Rabu, 25 Februari 2009

Sosiologi Hukum

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA :
Peninjauan atas UU PKDRT dari sudut Sosiologi Hukum

Mata Kuliah Sosiologi Hukum
Program Magister Hukum – Universitas Gajah Mada

Disusun Oleh:
Sentot E Baskoro, S.Math., MM.

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak ” (An-Nisâ’ [4]: 19)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah [2]: 228)
3
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA :
Peninjauan atas UU PKDRT dari sudut Sosiologi Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan
hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok
atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination
of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun
1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang
No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Negara Indonesia sendiri telah mengenal bentuk-bentuk tindak
kekerasan terhadap perempuan dari dimulainya sejarah ditulis di negeri ini.
Bentuk-bentuk seperti kawin paksa, poligami, perceraian secara sepihak
tanpa mempertimbangkan keadilan bagi isteri dan anak, tindak pemukulan
dan penganiayaan, dan bentuk-bentuk kesewenangan lain terhadap
perempuan 1, merupakan contoh yang tidak sulit untuk ditemukan pada
masyarakat Indonesia.
Tindak kekerasan ini terjadi dalam seluruh aspek hubungan antara
manusia, yaitu dalam hubungan keluarga dan dengan orang-orang terdekat
lainnya (relasi personal), dalam hubungan kerja, maupun dalam menjalankan
hubungan sosial kemasyarakatan secara umum. Kekerasan yang dialami oleh
1 Publikasi Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia (Jakarta:
Ameepro, 2002), Hlmn. 22
4
perempuan ini sangat banyak pula bentuknya, baik yang bersifat psikologis,
fisik, seksual, ekonomis, budaya dan keagamaan, hingga yang merupakan
bagian dari sebuah sistem pengorganisasian lintas negara.
Berkaitan dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan yang
terjadi secara khusus dalam lingkungan rumah tangga dan terjadi dalam
berbagai bentuk kekerasan ini, dengan korban kekerasan yang kebanyakan
berkelamin perempuan, maka berkembang pula istilah GENDER yang
diasosiasikan dengan sebagai penyebab utama maraknya tindak kekerasan
terhadap perempuan.
Beberapa propagandis anti-KDRT beranggapan bahwa KDRT adalah
masalah gender, yakni disebabkan adanya ketidak-adilan gender. Adanya
subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai korban
kekerasan oleh pria. Dan, ajaran agama (baca: Islam) dituduh melanggengkan
budaya ini. Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya mensubordinasikan
posisi wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria untuk
memperlakukan wanita semena-mena, yang berujung pada tindak kekerasan.
Menurut Jill Steans, Gender adalah: 2
“ (gender) refers not to what men and women are biologically; but to the
ideological and material relations which exist between them using the terms
“masculine”. In all society and all cultures and all there are certain emotional
and psycholical characteristic which are held to be esentially “male” and
“female”. Individuals who are born as biological males or females are usually
expected to develop ‘masculine’ or feminine character traits and behave in
ways appropriate to their gender.
(jender) tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan lakilaki
melainkan hubungan ideologis dan materil antara kedua kelompok jenis
kelamin tersebut dengan menggunakan terminologi ‘maskulin’ dan feminin’.
Setiap masyarakat dan kebudayaan memiliki karakteristik emosional dan
psikologis tertentu tentang laki-laki dan perempuan dan oleh karena itu setiap
2 Jill Steans, Gender and International Relation: An Introduction. (Oxford: Polity Press, 1998). hlm.
10.
5
individu diharapkan mampu menjalankan hidupnya berdasarkan karakter
feminin dan maskulin dan berprilaku berdasarkan karakter tersebut)”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gender lebih merupakan
harapan masyarakat sekitar akan seperangkat karakter dan perilaku3 tertentu
yang harus atau biasa dimiliki oleh seseorang berdasarkan jenis kelamin
(seks) nya. Laki-laki diharapkan memiliki karakter maskulin sementara
perempuan diharapkan mengusung karakter feminin.
Karakterisasi ini menjadi stereotipi karena memuat tentang bagaimana
seorang perempuan atau laki-laki seharusnya menurut harapan masyarakat
dan bukanlah sesuatu yang intrinsik dimiliki oleh masing-masing jenis
kelamin tersebut. Stereotipi ini juga membagi peran yang dimainkan oleh
masing-masing jenis kelamin dalam kehidupan sehari-hari dimana laki-laki
“dipercayakan” menjalankan peran di ranah publik dan pengambilan
keputusan, sementara perempuan mengasuh ranah domestik, meskipun pada
kenyataannya, perempuan juga harus melangsungkan peran produktif,
reproduktif dan sosial sekaligus (multiple-burden).4
Melalui proses pewarisan nilai-nilai atau sosialisasi stereotipi ini
kemudian menguatkan anggapan bahwa laki-laki memiliki nilai lebih
daripada perempuan. Hal ini menempatkan perempuan dalam posisi
subordinat dalam masyarakat sementara laki-laki ditempatkan pada posisi
yang lebih penting/unggul dalam hampir semua aspek kehidupan. Kondisi
inilah yang kemudian disebut sebagai Patriarki.
Patriarki ini kemudian menimbulkan relasi hubungan kekuasaan
antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang saat ini masih diterima
oleh kebanyakan perempuan sebagai hal yang biasa dan diterima oleh
3 Peter R. Beckman & Francine D’Amino, Women, Gender and World Politics: Perspectives,
Policies and Prospect. (USA: Greenwood Publishing Group, Inc. 1994), hlm. 4.
4 J.C. Mosse, Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training, (London:
Ruotledge, 1993). Hlm. 28-36.
6
kebanyakan laki-laki sebagai hal yang benar. Belum banyak laki-laki dan
perempuan yang memandang keadaan tersebut sebagai wujud diskriminasi
terhadap perempuan, dan menyadari bahwa konsekuensi dari diskriminasi
tersebut adalah semakin banyak terjadi berbagai tindak kekerasan terhadap
perempuan.5
Kondisi ini mengantarkan Indonesia untuk mengesahkan berlakunya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) dengan harapan dapat menjadi babak
permulaan yang baik bagi upaya mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga.
Tulisan ini ingin mengupas apakah hukum, dalam hal ini UU KDRT,
dapat dijadikan alat untuk mengubah masyarakat ke arah keadaan yang lebih
baik, dalam hal ini menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasuskasus
KDRT, sebagaimana dalil yang diungkapkan oleh Roscoe Pound dalam
Sociological Jurisprudence, bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai alat
rekayasa sosial (law as a tool of social engineering)6 ?
5 Komnas Perempuan, Loc. Cit, Hlmn. 40
6 Prof. Dr. H.R. Otje Salman, S.H. dan Anthon F. Susanto, S.H.,M.Hum., Beberapa Aspek Sosiologi
Hukum (Bandung : Alumni, 2004), Hlmn.33
7
BAB II
OBJEK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Mayoritas Perempuan?
Kaum feminis mengungkapkan bahwa semua kekerasan dalam rumah
tangga menjadikan perempuan sebagai objeknya. Salah satunya diungkapkan
oleh sebuah studi, yaitu Video The Vienna Tribunal, “Women’s Right are
Human Right”, (berdasarkan rasio jenis kelamin yang diharapkan) yang
menunjukan bahwa populasi dunia berkurang dengan 60.000.000 (enam
puluh juta) perempuan akibat pengguguran selektif terhadap janin
perempuan, pembunuhan bayi perempuan, tidak diberikannya kesehatan
medis dan makanan kepada anak perempuan dan perempuan dewasa, dan
akibat pembunuhan terhadap istri.
Namun satu hal yang sedikit terlupa pada proses ini, yaitu kekerasan
itu sendiri adalah suatu kejahatan, dan kejahatan bukanlah perkara gender
(jenis kelamin). Daalam hal ini, kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik lakilaki
maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula
perempuan. Dengan demikian hukum pun harus menjatuhkan sanksi tanpa
melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat
apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia
melanggar hukum atau tidak.
Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya
subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan
mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia
lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena
data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu
kekerasan tidak ada kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau
perempuan. Gagasan anti-KDRT dengan mengatas-namakan pembelaan
terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender.
8
Cara pandang masyarakat yang bias jender menjadi penyebab utama
terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Kondisi opresi dan subordinasi
terhadap perempuan yang diciptakan dan dilestarikan, menjadikan kekerasan
terhadap perempuan terus berlangsung.7
Kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal. Pertama, faktor
individu. Tidak adanya pengetahuan dan kepatuhan yang dalam akan hukum
pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri
dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah
pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum, termasuk melakukan
tindakan KDRT.
Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala
menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun
publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh
berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat,
mengabaikan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan serta menafikkan
perlindungan atas eksistensi manusia. Beberapa tokoh menyebutkan bahwa
ini tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan
agama dan kehidupan8.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan
asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan
kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik
menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara
yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan
korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi
perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah
7 Yuni Satia Rahayu dan Siti Noor Laila, Sepatu Lars di Rahim Ibu, (Jakarta: Grafika Indah, 2004).
Hlm.3.
8 Asri Supatmiati, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta, ,
www.baitijannati.wordpress.com, 2007)
9
garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena
negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan
ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat
melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT
menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku
telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku
pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan,
dll. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku
permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan
perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan
hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidakpahaman
sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan
bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya
kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasai
pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah
kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran
masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum yang
menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai
contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak
diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi.
Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus
mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami
diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami
seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting
tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
10
Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan
sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang
diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi
kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun
pelakunya, baik laki-laki maupun wanita.
Peran Negara
Pada saat isu kekerasan terhadap perempuan terangkat ke permukaan,
dan bahkan menjadi populer, terlihat secara jelas akan adanya satu persoalan
yang terpinggirkan, yakni pertanyaan kritis mengenai kekerasan terhadap
perempuan oleh siapa atau oleh apa (who against whom?). Ketika kata-kata oleh
siapa atau apa tidak muncul atau tersamarkan, maka sebetulnya sudah dapat
diduga bahwa upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan pun pada
gilirannya akan menjadi bias.9
Kejahatan, dalam hal ini Kekerasan, terhadap perempuan sebelum
disahkannya keberlakuan UU PKDRT oleh negara, hanya diatur oleh satusatunya
produk hukum yang dapat dijadikan acuan yaitu Kitab Undangundang
Hukum Pidana (“KUHP”) warisan kolonial yang diadopsi menjadi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Semua persoalan kekerasan yang
dihadapi perempuan, baik dewasa maupun anak-anak hanya bisa mengacu
pada KUHP, karena dalam tingkat nasional memang belum ada alternatif
perangkat hukum lainnya.
Fakta menunjukkan bahwa KUHP yang selama ini digunakan oleh
pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan justru merugikan perempuan
sebagai korban kekerasan. Sering terjadi, kategori kekerasan yang secara
faktual dialami oleh perempuan unsur-unsurnya tidak memenuhi pasal-pasal
yang ada dalam KUHP. Implikasinya, pihak penegak hukum kemudian
9 Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation Indonesia, Negara dan Kekerasan Terhadap
Perempuan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), Hlmn.33
11
menghentikan proses hukum yang sedang dijalankan. Kasus yang dilaporkan
tidak dapat dilanjutkan hingga ke pengadilan. Ini menunjukkan bahwa secara
umum negara masih belum mampu memberi perlindungan terhadap
perempuan, khususnya mereka yang menjadi korban. Kebijakan dan
peraturan termasuk tetapi tidak terbatas pada KUHP pun masih banyak yang
bias gender. Dari keadaan ini, dapat dikatakan bahwa negara pun berperan
dalam menyuburkan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Patut untuk disadari bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak
semata-mata hanya merupakan tindak kriminal belaka. Tetapi, juga
merupakan problem sosial yang harus segera diatasi. Secara kualitas maupun
kuantitas, kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.10
Dalam kondisi seperti ini, negara seyogyanya ikut bertanggungjawab
dalam hal memberikan rasa aman bagi kaum perempuan. Ketidakmampuan
negara dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan justru
melahirkan kebijakan yang mempermudah segalanya, yang membatasi ruang
gerak perempuan. Karena itu negara turut bertanggungjawab terhadap
kekerasan yang terjadi pada perempuan, atas kebijakannya yang turut serta
melanggengkan ketidakadilan gender dan diskriminatif.
Negara seharusnya sesegera mungkin memberikan perhatiannya
terhadap permasalahan ini, karena perempuan membutuhkan negara.
Bukankah perempuan sudah cukup pantas untuk diperhatikan negara?
Karena negara tanpa perempuan bukanlah negara, negara tanpa perempuan
tidak akan bisa berkembang, tidak akan bisa bertumbuh. Karena setiap ‘isi’
negara, yaitu warga negara, termasuk para pelaksana pemerintahan negara,
harus lahir dari rahim perempuan.
Negara mutlak memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan
dan pelayanan pada perempuan korban kekerasan. Dengan begitu secara
10 Yuni Satia Rahayu dan Siti Noor Laila, Op. Cit. Hlm. 4.
12
otomatis, negara harus mengubah kebijakan yang masih tidak konsisten, atau
bahkan bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah
diratifikasi. Negara seharusnya memberikan perhatiannya terhadap
permasalahan ini, janganlah negara terlihat seperti melepas tangan, bahkan
tidak peduli mengenai kekerasan yang terjadi pada perempuan. Apakah tidak
cukup kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh masyarakat, sehingga
negara pun harus turut campur dalam melakukan kekerasan terhadap
perempuan, dengan cara mengabaikan aturan-aturan yang bias gender dan
yang ‘memperlancar’ dilakukannya kekerasan terhadap perempuan?
Sebagai tanggapan atas segenap seruan dari masyarakat tersebut, maka
pada tahun 2004, pemerintah Negara Republik Indonesia kemudian
mengesahkan keberlakuan UU PKDRT dan selanjutnya diikuti dengan
pengesahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Isu KDRT Dalam Pandangan Sosiologi Hukum
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke
dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan
sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika
sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam
arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang
dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini
membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang
bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus
dilakukan secara hati-hati.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk
menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturanaturan
tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan13
kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia
global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut
sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara
berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak
berubah setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi
oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi-
Autonomous Social Field (Moore, 1983).
Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-aturan hukum yang
saling bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum
yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan
berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang paling
ditaati.
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan
yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya.
Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)”
kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan,
secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan
hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang
patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai
bagian dari masyarakat.
Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu
berada. Disini Penulis ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan
dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu
merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila
budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah
budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang
dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap
perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki
dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
14
Dalam hal sudah berlakunya UU PKDRT, dengan kata lain, sudah ada
instrumen hukum yang menjamin perlindungan terhadap perempuan dari
kekerasan dalam rumah tangga, apakah dapat dipastikan bahwa dalam
kehidupan sehari-hari berbagai macam perangkat tersebut dapat ditegakkan?
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat,
maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang
diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap
selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas
dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral
akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini
mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh
negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya,
berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Apakah benar demikian? Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan
bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam
masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan
berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan
hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan
secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar
untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat
diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum
itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas
tertinggi yaitu negara.
Sebagai contoh, apakah warga masyarakat Amungme yang tinggal di
pedalaman Opitawak, Papua tahu dan mengerti akan artinya hukum negara
bagi mereka? Apakah maknanya UU PKDRT bagi mereka? Atau, sebagai
contoh yang lainnya, bahkan bagi masyarakat di kota-kota besar, terutama
kelompok miskin kota, yang tidak memiliki akses kepada sumber-sumber
15
kekuasaan dan informasi, apakah artinya hukum negara dalam kehidupan
mereka?
Kembali kepada pertanyaan mengenai apakah dengan disahkannya
keberlakuan UU PKDRT, undang-undang ini dapat merekayasa masyarakat
sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
dapat diminimalisir dalam praktek?. Sangat tidak mudah untuk menjawab
pertanyaan ini. Introduksi “hukum baru” akan berhadapan dengan budaya
patriarkhis dalam masyarakat. Dalam hal ini sebagian dari jawaban setidaktidaknya
dapat diberikan dengan menganalisis hukum sebagai suatu sistem
menurut Friedman, yang terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Pertama, berkaitan dengan Substansi Hukum, di samping terdapat
instrumen hukum berupa UU PKDRT, yang bertujuan memberikan keadilan
kepada perempuan korban KDRT, di sisi lain, terdapat masalah rumah
tangga, perundang-undangan, dan kebijakan lain yang memberikan dampak
merugikan bagi perempuan. Bahkan kerapkali misinterpretasi ajaran agama
dan adat yang meneguhkan subordinasi perempuan, diakomodasi dalam
substansi peraturan perundang-undangan. Para penganut Feminist Legal
Theory mengatakan bahwa prinsip dasar dari sistem hukum bersifat
patriarkhis, dalam arti hukum dibuat dan disusun dari kacamata “laki-laki”
untuk kepentingan “laki-laki” dan karenanya mengabaikan kepentingan
perempuan dan menempatkan perempuan pada relasi kekuasaan yang
timpang baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Kedua, dalam penegakan hukum di lapangan, Struktur Hukum, para
penegak hukum seringkali tidak berpihak pada korban perempuan, bukan
saja karena ketidakpahaman dan ketiadaan perspektif perempuan di
kalangan para penegak hukum, tetapi juga struktur dan prosedur yang ketat
menghalangi para penegak hukum untuk membuat terobosan dan
interpretasi yang baru. Keberlangsungan suatu struktur memang
16
mensyaratkan adanya ketaatan pada aturan dan prosedur. Pemikiran yang
sangat Legalis, yang dianut oleh para Sarjana Hukum pada umumnya,
terutama yang berkecimpung dalam Hukum Pidana, menyebabkan sukarnya
mereka memberi interpretasi lain atau melakukan terobosan-terobosan yang
dibutuhkan.
Ketiga, masih kuatnya Budaya Hukum masyarakat, yaitu kekuatankekuatan
sosial berupa ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan
sebagainya, yang secara potensial telah menempatkan perempuan dalam
posisi submissive. Dari keseluruhan sistem hukum ini, Budaya Hukum
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap dapat tidaknya suatu
Substansi Hukum bekerja dalam masyarakat. Apakah UU PKDRT dapat
diimplementasikan dengan baik atau tidak, akan sangat tergantung pada
seberapa kuatnya keselarasannya dengan budaya hukum patriarkhis yang
dianut oleh masyarakat Indonesia.
Bahwa segenap uraian di atas menunjukkan bahwa peran negara
dalam menanggulangi maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga tidak sepatutnya berhenti pada pengesahan berlakunya
UU PKDRT. Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam
masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat
menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk
dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya
dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT,
yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT
terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
17
BAB III
K E S I M P U L A N
Segenap uraian yang telah disampaikan dalam tulisan diatas
mengantarkan kita pada suatu kenyataan baru sehubungan dengan
diundangkannya UU PKDRT, yaitu bahwa instrumen hukum yang melarang
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, akan dapat efektif untuk
menghapuskan, atau setidaknya mengurangi, terjadinya kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga, jika didukung dengan budaya hukum
masyarakat yang menempatkan perempuan pada relasi kekuasaan yang
setara dengan laki-laki.
Sungguh suatu harapan yang mulia agar negara yang telah memiliki
UU PKDRT ini dapat menindaklanjutinya dengan memadukan berbagai
upaya dari berbagai pihak dalam hal ini para penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, pengacara), civitas akademika hukum, tokoh agama, budayawan dan
masyarakat luas. Pihak-pihak ini seyogianya saling bahu membahu
menciptakan sistem penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga secara
terpadu, serta membangun suatu budaya keadilan jender yang mampu
menetralisir pengaruh negatif dari Budaya Patriarkhis terhadap perempuan.
Upaya terpadu dan terus menerus melakukan transformasi budaya
tersebut akan menyakinkan Penulis bahwa UU PKDRT dapat benar-benar
ditegakkan untuk mengakhiri penderitaan perempuan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Asri Supatmiati, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
(Jakarta, www.baitijannati.wordpress.com, 2007)
Beckman, Peter R & D’Amino, Francine. Women, Gender and World Politics:
Perspectives, Policies and Prospect. (USA: Greenwood Publishing Group,
Inc. 1994).
Bedsaida, TA-Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta, 2007)
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia.
Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan
Gender. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004).
Fakih, Mansour. Analisis Gender&Transformasi Sosial. (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2005).
Irianto, Sulistyowati. Perempuan&Hukum,Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006).
Irianto, Sulistyowati dan L.I. Nurtjahyo. Perempuan di persidangan : Pemantauan
Peradilan Berperspektif Perempuan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2006).
Komnas Perempuan.Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. (Jakarta:
Ameepro, 2002)
Mosse, J.C. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training.
(London: Ruotledge, 1993).
Program Gender dan Seksualitas FISIP UI dan Ford Foundation. Seksualitas:
Teori dan Realitas.(Depok, 2004).
Rahayu, Yuni Satia & Laila, Siti Noor. Sepatu Lars di Rahim Ibu. (Jakarta:
Grafika Indah, 2004).
Saadawi, Nawal El. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2001).
19
Salman, Otje dan Anthon F. Sutanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum.
(Bandung:Alumni, 2004).
Steans, Jill. Gender and International Relation: An Introduction. (Oxford: Polity
Press, 1998).
Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation. Negara dan Kekerasan
Terhadap Perempuan. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000).
Yentriani, Andy. Politik Perdagangan Perempuan. (Yogyakarta: Galang Press,
2004).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Salut buat mas yang satu ini, cerdas dan bahasanya lugas semoga kita bisa saling bertukar pikiran dan informasi.