Selasa, 24 Februari 2009

Ujian Nasional Penghambat KBK


Ujian Nasional Penghambat KBK
Oleh: Taufiq Nugroho
Kadiv Pengembangan Potensi Akademik BEM Fakultas Hukum UNS
Sekbid Hikmah dan Advokasi Pimpinan Wilayah IRM Jawa Tengah

Berpuluh-puluh tahun sekolah tingkat dasar dan menengah selalu mengikuti Ujian Nasional yang bernama EBTANAS. Pada awal pelaksanaan EBTANAS, seorang ahli pendidikan melontarkan kritik pedas terhadap rencana EBTANAS dengan mengatakan bahwa EBTANAS akan menjadi awal bencana nasional. Sebenarnya banyak kalanganahli pendidikan yang sepakat dengan kritik tersebut. Namun karena kekuatan Depdiknas yang pada waktu itu luar biasa, sehingga kritik tinggal kritik. EBTANAS jalan terus.
Pada tahun 2004 lalu, Depdiknas telah menerbitkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai terobosan baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Namun, karena tidak semua sekolah mampu menerapkan sistem KBK tersebut, maka Depdiknas baru mewajibkan penerapan KBK pada SD kelas 1 dan 4, SMP kelas 1, dan SMA kelas 1. Sedangkan pada tahun 2005 ini rencananya ditambah pada SD kelas 2 dan 5, SMP kelas 2, dan SMA kelas 2. danpada tahun 2006 kelak, diharapkan sistem KBK sudah bisa diterapkan disemua kelas.
Dalam KBK sistem belajar mengajar dituntut untuk bersifat partisipatoris. Guru sebagai fasilitator saat mengajar, dan siswa sebagai subyek dalambelajar. Metode ini sangat tepat karena tujuan belajar bukan untuk memperoleh nilai, tetapi untuk memperoleh kompetensi, apapun kurikulumnya. Kompetensi artinya kemampuan yang harus diperlihatkan dalam bentuk unjuk kerja. Unjuk kerja akan tampak sempurna jika siswa mempunyai kemampuan kognitif dan afektif seimbang. Untuk mencapai kompetensi maka siswa harus ikut berbuat, aktif mengalami, tidak hanya duduk mendengarkan ceramah dan doktrin guru.
Sedangkan evaluasi yang tepat untuk KBK adalah pengamatan, wawancara dan evaluasi nontes yang lain. Mengapa tes tidak tepat? Karena tes sulit digunakan sebagai tolok ukur dalam mengukur keberhasilan anak mencapai kompetensi tertentu. Evaluasi yang digunakan lebih melihat pada proses daripada hasil. Karena tujuan evaluasi disini lebih ditekankan pada kegiatan unmtuk mengetahui kompetensi yang telah dimiliki, kemungkinan penigkatan kompetensi, kesulitan, dan alternatif pemecahannya.
Dengan terbitnya KBK guru-guru sedikit senang, karena bisa lebih leluasa dalam melakukan evaluasi dalam ranah afektif dan psikomotorik. Namun kesenangan itu menjadi terganggu saat para guru mendengar berita akan ditetapkannya Ujian Nasional. Para guru sangat risau jika hasil ujian nasional diperlakukan seperti dulu, yaitu sebagai punisment bukan untuk perencanaan. Mereka khawatir kalau hasil ujian nasional yang hanya mengevaluasi kemampuan kognitif anak lebih diutamakan, dari pada tercapainya kompetensi siswa.
Ujian nasional, atau apapun namanya sungguh tidak tepat bila dijadikan sebagai alat untuk menentukan nasib siswa dikemudian hari. Karena ujian nasional hanya mengungkap sebagian kecil kinerja siswa. Kinerja siswa yang lain lebih tepat bila diungkap melalui observasi, dll. Bila pemerintah akan mengadakan Ujian Nasional maka Ujian Nasional hendaknya tetap dilaksanakan namun ditujukan untuk kepentingan perencanaan.
Ujian Nasional berpotensi menimbulkan banyak kerugian, antara lain sebagai berikut. Pertama, merugikan pengembangan ilmu pegetahuan. Ujian Nasional hanya menempatkan bidang kajian tertentu pada tempat yang lebih penting, daripada bidang yang lain. Akibatnya, mata pelajaran tertentu yang diujikan dalam UN (matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS dan PPKn) mendapat porsi lebih besar dari mata pelajaran lainya. Sedangkan mata pelajaran lainnya hanya mendapatkan perhatian yang rendah, bahkan dengan seenaknya guru bisa mengurangi jatah jam pelajarannya. Ilmu pengetahuan akan terkotak-kotak dan menimbulkan marginalisasi, bahkan kepunahan ilmu pengetahuan.
Kedua, merugikan peserta didik. Peserta didik yang mempunyai talenta diluar bidang yang di ujikan dalam UN, kurang mendapat pelayanan dari sekolah. Para guru pun kurang bermotivasi dalam mengajar. Karena bidang yang diajarkan dianggap tidak terlalu penting dan tidak mempengaruhi kelulusan. Masyarakat dan sekolah pun lebih memberikan penghargaan pada siswa yang berbakat dalam bidang-bidang yang di ujikan dalam UN. Sehinmgga lambat laun, para peserta didik yang berbakat di luar bidang yang diujikan dalam UN akan berkurang, karena merasa termarginalkan.
Ketiga, menurunkan kemampuan otak kiri, karena tiap harinya siswa hanya mengalami pengembangan otak kanan. Oleh karena itu, siswa-siswi kita kurang memiliki nilai kepahlawanan, keindahan,kecintaan, kerjasama, tenggang rasa, kasih sayang dan nilai-nilai lainnya. Sehingga output yang dihasilkan dari sistem pendidikan Indonesia adalah orang-orang padai namun, kurang bermoral.
Jika UN tetap dilaksanakan sama seperti tahun - tahun yang lalu, maka hanya akan menjadikan lembaga pendidikan sekolah sebagai lembaga kursus. Siswa hanya belajar untuk menyelesaikan Ujian Akhir dengan belajar singkat. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa pelaksanaan UN kali ini telah ditetapkan dalam pasal 58 ayat 1 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Artinya pelaksanaan UN adalah sustu keharusan. Jika memang harus demikian, maka seharusnya UN hanya dijadikan standard tolok ukur keberhasilan KBM saja, sedangkan otonomi sekolah dalam mengevaluasi kelulusan siswa, sepenuhnya diberikan kepada sekolah masing-masing.

Tidak ada komentar: