Rabu, 25 Februari 2009
Hukum yang Demokratis
MEMPUNYAI HUKUM YANG DEMOKRATIS
“Negara hukum yang dilahirkan tahun 1945 adalah suatu proyek besar.
Sebagai proyek ia tidak begitu saja serta merta menjadi,
melainkan sesuatu yang terus menerus perlu dibangun, mewujud nyata.”
(Satjipto Rahardjo, 2007: xvi)
Demokrasi acapkali menjadi bahan perbincangan yang tak terpisah manakala kita sedang asyik membicarakan hal-hal yang terkait dengan negara. Apalagi membicarakan tentang tujuan negara kita, Indonesia. Meski dalam pembukaan UUD 1945 tidak ditemukan kata demokrasi, secara subtansi, nilai-nilai yang diharapkan oleh demokrasi juga tertuang di sana. Di mana pada pangkal pokok tujuan negara kita (yang sering disejajarkan dengan cita-cita bangsa) adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Mungkin sebagian besar orang di Indonesia saat ini sangsi bahwa hukum ada pengaruhnya terhadap perubahan sosial. Malah sebaliknya, hukum lebih sering dianggap menguntungkan status quo (Rahardjo. 2007: 115). Cuma buat melesetarikan kepentingan dan kelompok yang sedang berkuasa saja. Mereka yang percaya akan hal ini, memang mempunyai alasan teoritik maupun empirik. Penganut Marxist klasik sering menyatakan bahwa hukum hanyalah alat kaum berkuasa, kalau di depan mata kita berulang kali disuguhkan peristiwa-peristiwa nyata di mana hukum dan aparat penegaknya sewenang-wenang terhadap kelompok yang lemah. Perda-perda lebih banyak menggusur daripada memberi tempat hidup bagi keluarga-keluarga yang sudah terjepit hidupnya di kota-kota besar. Aparat hukum lebih garang kepada tukang becak, pedagang kaki lima, perempuan dan anak-anak di jalanan, tapi justru lemah dihadapan pengusaha, anak mantan presiden, dan birokrat pemeras.
Sementara, meyakini bahwa hukum sama sekali tak berperan untuk mengubah nasib banyak orang lemah juga bisa menyesatkan, dan malah menguntungkan yang sedang berkuasa juga. Hukum sebagai sarana memang punya keterbatasan, tapi juga punya kekuatan. Contoh di atas sebetulnya secara tak langsung membuktikan, kalau hukum ada pengaruhnya pada perubahan sosial. Masyarakat sejatinya selalu berubah, tidak statis. Hukum, baik yang tertulis maupun tidak, cenderung statis.
Demokrasi
Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga sebagai procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut, biasanya, diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing Negara, misalnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi pemerintahan Republik Indonesia. (Gaffar. 2006: 3)
Indonesia sudah mengalami empat kali perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar-nya sampai tahun 2002. perubahan itu tentunya juga akan berimbas pada berubahnya sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Akan tetapi, meskipun terjadi perubahan secara fundamental, namun semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 tetap terjaga, paling tidak tercermin dalam arahan bahwa hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. (BPHN. 2006: 61)
Demokrasi yang sudah mahal akan menjadi lebih mahal bila hukum yang digunakan untuk menjaganya hanya menjadi institusi yang berkutat dengan peraturan dan logika saja. Artinya, hukum dan demokrasi mempunyai hubungan yang cukup erat, dapat diibaratkan dua sisi sekeping mata uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya. (Mahfud, MD. 1999: 53)
Living Law
Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang membeku dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa. (Rahardjo. 2007: 10-11). Hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup (living law) dalam interaksi masyarakat.
Kualitas penegakan hukum itu beda-beda. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi. Sementara dibanyak negara ada yang melakukan penegakan hukum secara lunak dan bahkan bisa dikomersilkan dengan istilah yang lebih kasar adalah jual beli hukum.
Di Indonesia, hukum oleh beberapa kalangan, dianggap sebuah virus yang membuat masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menghindar. Dapat dilihat dengan terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan.
Hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Karl Ranner menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”. (http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html)
Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau di kala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Dengan kata lain bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pandangan ini adalah pandangan yang menolak logosentris dengan berpaling pada antoposentis yang humanis. Dengan memperhatikan masyarakat, maka hukum akan terus hidup (living) dalam masyarakat. Dapat dibilang hukum itu menjadi progresif.
Hukum Progresif dan Hukum yang Demokratis
Prof. Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun 2002 menyatakan bahwa Hukum yang Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu.
Prof Tjip secara ringkas memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. (Rahardjo. Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dia dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menseriusi Hukum Progresif muncul, namun belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan perasaan kepedulian (senziting concept). Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) tapi bila akan mengeras menjadi barikade tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional, barangkali dengan institusional yang kultural.
Dalam situasi "normal" saja hukum banyak dikenal sebagai institusi yang mahal, apalagi dalam keadaan krisis dan keterpurukan bangsa sekarang. Ia menjadi mahal, karena hukum modern banyak bertumpu pada prosedur, birokrasi dan sebagainya. Belum lagi ditambahkan sifat liberal dan kapitalistik hukum modern. Pada titik inilah terjadi banyak keluhan, hukum sudah menjadi obyek bisnis. Hukum tidak lagi bisa diandalkan menjadi tempat untuk mencari dan menemukan keadilan.
Hukum tidak boleh dibiarkan menjadi ranah esoterik, yang hanya boleh dan bisa dimasuki para lawyer sekalian pikirannya yang spesialistis, yang biasanya berkutat pada "peraturan dan logika". Hingga kini, cara berpikir dan menjalankan hukum seperti itu masih dominan, yang dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Dengan berpikir seperti itu praktek hukum hanya dibatasi ranah peraturan dan logika peraturan. Tidak! Hukum juga perlu ditarik keluar memasuki ranah kehidupan sehari-hari dengan sekalian harapan, keresahan, dan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, hukum tidak boleh hanya menjadi permainan kata-kata, tetapi perlu bermakna sosial.
Hukum yang anti-progresif tidak berpikir sejauh itu. Mereka hanya berpikir, supremasi hukum sudah diwujudkan dengan memperlihatkan kesibukan menerapkan peraturan dengan menggunakan logika. Tidak bisa! Bila ini yang terjadi, tidak ada gunanya kita mempromosikan supremasi hukum, karena hukum hanya akan menjadi permainan para lawyer dan elite politik, jauh dari memberi kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan kepada rakyat. Bahkan lebih dari itu supremasi hukum menjadi safe haven, tempat berlindung yang aman bagi para koruptor. Dan itu sudah terjadi melalui tontonan tentang bagaimana hukum sulit menangani korupsi di negeri ini.
Hukum tidak ingin hanya menjadi monopoli para lawyer, tetapi ingin bersosialisasi, berjabatan tangan dengan rakyat, ingin memberi jasa sosial kepada rakyatnya. Ia ingin bermakna mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya (bringing justice to the people). Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.
Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. (http://perancangprogresif. blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html).
Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari dan perbuatannya di dalam hukum. Faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk member tempat kepada hukum. Ide penegakan hukum progresif adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-manusialah yang berperan lebih penting. (Rahardjo. 2007: xix).
Dengan demikian, hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Para pembentuknyapun harus memperhatikan secara cermat kebutuhan masyarakat, memperhatikan hukum yang memang sudah ada di masyarakat. Sehingga, selain hukum yang akan terlahir adalah living law, juga hukum yang demokratis di negara hukum Indonesia ini akan segera mewujud nyata.
Referensi
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1997. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Moh. Mahfud, MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Soerjono Soekanto. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media
Dep. Huk.HAM. RI. 2006. Kumpulan Hasil Seminar: Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Internet
http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/20/opini/1164182.htm
http://perancangprogresif.blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html
“Negara hukum yang dilahirkan tahun 1945 adalah suatu proyek besar.
