Rabu, 25 Februari 2009

Artikel Pendidikan

Lima Titik Rawan Penyelewengan Dana BOS
Oleh: Taufiq Nugroho
Pengurus BEM Fakultas Hukum UNS, Pimpinan Wilayah IRM Jawa Tengah

Bulan Agustus kemarin, merupakan bulan membahagiakan bagi dunia akademisi Indonesia. Dana kompensasi BBM yang digembar-gemborkan pemerintah –sebagai tameng legitimasi kenaikan BBM- akhirnya turun juga. BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dialokasikan untuk siswa SD dan SMP, serta Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi murid SMA secara resmi diluncurkan. Di satu sisi dana ini sangat bermanfaat bagi siswa yang membutuhkan, tapi di sisi lain bisa menjadi lahan baru bagi kepala sekolah atau pihak pengelola dana BOS untuk menumpuk pundi kekayaan pribadi. Belum genap sebulan dana BOS turun, berbagai polemic muncul disetiap sekolah terkait penggunaan dana ini.
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dikeluarkan Dirjen Dikdasmen Depdiknas, pendistribusian dana BOS tidak akan diberikan langsung pada siswa. Tetapi dikelola oleh pihak sekolah, dan dipergunakan sesuai kebutuhan belajar siswa. Ada sekitar tujuh item/ locus pembiayaan yang bisa diambilkan dari dana BOS. Yaitu pos biaya formulir pendaftaran, buku pelajaran, ujian sekolah, pembelian alat tulis kantor, biaya perawatan fasilitas sekolah yang ringan, honor guru berstatus honorer, dan bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin.
Dari ketujuh item pengalokasian dana BOS tersebut, terdapat celah-celah untuk menyalah gunakan dana bantuan ini. Ada lima titik rawan yang ditengarai menjadi celah dalam upaya meyelewengkan dana ini, yang rata-rata dimungkinkan penyelewengan pada operasional penggunaan dana dilapangan. Pertama, kemungkinan pembengkaan anggaran ketika sekolah belum menyelesaikan Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Seharusnya RAPBS sudah disetorkan Ke Dinas Pendidikan Kabupaten/ kota sebelum dana BOS turun, sebagai acuan rancangan pembelanjaan sekolah dalam satu tahun. Ketika dana BOS sudah turun namun RAPBS belum disetor, sangat dimungkinkan sekolah melakukan manipulasi, menganggarkan penggunaan dana BOS secara tidak realistis atau pemanfaatan dana yang tidak dibutuhkan.
Kedua, kemungkinan manipulasi jumlah siswa penerima BOS yang dilakukan oleh pihak sekolah. Manipulasi ini bertujuan supaya dana BOS yang mereka dapatkan lebih besar dari jumlah siswa yang membutuhkan dana tersebut. Dengan demikian oknum sekolah tersebut bisa menganggarkan dana BOS yang sebenarnya tidak ada realisasinya, dialihkan ke kantong pribadi oknum sekolah tersebut. Hal ini bukan hanya sebatas kecurigaan saja, tetapi fakta dilapangan sudah mengarah kesana. Contoh kasus di Surabaya, perbandingan jumlah siswa sebelum dan setelah direvisi mencapai ratusan siswa. Celah ini ditengarai sebagai modus terbesar dalam penyalahgunaan dana BOS.
Ketiga, munculnya lembaga pendidikan baru yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan dasar, yang tujuannya untuk memperoleh dana BOS. Ditegaskan dalam petunjuk pelaksanaan, bahwa dana BOS hanya diperuntukkan bagi penyelenggara pendidikan wajib belajar pendidikan dasar dan keatas. Sedangkan lembaga pendidikan non formal seperti pondok pesantren maupun Madrasah salafiyah, tergantung apakah lembaga tersebut melakukan wajib belajar pendidikan dasar atau tidak. Kondisi semacam ini akan memicu “kreatifitas” pengelola lembaga untuk menyelenggarakan waib belajar pendidikan dasar, meskipun secara mendadak. Karena hanya dengan jalan tersebut mereka akan dapat dana bantuan BOS tersebut.
Keempat, adanya kemungkinan kongkalikong antara komite sekolah dengan kepala sekolah untuk menaikkan iuran bulanan saat dana BOS turun. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa komite sekolah ada main mata dengan kepala sekolah. Komite sekolah seharusnya menjadi penyambung lidah wali murid dan mengontrol penggunaan dana sekolah. Namun ketika melihat dana BOS yang begitu besar, mungkin saja komite sekolah bekerjasama dengan kepala sekolah dengan jalan memberikan persetujuan terhadap, program atau proyek kegiatan sekolah yang tidak dibutuhkan. Tentunya dengan imbalan, nantinya komite sekolah juga dapat “cipratan’ dari keuntungan proyek haram tersebut.
Kelima, sekolah tidak mengembalikan iuran siswa (bulan Juli-Agustus) yang terlanjur dibayar dimuka. Terkadang ada juga siswa dan wali siswa tidak tahu dengan adanya dana BOS sebagai bantuan belajar siswa, sehingga mereka masih membayar iuran seperti biasa. Dan sepeti kita ketahui bersama, BOS diberikan untuk periode Juli-Desember namun baru turun bulan Agustus. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus mewajibkan sekolah untuk mengembalikan iuran siswa yang sudah terlanjur dibayarkan. Sebab terkadang siswa malu atau tidak berani jika harus menagih pada sekolah untuk mengembalikan iuran sekolah yang sudah terlanjur dibayarkan.
Jangan sampai dana BOS yang merupakan “Sumbangan” seluruh rakyat Indonesia –sebagai akibat dicabutnya subsidi BBM- disalah gunakan. Rakyat sudah cukup mederita karena naiknya harga BBM yang melambung tinggi. Untuk itu, sangat dibutuhkan partisipasi dari semua kalangan, baik itu mahasiswa, wali murid, guru, siswa dan pers untuk mengawal pendistribusian dana BOS ini agar sesuai dengan ketentuan dan terasa manfaatnya bagi kegiatan belajar siswa.

Tidak ada komentar: