Rabu, 25 Februari 2009

Pembangunan Hukum Dan Perubahan Sosial

Oleh: Antie Solaiman

GBHN 1993 menetapkan sasaran bidang hukum dalam lima tahun keenam
ialah pembaruan hukum nasional, peningkatan penegakan hukum, dan
pembinaan aparatur hukum, serta peningkatan sarana dan prasarana
hukum. Dalam hal pembaruan hukum, sasaran utama adalah mengganti
produk-produk hukum kolonial dengan hukum nasional yang berdasar
Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, pembaruan hukum harus
diarahkan kepada terciptanya suatu sistem hukum nasional yang da-pat
menjamin terwujudnya pembangunan nasional.

Pembangunan hukum sehubungan dengan rencana pembaruan hukum nasional
tersebut pada umumnya hanya dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
legislasi, yakni melahirkan undang-undang baru (statutory law).
Peranan Mahkamah Agung (MA) dalam hal ini jelas hampir tidak ada sama
sekali. Jika pasal 37 UU No 14 Tahun 1970 tentang MA ditafsirkan
secara luas - dan dengan baik - MA dapat memberi pendapat tentang RUU
dengan diminta atau tidak diminta oleh pemerintah dan/atau DPR.

Pembangunan Hukum

Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua arti.
Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi
hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan
cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang sedang membangun. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan
Perubahan Sosial, 1979). Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada
kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan
hukum alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita
dapat simpulkan, "definisi" pembangunan hukum adalah "mewujudkan
fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat". Untuk itu ada
tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa
(dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering).

Tetapi yang kita saksikan dan alami akhir-akhir ini jauh berbeda dari
rumusan tersebut. Kontrol sosial adalah "proses yang dilakukan untuk
mempengaruhi agar orang-orang bertingkah laku sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat". Karena itu hukum perlu "bening dan jernih" -
tidak terombang-ambing oleh berbagai kepentingan. Hukum harus
sedemikian "dingin"-nya sehingga ia kuat menghadapi berbagai bujukan
dan imbauan. Bila ada kasus rumit yang menyebabkan bertindihannya
berbagai kepentingan, bukan UU dan ketentuan-ketentuan itu yang dapat
dibengkok-bengkokkan, melainkan sebaliknya. Perkara itu yang harus
bisa "dimasukkan" ke dalam pasal-pasalnya sehingga dapat diputus.

Pada masyarakat modern, sengketa-sengketa lebih sering (lebih aman?)
diselesaikan lewat jalur hukum (pengadilan). Secara teori,
perkembangan sosial masyarakat (social development) merupakan salah
satu faktor yang ikut mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk
menyelesaikan konflik lewat pengadilan. Kepercayaan masyarakat kepada
pilihannya ini makin besar bila penyelesaian tersebut memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Karena itu, keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum harus dipatuhi atau dieksekusi.

Kepastian hukum adalah unsur penting dalam upaya membangun kesadaran
hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Arti kepastian hukum
adalah hukum yang dijalankan sebagaimana mestinya dengan tegas,
konsekuen, dan tanpa pilih kasih. Kalau keadaan ini tercapai, berarti
orang dapat memastikan atau meramalkan bahwa setiap pelanggaran hukum
da-pat diganjar sesuai dengan ketentuan yang ada, dan orang yang
dirugikan - baik oleh pribadi, kelompok, atau negara - akan mendapat
ganti rugi. Dengan kata lain pengadilan beserta aparat hukum lainnya
harus benar-benar menerapkan hukum secara konsisten, tanpa pilih
kasih, serta sesuai dengan rasa adil masyarakat.

Rekayasa Perubahan Sosial

Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara modern.
(Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective,
1975) Jeremy Bentham bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun
1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound
memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin
sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan
perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya
sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal
itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan
pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan
pengadilan. Misalnya keputusan MA.

Di Amerika, sering anggota kongres dan senat menghindari membuat
produk-produk legislasi untuk masalah-masalah yang kontroversial,
karena khawatir akan dampak politisnya. Mereka berharap, US Supreme
Court yang memutuskan. Perlu diketahui bahwa peran MA Amerika dalam
membentuk hukum jauh lebih besar dari peran MA Indonesia. Karena,
Amerika menganut common law, sedang Indonesia menganut sistem civil
law.

MA sebagai pembentuk salah satu sumber hukum formal - yakni
jurisprudensi - dapat berperan besar dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Agar keputusan-keputusan MA sebagai jurisprudensi dapat
menjadi stimulator dan menyumbang bagi pembangunan dan perkembangan
hukum di Indonesia. Karena itu, keputusan-keputusan itu harus dapat
mewujudkan setidak-tidaknya satu dari tiga fungsi hukum yang disebut
di atas.

Bagaimana yang terjadi di negeri kita? Ketua MA Soerjono mengusulkan
kepada Presiden agar Ketua Muda Bidang Pidana Umum Adi Andojo Sucipto
diberhentikan dengan hormat. Sebagai anggota masyarakat yang masuk
dalam barisan "intelek-tual", kita tentu akan bertanya bagaimanakah
sebenarnya sistem kekuasaan kehakiman kita di Indonesia ini?

Walaupun pengusulan pemecatan itu memang dimungkinkan oleh UU, namun
sangat terkesan bahwa Ketua MA seperti mencari-cari celah agar bisa
memecat Adi Andojo. Alasannya, seperti kita sudah dengar, sangat tidak
kuat.

Ketua MA sebaiknya menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat alasan
pemilihan pasal 11 huruf D dari UU No 14 tahun 1985 tentang MA yang
dipakai dalam kasus Adi Andojo itu. Jika dikatakan bahwa Adi Andojo
sebagai Hakim Agung sudah tidak mampu menjalankan tugasnya, berarti ia
sudah tidak mampu mengambil keputusan berdasarkan UU dan
peraturan-peraturan yang berlaku. Atau sudah tidak bisa mengambil
keputusan dengan rasa seadil-adilnya, sehingga menimbulkan gejolak di
masyarakat. Jika memang ketentuan itu dikenakan kepada Adi Andojo,
sebaiknya Ketua MA memberikan penjelasan lebih lanjut kepada
masyarakat.

Rasanya telah terjadi kemerosotan wibawa hukum lembaga MA sebagai
benteng terakhir dan penegak keadilan. Hasil kerja Korwasus
(Koordinator Pengawasan Khusus) MA tentang isu kolusi di MA perlu
ditindaklanjuti, terutama temuan tentang adanya penyimpangan prosedur
dalam pembagian perkara.

Dalam hal ini DPR perlu segera mengambil inisiatif dalam menelusuri
isu kolusi itu. Kenyataannya, masalah tersebut belum final. Sebaliknya
justru berkembang menjadi pembicaraan yang panjang dan rumit.

Landasan hukum bagi DPR untuk mengatasi masalah itu antara lain karena
sistem yang dianut Indonesia adalah check and balance system, sehingga
kekuasaan yang terbagi dapat saling mengontrol. Kalau presiden yang
mengangkat orang-orang di MA belum mengambil inisiatif, DPR pada
dasarnya dapat membentuk tim pencari fakta yang tujuannya menuntaskan
masalah terkait. Sebab, masalah yang satu ini mendapat sorotan dari
sebagian besar masyarakat.

Persoalan Tata Negara

Apa yang terjadi saat ini, menurut aktivis Elsam Abdul Hakim Garuda
Nusantara (Kompas, 15/7) sudah bukan lagi sekadar masalah
administrasi, melainkan melebar ke permasalahan tata negara, fungsi
lembaga-lembaga negara dan bagaimana menjalankan UU. Karena itu hal
itu harus dikaji ulang, agar dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa
DPR sebagai wa-kil rakyat memiliki perhatian terhadap masalah
tersebut. Upaya beberapa unsur di MA untuk memperkecil masalah ini
ternyata tak mampu menangkal krisis kepercayaan masyarakat. Hal itu
mendasar sifatnya, karena tidak mungkin lembaga ini membersihkan
dirinya sendiri. Harus ada kontrol eksternal dan internal.

Ketua MA Soerjono sejak awal mengambil tindakan yang tidak tepat.
Karena itu pantas bila kesalahan itu terus berbiak. Kesalahan dimaksud
antara lain membentuk Korwasus MA, menolak konsultasi DPR, mengajukan
usulan pemecatan Adi Andojo sebagai Hakim Agung (kepada Presiden),
serta bungkam terhadap pers (yang sama artinya bungkam terhadap
keterbukaan masyarakat sipil).

Langkah-langkah itu akhirnya hanya memperlebar permasalahan dengan
mengalihkan perhatian masyarakat, agar tidak mempertimbangkan
siapa-siapa yang kemungkinan terlibat. Kalau dicermati, akan terlihat
keanehan pihak MA dalam upaya membungkam isu kolusi sebagaimana
diungkapkan oleh Adi Andojo dalam surat rahasia MA yang bocor itu.

Upaya pihak MA untuk membantah isu itu tampaknya disebabkan oleh
ketakutan untuk menghadapi pertanyaan masyarakat yang semakin
bertubi-tubi. Masyarakat akan mempertanyakan tanpa rasa puas,
siapa-siapa lagi yang terlibat dan ikut kecipratan.

Padahal, sekarang ini harapan masyarakat akan penegakan hukum begitu
besar. Semakin naiknya mobilitas, masyarakat makin menyandarkan
urusan-urusannya pada ketegasan hukum yang profesional, dan jarang
sekali menangani sendiri persengketaan yang menimpanya. Mereka akan
terus berjuang untuk memperoleh keadilan sampai tingkat terakhir,
yaitu MA. Dan justru yang berjuang lewat jalur hukum sampai pada
tingkat yang terakhir ini adalah mereka-mereka yang "yakin dirinya
benar".

Karena itu, konsistensi pengadilan terhadap keputusan MA adalah sangat
pen- ting. Keputusan yang dibuat oleh MA da-pat dijadikan
jurisprudensi. Jurisprudensi ini pada gilirannya berdampak pada
perubahan sosial. Dalam hal ini barangkali kita bisa mengingat kasus
Marsinah yang beritanya disambut gembira. Atau kasus Kedungombo dan
kasus Tempo yang beritanya disambut sedih. MA secara hukum dan moral
bisa mengajari para profesional polisi, jaksa, hakim, saksi, pembela,
dll - untuk lebih teliti dan berhati-hati memeriksa tersangka yang
melakukan tindak pidana. Citra para profesional dengan demikian juga
menjadi semakin baik.

Itulah sebabnya mengapa kita masih perlu percaya, bahwa MA melalui
keputusan-keputusan hukumnya dapat bertindak benar dan pada tempatnya
dengan memberi sumbangan yang berharga bagi pengembangan hukum dan
perubahan sosial yang positif bagi bangsa yang tercinta ini. ***

Penulis adalah Dosen pada Fisipol UKI Jakarta

Tidak ada komentar: