Selasa, 24 Februari 2009

Otonomi Daerah dan Integrasi Ketatanegaraan Bangsa Indonesia





I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Kemajemukan Indonesia yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud, kebijakan yang terpusat, otoriter, serta tindak ketidak adilan pemerinah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi pancasila dan mekanisme Undang Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang melahirkan budaya Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter. Gerakan rerormasi-yang dimotori Prof Dr. Amien Rais, MA telah telah mendorong secara relatif terjadinya kemajuan-kemajuan dibidang politik, usaha penegakan kedaulatan rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya Sidang Istimewa MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai politik, netralisasi PNS, serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politk, pers yang bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi.
Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, dipihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat ditegakkan.
Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti KKN, serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan, yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-wnangan.
Keseluruhan gambaran tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Kondisi ini menuntut bangsa Indonesia, terutama penyelenggara negara, elite politik dan pemuka masyarakat, agar bersatu dan bekerja keras melaksanakan reformasi dalam segala bidang kehidupan untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Permasalahan
Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum, termasuk lembaga-lembaga penegak hukum, kian terpuruk setelah putusan Kasasi Akbar Tanjung. Oleh sebagian besar masyarakat, putusan Mahkamah Agung itu dianggap mengusik keadilan masyarakatsehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang sangat besar. Akibatnya, kini ada kecenderungan munculnya sinisme masyarakat terhadap setiap gagasan dan upaya pembaharuan hukum yang dimunculkan oleh negara maupun civil society.


Masalah Otonomi Daerah selalu mendapat perhatian dan semakin releva untuk dikaji, terutama dalam kaitannya dengan masalah perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Pemerintah Daerah menggugat Pemerintah Pusat, yang pada pokoknya mengacu pada aspek keadilan mengenai maslah penyerahan/pembagian kewenangan dan perimbangan/pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Hubungan yang sentralistik antara Pemerintah Pousat dan Pemerintah Daerah antara lain dapat ditunjukkan dalam aspek perencanaan, keuangan, administrasi, fungsi kepala daerah dan fungsi DPRD. Ketidakadilan dalam aspek-aspek tersebut justru memicu lahirnya benih-beih perpecahan, yang apabila hal ini terus berlangsung dapat menimbulkan disintegrasi.

Dalam konsiderans bagian Menimbang huruf c. Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 dikatakan: “Bahwa penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum dilaksanakan secara proposional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan”.
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang mengatakan: “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar da kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintah negra, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang ersifat istimewa”.

Pengembangan asas desentralisasi dalam pemerintahan daerah merupakan aspek yang sangat menentukan untuk melaksanakan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan berkelanjutan (sustainable). Desentralisasi yang dibutuhkan tidak sekedar dipahami sebagai pendelagasian sebagian otoritas formal dalam bentuk dekonsentrasi (pelimpahan sebagian wewenang pembuatan kebijaksanaan dan pengendalian atas sumber daya kepada daerah) ataupun devolusi (pelimpahan sebagian wewenang pembuatan kebijakan dan pengendlian atas sumberdaya kepada daerah), akan tetapi desentralisasi dalam pembuatan kebijaksanaan.

Tidak ada komentar: