Rabu, 25 Februari 2009

Wanted, Presiden di Negeri Koruptor



Oleh: Taufiq Nugroho
Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum UNS
Sekbid Kaderisasi IMM Komisariat Ki Bagus Hadikusumo


Forum Ekonomi Dunia (The World Economic Forum) sebagaimana dikutip Jakarta Pos (1/11/2003) menyebutkan bahwa Indonesia memperoleh ranking ke 60 dari 120 negara-negara dunia yang bermasalah. Masalah utama yang disandang oleh bangsa indonesia terletak pada dua faktor, yaitu tradisi korupsi dan sistem birokrasi yang tidak kompetitif.
Adalah sebuah kegilaan yang menimpa sebagian besar anggota dewan kita saat ini, sehingga korupsi menjadi suatu fenomena yang tidak terpisahkan dari perlaku anggota dewan. Yang lebih megerikan lagi adalah birokrat-birokrat kita setingkat Menteri, Dirjen, Ketua Partai juga tidak luput dari perilaku korupsi demi memperkaya diri dengan dalih mengembalikan modal yang dikeluarkan waktu mencalonkan diri menjadi pejabat. Tidak berhenti sampai disini saja, betapa ketika hendak menjadi pegawai rendah saja seperti pegawai Pemda, sekedar menjadi juru ketik atau tukang antar surat saja, menjadi angota polisi atau tentara harus menyelipkan “uang siluman” untuk dititipkan kepada orang yang berhak menentukan kursi pegawai.
Sebuah lembaga survey International Political and Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong melaporkan bahwa Indonesia kembali mmemperoleh predikat sebagai negara terkorup di Asia. Indonesia terkorup diantara 12 negara di Asia, diikuti India, Vietnam, Thailand, malaysia dan China. Sementara negara paling rendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Thaiwan dan Korea Selatan.
Memprihatinkan memang, ketika kita melihat fenomena ini, terutama bagi yang masih mempunyai hati nurani dan risih melihat korupsi. Namun lagi-lagi, orang yang masih mempunyai hati nurani dan merasa risih melihat korupsi kadang harus berhadapan dengan tembok besar para penjilat berjubah hukum, kesatuan keamanan, pembela Republik dan seterusnya.
Namun setidak-tidaknya Pemilu 2004 memberikan setitik harapan bagi masyarakat Indonesia yang masih memiliki hati nurani untuk memilih pemimpin yang memenuhi kriteria terpuji, dan bervisi masa depan, sehingga negeri koruptor menjadi good government dan clean government.
Siapapun presiden yang terpilih nanti, pasca pemilu 2004, mempunyai tugas yang sangat berat. Karena itu momentum pemilu 2004 yang memakai sistem langsung _baik pemilihan Presiden dan wakil presiden maupun anggota dewan- sangat mempunyai makna dalam proses demokratisasi di negeri ini. Presiden dsan wakil presiden , sebagai The Real Eksecutive, selain merupakan pilihan rakyat mayoritas, harus mempunyai kriteria yang tegas dan berani memberantas korupsi yang telah menggurita itu, dari pada memenuhi kriteria-kriteria suplemen seperti tercantum dalam undang-undang atau peraturan yang dibuat DPR RI.
Sangat bagus memang, persyaratan kandidat yang di buat DPR dalam pemilu 2004, seperti harus lulus SMU, mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki dedekasi dan komitmen membela seluruh rayat, mempunyai wawasan untuk membangun bagsa dan yang tidak ketinggalan mempunyai kemauan dan kebernian untuk memberantas korupsi yang mendarh daging tersebut. Namun semuanya itu tidak berarti jika tidak diikuti dengan pembuktian untuk mencari kekuasaan belaka. Karena ketika kekuasan sudah didepan mata, maka rakyat akan terlupakan dengan kemegahan dan kemewahan aset negara. Rakyat hanya dijadikan batu loncatn untuk meraih kursi puncak.
Seorang capres maupun cawapres tidak mempunyai alasan untuk menyatakan; saat ini bukanlah saatnya untuk berkampanye kepada publik, menyatakan visi dan misi dan integritas selama menjadi presiden dan wakil presiden jika terpilih nanti. Karena integritas, visi dan misi capres dan cawapres harus diketahui masyarakat, sebagai tolok ukur penentuan pilihan. Bukan saatnya lagi, capres berdiam diri menutup-nutupi keburukannya, dengan dalih akan dibuktikan nanti jika telah terpilih menjadi presiden atau wakil presiden.
Karena itu, adalah sebuah pembodohan politik ketika seorang capres selalu berkata; rakyatlah yang lebih tahu dengan pilihannya, sekalipun hanya berdiam diri, tidak banyak bicara dan seterusnya. Pendek kata integritas pribadi memang tidak perlu diucapkan, tetapi mengemukakan wacana-wacana konkret pada rakyat, sebagi ssalah satu pijakan rakyat dalam memilih capres, menjadi sebuah keharusan yang menurut hemat saya tidak dapat dilewatkan begitu saja.
Selama 32 tahun di pecundangi orde baru, membuat rakyat Indonesia cerdas untuk memilih pemimpin yang mampu megubah nasib negeri ini. Maka rakyat mengerti dan memahami bahwa capres dan cawapres yang mereka pilih benar-benar mempunyai visi dan misi serta integritas untuk memberantas korupsi, yang saat ini telah menjadi penyakit yang paling berbahaya dinegeri ini.
Dalam pemilihan presiden kali ini, dengan sistem pemilihan langsung, rakyat tidak boleh lagi terjebak, ibarat “memilihg kucing dalam karung” yang hanya melihat tanda dalam gambar tanpa mengetahui isi kepala capres pilihannya. Meminta capres untuk berni tampil didepan dan mengemukakan visi dan misi ,memng bukanlah satu-satunya cara untuk menilai capres mana yang memiliki komitmen memberantas korupsi. Namun agar rakyat banyak dapat mengertai isi dari kepala capres, maka sekurang-kurangnya capres harus berani tampil didepan publik untuk menyampaikn visi, misi dan rencana konkretnya untuk membangun bangsa dimasa depan.
Dengan cara seperti ini memang kemungkinan akan terjadi persaingan yang lebih ketat, bahkan bisa mengarah pada penilaian personal. Namun menurut hemat saya lebih baik terjadi persaingan didepan yang sengit, ketimbang tidak ada persaingan sengit, namun ketika presiden dan wakil presiden sudah terpilih, rakyat hanya dikecewakan akibat kebijakkan-kebijakan yang dibuat sangat tidak populis dan tidak membela rakyat. Sehingga lagi-lagi harus ada Sidang Istimewa untuk memaksa presiden untuk segera turun dari jabatannya, yang tentunya membawa dampak yang signifikan terhadap perekonomiam nasional.
Haedar Nasir, sekretaris PP Muhammadiyah menyatakan, “ pemimpin masa depan indonesia harusnya mempunyai kemampuan menegement state dalam mengurus negara, komitmen pada reformasi, mempunyai kemmpuan memimpin negara, dapat mengangkt harkat dan martabat bangsa dan negara pada dunia Internasional, mempunyai kepemimpina yang kuat, sehingga terkadang otoriter diperlukan, dan memiliki moral yang baik.”
Kegagalan pemerintahan saat ini adalah, tidak terealisasinya reformasi yang selama bertahun-tahun diagendakan. Penegakan hukum bagi para koruptor dan para penjahat negara sama sekali tidak jelas arah dan tujuannya. Sehingga terkesan “cuci tangan” dan menutupi kesalahnnya. Belum lagi perekonomian yang terpuruk. Harga-harga melambung tinggi, sementara hasil produksi dalam negeri anjlok. Pencemaran lingkungan terjadi dimana-mana, puncaknya terjadinya bencana dipulau Minamata. Dan terakhir peledakan bom di Kuningan, depan Kedutaan Besar Autralia, yang manjadi sorotan dunia bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
Melihat kenyatan negara kita saat ini, pemimpin Indonesia mendatang harus yang mempunyai sense of krisis untuk segera mengentaskan bangsa ini dari segala persoalan yang melilit. Kepekaan calon pemimpin untuk memimpin bagnsa harus di buktikan dengan berpihak pada rakyat, seperti tidak korupsi, memberi subsidi bagi rakyat, tidak melanggar Hak Asasi Manusia, tidak tersangkut kasus hukum berat, bebas dari pelecehan seksual.
Kepemiminan yang dibutuhkansaat ini adalah kepemimpinan yang benar-benar mendukung dan mensejahterakan rakyat, sehingga denagn sendirimya rakyat akan percaya dan mendukung pemimpinnya. Pemimpin nasiomal harus mempunyai ciri kahas mudah dikenali oleh rakyat dan pihak luar negeri. Sehingga ketika kekuatan lain mengancam kesejahteraan rakyart, pemimpin segera mengambil tindkan tegas, sehingga rakyat tidak yerus menerus menderita.
Kepemimpinan yang kuat juga harus didikung oleh skill yang memadai, dukungan dari rakyat yang kuat dan dukungan dari luar negeri terhadap kinerjanya. Sehingga dlm perealisasian program-programnya mendapat dukungan dari segala pihak. Ditambahkan oleh Haedar Nashir, “Pemimpin Indonesia harus mengadakan koalisi dengan partai manapun, sehingga mempunyai legitimasi yang kuat dari rakyat proses pendidikan politik bagi rakyat, karena bagaimanapun, pendidikan politik perlu bagi proses demokratisasi dan menghapus fragmantasi Indonesia.”
Dengan mengajukan syarat yang ndakik-ndakik, seperti calon presiden harus Profesor, Doktor, lulusan SMU, mengeklaim mempunyai masa banyak, apalagi mengaku sebagai “Putra Pingit” atau putra mahkota, saya kira tidak relevan. Kita mengetahui betapa Corozon Aquino msntsn presiden Philipina adalah mantan ibu rumah tangga, Lech Valessa adalah seorang penyair, Valclav Havel adalh seorang buruh, Nelsonn Mandela adlh seorang pejuang kulit hitam. Namun mereka adalah orang-orang mempunyai komitmen untuk membangun bangsa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Oleh karena itu, jabatan presdien bukanlah suatu jabatan yang menyeramkan dan penuh dengan syarat yang ndakik-ndakik. Tetapi lebih pada penekann bahwa, jabatn presiden adalah sebuah jabatan yang penuh amanat untuk mengangkat harkat dan martabat negara, serta mengentaskan penderitaan masyarakat. Akankah hati nurani dan akal sehat kita terbuka untuk memilih pemimpin yang amanah, sehingga tidak buta dan memilih pemimpin yang sentiment parokial, etnis, agama, dan suku, tetapi kebangsaan dan kebersihan perilaku, politisi busuk.

Tidak ada komentar: