sengketa yang diperkenal Llewellyn dan Hoebel (!941) dan Hoebel (1954) di atas merupakan sumbangan yang berharga untuk memperkaya metodologi antropologi dalam mengkaji fenomena-fenomena hukum yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu, secara khusus Pospisil (1973) mengatakan :Hoebel is regarded by Nader as one of the three leading legal anthropologycal pioneers of this century. I go even further and, without diminishing the accomplishments of the two scholars, dare to regard Hoebel as the partriarch of the anthropology of law (Pospisil, 1973:539).Kajian mengenai kasus-kasus sengketa pada dasarnya dimaksudkan untuk mengungkapkan latar belakang dari munculnya kasus-kasus tersebut, cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa, mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan, dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan, sehingga dapat diungkapkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, prosedur-prosedur yang ditempuh, dan nilai-nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian sengketa tersebut. Sedangkan, materi kasus sengketa yang dapat dikaji untuk memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat meliputi : kasus-kasus sengketa yang dapat dicermati mulai dari awal sampai sengketa diselesaikan; kasus-kasus sengketa yang dapat dikaji melalui dokumen keputusan-keputusan pemegang otoritas yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa; kasus-kasus sengketa yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para tokoh masyarakat atau para pemegang otoritas; dan kasus-kasus sengketa yang masih bersifat hipotetis (Nader dan Todd, 1978:8). Kasus-kasus sengketa sangat umum digunakan sebagai metode untuk menelusuri hukum masyarakat dalam studi antropologis mengenai hukum. Hal ini karena hukum bukanlah semata-mata sebagai suatu produk dari individu atau sekelompok orang dalam bentuk peraturan perundang-undangan, atau bukanlah sebagai suatu institusi yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain, tetapi hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan masyarakat. Karena itu, hukum muncul sebagai fakta khas yang lebih menekankan empiri, ekspresi, atau perilaku sosial masyarakat, dan penyelesaian kasus sengketa merupakan ekspresi dari hukum yang secara nyata berlaku dalam masyarakat (Llewellyn dan Hoebel, 1941; Hoebel, 1954). Sampai sekarang pengkajian kasus-kasus sengketa menjadi metode khas dalam studi-studi antropologis tentang hukum dalam masyarakat. Namun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu di mana sangat sulit ditemukan kasus sengketa yang dapat dianalisa dan digeneralisasi sebagai ekspresi dari hukum dalam suatu masyarakat, maka dapat dikaji interaksi-interaksi antar individu atau kelompok dalam masyarakat yang tanpa diwarnai dengan sengketa. Perilaku-perilaku warga masyarakat yang tanpa diwarnai dengan sengketa juga menjadi wahana sosial untuk menginvestigasi norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat. Perilaku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang berlangsung secara normal tanpa ada sengketa juga dapat menjelaskan prinsip-prinsip hukum yang terkandung di balik perilaku-perilaku warga masyarakat tersebut. Praktik-praktik kehidupan warga masyarakat dalam peristiwa-peristiwa khusus yang memperlihatkan ketaatan secara sukarela terhadap norma-norma sosial sesungguhnya merupakan kasus-kasus konkrit yang tidak diwarnai dengan sengketa. Perilaku-perilaku warga masyarakat yang memperlihatkan ketaatan terhadap pengaturan-pengaturan sosial, apabila diobservasi dan dicermati secara seksama merupakan unit-unit analisa yang dapat digunakan untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang mengatur perilaku warga masyarakat. Cara melakukan investigasi terhadap prinsip-prinsip dan norma-norma pengaturan sosial seperti dimaksud di atas disebut Holleman (1986:116-7) sebagai metode kajian kasus tanpa sengketa (trouble-less case method). V. Pluralisme Hukum: Tema Kajian Antropologi Hukum Selain mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel (1995) menegaskan : We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell, 1995:306).Ini berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law). Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation ) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Snyder, 1981; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K. von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber, 1998). Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6). Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan : The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state. Jadi, secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan: Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group. Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, seperti berikut :1. Konsep pluralisme hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara. Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975). 2. Sedangkan, pluralism hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) : Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always take place in a context of multiple, overlapping "semi-autonomous social field". Sementara itu, hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore (1978), yaitu: Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field’ (Tamanaha, 1992:25). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat : A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans & MacDonald, 1997:31).
VI. Catatan Penutup: Model Penggunaan Antropologi Hukum di Indonesia
Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat (Black & Mileski, 1973:6; Black,1976:6, 1984:2). Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatu institusi otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain (Pospisil, 1971:x). Jadi, untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. We must have a look at society and culture at large in order to find the place of law within the total structure. We must have some idea of how society works before we can have a full conception of what law is and how it works (Hoebel, 1954:5). Kenyatan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dll. Untuk memperlihatkan keterpautan hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka menarik untuk mengungkapkan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal system) yang diintroduksi Friedman (1975:14-5, 1984:5-7) seperti berikut :1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu (a) struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum.2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan norma-norma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu. Kultur hukum menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupan masyarakat; kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan substansi hukum dalam memperkuat sistem hukum.
Kekuatan sosial secara terus menerus mempengaruhi kinerja sistem hukum, yang kadangkala dapat merusak, memperbaharui, memperkuat, atau memilih lebih menampilkan segi-segi tertentu, sehingga dengan mengkaji komponen substansi, struktur, dan budaya hukum berpengaruh terhadap kinerja penegakan hukum, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum bekerja sebagai suatu sistem dalam kehidupan masyarakat (Friedman, 1984:12). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hukum pada dasarnya berbasis pada masyarakat. Karena itu, salah satu metode khas dalam antropologi hukum adalah kerja lapangan (fieldwork methodology) untuk memahami eksistensi dan bekerjanya hukum dalam situasi normal maupun suasana sengketa. Ciri khas yang lain dari antropologi hukum adalah penggunaan pendekatan holistik (holistic approach) dengan selalu mengkaitkan fenomena hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti ekonomi, politik, organisasi sosial, religi, ideologi, dll. dalam investigasi dan analisis bekerjanya hukum dalam masyarakat. Selain itu, metode perbandingan hukum (comparative method) juga menjadi ciri khas antropologi hukum, dengan melakukan studi perbandingan antara sistem-sistem hukum dalam masyarakat yang berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Dalam kaitan dengan yang disebut terakhir, hukum adat di Indonesia tidak sama dengan antropologi hukum, karena hukum adat hanya salah satu dari sistem hukum rakyat (folk law atau customary law) yang menarik untuk dikaji melalui studi antropologi hukum, seperti juga sistem-sistem hukum rakyat asli (indigenous law) yang dapat ditemukan di Malaysia, Philipina, Thailand, Nepal, India, Australia, Amerika Latin, Afrika, dll. dengan menggunakan metode studi perbandingan (comparative study). Jadi, hukum adat (adat law) adalah sistem hukum khas Indonesia yang dapat dijadikan obyek kajian untuk memahami sistem hukum hukum rakyat yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai cerminan pluralisme hukum dalam masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Karakter khas lain dari antropologi hukum adalah berbagai sistem hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia dipelajari dengan memfokuskan pada proses-proses mikro (micro processes) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, metode holistik dalam mengkaji kemajemukan hukum dalam masyarakat sangat membantu menjelaskan mekanisme, prosedur, dan institusi-institusi hukum dan bekerjanya hukum serta keterkaitannya dengan aspek politik, ekonomi, religi, organisasi sosial, ideologi, dll. Implikasi dari karakteristik metodologi antropologi hukum seperti disebutkan di atas adalah : jika studi-studi mengenai fenomena hukum dalam masyarakat dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh-menyeluruh dan holistik, maka studi antropologi hukum harus difokuskan paling tidak pada 4 (empat) aspek kajian pokok sekaligus (sebagai satu kesatuan), yaitu mulai dari kajian : 1. Proses Pembuatan Hukum (Law Making Process); 2. Norma Hukum/ Peraturan Perundang-undangan (Legal Norms); 3. Pelaksanaan Hukum (Law Implementation/Application); dan4. Penegakan Hukum (Law Enforcement). Kajian pada tingkatan proses pembuatan hukum akan memberi pemahaman bagaimana petarungan berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial, religi, termasuk ideologi partai dan tekanan dunia internasional (negara-negara/lembaga-lembaga internasional) mempengaruhi masa-masa perdebatan dan pengambilan keputusan untuk menyetujui (dari lembaga legislatif) dan mensahkan (dari lembaga ekskutif) suatu produk hukum negara (state law). Selain itu, akan diamati dan dicermati apakah proses pembuatan hukumnya sudah melalui mekanisme yang benar, seperti dimulai dengan membuat background paper, naskah akademik, baru kemudian menyusun rancangan undang-undangnya ?; apakah kemudian dalam proses tersebut dilakukan konsultasi publik (puclic consultation) oleh ekskutif dan dengar pendapat (hearing) sebagai cerminan dari prinsip transparansi dan partisipasi publik dengan melibatkan semua komponen stakeholders sebelum persetujuan oleh legislatif dan pensahan oleh eksekutif dilakukan ?. Dengan demikian, proses-proses tersebut dan pertarungan kepentingan yang mendominasi proses tersebut dapat diketahui secara eksplisit memberi warna dan nuansa, jiwa dan semangat dari produk hukum yang dihasilkan seperti tercermin pada asas dan norma-norma hukumnya. Kajian pada tingkatan norma-norma hukumnya, produk peraturan perundang-undangan, akan memberi pemahaman mengenai jiwa dan semangat serta prinsip-prinsip yang dianut dari suatu produk hukum/peraturan perundang-undangan. Kaitan dengan studi antropologi hukum yang berfokus pada pluralisme hukum, akan dicermati apakah prinsip-prinsip penting, seperti : informed-consent principle, prinsip pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal (indigenous tenurial rights), dan prinsip pengakuan atas kamajemukan hukum (legal pluralism) sudah diatur secara eksplisit dalam norma-norma hukumnya. Hal-hal krusial di atas akan dapat terjawab selain dengan mencermati dan mengkritisi norma-norma hukumnya, juga dengan meniti kembali proses pembuatannya ketika berlangsung di tingkat ekskutif dan legislatif. Kajian pada tingkatan implementasi hukum (law implementation) dan tingkatan penegakan hukum (law enforcement) dapat memberi pemahaman mengenai apakah di satu segi aparat pelaksana hukum dan penegak hukum secara konsisten dan konsekuen sudah melaksanakan norma-norma hukum sebagai bagian dari kewenangan, kewajiban, dan tugas-tugasnya; dan di segi lain apakah masyarakat secara konsisten mematuhi dan mentaati hukum yang mengatur perilaku mereka, sehingga dapat dicermati apakah hukum berlaku secara efektif atau mungkin berlangsung sebaliknya menjadi tidak efektif. Pada tingkatan ini akan dapat dipahami bagaimana aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, religi, sosial, bahkan ideologi partai atau tekanan negara/lembaga internasional mempengaruhi kinerja pelaksanan hukum maupun penegakan hukum berlangsung dalam masyarakat. Selain itu, dapat dikritisi dengan pendekatan antropologi hukum apakah hukum negara cenderung mendominasi, menggusur, mengabaikan, atau memarjinalisasi eksistensi hak-hak masyarakat lokal dan sistem hukum rakyat (adat) dalam proses implementasi dan penegakan hukum negara melalui politik pengabaian kemajemukan hukum (the political of legal pluralism ignorance); atau mungkin berlangsung dan diberlakukan secara berdampingan (co-existance) dalam suasana yang harmoni ?. 
DAFTAR PUSTAKA
Allot, A and R. Woodman Gordon (Eds), People’s Law and State Law, Foris Publication, Dordrecht, Holland, 1975.Bohanan, Paul, Justice and Judgememt Among The Tiv, Oxford University Press, London, 1957.Bohanan, Paul (Ed), Law and Warfare, Studies in the Anthropology of Conflict, The Natural History Press, New York, 1967.Comaroff and Simon Roberts, Rules and Processes, The Cultural Logic of Disputes in An African Context, The University of Chicago, Chicago-London, 1981.F. von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity, Continuity and Change in the Maintenance of Property Relations Through Time in Minangkabau, West Sumatera, Martinus Nijhoff, The Hague, 1979.F. von Benda-Beckmann, “From The Law of Primitive Man to Social-Legal Study of Complex Societies”, dalam Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi Sosial dan Budaya No. 47 Tahun XIII, FISIP UI, Jakarta, 1989, hal. 67-75. Griffiths, John, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law Number 24/1986, The Foundation for Journal of Legal Pluralism, 1986, pp. 1-56.Hoebel, E. Adamson, The Law of Primitive Man, A Study in Comparative Legal Dynamics, Antheum, New York, 1968.Ihromi, T. O., Antropologi dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1984.Ihromi, T.O (Ed)., Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.Koentjaraningrat, “Antropologi Hukum”, dalam Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi Sosial dan Budaya No. 47 Tahun XII 1989, FISIP UI, Jakarta, 1989, hal. 26-34.Krygier, Martin, “Anthropological Approaches”, dalam Eugene Kamanke and Alice Erh-Soon-Tay (Eds), Ideas and Ideologies, Law and Social Control, Edward Arnold Ltd. London, 1980, pp. 27-59.K. von Benda-Beckmann and F. Strijbosch (Eds), Anthropology of Law in The Netherlands, Essays on Legal Pluralism, Foris Publications, Dordrecht-Holland, 1986.Llewellyn, K.N. and E.A. Hoebel, The Cheyenne Way, Conflict and Case Law in Primitive Jurisprudence, University of Oklahoma Press, 1941.Malinowski, B., Crime and Custom in Savage Society, Kegal Paul, Trench and Trubner, London, 1926.Moore, Sally F., Law As Process, An Anthropological Approach, Routledge & Kegan Paul Ltd. London, 1978.Nader, Laura (Ed), The Ethnography of Law, Volume 67 No. 6 Bag, 2 American Anthropological Association, 1965.
Nader, Laura and Harry F. Todd Jr., The Disputeing Process-Law in Ten Societies, Columbia University Press, New York, 1978.Pospisil L., Anthropology of Law, A Comparative Theory, Harper & Row Publisher, London, 1971.Roberts, Simon, Order and Disputes, An Intriduction to Lagal Anthropology, Penguin Books Ltd. Harmondworth, England, 1979.Starr, June and Jane F. Collier, History and Power in The Study of Law, New Direction in Legal Anthropology, Cornel University Press, Ithaca and London, 1989.

________________________________________
[1] Istilah antropologi hukum dalam berbagai referensi berbahasa Inggris merupakan terjemahan dari Anthropology of Law ( Pospisil, 1971; K. von Benda-Beckmann & F. Strijbosch, 1979; Snyder, 1981); atau Legal Anthropology (Bohanan, 1989; Roberts, 1979; Krygier, 1980; F. von Benda-Beckmann, 1989; Starr & Collier, 1989); atau the Anthropological Study of Law (Nader, 1965; 1969; Gulliver, 1969).

[ Back ]

Tidak ada komentar: