Selasa, 24 Februari 2009
Artikel Pendidikan
Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman
Oleh : Taufiq Nugroho
Sebuah Tawaran
Masih ingatkah anda dengan sosok Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa tahun 1960-an dari Kebun Jeruk? The happy selected people kata Gie pada saat diterima di Fakultas Sastra UI tempo itu. Dia merasa menjadi bagian orang yang beruntung bisa mengenyam pendidikan dibangku perkualiahan. Tetapi sekarang kondisinya jauh berbeda, mengenyam pendidikan bukanlah sebuah keberuntungan tetapi menjadi sebuah beban yang membelenggu, karena mereka adalah orang yang harus membayar mahal untuk itu. Dan tidak lagi beruntung karena hampir semua orang bisa masuk asalkan mampu membayar sejumlah uang yang ditentukan, bukan lagi berdasarkan seleksi uji kecerdasan atau kemampuan intelektual yang membanggakan.
Tetapi adakah pembenaran bahwa pendidikan itu harus dibayar mahal? Bukankah itu sebuah jerat kapitalisme neoliberal yang telah masuk dalam relung-relung ke Indonesiaan. Dari zaman Belanda sampai sekarang, pendidikan adalah sebuah alat untuk memisahkan kelas masyarakat dari kelas priayi ataukah dari kelas abangan. Mereka yang mengenyam pendidikan adalah mereka yang ingin meningkatkan status sosial mereka. Dari sini kita mendapatkan bahwa pendidikan adalah alat untuk meningkatkan status sosial, bukan alat untuk mendidik dan mengembangkan nalar berpikir peserta didik.
Pendidikan a la Pasar
Ketika pendidikan dewasa ini berorientasi pada materialisme semata, maka lembaga pendidikan Indonesia hanya akan menjadi budak pasar yang menyuplai “buruh-buruh” bergelar sarjana. Dan kita menjadi saksi sejarah bahwa pendidikan menjadi ‘komoditas” yang laik jual. Dan jadilah pasar memasukkan lembaga pendidikan menjadi suatu yang dapat diliberalkan dan diatur oleh pasar. Dan mulailah negara kita kegerahan padahal kebijakan privatisasi pendidikan telah diambil.
Pendidikan pra sekolah hingga Perguruan Tinggi telah memasuki tahap ini. Kurikulum adalah kurikulum pasar yang dibuat sesuai dengan standar pasar dan sebagai pemenuhan tenaga kerja pasar. Dan pola ini mengembalikan kita pada pola pendidikan zaman politik etis Belanda, dimana pendidikan kaum pribumi diarahkan pada pemenuhan tenaga kerja pribumi yang murah. Dan tujuan pendidikan dikesampingkan, hanya karena untuk memenuhi pasar sebagai tempat berkompetisi dalam penyerapan produk pendidikan yang akan mengeruk keuntungan materi, maka pendidikan pun mempunyai standar harga yang harus dibayar untuk dapat diterima di pasaran.
Dan pemerintahpun mulai lepas tangan dengan pembiayaan pendidikan karena dianggap pendidikan adalah ruang privat yang harus dipenuhi oleh individu untuk meningkatkan dirinya sendiri. Dalam hal ini sejalan dengan N Ach (need for achievement) bukan kepentingan negara lagi untuk menanggung kepentingan yang sifatnya individualistik. Dan hal inilah yang sejalan dengan anjuran kapitalisme neoliberal yang memprivatisasi rakyat, atau kalau boleh dikatakan “swastanisasi” rakyat. Sehingga wajar ketika kebijakan BHMN dijalankan dan RUU BHP digodok dan selanjutnya dilaksanakan sebegai bentuk pemenuhan atas prasyatar pencairan utang luar negeri dari lembaga donor yang ada.
Hiden Agenda Globalisasi
Hampir setiap kebijakan pemerintah sekarang ini memaksa kita untuk selalu ber-su’udzon (buruk sangka). Bagaimana tidak, hampir setiap agenda isu yang dugulirkan pemerintah ternyata hanya sebuah pengalihan pandangan masyarakat, untuk menutup-nutupi produk kebijakan yang maha besar dan sangat mengejutkan. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pemerintah memanfaatkan bulan ramadhan untuk mencabut subsidi BBM. Dengan strategi membumbungkan isu kelaparan di Yahokimo, masyarakat seakan-akan lupa bahwa kenaikan harga BBM telah disahkan, yang dampaknya sangat besar dalam kehidupan keseharian mereka. Dan nampaknya isu flu burung baru-baru ini akan dijadikan rel yang sama untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bulan Mei nanti.
Bertolak dari kondisi bangsa Indoinesia yang mengalami kemerosotan sistematis ini, memunculkan pertanyaan baru, adakah hidden agenda disitu? Dalam perkembangannya kita harus menelusuri ini semua dari beberapa pola ideologi dibelakangnya. Pola yang dipakai negara sebagai bentuk paket dari modernisasi dan globalisasi, seperti kita ketahui dari pola developmentalisme hingga pola neoliberalisme. Sebagai efek globalisasi dan memenuhi paket yang diminta oleh para penyandang dana indonesia sehingga rakyat harus menjadi swasta. Akhirnya segala subsidi bagi rakyat harus dicabut dan nergara hanya menjamin bagaimana globalisasi teknologi dan ekonomi tetap berjalan sehingga perusahaan dan pemodal asing mau masuk dan berinvestasi di Indonesia.
Reorientasi peran dan Fungsi Pendidikan
Pendidikan memang bukan pembantaian yang langsung membuat kita mati, tetapi ia jauh lebih mematikan dalam jangka panjang.
Bukan rahasia lagi nasib pendidikan sekarang dibawah kuasa modal. Fakta yang ada tak terhitung dari adanya kompetisi “liar” antar lembaga pendidikan. Anda dapat masuk sekolah apa saja, mulai dari membuat bom nuklir sampai membuat “biting” (sunduk somey), asalkan anda mau membayar sejumlah uang yang ditawarkan dari institusi tersebut, maka kuliah dimanapun bukan masalah. Dengan embel-embel menjanjikan kelulusan berkualitas yang siap dijual ke dunia kerja dengan gaji tinggi dan tentunya karir yang terus menanjak. Syarat-syaratnya ringan dan terkesan hanya formalitas saja, namun ada yang lebih penting dari itu semua dan nampaknya menjadi sebuah kewajaran disemua lembaga pendidikan kita (negeri maupun swasta) yakni berapa besar sumbangan yang bisa diberikan.
Pendidikan adalah proses yang mampu mengubah cara berpikir masyarakat dalam menghadapi permasalahan hidup. Pendidikan bukan menjadikan orang gelap mata, berpikir cekak dengan mencuri, merampok (korupsi) untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Pendidikan adalah memberi rasa nyaman bagi peserta didik dalam belajar, bukan menjadikan kegelisahan yang berakhir di tali gantungan karena hal sepele. Pendidikan juga bukan menjadikan pesimistis masyarakat yang mempertanyakan pendidikan sekolah untuk apa? Sekolah tinggi-tinggi nyatanya tidak menjamin dapat pekerjaan baik. Lebih dari semua itu, pendidikan adalah hal yang urgen yang dapat mendidik masyarakat dari kualitas, kuantitas, sistem, penataan dan arah plitik pendidikan sebagai prioritas utama.
Apakah Orang miskin yang Bodoh bukan Manusia?
Pelegalan komersialisasi pendidikan apapun alasannya, kenaikan biaya pendidikan dan indikasi PTN dan Sekolah Negeri lainnya ke arah PT BHMN adalah fenomena anomali sosial dan mengarah pada pelanggaran HAM. Sangat ironis, prematuer dan terlalu dipaksakan. Pendidikan adalah Hak Asasi setiap Manusia miskin maupun kaya. Ketika komersialisasi pendidikan direstui, maka biaya pendidikan melambung tinggi sehingga orang miskinpun tidak mampu mengenyam pendidikan. Sedangkan program beasiswa yang jumlahnya sangat terbatas dikucurkan dengan sistem kompetisi dan seleksi ketat, dapat dipastikan pasti akan diperoleh oleh mereka yang rata-rata cerdas atau pintar. Sedangkan orang miskin yang bodoh, membayar tidak mampu, beasiswa pun tidak dapat. Lalu harus bagaimana? Mereka terpaksa harus pasrah dan menerima serta menganggap ini adalah takdir bahwa mereka adalah golongan yang selamanya miskin dan selamanya bodoh. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah orang miskin dan bodoh bukan manusia ?
Semua Lembaga Pendidikan -dari TK sampai Perguruan Tinggi- akan dikuasai Swasta
Permasalahan besar yang dihadapi lembaga pendidikan dewasa ini adalah adanya “pemerkosaan” status “Negeri” yang akan menjadi PT BHMN yang sampai saat ini masih menyisakan perdebatan yang alot. Kita ketahui bersama bahwa, dihembuskannya isu Sekolah Negeri/ PTN menjadi PT BHMN semuanya bermuara pada naiknya biaya pendidikan dan komersialisasi akan pendidikan itu sendiri. Disamping itu arogansi pemerintah maupun pejabat institusi yang terkesan memaksakan kesiapan PTN untuk melaksanakan proyek ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Pernyataan ini cukup beralasan sebab jika pelaksanaan PT BHMN ini terlalu dipaksakan hal ini justru akan menimbulkan permasalahan baru mengenai pendidikan di Indonesiadan tidak mustahil SDM di Indonesia akan semakin menurun dan tertinggal karena semakin kecil kesempatan bagi masyarakat (miskin) untuk dapat mengenyam pendidikan disekolah formal yang biayanya semakin mahal.
Prof. Ir. Satrio Soemantri Brojonegoro,M.Eng, Direktur Jendral Perguruan Tinggi Depdiknas RI mengatakan, pada tahun 2010, 49 PTN yang ada di Indonesia akan berstatus menjadi PT BHMN. Menurut Satrio proses menuju PT BHMN adalah suatu keniscayaan yang pelaksanaannya dilakukan secara “bertahap”. Berdasarkan tinjauan dari PP Nomor 61 Tahun 1999 mnyebutkan bahwa syarat menjadi PT BHMN adalah pengelolaan perguruan tinggi yang berkualitas dan efisien, memenuhi standar kelayakan minimal finansial dan pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan prinsip ekonomi dan akuntabilitas yang nota bene dalam peraturan pemerintah ataupun peraturan lainnya sama sekali tidak menyebutkan bahwa BHMN harus memungut biaya pendidikan yang tinggi. Namun kenyataannya, semua perguruan tinggi yang sudah menyatakan BHMN menetapkan biaya untuk operasional pendidikan yang sangat tinggi, jauh lebih mahal dari biaya sebelum BHMN. Apa maksudnya ini?
Langkah perlawanan kita dengan Masifikasi gerakan sosial yang diharapkan dapat melakukan penolakan pada kebijakan komersialisasi pendidikan dalam bentuk apapun. Serta advokasi bagi para pengajar (guru dan dosen) dan peseta didik (siswa dan mahasiswa) yang dirugikan oleh sistem ini. Ketika semua civitas akademika bersatu dan solid maka tuntutan apapun akan dipenuhi. Meskipun UU Sisdiknas mewajibkan, tetapi prosesnya bertahap dan tidak harus dipaksakan. Siswa bersatu tidak dapat dikalahkan. Potensi besar lembaga pendidikan menjadi amunisi terbesar bagi dilakukannya perubahan besar. Tetapi pertanyaannya, kemana arah kebijakan para pemimpin kita? Bersatu bersama rakyat menolak komersialisasi pendidikan, ataukah berselingkuh dengan kapitalisme neoliberal untuk menindas rakyat?
Perenungan Kembali
Akhirnya perlu kita pertanyakan kembali tentang keberagamaan kita dengan tafsir hermeniutik QS Al Ma’un. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan pada orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan menolong dengan barang yang berguna. “
Pendustakah kita atau beragamakah kita? Jawabannya, Ketika kita melihat kemiskinan dan kefakiran menggurita. Anak yatim diterlantarkan dan tidak diberikan hak-haknya. Masyarakat miskin tertindas dan tidak diberikan kesempatan belajar, Apakah yang akan anda lakukan, bergerak menolong mereka? Ataukah diam menjadi pendusta agama?
Sekaranglah saatnya untuk memberikan suara pada mereka yang bisu, dan saatnya untuk memberikan pembelaan pada kum tertindas (mustadz’afin) menjadi pembebas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar