Selasa, 24 Februari 2009
Syariat Islam, Normatif Realistik
Syariat Islam, Normatif Realistik
PROBLEMATIKA perkembangan pemikiran Islam, idealnya
kaum Muslim mengembangkan pemikiran tentang Tuhan,
alam, dan manusia, beranjak dari keyakinan autentik
(mu'min haqqo -- imtak) terhadap Alquran dan Hadis.
Namun juga realitas sosial kaum ilmuwan menunjukkan
ada banyak ilmuwan yang mendalami Alquran sesudah
memahami realitas alam. Ini berarti dalam praktik
kehidupan kaum ilmuwan terjadi sinergi antara berpikir
tentang alam beranjak dari pemahamaan awal terhadap
Alquran dan Hadis, dengan mereka yang berpikir lebih
dahulu tentang alam baru kemudian menelaah Alquran dan
Hadis. Jadi semacam justifikasi. Dengan demikian, akan
selalu terjadi konsultasi antara imtak dan iptek.
Namun dalam kehidupan sehari-hari hal ideal tersebut
jarang ditemukan.
Terdapat beberapa kemungkinan berkenaan dengan hal
tersebut. Pertama, kurang iman terhadap Alquran.
Kedua, kurang mengerti Alquran. Ketiga, kurang
memahami realitas alam sesungguhnya. Keempat
terkonstruksi oleh pikiran-pikiran mitologis terhadap
alam. Kelima, terhanyut oleh al-hawa. Keenam, kurang
kuat kemauan atau motivasi (dalam dataran esoteris
secara generik hal itu dapat dikatakan kurang
mengimani Allah dengan segala sifat kesempurnaannya).
Dalam pada itu terdapat berbagai problema perkembangan
pikiran (yang islami), yang jadi hambatan bagi
pencapaian kebenaran universal. Beberapa di antaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, ilmu
sebagai produk pemikiran dalam bentuk materinya
(artifisial) merupakan instrumen bagi penguasaan alam.
Oleh karena itu dengan ilmu yang kemudian melahirkan
teknologi (iptek) manusia berpeluang menguasai alam.
Walau Allah menegaskan bahwa setiap manusia ada
rezekinya masing-masing, alam ini tetap bersifat
terbatas.
Problemnya adalah saat suatu kelompok manusia berilmu
dan kemudian berlomba menguasai alam, maka manusia
yang tidak berilmu tidak kebagian penguasaan alam.
Akibatnya, kelompok terakhir ini terpinggirkan dari
percaturan penguasaan alam. Sebaliknya, orang yang
menguasai ilmu pengetahuan akan bertindak
sewenang-wenang menguasai alam bagian orang lain.
Itulah sebabnya mengapa orang Eropa yang lebih dahulu
menguasai ilmu kemudian menjajah bangsa dan negara
lain untuk semata-mata kepentingan bangsa dan
kelompoknya sendiri, dengan menguras kekayaan negara
terjajah ke negerinya sendiri.
Iptek ternyata mendorong keserakahan umat manusia.
Oleh karena itu harus diimbangi dengan iman dan takwa
(imtak). Melalaui imtak, idealnya motivasi tindakan
dapat lebih terkontrol dalam dimensi nilai-nilai
kemanusiaan universalnya. Oleh karena itu melalui
imtak mestinya kita membuat paradigma baru mengenai
berbagai hal, khususnya berkenaan dengan konsep dan
term-term ilmu-ilmu yang berkenaan dengan kemanusiaan,
baik sosial maupun humaniora.
Contoh, konsep kebahagiaan. Dari sisi ekonomi,
kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan material,
dari sisi psikologi tersalurkannya potensi libido
(Sigmund Freud) atau kemampuan aktualisasi diri
(Maslow) atau penguasaan materi (Karl Marx) atau kerja
keras untuk akhirat (Protestan Ethic-Max Weber) dan
seterusnya. Tampak sekali bahwa tanpa landasan imtak
teori-teori keilmuan tersebut cenderung untuk memenuhi
kepentingan manusia secara fisik dan individual.
Berbeda dengan itu, melalui imtak dalam konsep Islam,
kebahagiaan adalah terpenuhinya nilai-nilai
kemanusiaan universal.
Kedua, ilmu sebagai produk pemikiran merupakan suatu
maqom yang harus dilalui untuk mencapai kepribadian
lahut setelah kualitas kepribadian meningkat dari
tingkat nasut, malakut,, dan jabarut. Artinya seorang
ilmuwan tidak boleh diam menetap pada maqom tersebut
dan tidak beranjak lagi sebab maqom tersebut akan jadi
penjara bagi pemiliknya (lihat Khomeni, 1993:36) dan
hal ini tentu saja akan menurunkan derajat
kepribadiannya, mengalami istidraj, penurunan mutu
kepribadian.
Bentuk perilaku ilmuwan tersebut adalah terbatas pada
kesibukan dunia keilmuan demi kepentingan dirinya
sendiri. Buku dibaca dimaksudkan untuk memperkuat
dalil-dalil dan alasan-alasan akibat negatif dari
perilaku yang ditimbulkannya, jadi bukan untuk
mempertegas capaian kebenaran bagi peningkatan mutu
perilakunya. Ilmunya dijadikan bumper bagi aksi yang
dilakukan, dengan memperbanyak argumen pada tiap
bagian kelakuannya. Setiap kali membaca buku dan
melihat fenomena alam, setiap itu pula cabang
pengetahuannya bertambah, serta setiap itu pula
bertambah peluang ketertutupan dari hakikat kebenaran
yang dikejarnya, termasuk ke dalam hal ini adalah
penguasaan orang terhadap ilmu agama.
Idealnya penguasaan ilmu Islam paling tidak memakai
dua pendekatan, yakni pendekatan keilmuan, dan
pendekatan praktik keagamaan. Dalam (a) pendekatan
keilmuan, Islam dipahami sebagai objek material ilmu
yang distudi, dianalisis, diteliti sebagaimana
menstudi dan meneliti objek material ilmu yang
lainnya. Dalam kaitan ini kita perlu memerhatikan tiga
aspek, yaitu (a1) membebaskan diri dari hegemoni makna
yang telah ditulis sejarah masa lalu.
Dalam mengembangkan pemikiran Islam, pikiran kita
jangan dipenjara oleh sejarah makna sedemikian rupa
sehingga hilang potensi kritis dalam memahami Alquran
dan Hadis. Hal ini tidak berarti pemikir Muslim
mengabaikan produk sejarah pemikiran. Justru kita
mengestafetkan pengembangan berpikir melalui pemahaman
atas perkembangan pemikiran masa lalu yang kontekstual
dengan suasana dan lingkungan yang dihidupinya.
Butir (a2) menangkap pesan utama Alquran dan Hadis
melalui pemahaman terhadap makna yang syumuliah,
kumuliyah, dan kaffah, berkenaan dengan suasana
ekonomi, politik, sejarah, peradaban, dan kebudayaan
masyarakat saat ayat diturunkan. (a3) menangkap pesan
Alquran dan Hadis tidak hanya terbatas pada dimensi
legal formal, tetapi masuk ke dalam dimensi etis.
Dengan demikian, kembali pada Alquran dan Hadis yang
dapat menyelesaikan masalah adalah kembali pada
dimensi etis tersebut. Tanpa itu, maka akan terjadi
benturan, bentrokan, dan malah saling bunuh hanya
gara-gara masing-masing merasa paling benar memegang
hukum Alquran sambil mengabaikan tuntutan etisnya
untuk menjaga persatuan, persaudaraan, dan kekuatan
bagi kemanfaatan manusia terbanyak (khairunnaas,
anfa'uhum linnas).
Perkembangan pemikiran Islam juga perlu diarahkan
kepada (b) pendekatan praktik keagamaan. Pemikiran
Islam perlu fokus terhadap metodologi beragama yang
benar. Berdasarkan informasi hasil pemikiran ilmu
agama, kemudian dilakukan "transfer of skill"
keberagamaan ilmu agama. Dalam kaitan ini asumsi
tentang hasil pemikiran agama kira-kira sama dengan
hasil pemikiran ilmu silat. Buat apa menguasai ilmu
silat kalau tidak bisa silat. Pertanyaan yang sama
dapat dikemukakan buat apa bicara tentang teori
shiddiq, amanah, tabligh, fathanah sebagai sifat nabi
yang wajib kita teladani, manakala kita tidak dapat
melakukannya. Untuk keperluan itulah, informasi
keilmuan agama tersebut perlu ditindaklanjuti dengan
metodologinya. Saya kira inilah yang diamanatkan K.H.
Ahmad Dahlan dalam metodologi pengajaran agama. Beliau
menolak usulan murid-muridnya untuk pindah kajian
surat karena peserta kajian dianggap belum bisa
mengamalkan isi surat Al-Ma'uun tersebut.
Ketiga, akibat ilmuwan yang melepaskan diri dari
pemikiran praktisnya adalah sifat sok benar sendiri,
untuk kemudian lahir sifat memaksakan pendapat pada
pihak lain. Bila pendapatnya tidak terpakai, hal itu
dianggap mengabaikan prinsip musyawarah. Sebab bagi
mereka, musyawarah berarti "mengikuti pendapat ilmuwan
terpenjara persepsinya sendiri" tersebut. Masih rada
mendingan manakala hanya sekadar tuduhan mengabaikan
prinsip musyawarah, yang lebih parah adalah dengan
tidak diikuti kehendaknya lantas merasa sesak napas,
sesak dada, dan kemudian meledak dalam bentuk perilaku
yang asosial, ademokratis, dan tidak etis dalam hidup
kebersamaan sesama masyarakat Islam sendiri, membuat
tandingan kekuatan dalam satu kesatuan masyarakat
Islam.
Macam ragam jenis pemikiran
Syariat Islam merupakan bentuk hasil pemikiran
mujtahidin Islam berhadapan dengan alam yang
didasarkan pada Alquran dan Hadis. Objek materianya
meliput seluruh objek pikir manusia yakni tentang
Tuhan, alam, dan manusia. Sementara itu, objek
formanya seluas dan sebanyak sudut pandang manusia
tentang kehidupan. Walau demikian, pemikiran umat
Islam sekarang lebih banyak membatasi diri pada
persoalan hukum berdasarkan rujukan bahwa "Alquran
sebagai kitab hukum" (Q.S. 13:37).
Dalam kaitan ini, Fazlurrahman menyatakan bahwa setiap
ayat Alquran sesungguhnya berfungsi ganda, yakni
fungsi deskriptif dan fungsi preskriptif. Pada fungsi
preskriptifnya, hal itu berarti ada sisi-sisi hukum
yang dapat diangkat dari ayat khabariyah. Tidak
mengherankan manakala kita melihat ilmu hukum (kitab
fiqh) sangat dominan sekali dalam perkembangan
pemikiran Islam. Namun sebagaimana diyakini dan
terungkap di atas, sesungguhnya Alquran meliput
seluruh objek materia kepentingan hidup manusia.
Sementara objek formanya terkait kepada kemampuan
manusia sendiri memahami ayat Alquran. Terdapat ayat
yang berbicara tentang hukum umpamanya, selain
menegaskan tentang keadilan, juga menegaskan
pentingnya kearifan (ihsan), dan karena itu ihsan jadi
sangat ditonjolkan, sebagaimana terungkap tingginya
peringkat ihsan (memahami hakikat motif di belakang
suatu tindakan) dibandingkan tindakan menegakkan
keadilan, yang secara lugas menegakkan hukum tanpa
pandang bulu situasi dan suasana yang terjadi pada
pelaku objek hukum.
Dalam pada itu, sebagaimana disebutkan di atas bahwa
isi Alquran lebih menunjuk kepada konsep dasar dan
bukan pada sistem, memberi peluang yang sangat besar
untuk adanya sistem lokal ('urf) yang pada gilirannya
memberi kontribusi yang sangat kaya terhadap bentuk
dan perkembangan pemikiran Islam. Contoh dalam hal ini
dapat ditunjuk tentang hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan sosial antarmanusia, hubungan manusia dengan
Tuhan, serta tentu hubungan antara manusia dan alam.
Keragaman sistem musyawarah pada berbagai etnis,
komunitas, atau bangsa yang beragama Islam semuanya
merujuk kepada ayat wajibnya musyawarah. Namun, karena
pola dan sistem kegiatannya merujuk kepada "antum
a'lamu bi umuri dun-yakum", bentuknya jadi sangat
beragam. Konon menurut Nurcholish Madjid di Saudi
Arabia, raja memberi kesempatan tiap hari Jumat untuk
didatangi rakyat dari berbagai macam lapisan sosial
dan mereka usul dan berdialog dengan raja sebagai
salah satu bentuk musyawarah, yang kadangkala dengan
melemparkan tulisan pada...bungkus rokok.
Dalam kitab-kitab kita memang banyak dibicarakan
tentang wajibnya musyawarah, namun kurang dirumuskan
bagaimana sistem musyawarah yang bermutu. Demikian
juga halnya mengenai wajibnya bersih, sehat, dan
wajibnya mengayomi fakir miskin yatim piatu. Namun,
bagaimana cara melakukan dan menjaga kebersihan,
kesehatan, serta bagaimana mengatur forum-forum
musyawarah, hampir dapat dikatakan pada umumnya tidak
mengungkapkannya. Oleh karena itu, kita mendapat
peluang yang sangat besar untuk improvisasi sebagai
bagian dari keniscayaan dalam masyarakat Islam untuk
adanya keragaman pikiran dan keanekaan hasil
pemikiran.
Keragaman pemikiran tentang keimanan pada Allah SWT,
yang representatif keilmuannya adalah ilmu tauhid,
umat Islam diwarisi keragaman pemikiran yang sangat
kaya seperti Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah,
Asy'ariyah, dan Maturidiyah. Dalam hal ilmu fikih,
kita diwarisi paradigma pemikiran model Hanafi,
Syafi'i, Maliki, dan Hambali. Dalam pada itu berkenaan
dengan upaya pendekatan diri yang terus-menerus pada
Tuhan yang representatif ilmunya adalah tasauf, kita
diwarisi dua model yakni Sunni dan Syi'i. Dalam bidang
pranata yang menyangkut bentuk pemerintahan kita
mengenal sistem Khawarij, Sunni, dan Syi'i. Dalam
bidang filsafat kita mengenal tradisional dan liberal.
Sementara dalam bidang pembaharuan menurut Harun
Nasution adalah Islam tradisional dan Islam progresif
(1986: 34-38).
Atas dasar deskripsi keragaman pemikiran dalam
berbagai bidang tersebut, proporsional manakala umat
Islam pada level tertentu yang sangat kental dengan
budaya paternalistik dan komformitas akan cukup
pusing, bingung, dan malah bengong, karena mereka
menganggap agama adalah keseragaman dalam bentuk jenis
dan materi kebenaran. Dalam kaitan ini diperlukan
kearifan sosial yang mampu membentengi umat dari
perpecahan. Di antaranya dapat disebutkan perlunya
penegasan bahwa semua yang berpegang pada sumber yang
autentik adalah masih tetap dalam koridor keislaman
walau di antara mereka tidak saja berbeda, tetapi
malah bertentangan dan karena itu jangan cepat menuduh
pihak yang berbeda sebagai telah keluar dari Islam,
telah menjalankan bid'ah, masuk kategori kafir dan
pasti masuk neraka.
Kita semua sudah mengetahui bahwa adanya keragaman
tersebut sesungguhnya difasilitasi oleh Alquran dan
Hadis sendiri dengan adanya ayat atau hadis yang
bersifat dzanniy. Menurut Quraish Shihab, "Banyak
orang boleh jadi tidak menyadari bahwa salah satu
penyebab perbedaan pendapat adalah Alquran dan Sunah.
Ini karena sebagian besar dari ayat-ayat Alquran dapat
menampung aneka interpretasi."
Dari kacamata Tuhan semua yang berpegang teguh pada
Alquran adalah hamba-hamba pelaksana ajaran Allah,
demikian juga dari sisi subjek pelaksana keislaman,
yang menjadikan diri dan kehidupannya sebagai
artikulasi keislaman dalam hubungan dirinya dengan
Tuhan. Sementara dari kacamata manusia bisa jadi orang
berbeda dengan kita dianggap sebagai saingan atau
kompetitor yang siap menyudutkan kita. Dalam hubungan
antarmanusia yang menganggap hanya ada satu kebenaran
dan sebagai pencari kebenaran dia menganggap telah
mendapatkan kebenaran secara final, maka orang yang
berbeda dengan dia akan pasti dianggap salah sebab
tidak mungkin yang benar sama dengan yang salah.
Persoalannya bagaimana kita bersikap pada sesama
manusia seperti Nabi bersikap pada makhluknya?
Bagaimana kita dapat bersikap positif pada manusia
lain sebagaimana Nabi dan malah Tuhan bersikap positif
pada makhluk? Bagaimana kita dapat berakhlak dengan
akhlak Tuhan (Q.S. 28:77). Bagaimana kita memahami
bahwa orang yang berbeda dengan kita tersebut mereka
pun berhak menyatakan pendapatnya benar dan berhak
juga masuk surga. Dengan demikian, jalan ke surga itu
banyak dan lebar. Kita harus menyatakan bahwa
"jembatan shiratalmustqiim" itu bukan kecil dan sempit
seperti rambut dibelah tujuh, tetapi lebar dan
leluasa, seperti jalan tol yang memuat seribu jalur
mobil, dengan catatan semuanya berpegang teguh kepada
autentisitas kebenaran Alquran dan Hadis Nabi.
Khawarij berpikir bertindak autentik, di akhirat masuk
ke surga; Murjiah berpikir bertindak autentik, di
akhirat masuk ke surga; Mu'tazilah berpikir bertindak
autentik, di akhirat masuk ke surga; Asy'ariyah
berpikir bertindak autentik, di akhirat masuk ke
surga; Maturidiyah berpikir bertindak autentik, di
akhirat masuk ke surga; Maliki berpikir bertindak
autentik, di akhirat masuk ke surga; Hanafi berpikir
bertindak autentik, di akhirat masuk ke surga; Syafi'i
berpikir bertindak autentik, di akhirat masuk ke
surga; Hambali berpikir bertindak autentik, di akhirat
masuk ke surga; Khawarij berpikir bertindak autentik,
di akhirat masuk ke surga; Syiah berpikir bertindak
autentik, di akhirat masuk ke surga.
PROBLEMATIKA perkembangan pemikiran Islam, idealnya
kaum Muslim mengembangkan pemikiran tentang Tuhan,
alam, dan manusia, beranjak dari keyakinan autentik
(mu'min haqqo -- imtak) terhadap Alquran dan Hadis.
Namun juga realitas sosial kaum ilmuwan menunjukkan
ada banyak ilmuwan yang mendalami Alquran sesudah
memahami realitas alam. Ini berarti dalam praktik
kehidupan kaum ilmuwan terjadi sinergi antara berpikir
tentang alam beranjak dari pemahamaan awal terhadap
Alquran dan Hadis, dengan mereka yang berpikir lebih
dahulu tentang alam baru kemudian menelaah Alquran dan
Hadis. Jadi semacam justifikasi. Dengan demikian, akan
selalu terjadi konsultasi antara imtak dan iptek.
Namun dalam kehidupan sehari-hari hal ideal tersebut
jarang ditemukan.
Terdapat beberapa kemungkinan berkenaan dengan hal
tersebut. Pertama, kurang iman terhadap Alquran.
Kedua, kurang mengerti Alquran. Ketiga, kurang
memahami realitas alam sesungguhnya. Keempat
terkonstruksi oleh pikiran-pikiran mitologis terhadap
alam. Kelima, terhanyut oleh al-hawa. Keenam, kurang
kuat kemauan atau motivasi (dalam dataran esoteris
secara generik hal itu dapat dikatakan kurang
mengimani Allah dengan segala sifat kesempurnaannya).
Dalam pada itu terdapat berbagai problema perkembangan
pikiran (yang islami), yang jadi hambatan bagi
pencapaian kebenaran universal. Beberapa di antaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, ilmu
sebagai produk pemikiran dalam bentuk materinya
(artifisial) merupakan instrumen bagi penguasaan alam.
Oleh karena itu dengan ilmu yang kemudian melahirkan
teknologi (iptek) manusia berpeluang menguasai alam.
Walau Allah menegaskan bahwa setiap manusia ada
rezekinya masing-masing, alam ini tetap bersifat
terbatas.
Problemnya adalah saat suatu kelompok manusia berilmu
dan kemudian berlomba menguasai alam, maka manusia
yang tidak berilmu tidak kebagian penguasaan alam.
Akibatnya, kelompok terakhir ini terpinggirkan dari
percaturan penguasaan alam. Sebaliknya, orang yang
menguasai ilmu pengetahuan akan bertindak
sewenang-wenang menguasai alam bagian orang lain.
Itulah sebabnya mengapa orang Eropa yang lebih dahulu
menguasai ilmu kemudian menjajah bangsa dan negara
lain untuk semata-mata kepentingan bangsa dan
kelompoknya sendiri, dengan menguras kekayaan negara
terjajah ke negerinya sendiri.
Iptek ternyata mendorong keserakahan umat manusia.
Oleh karena itu harus diimbangi dengan iman dan takwa
(imtak). Melalaui imtak, idealnya motivasi tindakan
dapat lebih terkontrol dalam dimensi nilai-nilai
kemanusiaan universalnya. Oleh karena itu melalui
imtak mestinya kita membuat paradigma baru mengenai
berbagai hal, khususnya berkenaan dengan konsep dan
term-term ilmu-ilmu yang berkenaan dengan kemanusiaan,
baik sosial maupun humaniora.
Contoh, konsep kebahagiaan. Dari sisi ekonomi,
kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan material,
dari sisi psikologi tersalurkannya potensi libido
(Sigmund Freud) atau kemampuan aktualisasi diri
(Maslow) atau penguasaan materi (Karl Marx) atau kerja
keras untuk akhirat (Protestan Ethic-Max Weber) dan
seterusnya. Tampak sekali bahwa tanpa landasan imtak
teori-teori keilmuan tersebut cenderung untuk memenuhi
kepentingan manusia secara fisik dan individual.
Berbeda dengan itu, melalui imtak dalam konsep Islam,
kebahagiaan adalah terpenuhinya nilai-nilai
kemanusiaan universal.
Kedua, ilmu sebagai produk pemikiran merupakan suatu
maqom yang harus dilalui untuk mencapai kepribadian
lahut setelah kualitas kepribadian meningkat dari
tingkat nasut, malakut,, dan jabarut. Artinya seorang
ilmuwan tidak boleh diam menetap pada maqom tersebut
dan tidak beranjak lagi sebab maqom tersebut akan jadi
penjara bagi pemiliknya (lihat Khomeni, 1993:36) dan
hal ini tentu saja akan menurunkan derajat
kepribadiannya, mengalami istidraj, penurunan mutu
kepribadian.
Bentuk perilaku ilmuwan tersebut adalah terbatas pada
kesibukan dunia keilmuan demi kepentingan dirinya
sendiri. Buku dibaca dimaksudkan untuk memperkuat
dalil-dalil dan alasan-alasan akibat negatif dari
perilaku yang ditimbulkannya, jadi bukan untuk
mempertegas capaian kebenaran bagi peningkatan mutu
perilakunya. Ilmunya dijadikan bumper bagi aksi yang
dilakukan, dengan memperbanyak argumen pada tiap
bagian kelakuannya. Setiap kali membaca buku dan
melihat fenomena alam, setiap itu pula cabang
pengetahuannya bertambah, serta setiap itu pula
bertambah peluang ketertutupan dari hakikat kebenaran
yang dikejarnya, termasuk ke dalam hal ini adalah
penguasaan orang terhadap ilmu agama.
Idealnya penguasaan ilmu Islam paling tidak memakai
dua pendekatan, yakni pendekatan keilmuan, dan
pendekatan praktik keagamaan. Dalam (a) pendekatan
keilmuan, Islam dipahami sebagai objek material ilmu
yang distudi, dianalisis, diteliti sebagaimana
menstudi dan meneliti objek material ilmu yang
lainnya. Dalam kaitan ini kita perlu memerhatikan tiga
aspek, yaitu (a1) membebaskan diri dari hegemoni makna
yang telah ditulis sejarah masa lalu.
Dalam mengembangkan pemikiran Islam, pikiran kita
jangan dipenjara oleh sejarah makna sedemikian rupa
sehingga hilang potensi kritis dalam memahami Alquran
dan Hadis. Hal ini tidak berarti pemikir Muslim
mengabaikan produk sejarah pemikiran. Justru kita
mengestafetkan pengembangan berpikir melalui pemahaman
atas perkembangan pemikiran masa lalu yang kontekstual
dengan suasana dan lingkungan yang dihidupinya.
Butir (a2) menangkap pesan utama Alquran dan Hadis
melalui pemahaman terhadap makna yang syumuliah,
kumuliyah, dan kaffah, berkenaan dengan suasana
ekonomi, politik, sejarah, peradaban, dan kebudayaan
masyarakat saat ayat diturunkan. (a3) menangkap pesan
Alquran dan Hadis tidak hanya terbatas pada dimensi
legal formal, tetapi masuk ke dalam dimensi etis.
Dengan demikian, kembali pada Alquran dan Hadis yang
dapat menyelesaikan masalah adalah kembali pada
dimensi etis tersebut. Tanpa itu, maka akan terjadi
benturan, bentrokan, dan malah saling bunuh hanya
gara-gara masing-masing merasa paling benar memegang
hukum Alquran sambil mengabaikan tuntutan etisnya
untuk menjaga persatuan, persaudaraan, dan kekuatan
bagi kemanfaatan manusia terbanyak (khairunnaas,
anfa'uhum linnas).
Perkembangan pemikiran Islam juga perlu diarahkan
kepada (b) pendekatan praktik keagamaan. Pemikiran
Islam perlu fokus terhadap metodologi beragama yang
benar. Berdasarkan informasi hasil pemikiran ilmu
agama, kemudian dilakukan "transfer of skill"
keberagamaan ilmu agama. Dalam kaitan ini asumsi
tentang hasil pemikiran agama kira-kira sama dengan
hasil pemikiran ilmu silat. Buat apa menguasai ilmu
silat kalau tidak bisa silat. Pertanyaan yang sama
dapat dikemukakan buat apa bicara tentang teori
shiddiq, amanah, tabligh, fathanah sebagai sifat nabi
yang wajib kita teladani, manakala kita tidak dapat
melakukannya. Untuk keperluan itulah, informasi
keilmuan agama tersebut perlu ditindaklanjuti dengan
metodologinya. Saya kira inilah yang diamanatkan K.H.
Ahmad Dahlan dalam metodologi pengajaran agama. Beliau
menolak usulan murid-muridnya untuk pindah kajian
surat karena peserta kajian dianggap belum bisa
mengamalkan isi surat Al-Ma'uun tersebut.
Ketiga, akibat ilmuwan yang melepaskan diri dari
pemikiran praktisnya adalah sifat sok benar sendiri,
untuk kemudian lahir sifat memaksakan pendapat pada
pihak lain. Bila pendapatnya tidak terpakai, hal itu
dianggap mengabaikan prinsip musyawarah. Sebab bagi
mereka, musyawarah berarti "mengikuti pendapat ilmuwan
terpenjara persepsinya sendiri" tersebut. Masih rada
mendingan manakala hanya sekadar tuduhan mengabaikan
prinsip musyawarah, yang lebih parah adalah dengan
tidak diikuti kehendaknya lantas merasa sesak napas,
sesak dada, dan kemudian meledak dalam bentuk perilaku
yang asosial, ademokratis, dan tidak etis dalam hidup
kebersamaan sesama masyarakat Islam sendiri, membuat
tandingan kekuatan dalam satu kesatuan masyarakat
Islam.
Macam ragam jenis pemikiran
Syariat Islam merupakan bentuk hasil pemikiran
mujtahidin Islam berhadapan dengan alam yang
didasarkan pada Alquran dan Hadis. Objek materianya
meliput seluruh objek pikir manusia yakni tentang
Tuhan, alam, dan manusia. Sementara itu, objek
formanya seluas dan sebanyak sudut pandang manusia
tentang kehidupan. Walau demikian, pemikiran umat
Islam sekarang lebih banyak membatasi diri pada
persoalan hukum berdasarkan rujukan bahwa "Alquran
sebagai kitab hukum" (Q.S. 13:37).
Dalam kaitan ini, Fazlurrahman menyatakan bahwa setiap
ayat Alquran sesungguhnya berfungsi ganda, yakni
fungsi deskriptif dan fungsi preskriptif. Pada fungsi
preskriptifnya, hal itu berarti ada sisi-sisi hukum
yang dapat diangkat dari ayat khabariyah. Tidak
mengherankan manakala kita melihat ilmu hukum (kitab
fiqh) sangat dominan sekali dalam perkembangan
pemikiran Islam. Namun sebagaimana diyakini dan
terungkap di atas, sesungguhnya Alquran meliput
seluruh objek materia kepentingan hidup manusia.
Sementara objek formanya terkait kepada kemampuan
manusia sendiri memahami ayat Alquran. Terdapat ayat
yang berbicara tentang hukum umpamanya, selain
menegaskan tentang keadilan, juga menegaskan
pentingnya kearifan (ihsan), dan karena itu ihsan jadi
sangat ditonjolkan, sebagaimana terungkap tingginya
peringkat ihsan (memahami hakikat motif di belakang
suatu tindakan) dibandingkan tindakan menegakkan
keadilan, yang secara lugas menegakkan hukum tanpa
pandang bulu situasi dan suasana yang terjadi pada
pelaku objek hukum.
Dalam pada itu, sebagaimana disebutkan di atas bahwa
isi Alquran lebih menunjuk kepada konsep dasar dan
bukan pada sistem, memberi peluang yang sangat besar
untuk adanya sistem lokal ('urf) yang pada gilirannya
memberi kontribusi yang sangat kaya terhadap bentuk
dan perkembangan pemikiran Islam. Contoh dalam hal ini
dapat ditunjuk tentang hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan sosial antarmanusia, hubungan manusia dengan
Tuhan, serta tentu hubungan antara manusia dan alam.
Keragaman sistem musyawarah pada berbagai etnis,
komunitas, atau bangsa yang beragama Islam semuanya
merujuk kepada ayat wajibnya musyawarah. Namun, karena
pola dan sistem kegiatannya merujuk kepada "antum
a'lamu bi umuri dun-yakum", bentuknya jadi sangat
beragam. Konon menurut Nurcholish Madjid di Saudi
Arabia, raja memberi kesempatan tiap hari Jumat untuk
didatangi rakyat dari berbagai macam lapisan sosial
dan mereka usul dan berdialog dengan raja sebagai
salah satu bentuk musyawarah, yang kadangkala dengan
melemparkan tulisan pada...bungkus rokok.
Dalam kitab-kitab kita memang banyak dibicarakan
tentang wajibnya musyawarah, namun kurang dirumuskan
bagaimana sistem musyawarah yang bermutu. Demikian
juga halnya mengenai wajibnya bersih, sehat, dan
wajibnya mengayomi fakir miskin yatim piatu. Namun,
bagaimana cara melakukan dan menjaga kebersihan,
kesehatan, serta bagaimana mengatur forum-forum
musyawarah, hampir dapat dikatakan pada umumnya tidak
mengungkapkannya. Oleh karena itu, kita mendapat
peluang yang sangat besar untuk improvisasi sebagai
bagian dari keniscayaan dalam masyarakat Islam untuk
adanya keragaman pikiran dan keanekaan hasil
pemikiran.
Keragaman pemikiran tentang keimanan pada Allah SWT,
yang representatif keilmuannya adalah ilmu tauhid,
umat Islam diwarisi keragaman pemikiran yang sangat
kaya seperti Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah,
Asy'ariyah, dan Maturidiyah. Dalam hal ilmu fikih,
kita diwarisi paradigma pemikiran model Hanafi,
Syafi'i, Maliki, dan Hambali. Dalam pada itu berkenaan
dengan upaya pendekatan diri yang terus-menerus pada
Tuhan yang representatif ilmunya adalah tasauf, kita
diwarisi dua model yakni Sunni dan Syi'i. Dalam bidang
pranata yang menyangkut bentuk pemerintahan kita
mengenal sistem Khawarij, Sunni, dan Syi'i. Dalam
bidang filsafat kita mengenal tradisional dan liberal.
Sementara dalam bidang pembaharuan menurut Harun
Nasution adalah Islam tradisional dan Islam progresif
(1986: 34-38).
Atas dasar deskripsi keragaman pemikiran dalam
berbagai bidang tersebut, proporsional manakala umat
Islam pada level tertentu yang sangat kental dengan
budaya paternalistik dan komformitas akan cukup
pusing, bingung, dan malah bengong, karena mereka
menganggap agama adalah keseragaman dalam bentuk jenis
dan materi kebenaran. Dalam kaitan ini diperlukan
kearifan sosial yang mampu membentengi umat dari
perpecahan. Di antaranya dapat disebutkan perlunya
penegasan bahwa semua yang berpegang pada sumber yang
autentik adalah masih tetap dalam koridor keislaman
walau di antara mereka tidak saja berbeda, tetapi
malah bertentangan dan karena itu jangan cepat menuduh
pihak yang berbeda sebagai telah keluar dari Islam,
telah menjalankan bid'ah, masuk kategori kafir dan
pasti masuk neraka.
Kita semua sudah mengetahui bahwa adanya keragaman
tersebut sesungguhnya difasilitasi oleh Alquran dan
Hadis sendiri dengan adanya ayat atau hadis yang
bersifat dzanniy. Menurut Quraish Shihab, "Banyak
orang boleh jadi tidak menyadari bahwa salah satu
penyebab perbedaan pendapat adalah Alquran dan Sunah.
Ini karena sebagian besar dari ayat-ayat Alquran dapat
menampung aneka interpretasi."
Dari kacamata Tuhan semua yang berpegang teguh pada
Alquran adalah hamba-hamba pelaksana ajaran Allah,
demikian juga dari sisi subjek pelaksana keislaman,
yang menjadikan diri dan kehidupannya sebagai
artikulasi keislaman dalam hubungan dirinya dengan
Tuhan. Sementara dari kacamata manusia bisa jadi orang
berbeda dengan kita dianggap sebagai saingan atau
kompetitor yang siap menyudutkan kita. Dalam hubungan
antarmanusia yang menganggap hanya ada satu kebenaran
dan sebagai pencari kebenaran dia menganggap telah
mendapatkan kebenaran secara final, maka orang yang
berbeda dengan dia akan pasti dianggap salah sebab
tidak mungkin yang benar sama dengan yang salah.
Persoalannya bagaimana kita bersikap pada sesama
manusia seperti Nabi bersikap pada makhluknya?
Bagaimana kita dapat bersikap positif pada manusia
lain sebagaimana Nabi dan malah Tuhan bersikap positif
pada makhluk? Bagaimana kita dapat berakhlak dengan
akhlak Tuhan (Q.S. 28:77). Bagaimana kita memahami
bahwa orang yang berbeda dengan kita tersebut mereka
pun berhak menyatakan pendapatnya benar dan berhak
juga masuk surga. Dengan demikian, jalan ke surga itu
banyak dan lebar. Kita harus menyatakan bahwa
"jembatan shiratalmustqiim" itu bukan kecil dan sempit
seperti rambut dibelah tujuh, tetapi lebar dan
leluasa, seperti jalan tol yang memuat seribu jalur
mobil, dengan catatan semuanya berpegang teguh kepada
autentisitas kebenaran Alquran dan Hadis Nabi.
Khawarij berpikir bertindak autentik, di akhirat masuk
ke surga; Murjiah berpikir bertindak autentik, di
akhirat masuk ke surga; Mu'tazilah berpikir bertindak
autentik, di akhirat masuk ke surga; Asy'ariyah
berpikir bertindak autentik, di akhirat masuk ke
surga; Maturidiyah berpikir bertindak autentik, di
akhirat masuk ke surga; Maliki berpikir bertindak
autentik, di akhirat masuk ke surga; Hanafi berpikir
bertindak autentik, di akhirat masuk ke surga; Syafi'i
berpikir bertindak autentik, di akhirat masuk ke
surga; Hambali berpikir bertindak autentik, di akhirat
masuk ke surga; Khawarij berpikir bertindak autentik,
di akhirat masuk ke surga; Syiah berpikir bertindak
autentik, di akhirat masuk ke surga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar