Senin, 14 Februari 2011
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman,
tenteram, tertib, dan berkeadilan;
b. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan
pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur,
adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam
menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;
c. bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung
jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh
undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi
hukum;
d. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat
yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum
masyarakat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Advokat.
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan
Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316);
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327);
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713);
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);
11. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3872).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.
3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.
5. Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam
menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur profesi Advokat.
6. Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan
alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya
ataupun kaitannya dengan organisasi profesi.
7. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan
dengan Klien.
8. Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah
negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien
yang tidak mampu.
10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum dan perundangundangan.
BAB II
PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN
PEMBERHENTIAN ADVOKAT
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi
hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh
Organisasi Advokat.
(2) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(3) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Pasal 3
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sumpah
Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang
sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak
jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat
lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan
saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab
profesi saya sebagai seorang Advokat.
(3) Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
Bagian Ketiga
Status
Pasal 5
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan.
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Bagian Keempat
Penindakan
Pasal 6
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak
hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat
profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Pasal 7
(1) Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
d. pemberhentian tetap dari profesinya.
(2) Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan
diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
Pasal 8
(1) Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai
dengan kode etik profesi Advokat.
(2) Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah Agung.
Bagian Kelima
Pemberhentian
Pasal 9
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
Pasal 10
(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
a. permohonan sendiri;
b. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
c. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak
menjalankan profesi Advokat.
Pasal 11
Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut
kepada Organisasi Advokat.
BAB III
PENGAWASAN
Pasal 12
(1) Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan
profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi
Advokat.
(2) Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior,
para ahli/akademisi, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT
Pasal 14
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya
dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 17
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik
dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan
untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien
berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
(2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang
berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 19
(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena
hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan
dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas
komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 20
(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat
profesinya.
(2) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga
merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas
profesinya.
(3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku
jabatan tersebut.
BAB V
HONORARIUM
Pasal 21
(1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
(2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
BAB VI
BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA
Pasal 22
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
ADVOKAT ASING
Pasal 23
(1) Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum
atau perwakilannya di Indonesia.
(2) Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang
hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.
(3) Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada
dunia pendidikan dan penelitian hukum.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban
memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 24
Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik Advokat Indonesia
dan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ATRIBUT
Pasal 25
Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib
mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT
Pasal 26
(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh
Organisasi Advokat.
(2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(5) Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi
Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(6) Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana.
(7) Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Pasal 27
(1) Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun
di tingkat Daerah.
(2) Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di
tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.
(3) Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur Advokat.
(4) Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang
susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh
masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat diatur dalam Kode Etik.
BAB X
ORGANISASI ADVOKAT
Pasal 28
(1) Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan
kualitas profesi Advokat.
(2) Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah.
Pasal 29
(1) Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya.
(2) Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.
(3) Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan Menteri.
(4) Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah
anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
(5) Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang
akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.
(6) Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan pembimbingan, pelatihan,
dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang.
Pasal 30
(1) Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi
Advokat.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah
sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)
rupiah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
(1) Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat
Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
(2) Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih
dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang
ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia
(HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
(4) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat
telah terbentuk.
Pasal 33
Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada
tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-
Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan
Undang-Undang ini.
Pasal 35
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23
jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya;
2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en
Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8);
3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446 jo. Stb. 1922
Nomor 523); dan
4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 36
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah Sah
pada tanggal 5 April
2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan
bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga
menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang
penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan
masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu
unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi
manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan
jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan
semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang
semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam
pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk
dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan
perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam
Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb.
1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian,
Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en
Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446
jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi
dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh
pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini
sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999.
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi
Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam
pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang
kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi
Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip
negara hukum pada umumnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah
lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan
perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa
pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat, orang tersebut harus
bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi
kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat
tinggal dimanapun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat
negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada
semua Badan Peradilan;
e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan
Agung;
f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan;
g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh;
i. Gubernur dan Wakil Gubernur;
j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah
Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat
(4) Undang-undang ini.
Huruf g
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman
praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam
menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat
diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat.
Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang
penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan
sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah
Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam
penjelasan Pasal 14.
Ayat (2)
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara
Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri,
Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar
Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum,
di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan
perundang-undangan, atau pengadilan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi
untuk semua lingkungan peradilan, Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa
takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas
profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi
kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya
keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap
tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat
tersebut dengan kantornya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko,
waktu, kemampuan, dan kepentingan klien.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya
dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli
etika.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4288
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman,
tenteram, tertib, dan berkeadilan;
b. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan
pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur,
adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam
menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;
c. bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung
jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh
undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi
hukum;
d. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat
yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum
masyarakat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Advokat.
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan
Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316);
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327);
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713);
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);
11. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3872).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.
3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.
5. Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam
menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur profesi Advokat.
6. Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan
alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya
ataupun kaitannya dengan organisasi profesi.
7. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan
dengan Klien.
8. Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah
negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien
yang tidak mampu.
10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum dan perundangundangan.
BAB II
PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN
PEMBERHENTIAN ADVOKAT
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi
hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh
Organisasi Advokat.
(2) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(3) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Pasal 3
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sumpah
Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang
sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak
jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat
lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan
saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab
profesi saya sebagai seorang Advokat.
(3) Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
Bagian Ketiga
Status
Pasal 5
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan.
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Bagian Keempat
Penindakan
Pasal 6
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak
hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat
profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Pasal 7
(1) Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
d. pemberhentian tetap dari profesinya.
(2) Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan
diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
Pasal 8
(1) Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai
dengan kode etik profesi Advokat.
(2) Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah Agung.
Bagian Kelima
Pemberhentian
Pasal 9
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
Pasal 10
(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
a. permohonan sendiri;
b. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
c. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak
menjalankan profesi Advokat.
Pasal 11
Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut
kepada Organisasi Advokat.
BAB III
PENGAWASAN
Pasal 12
(1) Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan
profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi
Advokat.
(2) Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior,
para ahli/akademisi, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT
Pasal 14
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya
dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 17
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik
dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan
untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien
berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
(2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang
berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 19
(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena
hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan
dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas
komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 20
(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat
profesinya.
(2) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga
merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas
profesinya.
(3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku
jabatan tersebut.
BAB V
HONORARIUM
Pasal 21
(1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
(2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
BAB VI
BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA
Pasal 22
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
ADVOKAT ASING
Pasal 23
(1) Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum
atau perwakilannya di Indonesia.
(2) Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang
hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.
(3) Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada
dunia pendidikan dan penelitian hukum.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban
memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 24
Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik Advokat Indonesia
dan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ATRIBUT
Pasal 25
Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib
mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT
Pasal 26
(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh
Organisasi Advokat.
(2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(5) Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi
Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(6) Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana.
(7) Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Pasal 27
(1) Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun
di tingkat Daerah.
(2) Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di
tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.
(3) Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur Advokat.
(4) Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang
susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh
masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat diatur dalam Kode Etik.
BAB X
ORGANISASI ADVOKAT
Pasal 28
(1) Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan
kualitas profesi Advokat.
(2) Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah.
Pasal 29
(1) Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya.
(2) Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.
(3) Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan Menteri.
(4) Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah
anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
(5) Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang
akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.
(6) Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan pembimbingan, pelatihan,
dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang.
Pasal 30
(1) Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi
Advokat.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah
sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)
rupiah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
(1) Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat
Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
(2) Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih
dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang
ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia
(HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
(4) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat
telah terbentuk.
Pasal 33
Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada
tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-
Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan
Undang-Undang ini.
Pasal 35
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23
jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya;
2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en
Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8);
3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446 jo. Stb. 1922
Nomor 523); dan
4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 36
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah Sah
pada tanggal 5 April
2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan
bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga
menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang
penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan
masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu
unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi
manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan
jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan
semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang
semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam
pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk
dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan
perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam
Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb.
1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian,
Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en
Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446
jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi
dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh
pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini
sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999.
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi
Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam
pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang
kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi
Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip
negara hukum pada umumnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah
lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan
perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa
pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat, orang tersebut harus
bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi
kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat
tinggal dimanapun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat
negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada
semua Badan Peradilan;
e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan
Agung;
f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan;
g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh;
i. Gubernur dan Wakil Gubernur;
j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah
Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat
(4) Undang-undang ini.
Huruf g
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman
praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam
menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat
diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat.
Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang
penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan
sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah
Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam
penjelasan Pasal 14.
Ayat (2)
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara
Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri,
Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar
Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum,
di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan
perundang-undangan, atau pengadilan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi
untuk semua lingkungan peradilan, Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa
takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas
profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi
kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya
keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap
tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat
tersebut dengan kantornya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko,
waktu, kemampuan, dan kepentingan klien.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya
dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli
etika.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4288
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.”
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf h, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud
Masa Manfaat
Tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1)
Ayat (2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
II. Bangunan
Permanen
20 tahun
5%
Tidak Permanen
10 tahun
10%
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Tak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan metode
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(6) dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
s.d. Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
35%
(tiga puluh lima
persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
(5) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”
13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.”
14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini."
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. "
16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 31 B
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang;
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.”
19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32 A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan 1984”.
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127
www.infopajak.com
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut :
a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut :
a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan.
c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 2
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh
misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf l
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Objek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima dividen tersebut memperoleh
penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dalam ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan Objek Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.
Huruf j
Perusahaan reksadana adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan reksadana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya.
Dalam rangka mendorong tumbuhnya perusahaan reksadana, maka bunga obligasi yang diterima oleh perusahaan reksadana dikecualikan sebagai Objek Pajak selama lima tahun pertama sejak perusahaan reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya izin usaha.
Huruf k
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf f, maka dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Objek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp 100.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp 300.000.000,00
Jumlal penghasilan bruto Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang
wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter dapat dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00 + Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.880.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 11.520.000,00 (Rp 8.640.000,00 + Rp 2.880.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) .
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 7
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 ¸ 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan
150.000.000,00
2000
50%
75.000.000,00
75.000.000,00
2001
50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2002
50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2003
Disusutkan
sekaligus
18.750.000,00
0
Ayat (3) dan ayat (4)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.
Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2000 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2001. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2001.
Contoh 2.
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan
100.000.000,00
2000
½ X 50%
25.000.000,00
75.000.000,00
2001
50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2002
50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2003
50%
9.375.000,00
9.375.000,00
2004
Disusutkan
sekaligus
9.375.000,00
0
Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk peyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (10)
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar Jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 8
Pasal 11 A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau;
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel,
PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp 250.000.000,00
Nilai buku harta Rp 250.000.000,00
Harga jual harta Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan Norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan;
sehingga karena itu mengakibatkan peredaran bruto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya dapat dihitung dengan cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 10
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
5% X Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00 (+)
Rp 53.750.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00 (+)
Rp 57.500.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)) Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.816.000,00 = Rp 981.600,00 (+)
Rp 2.231.600,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
(3x30) ¸ 360 x Rp 2.231.600,00 = Rp 557.900,00
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 11
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2000 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak, yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan misalnya kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan neto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000 Rp 50.000.000,00
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja
(Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain
(Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain
(Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri
(Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000.00 (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2000, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Apabila dalam bulan September 2000 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2000 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 tetap sama dengan angsuran bulan Desember, yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
Penghasilan PT X tahun 2000 Rp 120.000.000,00
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2000 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00.
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 40.000.000,00 = Rp 6.000.000,00 (+)
Rp 11.000.000,00
Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00 = Rp 916.666,67 (dibulatkan Rp 916.666,00).
Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar, oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, yang angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara, pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Ayat (9)
Sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan. Angsuran pokok bagi Wajib Pajak tersebut, merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, sepanjang Wajib Pajak tersebut tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Apabila Wajib Pajak tersebut juga menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dalam menghitung pajaknya, seluruh penghasilannya digunggungkan dan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum, sedangkan pajak yang telah dibayar merupakan kredit pajak.
Angka 15
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1) penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap sehubungan dengan interest swap dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
3) hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun;
4) pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia Rp 17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00 (+)
Rp 5.232.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak
setelah dikurangi pajak Rp 12.267.500.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00
Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak sebesar Rp12.267.500.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2001.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 16
Pasal 31 A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan pajak juga diberikan untuk mendorong pengembangan daerah terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan.
Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dinikmati selama 6 (enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan dari penghasilan neto sebesar 5% (lima persen) dari jumlah realisasi penanaman.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 31 B
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap sektor perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja, dan makro ekonomi. Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang luar negeri dan dalam negeri (dalam valuta asing) yang mengalami kenaikan drastis sebagai akibat terdepresiasinya secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihan kegiatan perekonomian nasional Pemerintah perlu menempuh kebijakan khusus restrukturisasi utang. Restrukturisasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian atau seluruh) utang, pengalihan harta untuk penyelesaian utang, dan perubahan utang menjadi modal. Restrukturisasi utang yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi tersebut, perlu didorong dengan pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas dimaksud sifatnya terbatas baik jenis maupun jangka waktunya. Agar fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh mereka yang betul-betul berhak, terarah dan terkendali sesuai dengan maksud dan tujuannya, fasilitas hanya diberikan terhadap restrukturisasi utang yang dilakukan melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah, yaitu Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Ayat (1)
Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas hanya untuk tahun-tahun pajak 2000, 2001 dan 2002. Adapun fasilitas pajak yang dimaksud adalah berupa keringanan Pajak Penghasilan dalam bentuk :
a. pembebasan sebagian serta pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang atas pembebasan utang yang diberikan oleh kreditur;
b. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang sepanjang harta tersebut dinilai sebesar nilai buku pihak yang mengalihkan;
c. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas perubahan utang menjadi penyertaan modal sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar utang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31 C
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 32 A
Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara.
PASAL II
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3985
www.infopajak.com
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.”
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf h, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud
Masa Manfaat
Tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1)
Ayat (2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
II. Bangunan
Permanen
20 tahun
5%
Tidak Permanen
10 tahun
10%
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Tak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan metode
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(6) dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
s.d. Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
35%
(tiga puluh lima
persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
10%
(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
(5) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”
13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.”
14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang ini."
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. "
16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 31 B
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang;
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.”
19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32 A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan 1984”.
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127
www.infopajak.com
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut :
a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut :
a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan.
c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 2
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh
misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf l
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Objek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima dividen tersebut memperoleh
penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dalam ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan Objek Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.
Huruf j
Perusahaan reksadana adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan reksadana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya.
Dalam rangka mendorong tumbuhnya perusahaan reksadana, maka bunga obligasi yang diterima oleh perusahaan reksadana dikecualikan sebagai Objek Pajak selama lima tahun pertama sejak perusahaan reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya izin usaha.
Huruf k
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf f, maka dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Objek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp 100.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya sebesar Rp 300.000.000,00
Jumlal penghasilan bruto Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang
wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter dapat dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00 + Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.880.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 11.520.000,00 (Rp 8.640.000,00 + Rp 2.880.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) .
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 7
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 ¸ 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan
150.000.000,00
2000
50%
75.000.000,00
75.000.000,00
2001
50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2002
50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2003
Disusutkan
sekaligus
18.750.000,00
0
Ayat (3) dan ayat (4)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.
Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2000 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2001. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2001.
Contoh 2.
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan
100.000.000,00
2000
½ X 50%
25.000.000,00
75.000.000,00
2001
50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2002
50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2003
50%
9.375.000,00
9.375.000,00
2004
Disusutkan
sekaligus
9.375.000,00
0
Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk peyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (10)
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar Jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 8
Pasal 11 A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau;
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel,
PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp 250.000.000,00
Nilai buku harta Rp 250.000.000,00
Harga jual harta Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan Norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan;
sehingga karena itu mengakibatkan peredaran bruto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya dapat dihitung dengan cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 10
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
5% X Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00 (+)
Rp 53.750.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00 (+)
Rp 57.500.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)) Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.816.000,00 = Rp 981.600,00 (+)
Rp 2.231.600,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
(3x30) ¸ 360 x Rp 2.231.600,00 = Rp 557.900,00
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 11
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2000 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak, yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan misalnya kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan neto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000 Rp 50.000.000,00
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja
(Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain
(Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain
(Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri
(Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000.00 (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2000, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Apabila dalam bulan September 2000 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2000 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 tetap sama dengan angsuran bulan Desember, yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
Penghasilan PT X tahun 2000 Rp 120.000.000,00
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2000 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00.
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 40.000.000,00 = Rp 6.000.000,00 (+)
Rp 11.000.000,00
Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00 = Rp 916.666,67 (dibulatkan Rp 916.666,00).
Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar, oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, yang angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara, pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Ayat (9)
Sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan. Angsuran pokok bagi Wajib Pajak tersebut, merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, sepanjang Wajib Pajak tersebut tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Apabila Wajib Pajak tersebut juga menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dalam menghitung pajaknya, seluruh penghasilannya digunggungkan dan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum, sedangkan pajak yang telah dibayar merupakan kredit pajak.
Angka 15
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
1) penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap sehubungan dengan interest swap dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
3) hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun;
4) pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia Rp 17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00 (+)
Rp 5.232.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak
setelah dikurangi pajak Rp 12.267.500.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00
Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak sebesar Rp12.267.500.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2001.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 16
Pasal 31 A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan pajak juga diberikan untuk mendorong pengembangan daerah terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan.
Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dinikmati selama 6 (enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan dari penghasilan neto sebesar 5% (lima persen) dari jumlah realisasi penanaman.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 31 B
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap sektor perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja, dan makro ekonomi. Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang luar negeri dan dalam negeri (dalam valuta asing) yang mengalami kenaikan drastis sebagai akibat terdepresiasinya secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihan kegiatan perekonomian nasional Pemerintah perlu menempuh kebijakan khusus restrukturisasi utang. Restrukturisasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian atau seluruh) utang, pengalihan harta untuk penyelesaian utang, dan perubahan utang menjadi modal. Restrukturisasi utang yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi tersebut, perlu didorong dengan pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas dimaksud sifatnya terbatas baik jenis maupun jangka waktunya. Agar fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh mereka yang betul-betul berhak, terarah dan terkendali sesuai dengan maksud dan tujuannya, fasilitas hanya diberikan terhadap restrukturisasi utang yang dilakukan melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah, yaitu Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Ayat (1)
Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas hanya untuk tahun-tahun pajak 2000, 2001 dan 2002. Adapun fasilitas pajak yang dimaksud adalah berupa keringanan Pajak Penghasilan dalam bentuk :
a. pembebasan sebagian serta pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang atas pembebasan utang yang diberikan oleh kreditur;
b. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang sepanjang harta tersebut dinilai sebesar nilai buku pihak yang mengalihkan;
c. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas perubahan utang menjadi penyertaan modal sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar utang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31 C
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 32 A
Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara.
PASAL II
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3985
www.infopajak.com
Langganan:
Postingan (Atom)