Sebagai proyek ia tidak begitu saja serta merta menjadi,
melainkan sesuatu yang terus menerus perlu dibangun, mewujud nyata.”
(Satjipto Rahardjo, 2007: xvi)
Demokrasi acapkali menjadi bahan perbincangan yang tak terpisah manakala kita sedang asyik membicarakan hal-hal yang terkait dengan negara. Apalagi membicarakan tentang tujuan negara kita, Indonesia. Meski dalam pembukaan UUD 1945 tidak ditemukan kata demokrasi, secara subtansi, nilai-nilai yang diharapkan oleh demokrasi juga tertuang di sana. Di mana pada pangkal pokok tujuan negara kita (yang sering disejajarkan dengan cita-cita bangsa) adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Mungkin sebagian besar orang di Indonesia saat ini sangsi bahwa hukum ada pengaruhnya terhadap perubahan sosial. Malah sebaliknya, hukum lebih sering dianggap menguntungkan status quo (Rahardjo. 2007: 115). Cuma buat melesetarikan kepentingan dan kelompok yang sedang berkuasa saja. Mereka yang percaya akan hal ini, memang mempunyai alasan teoritik maupun empirik. Penganut Marxist klasik sering menyatakan bahwa hukum hanyalah alat kaum berkuasa, kalau di depan mata kita berulang kali disuguhkan peristiwa-peristiwa nyata di mana hukum dan aparat penegaknya sewenang-wenang terhadap kelompok yang lemah. Perda-perda lebih banyak menggusur daripada memberi tempat hidup bagi keluarga-keluarga yang sudah terjepit hidupnya di kota-kota besar. Aparat hukum lebih garang kepada tukang becak, pedagang kaki lima, perempuan dan anak-anak di jalanan, tapi justru lemah dihadapan pengusaha, anak mantan presiden, dan birokrat pemeras.
Sementara, meyakini bahwa hukum sama sekali tak berperan untuk mengubah nasib banyak orang lemah juga bisa menyesatkan, dan malah menguntungkan yang sedang berkuasa juga. Hukum sebagai sarana memang punya keterbatasan, tapi juga punya kekuatan. Contoh di atas sebetulnya secara tak langsung membuktikan, kalau hukum ada pengaruhnya pada perubahan sosial. Masyarakat sejatinya selalu berubah, tidak statis. Hukum, baik yang tertulis maupun tidak, cenderung statis.
Demokrasi
Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga sebagai procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut, biasanya, diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing Negara, misalnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi pemerintahan Republik Indonesia. (Gaffar. 2006: 3)
Indonesia sudah mengalami empat kali perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar-nya sampai tahun 2002. perubahan itu tentunya juga akan berimbas pada berubahnya sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Akan tetapi, meskipun terjadi perubahan secara fundamental, namun semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 tetap terjaga, paling tidak tercermin dalam arahan bahwa hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. (BPHN. 2006: 61)
Demokrasi yang sudah mahal akan menjadi lebih mahal bila hukum yang digunakan untuk menjaganya hanya menjadi institusi yang berkutat dengan peraturan dan logika saja. Artinya, hukum dan demokrasi mempunyai hubungan yang cukup erat, dapat diibaratkan dua sisi sekeping mata uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya. (Mahfud, MD. 1999: 53)
Living Law
Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang membeku dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa. (Rahardjo. 2007: 10-11). Hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup (living law) dalam interaksi masyarakat.
Kualitas penegakan hukum itu beda-beda. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi. Sementara dibanyak negara ada yang melakukan penegakan hukum secara lunak dan bahkan bisa dikomersilkan dengan istilah yang lebih kasar adalah jual beli hukum.
Di Indonesia, hukum oleh beberapa kalangan, dianggap sebuah virus yang membuat masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menghindar. Dapat dilihat dengan terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan.
Hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Karl Ranner menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”. (http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html)
Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau di kala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Dengan kata lain bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pandangan ini adalah pandangan yang menolak logosentris dengan berpaling pada antoposentis yang humanis. Dengan memperhatikan masyarakat, maka hukum akan terus hidup (living) dalam masyarakat. Dapat dibilang hukum itu menjadi progresif.
Hukum Progresif dan Hukum yang Demokratis
Prof. Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun 2002 menyatakan bahwa Hukum yang Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu.
Prof Tjip secara ringkas memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. (Rahardjo. Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dia dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menseriusi Hukum Progresif muncul, namun belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan perasaan kepedulian (senziting concept). Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) tapi bila akan mengeras menjadi barikade tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional, barangkali dengan institusional yang kultural.
Dalam situasi "normal" saja hukum banyak dikenal sebagai institusi yang mahal, apalagi dalam keadaan krisis dan keterpurukan bangsa sekarang. Ia menjadi mahal, karena hukum modern banyak bertumpu pada prosedur, birokrasi dan sebagainya. Belum lagi ditambahkan sifat liberal dan kapitalistik hukum modern. Pada titik inilah terjadi banyak keluhan, hukum sudah menjadi obyek bisnis. Hukum tidak lagi bisa diandalkan menjadi tempat untuk mencari dan menemukan keadilan.
Hukum tidak boleh dibiarkan menjadi ranah esoterik, yang hanya boleh dan bisa dimasuki para lawyer sekalian pikirannya yang spesialistis, yang biasanya berkutat pada "peraturan dan logika". Hingga kini, cara berpikir dan menjalankan hukum seperti itu masih dominan, yang dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Dengan berpikir seperti itu praktek hukum hanya dibatasi ranah peraturan dan logika peraturan. Tidak! Hukum juga perlu ditarik keluar memasuki ranah kehidupan sehari-hari dengan sekalian harapan, keresahan, dan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, hukum tidak boleh hanya menjadi permainan kata-kata, tetapi perlu bermakna sosial.
Hukum yang anti-progresif tidak berpikir sejauh itu. Mereka hanya berpikir, supremasi hukum sudah diwujudkan dengan memperlihatkan kesibukan menerapkan peraturan dengan menggunakan logika. Tidak bisa! Bila ini yang terjadi, tidak ada gunanya kita mempromosikan supremasi hukum, karena hukum hanya akan menjadi permainan para lawyer dan elite politik, jauh dari memberi kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan kepada rakyat. Bahkan lebih dari itu supremasi hukum menjadi safe haven, tempat berlindung yang aman bagi para koruptor. Dan itu sudah terjadi melalui tontonan tentang bagaimana hukum sulit menangani korupsi di negeri ini.
Hukum tidak ingin hanya menjadi monopoli para lawyer, tetapi ingin bersosialisasi, berjabatan tangan dengan rakyat, ingin memberi jasa sosial kepada rakyatnya. Ia ingin bermakna mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya (bringing justice to the people). Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.
Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. (http://perancangprogresif. blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html).
Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari dan perbuatannya di dalam hukum. Faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk member tempat kepada hukum. Ide penegakan hukum progresif adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-manusialah yang berperan lebih penting. (Rahardjo. 2007: xix).
Dengan demikian, hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Para pembentuknyapun harus memperhatikan secara cermat kebutuhan masyarakat, memperhatikan hukum yang memang sudah ada di masyarakat. Sehingga, selain hukum yang akan terlahir adalah living law, juga hukum yang demokratis di negara hukum Indonesia ini akan segera mewujud nyata.
Referensi
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1997. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Moh. Mahfud, MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Soerjono Soekanto. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media
Dep. Huk.HAM. RI. 2006. Kumpulan Hasil Seminar: Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Internet
http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/20/opini/1164182.htm
http://perancangprogresif.blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar