Rabu, 25 Februari 2009

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN LINGKUNGAN

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN LINGKUNGAN
Oleh:
Dra. Masayu S.Hanim, M.Si*
Abstract
Social participation on environmental management was determined by social
relations system, government system, regulation system, and law enforcement
system. The synergy of that four systems would be construct the relation
system frame, between nature and human being. Actually, the frame
constructed by good governance, social participation for the law and law
enforcement bureaucracy. For all, The Government continues to consolidate
its co-operation with the private sector and foster the establishment of venture
capital funds for sustainable development.
1. Pendahuluan
TAP MPR no. IX tahun 2001 telah menggariskan perlunya DPR dan
Presiden untuk meninjau kembali semua undang-undang dan peraturan sektoral
tentang pengelolaan sumberdaya alam dan pembaruan agraria untuk kemudian
menggantikannya dengan peraturan baru yang lebih komprehensif dan ramah
lingkungan, sampai kini tampaknya masih mengalami kesulitan untuk membawa
kesuatu perubahan yang berarti.
Menyadari betapa kompleks dan rumitnya upaya pengelolaan serta
penegakan hukum lingkungan pada umumnya, dan khusus di wilayah DAS1
Terpadu, Citarum dan Kawasan Jabodetabekpunjur2 sudah banyak gagasan
ataupun advokasi yang dilontarkan. Misalnya dalam era reformasi sekarang ini
harus dimulai dari perbaikan sistem hukum. Perbaikan sistem hukum ini harus
disertai dengan political will untuk membangun sistem politik yang kondusif agar
berkembang sistem hukum yang adil dan merata dalam upaya penegakan
* Peniliti LIPI dan Dosen FISIP Universitas Budi Luhur. Alumnus S.2 Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia.
1 Singkatan dari Daerah Aliran Sungai
2 Singkatan dari Jakarta, Bogor,Depok, Tangerang Bekasi Puncak Cianjur.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 60
hukum. Karena penegakan hukum merupakan prasyarat utama untuk keluar dari
krisis multidimensional sekarang ini. Usul lain adalah reformasi birokrasi agar
implementasi regulasi dapat mudah dipahami oleh semua pihak untuk
menegakan hukum.
Ketika penelitian dalam kemasan Program Kompetitif diluncurkan oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2003 yang lalu, turut
mengambil bagian dalam program ini, tim yang melakukan kajian dengan
pendekatan sosial kemasyarakatan di wilayah DAS Citarum, dan DAS Ciliwung
dan Cisadane yang populer dengan sebutan kawasan Jakarta, Bogor, Puncak
dan Cianjur (Jabopunjur), merupakan bagian dari penelitian terpadu dari
berbagai disiplin ilmu. Fokus dari penelitian ini adalah pada dimensi hukum dan
kebijakan, kelembagaan yang mengelola DAS, dan peran serta masyarakat.
Pertanyaan utama yang diajukan adalah mengapa DAS di Jawa Barat menjadi
dalam kondisi kritis, sehingga berakibat pada terjadinya bencana banjir dan
longsor, kekeringan dan pencemaran di kawasan DAS dari tahun ke tahun ?
2. Kondisi Kerusakan DAS Citarum & Kawasan Jabodetabekpunjur
Merupakan salah satu fakta yang menunjukkan terjadinya konflik dan
ketidakserasian atau penyimpangan pemanfaatan ruang, khususnya antara
pemanfaatan kawasan pemukiman, perkotaan,industri, pertanian dan kawasan
lindung. Bentuk-bentuk penyimpangan itu di antaranya pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai untuk pemukiman. Bantaran sungai juga berubah fungsi. Demikian
juga pemanfaatan ruang untuk pemukiman pada wilayah retensi air, seperti
rawa-rawa dan lahan basah.
Data lapangan menunjukkan, penggunaan lahan untuk permukiman di
Jabodetabek sejak tahun 1992 hingga 2001 naik rata-rata 10 persen/tahun.
Dalam kurun waktu yang sama, terjadi pula pengurangan luas kawasan lindung
rata-rata 16 persen/tahun. Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek berubah
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 61
sekitar 20 persen. Pemanfaatan lahan di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur
(Bopunjur), yang merupakan hulu (up-stream) kawasan Jabodetabek, telah
menyimpang 79,5 persen dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres No
114/19993.
Hal ini disebabkan pertumbuhan kawasan pemukiman/perkotaan yang
cukup pesat dengan luas mencapai 35.000 hektare (ha) atau 29 persen dari total
luas kawasan Bopunjur, telah terjadi perubahan besar-besaran penggunaan
lahan, baik lahan terbuka, lahan pertanian dan sebagainya. Perubahan rata-rata
20 persen/tahun.
Selain itu, masih terdapat beberapa masalah yang terjadi di kawasan
Jabodetabekpunjur, yakni masalah urban sprawl . Hal itu sebagai akibat adanya
perkembangan pembangunan dalam skala besar di kawasan Jabodetabek,
terutama dalam kurun 10 tahun terakhir (1885-1999). Kota baru yang bertebaran
di Kota/Kabupaten Bogor, Tangerang, Jakarta, Depok, dan sebagainya, menjadi
salah satu biang keladi perubahan itu. Perkembangan pembangunan itu pun
diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk dari 16 juta jiwa (1990) menjadi 19
juta jiwa tahun 1996. Diperkirakan, tahun 2015 jumlah penduduk mencapai 27,3
juta jiwa. Tingkat kepadatan penduduk tahun 1997 di Kabupaten Bogor tercatat
1.432 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk 4.344.800 jiwa dan luas 3.034,47 km2.
Penduduk Kota Bogor 655.300 jiwa dengan luas 112,74 km2 dan kepadatan
5.812 jiwa/km2. Sedangkan total Botabekjumlah penduduk mencapai 12.068.100
jiwa dengan luas 6.025,97 km2 dan kepadatan 2.003 jiwa/km2.
Perkembangan pembangunan di bagian hulu kawasan, telah
mempersempit vegetasi yang menutup permukaan tanah. Terjadinya
penyempitan sungai akibat sedimentasi dari partikel-partikel yang terbawa,
3 Penyimpangan itu diketahui berdasarkan informasi citra landsat tahun 2001, Ditjen
Penataan Ruang Departemen PU tahun 2002
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 62
berdampak pada peningkatan aliran air permukaan (run-off). Sedangkan
perubahan lahan alami ke lahan terbangun menimbulkan bahaya erosi dan
menurunkan infiltrasi air tanah. Yang lebih memprihatinkan lagi, hingga tahun
2002, situ-situ (kolam tangkapan air) mengalami penurunan yang cukup
signifikan mencapai 65,8 persen. Berdasarkan data kajian, di Jakarta terdapat 16
situ dengan luas semula 182,9 ha. Sekarang tidak jelas lagi keberadaannya. Di
Kabupaten Bogor, 94 situ dengan luas semula 502,1 ha. Terjadi penurunan luas
yang signifikan menjadi 47,9 ha. Kapasitas semula 5.905.750 m3 dan sekarang
menjadi 2.298.000 m3. Di Kota Bogor, terdapat enam situ yang semula luasnya
15,4 ha telah menyusut sekarang menjadi 12,5 ha. Kota Depok terdapat 22 situ
dengan luas semula 167,9 ha menyusut menjadi 151 ha. Kabupaten Tangerang,
37 situ dengan luas semula 1.063,1 ha sekarang luasnya setelah menyusut
686,7 ha. Di Kota Tangerang terdapat delapan situ, semula luasnya 195,8 ha
dan sekarang menjadi 136,4 ha. Di Kabupaten Bekasi dari 17 situ dengan luas
semula 110,1 ha, sekarang menjadi 10 ha 4.
Permasalahan lainnya adalah perkembangan infrastruktur yang tak
terkendali, khususnya pembangunan yang terjadi di lintas wilayah yang memiliki
keterkaitan dengan fungsi dan struktur alam. Selain itu, meningkatnya kebutuhan
perumahan dan fasilitas lainnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk,
peningkatan jumlah kendaraan yang semakin pesat, serta adanya fenomena
ketidakseimbangan antara pembangunan jalan dengan jumlah kepemilikan
kendaraan.
Masalah limbah juga harus mendapat perhatian, dengan meningkatnya
limbah industri dan rumah tangga di bagian hilir. Belum optimalnya sistem
pengelolaan sampah, terutama pada wilayah DAS. Sebagai contoh di Jakarta,
hanya 84,6 persen dari total volume produksi sampah per hari yang bisa dikelola.
Sedangkan di luar Jakarta, baru mampu mengelola 20 hingga 30 persen dari
total volume produksi sampah per harinya, sisanya dibuang.
4 Jabopunjur merupakan representasi (mewakili) lokasi penelitian 2003 – 2005
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 63
3. Penyebab Krisis DAS Citarum dan Kawasan Jabodetabekpunjur
Setelah dilakukan kajian melalui perspektif sosial yakni dalam hal
kebijakan dan kelembagaan serta penegakan hukum dibarengi dengan peranan
perilaku masyarakat, maka terungkap dimensi-dimensi penyebab utama
yang memicu langsung maupun tidak langsung kondisi kerusakan DAS
sekarang ini. Melihat kondisi saat ini, pertanyaan apakah kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang ada tidak cukup efektif mengatur dan
menangani wilayah DAS di Jawa Barat, Banten dan DKI ini? Atau, apakah
implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak tepat?
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Tentunya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan
tersebut, selain melihat dari segi sumber daya manusia aparat
pelaksana dan masyarakat, juga penting untuk mengkaji regulasi, kebijakan dan
peraturan perundang-undangan kawasan DAS ini.
Penelitian 2003 - 2005 mencatat bahwa penyebab kesemuanya itu
adalah belum terjadi sinergi antara 4 (empat) sub sistem untuk menuju pada
sistem lingkungan kehidupan yang representatif yakni :
3.1. Sistem hubungan sosial masyarakat yang terpola dari interaksi sosial
yang terbentuk selama ini adalah sistem yang mengacu pada hilangnya
nilai-nilai yang baik seperti seharusnya patuh pada peraturan yang sudah
dibuat menjadi tidak patuh/ melanggar, pemegang kekuasaan seharusnya
mengayomi/melindungi masyarakat tetapi berkembang sifat egoistis dari
pemegang kekuasaan (ego-sektoral) yang lebih menonjol, sehingga
hilangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap penguasa/pembuat
kebijakan yang dianggap mementingkan tujuan penguasa dan pengusaha
saja, tanpa memikirkan kepentingan publik secara luas. Dengan perkataan
lain pola interaksi sosial menjadi tidak terarah kepada tujuan yang baik,
sebagian besar masyarakat menjadi anomie, bingung dan apatis.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 64
3.2.Sistem Pemerintahan: aparat pemerintah sebagian terlibat KKN (karena
keserakahan pihak yang berkuasa/atasan atau gaji tak memadai bagi pihak
bawahan yang harus melaksanakan tugas), dana operasional penegakan
hukum tidak ada/memadai dan sistem kebijakan yang sektoral tidak
terpaduserasi sehingga masing-masing instansi yang berkepentingan
membuat kebijakan, dan terjadi tunpang tindih/ disharmoni regulasi.
Lemahnya atau tidak ada koordinasi terpadu antar kelembagaan (arogansi
sektoral).
3.3.Sistem Perundang-undangan /Regulasi: Konflik kepentingan terlihat jelas
pada produk hukum lingkungan antara kepentingan birokrat dan konglomerat
(sektoral), dan kepentingan pelestarian lingkungan. Sehingga terjadi dissinkronisasi
dan dis-harmonisasi diantara regulasi lingkungan. Hal ini
mengakibatkan kerusakan lingkungan semakin parah. Karena banyaknya
jumlah regulasi5, menimbulkan kebingungan masyarakat, pada akhirnya
regulasi diabaikan dan mereka bertindak sendiri-sendiri (melanggar
peraturan baik ditingkat pejabat maupun masyarakat awam). Pada tingkat
implementasi terjadinya kesemrawutan, di satu sisi aparat dituntut untuk
melakukan penertiban dan merealisasikan penataan ruang, namun di sisi lain
mereka tidak mempunyai kekuatan hukum untuk melakukannya. Adanya
peraturan yang menggamangkan seperti ini membuat tindakan aparat lebih
banyak menunggu adanya laporan dari masyarakat, dimana sudah jelas ada
yang dirugikan, barulah proses penertiban lebih punya kekuatan hukum.
Peraturan yang dianggap tidak jelas tersebut adalah Keppres 114/1999 yang
selama ini menjadi acuan. Peraturan tersebut belum menjelaskan secara
rinci sampai sejauhmana batasan kewenangan yang dimiliki Pemerintah
Kabupaten serta lokasi mana saja yang boleh dan tidak boleh dibangun.
Semua ini belum punya kejelasan sehingga menimbulkan keraguan.
5 Di DAS Citarum ada 54 regulasi (Wangsaatmaja, 2006) dan Jabodetabekpunjur lebih kurang 36
regulasi)
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 65
3.4. Sistem Penegakan Hukum: Pembiasan regulasi oleh aparat
pemerintah (eksekutif dan legislatif), lemahnya pengetahuan aparat penegak
hukum (yudikatif) tentang hukum lingkungan serta mafia peradilan (suap
untuk bebas dari tuntutan hukum). Sistem sosialisasi regulasi tidak berjalan
sehingga masyarakat menjadi buta hukum, tidak tahu/sadar bahwa ada
peraturan yang mengatur, kadang mereka terjebak pada pelanggaran.
Hukum lingkungan mengajarkan semua itu sebagai suatu kesatuan yang
utuh dan merupakan suatu sistem. Pendekatannya selalu sistemik, tidak
pernah lingkungan berbicara tidak sistemik. Jika tidak, hal itu akan
mendampak pada penemuan kesimpulan yang menyimpang/keliru. Pada
waktu kita berbicara hukum lingkungan, penegak hukumnya adalah aparatur
pemerintah. Dia adalah orang paling pertama dan utama dalam menegakan
hukum, oleh karena itu tanggung jawab ada padanya. Penegak hukum itu
tidak saja aparatur pemerintah yudikatif (hakim, polisi, pengacara, jaksa),
tetapi juga aparatur pemerintah legislatif dan eksekutif. Ia harus menegakkan
rencana tata ruang, menegakkan hukum yang membatasi kegiatan-kegiatan
lain dalam rangka pelestarian lingkungan. Tidak jarang terjadi misalnya
kalau ada seorang pejabat memberikan izin terhadap kawasan lindung, dan
ini ternyata salah, maka hal itu bukan kesalahan prosedur, dianggap hanya
kesalahan administratif saja. Sebetulnya sebagai aparatur salah, melanggar
peraturan perundang-undangan yang dia buat sendiri.
Semua unsur tersebut memegang peranan penting. Mereka saling
berinteraksi membentuk sebuah mekanisme yang dalam hal ini
menyebabkan terjadinya bias regulasi dalam sistem pembuatan kebijakan
publik6, sehingga menyebabkan kerusakan yang sedemikian parah. Oleh
6 Hanim, Masayu S. dkk, (2003) Sistem Jaringan Pembuatan Kebijakan Publik yang Berdampak
Pada Penyalah Gunaan Lahan di Kawasan Jabopunjur, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan, LIPI ,Jakarta,
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 66
karena itu, interaksi dan sinergi ke empat unsur tersebut menduduki peranan
utama. Namun keempat sistem tersebut tampaknya mempunyai masalah,
sehingga penegakan hukum khususnya hukum lingkungan, koordinasi
kelembagaan serta implementasi regulasi belum bisa terlaksana dengan
semestinya, dan kerusakan lingkungan terjadi selama ini.
4. Rekomendasi Langkah-Langkah Menuju Pelestarian DAS
Dalam konteks pendekatan antropo-ekosistemik bagi sub sistem
pengelolaan lingkungan, sebagai dasar dari empat sub sistem lainnya maka
diharapkan dapat membentuk suatu sistem kehidupan lingkungan yang
representatif yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan semua pihak,
yakni manusia dan alam. Lingkungan dianggap sangat mempunyai
kepentingan, dalam arti kata punya hak hidup dan hak untuk berkembang
disamping harus mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Sebagaimana kita sadari sistem perundangan sekarang ini sulit
berjalan/diimplementasikan sehingga penegakan hukumpun sulit dilakukan.
Hal ini karena sistem pembuatan produk hukum lingkungan berasal dari
birokrat, seperti yang dinyatakan oleh Ir.Sarwono Kusumaatmaja mantan
Menteri Lingkungan Hidup, bahwa hingga kini kebijakan publik masih
ditangan para birokrat, sedangkan rumusan para ahli, periset, dan ilmuwan
dibidang tersebut justru disingkirkan15. Oleh karena itu dalam menuju suatu
sistem hukum lingkungan yang representatif harus dimulai dengan
memperbaiki regulasi atau produk hukum lingkungan dengan paradigma
antropo-ekosistemik yang lebih mengutamakan harmonisasi hubungan
manusia dengan alam. Ada 5 (lima) isu mengenai perbaikan produk
hukum/ regulasi yaitu :
15 Media Indonesia, 17 Juni 2003
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 67
4.1. Proses Pembuatan Produk Hukum Lingkungan dan Tata Ruang
Proses pembuatan produk hukum lingkungan menjadi arahan awal dalam
munculnya produk hukum yang mengatur wilayah DAS. Hal penting yang harus
ada di sini adalah keterkaitan semua unsur yaitu para stakeholder dalam
melakukan urun rembug kebijakan publik yang mengatur wilayah DAS. Sesuai
mekanisme pendekatan sistem, semua unsur yang merupakan sub sistem harus
terlibat dari awal, sejak dari peraturan perundang-undangan dirancang dan
kemudian ditetapkan. Hal ini untuk mengakomodasi kemungkinan terjadinya
ketidaksesuaian antara kondisi lapangan dengan aturan di atas kertas.
Kondisi lingkungan juga harus dipertimbangkan, karena di sini ada hak
hidup dan berkembang bagi seluruh ekosistem.Untuk tahap awal dalam proses
pembuatan kebijakan harus diawali dengan pembentukan Tim Pengkajian16,
artinya tidak hanya pada sisi tata ruang semata, namun perlu keterlibatan unsur
ahli lainnya, seperti, ilmuan biologi, teknik lingkungan, pertambangan,
kehutanan, kebijakan publik, antropologi, sosiologi, dan ekonomi. Sementara dari
sisi aparatur pemerintahan, perlu diakomodasi kepentingan dari masing-masing
departemen, seperti, Perindustrian, Perdagangan, Pertahanan dan Keamanan,
Perhubungan, BPN, Energi dan Sumber Daya Mineral, Kehutanan dan
Perkebunan, Penanaman Modal Asing dan Daerah.
Berdasarkan hasil kajian interdisipliner dan multidisipliner serta lintas
sektoral tersebut, selanjutnya disusun Rencana Tata Ruang (sebagai bagian dari
Hukum Lingkungan) yang berorientasi pada perlindungan lingkungan, baik
terhadap kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Seluruh pembicaraan
tersebut harus dikerangka dalam sebuah kacamata bersama yaitu Undang-
Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Turunannya akan
muncul lagi dalam bentuk yang lebih konkret yaitu, Peraturan Daerah (Perda)
masing-masing.
Secara kelembagaan seharusnya pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pembuatan produk hukum di wilayah DAS adalah :
16 Amirudin Dajaan Imami Kepala PS Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang, FH
Unpad. 2005
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 68
1. Aparat pemerintahan daerah (Prop.Banten Jawa Barat dan DKI
Jakarta, beserta tingkat II, Kabupaten/Kota dan III, Camat)
2. Aparat pemerintahan pusat yang berada dalam departemen masingmasing
:
a. Dep. Lingkungan Hidup
b. Dep. Pertanahan
c. Dep. Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral
d. Dep. Kehutanan
e. Dep. Perindustrian dan Perdagangan
f. Dep. Pertahanan dan Keamanan
g. Dep. Perhubungan
h. Dep. Pemukiman dan Prasarana Wilayah
i. Dep. Perkebunan dan Pertanian
j. Dep. Hukum dan HAM
3. Kalangan masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh adat dan agama)
4. LSM dan Presure Group.
5. Akademisi dan kalangan ahli (expert), misalnya : Perguruan Tinggi,
LIPI, BPPT, Ristek dst.
6. Kalangan pengusaha
7. dan lain-lain
Komponen yang dikemukakan di atas adalah sebuah sistem yang utuh
dan menyeluruh. Dalam prosesnya, harus ada sebuah mekanisme komunikasi
yang rapat dan intensif yang mengarah pada sebuah misi bersama, pengelolaan
lingkungan hidup dan tata ruang DAS yang ramah lingkungan. Model
komunikasinya berlangsung dalam sebuah mekanisme yang dialogis dan
partisipatif diantara pemangku kepentingan (stake-holder).
Keterlibatan kelembagaan serta kelompok-kelompok masyarakat
tersebut, selama ini sangat minim. Beberapa keterangan didapat bahwa,
walaupun mereka dilibatkan, namun terkadang hanya menjadi pelengkap dan
tidak diakomodasi secara baik. Model yang diterapkan selama ini, lebih banyak
dalam bentuk usulan-usulan dari masing-masing instansi secara tertulis, dan
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 69
kemudian dirumuskan dalam sebuah bentuk jadi. Pada akhirnya, ini berdampak
pada rendahnya partisipasi saat peraturan tersebut diimplementasikan.
Setidaknya, ini terlihat dari Keppres No. 114/1999, yang cenderung sulit
diterapkan di lapangan.
4.2. Pelaksanaan Produk Hukum, Terutama Punishment dan Reward.
Aspek utama dalam proses kebijakan publik adalah tahap pelaksanaan
17, yakni bahwa sebuah kebijakan yang paling bagus sekalipun, tidak akan ada
artinya sama sekali jika tidak bisa dilaksanakan. Tahap pelaksanaan adalah
bagian paling rumit dalam sebuah kebijakan, oleh karena itu memerlukan
perhatian khusus dan perbaikan terhadap berbagai kelemahan-kelemahan yang
ada.
Kebijakan publik, dalam bentuk hukum lingkungan dan tata ruang, telah
banyak mengatur wilayah DAS Citarum/Jabopunjur. Sejak dari tahun 1960
hingga sekarang, beragam peraturan telah dikeluarkan. Bisa dikatakan kebijakan
publik diwilayah DAS Citarum/Jabopunjur telah sangat lengkap, kendatipun dari
sisi materi masih menyisakan berbagai kelemahan dan kekurangan-kekurangan.
Akan tetapi, realitasnya, tata ruang DAS Citarum/Jabopunjur misalnya,
khususnya wilayah Puncak, tetap semrawut dan kerusakan-kerusakan
lingkungan terus terjadi.
Pelaksanaannya seringkali tidak secara konsisten dan mengacu penuh
pada peraturan. Hal ini terkait sekali dengan faktor manusia yang mau dan
mampu melaksanakannya. Dari sisi materi sudah cukup mengakomodasi,
namun ketika pelaksanaan tidak konsisten. Konsistensi ini terkait pula dengan
sinergi antara semua instansi dan departemen terkait, terutama aparat
pemerintahan daerah dan lembaga peradilan. Seringkali terjadi, persoalan tata
ruang dan lingkungan diajukan ke pengadilan, namun hanya mendapat sanksi
administrasi. Ini tidak menimbulkan efek jera dan dalam pelaksanaan hukum tata
ruang, diperlukan ketegasan hukum.
17 Solihin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan Publik, dari Formulasi ke Implementasi, Rineka
Cipta, Jakarta, 2001.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 70
Secara sederhana, aspek pelaksanaan peraturan hukum, terkait
dengan ganjaran dan penghargaan bagi pelaksana di lapangan, bisa
digambarkan sebagai berikut :
1. Meningkatkan pengetahuan aparatur dan masyarakat mengenai
hukum lingkungan dan tata ruang;
2. Memberikan kejelasan sanksi yang tegas dan imbalan yang jelas bagi
pelanggar peraturan;
3. Memastikan adanya koordinasi antar departemen dan instansi
(kelembagaan) secara mandiri dan komprehensif, dengan satu misi,
pelestarian lingkungan hidup di Wilayah DAS.
4. Meningkatkan penghasilan/gaji bagi aparatur penegakan hukum
secara adil dari tingkat atasan sampai pelaksana lapangan;
5. Membiasakan adanya kontrol dan keterbukaan public/partisipasi
masyarakat, sehingga masyarakat bisa mengetahui secara langsung
kesalahan dan kekurangan dalam pelaksanaan peraturan;
6. Membuka wacana bagi pembentukan koordinasi terpadu (seperti
Badan Otorita), atau bentuk lainnya, dengan melibatkan unsur
perguruan tinggi dan lembaga ilmiah lainnya. Pada saatnya nanti
dibentuk badan khusus wilayah DAS, yang terintegrasi dari semua
kalangan yang berkaitan dengan tetap mengacu pada indikatorindikator
lingkungan hidup;
7. Memperhatikan dan memasukkan secara jelas dan tegas keterlibatan
unsur-unsur yang ada di wilayah Puncak, termasuk unsur
masyarakat, tokoh agama, pendidikan, dan juga pemerintah provinsi
dan pusat;
Pelaksanaan penegakan hukum di wilayah DAS harus merupakan sinergi
dari semua pihak. Oleh karena itu, sinergi yang ada mestinya diikat dengan
sebuah peraturan khusus tentang wilayah DAS, yang tidak bersifat sektoral,
namun integral dari bagian-bagian lain. Konsep satu sistem harus
dikembangkan, sehingga bisa mengakomodasi semua kepentingan dan
adanya partisipasi semua pihak.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 71
4.3. Siklus Perundangan/Regulasi
Sebagaimana diketahui, hukum lingkungan merupakan hukum
fungsional yang menempati beberapa bidang hukum klasik, seperti hukum
adminsitratif, hukum perdata, hukum pidana. hukum tatanegara, hukum
internasional (publik dan privat), hukum agraria termasuk hukum tataruang
dan bahkan hukum pajak. Hukum pajak atau fiskal pun mestinya diperhatikan
dalam penataan lingkungan. mestinya proyek yang kemungkinan memberi
dampak besar terhadap lingkungan dalam pencemaran (pollution), perusakan
(damage) dan pengurasan (exhaustion) dikenakan pajak lebih tinggi daripada
yang dampaknya kecil.
DI RRC pada setiap proyek penting yang diajukan, harus disimpan
uang jaminan yang besarnya seimbang dengan resiko pencemaran,
perusakan dan pengurasan yang mungkin timbal. Uang jaminan itulah yang
akan diambil untuk menanggulangi pencemaran, perusakan dan pengurasan
lingkungan yang kemudian terjadi.
Penegakan hukum di Indonesia pada umumnya menghadapi kendala
yang alamiah, yaitu luasnya wilayah. terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku
bangsa yang budaya, agama dan bahasa yang bcrbcda, hubungan sulit,
tenaga kepolisian kurang. Kesulitan penegakan hukum lehih dipersulit lagi,
dengan kurangnya kesadaran hukum masyarakat, kurang dipahaminya
hukum oleh penegaknya scndiri, ditambah dengan sarana dan prasaran yang
kurang memadai.
Ada perbedaan pendapat yang sangat tajam mengenai arti "bumi dan
air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar nya untuk
kemakmuran rakyat" .Bung Hatta dan Emil Salim berpendapat, bahwa kata
"dikuasai oleh negara" artinya "diatur oleh negara". misalnya listrik boleh
saja diusahakan oleh swasta, tetapi harganya ditentukan oleh negara
(Pemerintah). Sedangkan Jimly Assiddigi (Ketua Mahkamah Konstitusi) dan
Harun Al Rasyid mengatakan. "dikuasai oleh negara" artinya "dimiliki oleh
negara". Jika sumber air dimiliki oleh negara, maka mestinya semua proyek
air minum kemasan yang menyedot air dari humi, diusahakan oleh BUMN.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 72
Konsep penegakan hukum lingkungan, perlu pula diperhatikan,
bahwa kata pebegakan hukum dalam bahasa IngerĂ­s ada dua pengertian,
yaitu enforcement yang represif dan compliance yang mengajak orang untuk
menataati hukum. Istilah penegakan hukum (Indonesia) membawa pikiran
ke penegakan secara represif tidak mcliputi yang preventif, padahal usaha
preventif lebih baik daripada yang represif. Jerman misalnya menganut
tiga prinsip penanggulangan kemerosotan mutu lingkungan, yaitu
prevention principle (prinsip pencegahan), polluters pay principle
(pencemar membayar) dan cooperation principle. Ketiga prinsip ini diadopsi
oleh banyak negara di dunia. Usaha pencegahan sangat kurang
dilaksanakan di Indonesia. Misalnya, pedagang kaki lima termasuk
sepanjang jalur Bogor-Puncak -Cianjur dibiarkan berkembang biak tanpa
dicegah lebih awal. Sesudah meluas meliputi ribuan orang, barulah digusur
yang dengan sendirinya membawa dampak timbulnya kerusuhan. Mestinya,
baru satu dua orang sudah dibongkar. Ada pula petugas rendahan
pemerintah daerah yang memungut "pajak liar" dari pedagang kaki lima
sehingga sulit dicegah lebih awal.
Prinsip kerjasama pun sangat kurang. Harus ada kerjasama antara
masyarakat dan pemerintah, antara Pemerintah Pusat dan Daerah. antara
Pemerintah Daerah satu sama lain antara Bupati dan Gubernur, antara
Menteri KLH dan Menteri yang lain, dst.. Jika mereka jalan sendiri-sendiri,
misalnya dalam pemberian izin penggunaan lahan ditentukan sekian meter
persegi wewenang Bupati/Walikota, sekian meter persegi wewenang
Gubernur, terjadi manipulasi, dimana bisa terjadi izin itu dipecah-pecah
sesuai dengan luasnya lahan yang dibolehkan diberi izin. Di sini ternyata juga
bahwa kerjasama antara penegak hukum juga sangat kurang, misalnya
antara penegak hukum administratif (pemerintah daerah/ Menteri KLH) dan
penegak hukum pidana (polisi dan jaksa).
Walaupun hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bidang
hukum klasik, namun instrumen untuk menegakkannya hanya ada tiga yaitu
administratif, perdata dan pidana. Di dalam UULII 1997 dijelaskan bahwa
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 73
penegakan hukum pidana bersitat subsidiaritas, artinya hanya diterapkan jika
instrumen administratif dan kemudian perdata tidak efektif. Dikenal di dunia,
bahwa sanksi pidana akan diterapkan jika korban akibat pencemaran atau
perusakan lingkungan sangat besar, dan pelanggarnya adalah residivis.
Perlu pula menjadi perhatian bahwa Undang-udang Tata Ruang tidak
terlihat adanya sanksi pidana dan perdata. Sedangkan sanksi
adminsitratif hanya tersirat di dalam Pasal 26. Dalam Undang-udang
tentang sumber daya air, ada sanksi pidana yaitu yang tercantum di
dalam Pasal 94 dan 95, tetapi sanksi administratif tidak terlihat secara
tegas. Sanksi administratif itulah yang pertama harus dikenakan karena pihak
administrasi itulah yang mengeluarkan izin. Pengaturan sanksi perdata
termasuk gugatan masyarakat tercantum di dalam Pasal 88 , 90, 91 dan 92.
Sebagaimana diketahui di negara maju dikenal siklus perundangundangan
(regulatory chain) yang dimulai dengan penciptaan/pembentukan
undang-undang (Inggeris: lagislation, Belanda: wet en regel giving), penentuan
standar (Inggeris : Standard setting, Belanda : Norm zetting). pemberian izin
(Inggeris : Licensing, Belanda: vergunning verlening) Penerapan (Inggeris :
implementation, Belanda : uitvoering), penegakan hukum (Inggeris : Law
Inforcement) Kemudian disusun usul untuk perubahan perundang-undangan
(legislation) 18, bila perundang-undangan itu tidak menghasilkan ketentraman
dan kesejahteraan semua pihak.
3.5. Pengelolaan Wilayah DAS yang Berbasis Masyarakat.
Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah itu secara konkret terwujud
dalam kegiatan yang meliputi pembuatan peraturan, pelaksanaan serta
pengawasannya, kegiatan langsung yang memfasilitasi pemanfaatan kawasan
hutan oleh masyarakat, dan pengadaan unit usaha pemanfaatan kawasan hutan
yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam pengelolaan yang demikian, partisipasi
masyarakat memang tetap diperlukan, namun tidak dalam bentuk keikut-sertaan
18 A. Hamzah, Prof. Dr. Pakar Hukum Lingkungan di Jakarta
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 74
merumuskan sistem pengelolaan, melainkan dalam batas melaksanakan apa
yang sudah diputuskan oleh pemerintah. Dengan demikian dalam pengelolaan
yang dilakukan oleh pemerintah, partisipasi itu lebih bersifat semu.
Oleh karena itu beberapa kunci keberhasilan dari ko-manajemen adalah:
(1) Adanya batas-batas wilayah yang jelas yang akan dikelola bersama,
sehingga diketahui oleh masyarakat. (2) Setiap orang yang memanfaatkan
sumberdaya di wilayah itu dan berpartisipasi dalam pengelolaan harus diketahui
dengan jelas. (3) Kelompok masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan
sebaiknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan. (4) Setiap orang
yang terlibat dalam pengelolaan harus mempunyai harapan bahwa manfaat yang
diperoleh dalam pengelolaan harus lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
(5) Penerapan pengelolaan harus sederhana dan terintegrasi. (6) Masyarakat
lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari
pemerintah Daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terlindungi (7)
Adanya kelompok inti yang bersedia melakukan semaksimal mungkin untuk
terlaksananya pengelolaan (8) Perlu ada pendegelasian proses administrasi dan
tanggungjawab pengelolaan dari pemerintah kepada kelompok masyarakat yang
terlibat (9) Perlu ada sebuah lembaga koordinasi yang berada di luar kelompok
masyarakat yang terlibat dan beranggotakan wakil dari masyarakat lokal dan
semua stakeholder untuk memonitor penyusunan pengelolaan lokal dan
pemecahan konflik (10) Diperlukan upaya yang mampu memberikan
peningkatan ketrampilan dan kepedulian masyarakat untuk ikut aktif dalam
kegiatan pengelolaan.
Selain itu terdapat beberapa prinsip penting yang harus dilakukan dalam
ko-manajemen. Pertama adalah adanya desentralisasi atau pendelegasian
kekuasaan. Melalui prinsip yang demikian maka urusan mengenai pengaturan
pemanfaatan kawasan tidak lagi dilakukan oleh pemerintah Pusat, melainkan
perlu didelegasikan kepada pemerintah daerah untuk menanganinya, dengan
memberikan keleluasaan kepada masyarakat di sekitar hutan untuk
mengimplementasikannya. Kedua, dalam ko-manajemen peranan masyarakat
sekitar hutan lebih diutamakan. Itu berarti bahwa masyarakat sekitar hutan dan
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 75
pihak-pihak lain yang kehidupannya sangat tergantung pada hasil hutan memiliki
peranan utama dalam merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan hutan, mulai
dari perencanaan kebijakan, penyelenggaraan dan pengawasannya. Ketiga,
keterlibatan masyarakat merupakan hal yang penting dalam sistem komanajemen.
Ini disebabkan masyarakatlah yang akan menerima dampak
langsung dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan. Keempat, setiap unsur
yang terlibat dalam pengelolaan kawasan diaudit oleh masyarakat. Audit ini
penting dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan di antara berbagai pihak
yang terlibat dalam pengelolaan bersama. Kelima, setiap unsur dalam
pengelolaan bersama dapat digambarkan secara tepat pengaruhnya terhadap
kegiatan yang dilakukan. Keenam, setiap keputusan yang diambil dalam
pemanfaatan lingkungan didasarkan pada konsensus antara pihak-pihak yang
terlibat, melalui negosiasi dan kompromi. Apabila konsensus ternyata tidak dapat
dilakukan, maka dapat dilakukan dengan cara yang dianggap paling demokratis.
Ketujuh, setiap keputusan yang diambil memperhatikan dua unsur sekaligus,
yaitu di samping memperhatikan kesejahteraan masyarakat juga memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan. Adapun kedelapan, pemanfaatan kawasan hutan
dilakukan secara adil dan jujur antara berbagai pihak yang berkepentingan.
Untuk itu maka pemanfaatan sumberdaya hutan didasarkan pada pertimbangan
akses terhadap alokasi sumberdaya, perijinan, dan sebagainya.
Melalui sistem pengelolaan yang terpadu, maka beberapa keuntungan
akan dapat diperoleh sekaligus. Pertama, investasi yang berlebihan, baik dari
masyarakat maupun dari perusahaan pertambangan akan dapat dikurangi,
sehingga akan dapat terhindar dari over eksploitasi. Sebagai akibat dari yang
pertama ini adalah keuntungan kedua, yaitu dapat meningkatkan pelestarian
sumberdaya hutan dan meningkatkan jumlah sumberdaya yang ada. Ketiga,
untuk menjamin kesetaraan alokasi kesempatan untuk memanfaatkan
sumberdaya hutan. Sebagai akibatnya, maka keuntungan keempat adalah dapat
mengurangi konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan terhadap
pemanfaatan kawasan hutan. Di samping itu, sebagai keuntungan kelima, juga
dapat mengurangi konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 76
yang memanfaatkan sumberdaya hutan. Adapun keuntungan keenam adalah
dapat meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat dan meningkatkan
pemberdayaan masyarakat.
3.6. Sosialisasi Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Hukum
Aparat Pemerintah dan Masyarakat
McQuail (2000:503) merinci pelbagai definisi sosialisasi, antara lain
sebagai ‘pengajaran nilai-nilai dan norma-norma yang dibangun dengan cara
memberikan ganjaran dan imbalan simbolik untuk pelbagai jenis perilaku.
Sosialisasi dimaksudkan pula sebagai proses pembelajaran di mana kita semua
belajar bagaimana berperilaku dalam situasi-situasi tertentu dan mempelajari
harapan-harapan yang seiring dengan suatu peran atau status tertentu dalam
masyarakat. Jadi sesungguhnya, seperti diungkapkan Potter (2001:284),
sosialisasi adalah “... a life-long process ...” Proses yang berlangsung seumur
hidup
Sosialisasi dalam hal ini adalah pemberian/peningkatan pengetahuan
bagi aparat pemerintahan yang akan menjalankan aturan adalah hal yang
mutlak. Ketentuan ini merupakan satu kesatuan dengan materi aturan itu sendiri.
Keduanya adalah sebuah rangkaian yang tidak dipisahkan, karena pemahaman
yang jelas tentang aturan akan membawa pada pelaksanaan yang lebih efektif
dan efisien.
Mengenai pengetahuan aparat ini, sering menjadi masalah, karena
tingkat pengetahuan yang berbeda, serta materi aturan yang umumnya
memerlukan penafsiran lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2003 dan
2004, ditemukan kenyataan adanya kebingungan aparat Pemkab Cianjur
maupun Bogor dalam melaksanakan aturan perundang-undangan. Kebingungan
tersebut disebabkan oleh ketidakjelasan petunjuk dalam Keppres No. 114/1999
dengan realitas di lapangan. Hal ini ditambah lagi oleh tidak adanya peraturan
turunan yang bersifat lebih teknis.
Kesulitan lain yang ditemukan oleh aparat adalah kemampuan mereka
dalam menegakkan peraturan ketika berhadapan dengan pihak-pihak pemilik
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 77
villa dan bangunan melanggar, dimana umumnya adalah orang-orang yang
memiliki “kekuatan” dan kemampuan lebih. Tidak jarang pemilik villa adalah para
penegak hukum yang berdomisili di Jakarta, sehingga pengetahuan mereka
tentang hukum tata ruang dan lingkungan lebih memadai.
Sementara dari sisi sosialiasi peraturan perundang-undangan, masih
terlihat minim, terutama sosialisasi ke masyarakat. Hal ini kerap terjadi terutama
yang berkaitan dengan kepemilikan tanah. Pemahaman masyarakat, jika tanah
sudah menjadi hak milik mereka, maka mereka bebas mau membangun apa
saja. Mereka bisa saja menjual kepada pihak lain dan menjadikannya usaha
tersendiri. Pemkab Bogor dan Cianjur seringkali kesulitan untuk menertibkan
bangunan yang berada di kawasan lindung, namun status tanahnya sudah
berupa sertifikat hak milik.
Pemahaman masyarakat terhadap status kepemilikan lahannya,
sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Kusnaka Adimiharja19 adalah karena
ketidakjelasan peralihan lahan dari pemerintahan penjajah Belanda kepada
pemerintahan Indonesia. Pada awalnya tanah tidak dimiliki oleh masyarakat,
namun dikuasai negara. Perkembangan selanjutnya yang membuat terjadi
tanah-tanah yang dihakmiliki. Hal ini dipersulit lagi oleh tidak jelasnya peraturan
yang mengatur hak milik tanah, yang membuat kepemilikan tanah bisa berbedabeda.
Dalam hal inilah perlu sebuah usaha sosialiasi ke masyarakat dan aparat
pemerintahan daerah, mengenai peraturan-peraturan yang berlaku tentang
pengelolaan tanah di wilayah Puncak. Sosialisasi ini dilakukan secara simultan
dan komprehensif, yang ditujukan pada keterlibatan aktif para stakeholder untuk
ikut mematuhi aturan tata ruang yang dibuat. Sosialiasi tidak hanya sekedar
memasang papan pengumuman, namun mengajak masyarakat dan komponen
lain untuk memahami esensi perundang-undangan. Metodenya harus dilakukan
secara dialogis dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan dorongan-dorongan
19 Pakar Antropologi dan Budaya Sunda di Bandung
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 78
yang memberikan keuntungan kepada masyarakat yang pro-lingkungan hidup,
sebagaimana bobot yang tercantum dalam materi perundang-undangan.
Sementara pengetahuan bagi aparat, dapat dilakukan melalui pelatihanpelatihan
dan training-training secara terus menerus. Aparat pemerintah adalah
pejabat struktural yang memang harus banyak mendapatkan pelatihan, bukan
pendidikan formal. Pelatihan perlu dilakukan, karena aparat pemerintahan akan
sering berpindah-pindah tugas dari satu instansi ke instansi lain. Mereka harus
terus dibekali dengan materi-materi teknis pada bidangnya masing-masing.
Terutama berkaitan dengan hukum lingkungan dan tata ruang. Perpindahan
pejabat dari satu dinas ke dinas lainnya, harus diimbangi dengan pemberian
pengetahuan yang tepat dan sesuai.
Secara ringkas, rekomendasi untuk sosialisasi dalam upaya
peningkatan pengetahuan dan kesadaran aparat dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Melakukan pelatihan-pelatihan teknis sesuai bidang tugas secara
komprehensif dan berkelanjutan. Pelatihan ini difokuskan pada
pemahaman terhadap materi-materi perundang-undangan dan
konsep sustainable development.
2. Melakukan sosialisasi berupa dialog dan pertemuan dengan warga
masyarakat dan para stakeholder secara rutin dan komprehensif.
Pendekatannya adalah dialogis untuk menumbuhkan partisipasi
semua kalangan. Harus ditekankan ketentuan-ketentuan pengaturan
diri sendiri yang menunjang kelestarian lingkungan.
3. Melakukan sosialiasi secara lintas departemen dan instansi, terutama
yang berkaitan dengan DAS. Pendekatannya tidak sektoral, sehingga
akan muncul rasa tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.
4. Melibatkan para tokoh masyarakat serta pengusaha dalam sosialisasi
peraturan perundang-undangan. Keterlibatan mereka berada di posisi
kunci, sehingga muncul sikap tanggung jawab untuk melaksanakan
peraturan. Secara tegas diatur pula, jika mereka tidak terlibat akan
ada sanksi yang tegas dan jelas.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 79
5. Memasukkan klausul keharusan pemberian sosialisasi dan
peningkatan pengetahuan aparat ke dalam materi perundangundangan.
Aturan mengenai jangan hanya masuk dalam peraturan
teknis, namun ditegaskan dalam peraturan utama, untuk menjaga
terjadinya proses yang diharapkan.
Rekomendasi di atas harus dilakukan sejalan dengan perbaikan pada
materi perundang-undangan, dimana ketentuan-ketentuan tersebut dimasukkan
sebagai bagian dari revisi peraturan perundang-undangan. Wilayah DAS akan
dianggap sebagai fokus kajian dengan melibatkan semua stakeholder dan para
tokoh masyarakat. Ini menjadi penentu dalam keberhasilan program yang akan
dilakukan.
5. Penutup
Harapan bahwa masyarakat dapat berperan dalam pengendalian
lingkungan, karena masyarakat yang menjadi pelaku utama dalam
pengembangan dari pedesaan sampai dikota-kota. Permasalahannya, secara
formal pendidikan di pedesaan rata-rata rendah dan jauh dari akses informasi
dan komunikasi. Ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi juga
terbatas. Secara substansial, masyarakat mempunyai segudang pengalaman
berdasarkan pada teknologi-teknologi dan kearifan tradisional mereka
(indigenous knowledge and technology), namun selama 1-3 dekade yang lalu,
kekayaan pengalaman masyarakat desa banyak ditinggalkan karena dianggap
tidak selaras dengan kemajuan teknologi dan wacana abad modern. Akibatnya,
tatanan tradisional masyarakat desa di Indonesia tidak mendapatkan sentuhan
pengembangan yang cocok 20. Banyak produk kebijakan baik di tingkat lokal
(daerah) maupun nasional yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat desa.
Pada masa Orde Baru, produk-produk kebijakan yang dihasilkan mengenai desa
sangat kental dengan muatan dan nuansa penyeragaman, sementara kondisi
20 Haryo Habirono, Makalah Tinjauan Kritis Kebijakan Desa, 2004.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 80
obyektif desa-desa sangat beragam. Semangat intervensi dari pusat sangat kuat
dirasakan dan sangat efektif, sehingga masyarakat desa kehilangan kemampuan
dan keberanian untuk menciptakan aturan kebijakannya sendiri yang lain dari
yang ditetapkan pemerintah pusat.
Sumberdaya manusia/masyarakat di desa maupun di kota tidak
berkembang, tetapi cenderung hancur. Pengalaman-pengalaman positif
masyarakat desa hilang dan dilupakan orang seperti gotong royong dan
seterusnya, daya kreativitas masyarakat menurun tajam seiring dengan motivasi
diri untuk berkembang, keyakinan-keyakinan diri serta kemampuan evaluasi diri
pun luntur bersamaan dengan hilangnya tingkat keswadayaan masyarakat.
Sumberdaya masyarakat sebagai sumberdaya lokal tidak lagi kondusif bagi
pembangunan desa atau wilayahnya. Ini lah sebuah tantangan. Disini
diharapkan peran pemerintah dengan aparaturnya sekarang ini akan sangat
menentukan untuk membangun seluruh lapisan masyarakat yang mengerti dan
paham akan pelestarian lingkungan. Masyarakat mempunyai fungsi ganda,
dapat sebagai subjek dimana dia menentukan, mengendalikan, melestarikan dan
seterusnya, dan dapat pula sebagai obyek ekploitasi, dengan dimanfaatkan oleh
pihak lain untuk suatu kepetingan, dia (masyarakat) hanya turut sebagai saksi
mata bagi pengrusakan lingkungan oleh orang-orang yang punya kekuasaan dan
uang, dengan dalih pembangunan.
Daftar Referensi
Abdul Wahab, Solihin, 2001, Analisis Kebijakan Publik, Rineka Cipta, Jakarta.
Ageung, Ivan Valentina, (2004) Kaji Ulang Peraturan Perundang-undangan:
Implementasi TAP MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agrarian
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, RACA Press.
Askin, Moh., Prof. Dr., SH., 2003, Penegakan Hukum Lingkungan dan
Pembicaraan Di DPR-RI, Yarsif Watampone, Jakarta
Alatas, S.H., (1980), The Sociologi of Corruption, Times International, Singapore.
__________, 1987, Korupsi , Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta.
Amirin, Tatang. M (1992) Pokok Pokok Teori Sistem, Rajawali Press, Jakarta.
Arief Budiman, (1996), Teori Negara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
____________,Ufford,v Q, (1988), Krisis Tersembunyi Dalam
Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 81
Atmasasmita, Romli; “Wacana Pemberantasan Korupsi”, Kompas, Harian, 16
Januari 2002.
Banathy, Bela, (1996), A Taste of Systemics, ISSS Integrated Systemic Inquiry
Primer Project, Carmel, USA.
Baharuddin Lopa, (1997), Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Kipas Putih
Aksara, Jakarta.
Bertalanffy, von Ludwig; (1968) General System Theory. George Braziller, New
York.
Black,James A & Champion,Dean J: (1992) Metode Dan Masalah Penelitian
Sosial, PT Eresco, Jakarta
Berger, Charles R & Chaffee, Steven H; Handbook Of Communication Science,
Sage Publication, London.
Cartwright, D, (Editor), (1959) Studies in Social Power, Ann Arbor : Institute for
Social Power.
Churchman. C. West (1968) The System Aproach , Dell Publishing, Inc New
York.
Cooper, Richard N, (1999), Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya bagi
Ekonomi Dunia, Remaja Rosdakarya, Bandung.
De Fleur, Melvin & Ball Rokeach, Sandra; (1982) Theories Of Mass
Communication, London, Longman.
Dirdjosisworo, Soedjono, (1991), Upaya Teknologi Dan Penegakan Hukum
Menghadapi Pencemaran Lingkungan Akibat Industri, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Dunn, William, N. (2000); Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada
University Press.
Fisher, Aubrey.B; (1986), Communication Theories, New York, Random House,
Terjemahan, Remaja Rosda Karya, Bandung
French, JRP., Jr, (1956) A Formal Theory of Social Power, Psycholigical Reviem.
(Hal 63, 181, 194)
Fuller, Lon. L., “The Morality of Law” dalam Rahardjo, Satjipto, 1980, Hukum dan
Masyarakat, Angkasa, Bandung
Hamzah,A. (1997), Penegakan Hukum Lingkungan, CV. Saapta Artha Jaya,
Jakarta.
Hanim, Masayu S. (editor), Sistem Jaringan Pembuatan Kebijakan Publik yang
Berdampak Pada Penyalahgunaan Lahan di Kawasan Jakarta-Bogor-
Puncak-Cianjur, 2003, LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan
Terpadu, Jakarta.
Himpunan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2002-2004, 2004, CV Eka
Jaya, Jakarta
Hardjasoemantri, Koesnadi, Prof. Dr., SH., 2004, “Sinkronisasi Peraturan
Perundang-undangan Di Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup”, pada Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, Jakarta 7-9
September 2004, BPHN.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 82
Harsono, Boedi, Prof, (2003), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah nasional
dalam Hubungannya dengan Tap MPR RI IX/MPR/2001, Jakarta,
Universitas Trisakti.
Hoogendijk, Willem, (1996), Revolusi Ekonomi, Yayasan Obor Baru, Jakarta.
Jurnal ISKI, Menuju Paradigma Penelitian Komunikasi, Vol. III/ April 1999,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Keraf, A. Sonny, (2002) Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta.
Koswara, E. (ed) dkk, (1998) Dinamika Informasi Dalam Era Global, Ikatan
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, 2004, Optimasi Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam
Pengelolaan Wilayah, Makalah yang disampaikan pada Lokakarya
Nasional “Pengelolaan Kawasan JABOPUNJUR Untuk Pemberdayaan
Sumber Daya Air”, IPSK LIPI, Jakarta, 30-31 Maret 2004.
Karen J. Warren, The Philosophical Foundation of a New Land Ethic, dari
http://www.macalester.edu/~warren < 7/24/2005; 1.31 pm>
Littlejohn, Stephen W; (1989) Theories Of Human Communication. Belmont,
California.
LP3ES (1985), Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta
Liliweri, Alo. (1991), Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mc Quail, Denis;(1987) Mass Communication Theory : An Introduction. Beverly
Hills, CA. Sage.
Mulyana, Deddy; (2002) Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya; Remaja Rosdakarya, Bandung.
Otto Soemarwoto, (2004) Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Patton, Michael,Quinn; (1987) How To Use Qualitative Methods In Evaluation,
Sage Publication, London.
Pace, R. Wayne & Faules, Don F; (1993) Komunikasi Organisasi, Terjemahan
Deddy Mulyana, (1998), Remaja Rosdakarya, Bandung.
Potter,James W. (2001), Media Literacy, New York: Sage Publications
Purbacaraka, Purnadi, (1977), Penegakan Hukum dan Mensukseskan
Pembangunan, Bandung Alumni.
Purbacaraka, Purnadi, & Soekanto, Soerjono, (1979) Perihal Kaedah Hukum,
cet. ke 2, Bandung, Alumni.
Purbacaraka, Purnadi, & Soekanto, Soerjono, (1980) Aneka Cara Pembedaan
Hukum, Bandung, Alumni.
Rahardjo, Satjipto, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.
Robert Klitgard, (1998) Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Baru Indonesia,
Jakarta.
Roger, E.M & Kincid, D. Lawrence; (1981) Communication Networks Toward a
Paradigm for Research, The Free Press, New York.
Ringkasan Eksekutif Amdal Regional Reklamasi dan Revitalisasi Pantura
Jakarta, 2001, BP Pantura.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 83
Sarwono, Sarlito Wirawan, (1992) Psikologi Lingkungan, Penerbit Grasindo,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono, (1983), Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta
Soekanto, Soerjono, (1975), Penegakan Hukum dalam Masa Transisi,
Semarang, BPHN- Fak. Hukum UNDIP
Soekanto, Soerjono, (1976), Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan ke 4,
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Soekanto, Soerjono, (1977), Pengantar Sosiologi Hukum, Cetakan Ke 2,
Bhratara Karya Aksara, Jakarta
Soekanto, Soerjono, (1978), Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan Ke 6, Yayasan
Penerbit Universitas Indonesia,, Jakarta.
Soemartono,R.M. Gatot P, (1991) Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta.
Suwardi, Harsono, (1993), Peranan Pers Dalam Politik di Indonesia, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Soewartojo, Juniadi, (1998), Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya, Balai
Pustaka Jakarta.
Silalahi, M. Daud, Prof.Dr.,SH., 2003, Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan
Lingkungan Hidup Di Indonesia, PT Alumni, Bandung.
______________ , (1996) Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia, edisi revisi, Penerbit Alumni, Bandung.
______________ , Perspektif Hukum Lingkungan Kasus Jabopunjur, makalah
dalam lokakarya nasional Pengelolaan Kawasan Jabopunjur untuk
Pemberdayaan Sumberdaya Air, LIPI, 30-31 Maret 2005.
Sumardjono, Maria S.W., 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementasi, Kompas, Jakarta.
Yin, Robert.K. (1997) Studi Kasus, PT. Raja Granfindo Persada, Jakarta.
Wertheim, W.F.,(1999), Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan
Sosial; dari judul asli Indonesian Society in Transition. a Study of Social
Change; penrj. Misbah Zulfa E., peny. Agus Fahri H., Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya.
Policy Paper
Strategi Terintegrasi Penaatan & Penegakan Hukum Lingkungan, 2003,
Indonesian Center For Environmental Law (ICEL).
Agenda Permukiman Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara
Berkelanjutan, (2000) Proyek Agenda 21 Sektoral, Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup & UNDP.
Hamzah Andi, Prof. Dr. November, 2005 (Tulisan Khusus)
Haryo Habirono, Makalah Tinjauan Kritis Kebijakan Desa, Bukit Tinggi 2004.
Peran Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan 84
Hasil Wawancara :
Otto Soemarwoto, Pakar Lingkungan Hidup, wawancara tanggal 27 Juli 2005
Prof. Kusnaka Adimihardja, Pakar Antropologi dan Budaya Sunda.
Wawancara tanggal 26 Juli 2005
Wangsaatmaja, DR. Ir. Setiawan, Dipl.SE, M.Eng, BPLHD Jawa Barat.
Wawancara tanggal 25 Juli 2005
Budi Radjab, Pemerhati Kebijakan Publik dan Tata Ruang Wawancara tanggal
27 Juli 2005
Amiruddin Dajaan Imami, Kepala PS Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang,
FH Unpad, wawancara tanggal 27 Juli 2005
Dodi Armando, Bapeda TK II Cianjur .Wawancara tanggal 27 Mei 2003
Undang-undang :
UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Tidak ada komentar: